ᴛᴜᴊᴜʜʙᴇʟᴀs

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Adalah omong kosong belaka jika sebuah seru dapat membuat seseorang mengingat masa lalu yang memang sengaja dilupakan. Buktinya saja Airlangga, laki-laki yang kini duduk di samping Adriana justru menoleh dengan kening yang mengerut samar.

"Ternyata kamu tetangga dekat sini," cetusnya ketika mendengar seruan akrab Trias yang memanggil bawahannya.

Sementara Trias meminta mereka menunggu di luar. Daftar pesanan yang tengah dikerjakan laki-laki itu menunggu untuk segera diselesaikan. Namun, diam-diam kepalanya dibungkus rasa bingung. Entah kenapa, ia merasa Adriana yang datang bersama Airlangga terlihat seolah menjaga jarak dengan sepupunya itu.

Padahal, Trias ingat betul perihal antusiasme Adriana ketika mengetahui Airlangga akan menetap di tanah Jogja dan mengetahui mereka datang bersama, laki-laki itu sempat berpikir bahwa mereka sudah lebih dahulu bertukar kabar sebelum Airlangga sampai di sana.

Sementara Airlangga memimpin jalan, beberapa pegawai yang mengepak barang membungkuk sopan yang dibalas tatapan tidak acuh. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel dengan isi pesan dari Arial, ia meminta Adriana menunggu, sedangkan laki-laki yang mengenakan kaus putih polos dan kemeja tidak dikancingkan itu bergerak keluar untuk menelpon Arial.

Adriana mengembuskan napasnya perlahan. Bahkan seorang Trias pun tidak dapat membantu Airlangga mengingat dirinya. Akan tetapi, agaknya Adriana sempat tertegun ketika melihat respons yang diberikan Airlangga pada pegawai, sungguh berbeda dengan Airlangga yang ia kenal lima belas tahun lalu.

"Ana."

Adriana menoleh ketika namanya disebut. Senyum Trias terkembang apik, meski matanya menyiratkan sebuah tanda tanya yang mungkin ditangkap oleh gadis di depannya.

"Kamu sama Airlangga ...." Kalimat Trias menggantung

"Mas jangan bilang-bilang kalau aku Nana, ya?" Permintaan Adriana jelas membuat Trias melebarkan tatapannya. Sedikit tidak habis pikir dengan gadis yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri ini.

"Maksudnya kalian nggak saling kenal ceritanya?" Laki-laki itu kembali memastikan kemudian menggeleng ketika mendapat anggukan sebagai jawaban Adriana.

"Kak Elang lupa sama aku, Mas."

Adriana mengakhiri perkataan dengan menelan ludahnya susah payah. Ada sesak yang menghimpit dada tanpa ia tahu sebabnya.

"Trus kenapa kalian bisa barengan? Kenapa juga kamu nggak jujur aja sama Elang?" Trias tidak habis pikir. Ia menggaruk kepalanya yang kini terasa gatal karena banyak berpikir.

"Panjang ceritanya, Mas. Nanti aku cerita kalau ada waktu, ya?"

Trias mengembuskan napas dan menepuk pundak Adriana pelan ketika Airlangga kembali dari luar. Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum seraya menggelengkan kepala.

"Kenapa?" tanya Trias.

"Nggak kenapa-kenapa."

Mereka berjalan beriringan ke sebuah gazebo berbahan kayu jati. Airlangga melangkah lebih dulu, kemudian mengambil posisi paling pojok sementara Trias duduk di hadapannya. Adriana menjadi yang terakhir, dengan ragu ia menempati posisi di samping Airlangga.

"Kamu mau duduk di samping Trias?" tanyanya sembari menyenderkan bahu.

"Nggak, Chef."

"Nggak usah ngawur, Lang. Kenapa kamu ke sini? Mau teror aku lagi?"

Adriana diam. Topik yang disinggung Trias tercium serius kala melihat wajah laki-laki itu menegang. Airlangga menunduk, tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

"Tadi kalian habis dari mana?" tanya Trias, rasa penasaran terlanjur membungkusnya perihal kenapa mereka berdua bisa bersama tanpa saling mengenal.

Terlebih, saat mengetahui alasan Airlangga menapaki kota kelahiran ibunya sangat tidak ia duga, laki-laki berusia 27 tahun itu jelas sangat mengkhawatirkan posisi Adriana.

"Habis dari Bantul, Mas."

"Ralat, perjalanan ke Bantul dan kamu merengek pulang." Pernyataan Airlangga bernada sindiran dihadiahi cebikan oleh Adriana.

"Kamu seriusan mau ke Bantul, Dek?" Kosa kata Trias berubah, Airlangga memprediksi laki-laki itu tengah marah padanya.

"Iya," jawab Airlangga.

"Udahlah, Dek. Ojo koyo watu nek diomongi! Belum tentu apa yang di pikiran kamu itu benar. Lik Abi pasti kecewa kalau anaknya berpikir yang tidak-tidak seperti ini."

Trias mengusap wajahnya kasar. Mengabaikan wajah penasaran Adriana yang tidak berani menyuarakan tanya.

"Mas pikir aku nggak kecewa? Mamaku meninggal karena keegoisannya, Mas! Aku bersumpah, aku akan menemukan perempuan yang sudah merebut kebahagiaan mama."

Tubuh Adriana menegang. Kini, ia tahu perihal alasan Airlangga menjelajahi daerah Bantul bukanlah tentang perempuan yang merebut hatinya, melainkan perihal perempuan yang merebut kebahagiaan Ayunda, ibunya.

Bisakah Adriana merasa bersalah karena bertindak egois?


ʙᴜᴀᴛ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ, ᴋᴇʙᴀʜᴀɢɪᴀᴀɴ ᴀʏᴜɴᴅᴀ ᴀᴅᴀʟᴀʜ sᴇɢᴀʟᴀɴʏᴀ. ᴍᴇsᴋɪ ɴʏᴀᴡᴀ ᴍᴇɴᴊᴀᴅɪ ᴛᴀʀᴜʜᴀɴɴʏᴀ :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top