ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴛɪɢᴀ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Chef Airlangga mau pulang?" Adriana bertanya ketika mereka memasuki lift yang sama. Kini keduanya sudah berganti pakaian dengan baju bebas dan turun ke lantai basement untuk mengambil kendaraan masing-masing.
Setengah jam yang lalu, Airlangga sempat memikirkan sikap apa yang harusnya ia berikan pada Adriana setelah kejadian ciuman itu. Apa ia harus meminta maaf atau menganggap semuanya tidak pernah terjadi sama sekali. Namun, itu menjadi gangguan karena ia terus menerus merasa bersalah.
Terlebih lagi, sikap Adriana kini menjadi lebih berbeda ketika berhadapan dengan Airlangga. Laki-laki itu takut, jika Adriana akan mengharapkan hal lebih yang Airlangga sendiri tidak yakin akan dapat memberikannya. Oleh karena itu, Airlangga memutuskan untuk mengklarifikasi semuanya pada Adriana.
"Adriana bisa kita bicara sebentar?"
"Bicara apa, Chef?"
Baru saja Airlangga ingin membuka suara, pintu lift terbuka di lantai lima, beberapa karyawan masuk ke dalam lift sembari menundukkan kepalanya sebagai tanda tatakrama pada yang lebih dulu ada di dalam lift.
"Kita bicara di luar nanti."
Adriana menganggukkan kepala, ia membungkam rapat-rapat mulutnya demi menahan tawa yang mungkin saja akan keluar karena ajakan Airlangga yang tidak ia duga.
"Mau bicara apa, Chef?"
"Kamu nggak keberatan kita bicara di sini?" Airlangga bersandar pada mobilnya seraya mengembuskan napas panjang. Baru saja Airlangga mengumpulkan niat untuk mengeluarkan suara, tiba-tiba Taufik melintas dengan motor matic putih kemudian menyapa mereka.
"Duluan saja, Mas."
Adriana melambaikan tangan ketika commis berusia 26 tahun itu membunyikan klakson sebagai tanda pamit pada keduanya. Airlangga sendiri kembali menggeleng, seakan merasa bodoh dengan rasa bersalah pada perempuan yang mungkin sering dekat dengan laki-laki itu.
"Sepertinya kamu dekat dengan semua staf dapur."
Adriana mengembangkan senyum bangga karena menganggap sindiran Airlangga adalah sebuah pujian karena ia mudah akrab dengan orang lain. "Akrab dengan yang lain bagus, 'kan, Chef?"
"Bagus. Tapi tidak dengan saya."
Jawaban yang tiba-tiba keluar dari mulut Airlangga membuat Adriana mengikis senyum. Perempuan itu menatap lamat laki-laki di depannya dan mencoba menerka apa yang selanjutnya akan Airlangga sampaikan.
"Maksud Chef Airlangga apa?" Adriana mendongak, mencoba menatap mata Airlangga yang terus saja melihat ke arah lain.
"Saya mau bicarakan kejadian kemarin. Soal saya yang ...."
"Saya paham meski Chef Air nggak menyebutkannya." Adriana memotong ucapan Airlangga.
"Bagus. Karena jujur saja saya tidak nyaman membahasnya." Airlangga melepaskan napas kasar ke udara. "Saya hanya ingin mengatakan, tolong kamu jangan salah paham tentang kejadian itu. Itu bukan sama sekali sebuah kesengajaan. Kamu paham, 'kan? Saya hanya terbawa suasana dan sama sekali tidak ada perasaan yang terlibat di dalamnya."
Perkataan Airlangga mungkin diucapkan pelan dan hati-hati, tetapi tidak dapat dipungkiri, hati Adriana mencelos ketika mendengar kata demi kata yang disampaikan Airlangga. Kini ia merasa tidak memiliki muka lagi di depan atasannya. Apa yang Airlangga pikirkan ketika melakukan itu? Apa ia berpikir Adriana adalah perempuan murahan begitu?
Namun, Adriana tidak dapat menyalahkan Airlangga. Dalam kasus ini, ia juga merasa bersalah karena berharap lebih pada laki-laki yang dari awal sudah mengatakan bahwa ia datang ke tanah Jogja bukan untuk dirinya sendiri. Sekelebat ingatan akan perkataan Airlangga tiba-tiba saja melintas di kepala Adriana ketika ia bertengkar Niur tempo hari.
Kalian harus ingat satu hal, siapa saya.
Siapa saya.
Siapa saya.
Kata-kata itu seolah menggema di telinga Adriana, menimbulkan rasa sakit yang ia sendiri tidak dapat kendalikan rasanya. Sakit yang menjalar pada dada membuat Adriana sekilas kelimpungan mengatur napas. Ia memukul pelan dadanya kemudian menderai tawa pelan yang terdengar sumbang.
"Iya, Chef. Saya tahu. Saya juga sadar siapa Chef Airlangga dan siapa saya." Adriana menelan ludahnya.
"Bukan. Maksud saya bukan ...."
"Nggak apa-apa, Chef. Chef Airlangga jangan takut, saya nggak akan menganggap kejadian itu sebagai sesuatu." Adriana menampilkan senyum seperti biasa yang ia tampilkan, memotong ucapan Airlangga yang mungkin saja jika diteruskan akan membuatnya menjatuhkan air mata.
"Kalau begitu sampai ketemu besok di kitchen, Chef. Saya duluan."
Tanpa menunggu jawaban Airlangga, Adriana memutar tubuhnya, berjalan menuju parkiran motor dengan riang seraya menggoyang-goyangkan tangan ke depan dan ke belakang.
