ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴛᴜᴊᴜʜ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Mengetahui dirinya adalah perempuan paling gila adalah hal yang tidak pernah terbayangkan oleh Adriana. Ia sendiri tidak tahu apa yang tengah merasukinya ketika melihat Airlangga berjalan bersisian dengan seorang perempuan. Yang ia tahu, hanya itu membuatnya tidak nyaman.
Perempuan dengan rambut berkucir kuda itu memukul kepalanya beberapa kali dengan keras. Tingkahnya menarik perhatian dua orang laki-laki yang tengah menuntun motor masuk ke dalam gang sempit, serta dua orang perempuan yang baru juga sampai ke gerbang kos.
"Awakmu nyapo, An? Enek seng loro? Opo enek masalah?" sapa salah seorang karyawan toko oleh-oleh yang berlokasi di jalan utama Malioboro.
("Kamu kenapa, An? Ada yang sakit? Atau ada masalah?")
Adriana terkesiap, tetapi ia segera menghentikan aksinya dan merapikan rambut yang sedikit berantakan karena ulahnya barusan. Ia melempar senyum pada karyawan yang tinggal di sebelah kosnya untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Ora. Aku apik, Mbak. Aku mlebu sek, yo?"
("Tidak. Aku baik. Aku masuk dulu, ya?")
Gara-gara Airlangga, Adriana jadi dianggap aneh oleh sekitar. Ia masuk ke kamar, melempar tas kempes yang hanya berisi dompet, ponsel juga liptint berwarna peach ke atas kasur single dan membuka sweater luarannya sebelum melemparkan diri ke kasur yang sama.
Sekelebat bayangan wajah Airlangga hadir. Perempuan berambut panjang dengan dagu sedikit lancip itu memegangi dada yang tiba-tiba saja kembali berdegup dengan kencang. Tadi, Adriana tidak menyangka jika akan mendapat respons seperti itu dari Airlangga.
Wajah Airlangga terlihat menggemaskan di mata Adriana saat laki-laki itu menatapnya dengan tatapan terkejut. Namun, satu hal yang agaknya mengganggu Adriana adalah respons yang diberikan Airlangga. Alih-alih marah, kenapa ia justru menuruti apa yang diucapkan Adriana? Lalu bagaimana mereka setelah ini?
Adriana kembali mengacak-acak rambut karena frustrasi dengan pemikirannya sendiri.
Matahari sudah tidak terlihat di langit Jogja, tetapi Adriana belum juga berniat untuk membersihkan diri setelah bekerja seharian, seolah dirinya tak terusik dengan bau yang menempel.
Dering ponsel mengalihkan perhatian. Ia bergerak untuk mengambil benda pipih tersebut sembari berdoa semoga itu bukan Airlangga yang marah-marah setelah sadar dari eror function di otaknya. Ia tersenyum ketika mendapati nama Taufik di layar.
"Malam, Chef!"
"Malam, An. Sibuk?" Taufik menghindari basa-basi.
"Nggak. Baru mau mandi. Ada apa, Chef?" Adriana bangun dan mengambil handuk untuk mencegah dirinya berbohong.
"Sek arep adus? Iki wes jam piro, An. Arek wedok kok males adus." Terdengar suara tawa renyah dari Taufik.
("Baru mau mandi? Ini sudah jam berapa, Ana? Anak gadis malas mandi.")
Adriana balas tertawa. "Ada apa, Chef?"
"Tidak ada, sih. Cuma mau ajak kamu ke alun-alun. Makan yuk, bosen aku, di rumah lagi nggak ada orang." Taufik menyampaikan ajakan sekaligus alasan agar terdengar natural.
Adriana sempat berpikir untuk mengiyakan kalau saja tidak ingat akan janji pada ibunya agar dia besok pulang ke rumah. Kalau hari ini ia harus tidur larut, dan besok pagi-pagi sekali bekerja, bisa dipastikan ia tidak akan pulang besok sore karena lelah.
"Yah. Besok aku masuk pagi, Chef. Sorenya mau pulang ke rumah. Takut capek. Lain kali bagaimana?" Adriana setengah tidak enak. Selama ini, Taufik sudah begitu baik membantu Adriana jika perempuan itu dalam masalah.
"Ohh .. Yo wes ora opo? Kalau begitu bagaimana besok ke Taman Wisata? Aku besok libur, ora enak tenan libur aku entekne di umah wae."
(Nggak enak banget aku libur di rumah aja.)
"Kalo besok aku mau! Besok sore setelah selesai sifku, ya?"
Bagi Taufik, kesempatan ini tidak akan datang dua hingga tiga kali. Sebelumnya ia merasa sungkan pada Arial karena berpikir Arial dan Adriana punya hubungan spesial. Akan tetapi, sejak seminggu yang lalu ia memantapkan hatinya untuk mendekati Adriana.
"Ya sudah, kamu mandi sana. Aku tutup sambungannya. Selamat malam, Ana."
"Malam, Chef." Adriana mematikan sambungan teleponnya dan bergerak memasuki kamar mandi dengan senandung ria yang keluar dari bibirnya.
****
Apa yang terjadi?
Sepertinya ada sebuah perbedaan yang cukup signifikan yang terjadi di kitchen utama d'Amore Hotel. Apa alasannya? Tidak lain adalah sikap Airlangga yang lebih seperti orang ragu dalam mengambil setiap langkah.
Jika dulu pertama kali Airlangga menginjakkan kaki di kitchen d'Amore dengan sikap angkuh dan penuh percaya diri, kali ini ia seperti orang yang berbeda dengan keragu-raguan di setiap gerakkannya.
"Chef Airlangga. Ada komplain dari konsumen jika lobster yang dimakan sudah tidak fresh." Itu Haris, head waitress yang menghampiri Airlangga ketika jam makan siang.
"Apa?" Airlangga hampir saja tidak mempercayai apa yang ia dengar.
"Gama, cek ketersediaan lobster kita." Airlangga menerima piring yang dibawa Haris, memeriksa tekstur lobster yang dibuat oleh Aji Saka karena Taufik sedang libur. "Teksturnya tidak ada masalah."
Haris masih memperhatikan, dengan ragu menyendok untuk ikut memastikan meski ia tahu itu tidak membantu. "Tidak ada masalah, Chef."
"Seharusnya tidak ada. Mungkin karena bumbu yang kurang kuat, kita tidak bisa menentukan selera pelanggan." Airlangga menatap Haris.
"Bagaimana?" tanya Airlangga ketika Gama, commis yang membantu Aji Saka. Ia menatap Aji Saka penuh keragu-raguan.
"Ada apa?!" Airlangga menyentak keras. Haris termasuk seluruh staff kitchen tersentak karena suara yang dikeluarkan Airlangga.
Baru saja laki-laki itu menarik seragam Gama, matanya bersibobok dengan Adriana yang berada tepat di belakang Gama. Airlangga menelan ludahnya kemudian melepaskan napas kasar dan melepaskan Gama sebelum kembali menatap Haris. "Sampaikan maaf saya pada pelanggan. Jika mereka berkenan, hidangan akan saya ganti dengan lobster baru dan saya sendiri yang memasak."
Seluruh staf hot kitchen kompak melebarkan mata ketika mendengar suara Airlangga yang begitu tenang. Terlebih Haris, laki-laki itu hampir saja tidak percaya jika yang berbicara dengannya saat ini adalah seorang Airlangga Sangaji.
"Baik, Chef. Saya akan sampaikan kepada pelanggan." Haris buru-buru keluar.
Airlangga menggulung seragam putihnya dan dengan sigap mengambil posisi pada salah satu section. Kegiatan Aji Saka, Nindya dan Gama sempat terhenti. Aksi Airlangga diam-diam selalu menjadi hiburan tersendiri mereka.
"Pelanggan bersedia, Chef." Haris kembali sedikit tergopoh-gopoh.
Laki-laki itu mengangguk mantap, mengambil bawang bawang putih, parsley, chilli flaskes, garam, dan lada hitam. "Butter dan lemon zest."
"Baik, Chef!" Adriana dengan sigap mengambil bahan yang dibutuhkan Airlangga.
"Gama, lobsternya."
"Yes, Chef!" Laki-laki itu bergegas ke dalam ruang penyimpanan untuk mengambil lobster yang masih hidup untuk diberikan pada Airlangga.
"Kembali ke station kalian masing-masing!"
"Yes, Chef!"
Entah kenapa ucapan Airlangga kali ini membuat semangat staf hot kitchen kembali membara. Seperti biasa, mereka bekerja dalam tempo cepat dan menyiapkan keperluan sendiri karena tahu Adriana akan sibuk dengan Airlangga untuk sementara waktu.
"Ini, Chef." Adriana memberikan apa yang diminta Airlangga berbarengan dengan Gama yang membawa tiga buah lobster berukuran sedang.
"Masukan bahan marinade ke dalam wadah kemudian aduk semuanya," titah Airlangga ketika tangannya membelah lobster di bagian tengah kepalanya.
"Airnya sudah siap, Chef." Gama memberikan informasi.
Tangan Airlangga bergerak memasukkan lobster ke dalam air mendidih hingga lobster berubah warna menjadi merah kemudian meniriskannya. "Gama, kamu bisa bantu Aji Saka di station."
"Baik, Chef!"
"Begini, Chef?" Adriana menginterupsi, menunjukkan mixing bowl berukuran 30 CM yang berisi marinade.
"Iya," jawab Airlangga singkat.
"Aku pinter, 'kan, Pacar?" Adriana berbisik hingga Airlangga menajamkan matanya. Adriana tertawa, menggoda Airlangga yang tengah sibuk sungguh menyenangkan menurutnya.
Airlangga berdeham dua kali, menetralkan jantung yang tiba-tiba kembali bekerja lebih cepat dari biasanya. Sepertinya besok atau lusa Airlangga harus memeriksakan kesehatan organ dalamnya itu.
Tangannya mengambil mixing bowl yang ada di tangan Adriana, mengolesi bumbu marinade pada lobster yang sudah ditiriskan tadi. "Tolong pan-nya, Adriana."
Adriana dengan sigap memberikan frypan berukuran 24 CM pada Airlangga disertai senyum yang senantiasa terkembang apik.
"Kamu bisa tidak berhenti tersenyum di depan saya?"
"Kenapa memangnya, Chef?"
"Orang-orang akan curiga, Adria," jawaban Airlangga justru membuat Adriana semakin melebarkan senyumnya. Apakah ini berarti Airlangga telah mengakui hubungannya dengan Adriana?
"Berarti kalau nggak ada orang lain aku boleh senyum ke Chef Airlangga?" Adriana kembali berbisik.
Posisinya yang terlalu dekat dengan Airlangga mengundang perhatian dari beberapa staf kitchen yang tidak berani menyuarakan tanya yang bersarang di kepala mereka.
"Ya sudah terserah kamu saja." Airlangga hanya pasrah. Hidangan lobster yang tengah ia panggang dengan frypan lebih penting dibandingkan dengan ocehan Adriana sekarang. "Ambilkan piring saji, Adria."
"Ana, Chef." Adriana mencoba membujuk Airlangga agar memanggilnya dengan sebutan yang ia inginkan.
"Baiklah, Ana. Tolong piringnya."
"Ini, Chef!" Rupanya Adriana sudah menyiapkan yang sekiranya dibutuhkan oleh Airlangga.
Airlangga memutar bola matanya, malas menanggapi tingkah Adriana yang kekanakan ketika berada di dapur. Sudah Airlangga bilang bukan? Bahwa laki-laki itu paling tidak suka jika ada karyawan yang tidak fokus dalam bekerja. Terlebih lagi, berbicara dengan perempuan yang kemarin sepihak memutuskan Airlangga menjadi pacarnya itu memang sulit untuk menang.
Airlangga harus mencari cara agar ia tidak kalah dengan ledekan Adriana ketika mereka bekerja. Dalam sebuah kericuhan Airlangga memikirkan hal yang mungkin ia akan sesali nanti. Ketika memberikan hidangan buatannya pada Haris untuk mengganti hidangan yang dikeluhkan, Adriana masih berada di station yang sempat ia tinggalkan. Airlangga melangkah mendekatinya, menatap sekitar untuk memastikan bahwa staf yang lain tidak mendengar apa yang akan ia katakan pada Adriana.
"Bekerja dengan benar. Saya tidak ingin menghukum pacar saya sendiri dengan status atasan karena kerja kamu tidak benar. Ingat, di sini kita tetap harus profesional," bisik Airlangga di telinga Adriana, menandakan ucapan itu hanya untuk dibagikan pada mereka berdua.
Tidak akan ada orang yang dapat mendefisinikan perasaan Adriana saat ini. Jika pada bab lembaran hidupnya kali ini hanyalah sebuah mimpi, siapa pun yang mendengarkan, tolong jangan bangunkan Adriana dari mimpi indah ini.
ᴛᴇʀᴜɴᴛᴜᴋ sᴀᴜᴅᴀʀᴀ ᴛᴀᴜғɪᴋ, ᴀɴᴅᴀ sᴀʟᴀʜ ᴍᴇᴍᴘᴇʀʜɪᴛᴜɴɢᴋᴀɴ ʟᴀᴡᴀɴ, ɴᴀᴋ :)
ᴋᴀʟɪᴀɴ ʙɪɴɢᴜɴɢ ɴɢɢᴀᴋ sɪʜ, sᴀᴍᴀ ʜᴜʙᴜɴɢᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴊᴇʟᴀs ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ʙᴇʀᴅᴜᴀ?
ᴛᴀᴘɪ... ᴋᴀʟᴀᴜ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴍᴇɴɢʜᴀʀᴀᴘᴋᴀɴ ᴅᴀʟᴀᴍ ᴄᴇʀɪᴛᴀᴋᴜ, ᴀᴅᴀ ᴀᴅᴇɢᴀɴ ᴛᴇᴍʙᴀᴋ ᴍᴇɴᴇᴍʙᴀᴋ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴋᴇ ᴘᴇʀᴇᴍᴘᴜᴀɴ, ᴀᴋᴜ ɪɴɢᴇᴛ ᴋᴀʏᴀᴋɴʏᴀ ɴɢɢᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴅᴇʜ :(
ʏᴀᴀ ɴɢɢᴀᴋ ᴛᴀᴜ, ᴍᴀᴜ ʙɪᴋɪɴ ʙᴇᴅᴀ ᴀᴊᴀ ɢɪᴛᴜ, ᴛᴀᴘɪ... ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ɪɴɪ ᴛᴇʀʟᴀʟᴜ ᴀʙsᴜʀᴅ :(
ʏᴀ sᴜᴅᴀʜ, ᴀᴋᴜ ᴄᴜᴍᴀ ʙɪʟᴀɴɢ sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇɴᴊᴀʟᴀɴɪ ʜᴀʀɪ sᴇɴɪɴ :)
sᴇᴍᴏɢᴀ sᴇɴɪɴ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴅɪᴛᴇᴍᴀɴɪ ᴄᴜᴄɪᴀɴ ʏᴀɴɢ ʟᴜᴘᴀ ᴅɪᴄᴜᴄɪ ᴋᴇᴍᴀʀɪɴ ((ᴋᴀʏᴀᴋ ᴀᴋᴜ))
Sekali-kali PAP makanan biar ikutan laper di jam makan siang yang udah kelewat ini :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top