Airlangga masih memperhatikan, ketika perempuan dengan balutan kaos kuning mustard dan jaket putih yang tidak diritsleting itu memasang helm bogo dan menyalakan mesin motornya. Adriana bahkan melambai sekilas ketika melewati Airlangga yang masih terpaku di depan mobilnya. Rasanya seperti ada yang salah, meski Airlangga tidak tahu itu apa.
Lupain Elang, Ana. Kamu bukan lagi orang yang pantas untuk bersanding dengan Airlangga yang sekarang.
Dan ketika Adriana merapalkan kalimat itu dalam benaknya, air matanya mengalir ke wajah kemudian turun pada jaket yang ia kenakan saat membawa motor.
****
Adriana meringis ketika sampai di tempat pusat oleh-oleh yang dikelola oleh Trias. Laki-laki berusia 27 tahun itu memiringkan wajah ketika mendapati bekas jejak air mata pada ujung mata Adriana.
"Kamu nangis?" tanya Trias ketika menyimpan dus-dus kosong di meja kasir. "Titip sebentar, ya, Bu," pesannya pada pegawai yang usianya lebih tua dari dirinya.
"Ada apa, An?" Trias bertanya ketika mereka duduk di teras belakang toko. Ada deretan aquarium berisi ikan hias, hasil dari hobi menghabiskan waktu jika cafe atau toko oleh-olehnya sedang sepi.
"Nggak apa-apa, Mas."
Iris mata cokelat muda Trias tidak dapat dibohongi. Tidak biasanya Adriana menjadi pendiam seperti ini, dan ia menduga bahwa adik sepupu yang lebih tua setahun darinya adalah penyebabnya.
"Airlangga?"
Trias menyebutkan satu nama yang sukses membuat Adriana disusupi rasa malu karena mengingat perkataan Airlangga sebelum ini.
"Menurut Mas, aku harus bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" Trias tidak mengerti. Baginya, hubungan Adriana dan Airlangga seharusnya memang tidak kembali terjalin. Itu akan menjadi rumit karena Adriana tidak jujur pada Airlangga sejak awal.
"Kak Elang sepertinya sudah berubah, Mas."
Perihal bagaimana Adriana mengharapkan Airlangga kembali, mungkin Trias adalah orang yang paling tahu, bahkan hingga lima belas tahun berlalu, kedekatan mereka bukanlah hal berarti bagi Adriana ketika ada bahasan tentang Airlangga.
"Apa tidak sebaiknya kamu menjauhi Elang, An?" Trias mengusulkan. Jujur saja, laki-laki itu khawatir kedekatan keduanya akan menimbulkan masalah besar nantinya. Namun, Trias harus mencari jalan keluar yang solutif agar Adriana tidak curiga jika ia berharap bahwa Adriana dan Airlangga berjauhan.
"Maksud, Mas?"
"Mak-maksudku ... kamu lebih baik menjauh dulu dari Airlangga. Kamu tahu, 'kan? Airlangga sedang berada di dalam masa sulit. Dia banyak memikirkan hal-hal tidak masuk akal belakangan ini." Trias tidak tahu tindakannya kali ini benar atau salah.
Jika saja Adriana tidak pernah melihat luka di mata Airlangga ketika bercerita tentang kehilangan, mungkin saja Adriana akan memikirkan saran yang diberikan oleh Trias. Namun, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan meninggalkan Airlangga apa pun yang terjadi.
Perempuan itu melipat tangannya di depan perut, menekuk lutut, dan menyenderkan kepala pada bahu Trias yang duduk di sampingnya. Trias menoleh, aroma minyak telon bayi begitu terasa ketika wajahnya berada dekat dengan pucuk kepala Adriana. Laki-laki yang sehari-harinya sibuk dengan toko dan cafe itu hanya mengulas senyum tipis ketika melihat tingkah Adriana. Rasa sayang sebagai adik pada Adriana sudah bermetamorfosis menjadi rasa cinta yang tidak akan pernah dapat ia ucapkan.
"Apa yang Mas Trias maksud tentang Pak Lik Abikara?"
"Kamu percaya dengan apa yang Airlangga katakan?" Trias justru balik bertanya, ia harus memastikan sesuatu yang mungkin akan membuat Airlangga memberondongnya nanti.
"Nggak tahu, sih. Nggak begitu yakin juga."
"Saran, Mas. Kamu beri ruang dan waktu untuk Airlangga sendiri dulu. Karena sebetulnya itu yang sedang dilakukan Lik Abikara untuk Airlangga. Memberikan waktu untuk melampiaskan apa yang ingin ia keluarkan. Rasa marah, kecewa atau sedih pada dirinya sendiri. Emosi harus diluapkan bukan? Karena itu Lik Abikara beri waktu Airlangga untuk menerima kepergian ibunya."
"Jadi Lik Abi sengaja membiarkan Kak Elang meluapkan emosinya saat ini meski ia tahu apa yang dilakukan Kak Elang itu salah?" Adriana mengerutkan kening tanda bingung.
"Iya. Abikara Sangaji yang aku tahu, adalah orang tua yang sanggup melakukan apa saja demi Airlangga meski ia sendiri harus terluka." Trias mengulas senyum. Rasa irinya kembali muncul jika membahas perihal orang tua.
Bagi orang seperti Trias, Airlangga adalah manusia yang tidak tahu diuntung, karena menyia-nyiakan orang tua sebaik Abikara. Jika boleh, bahkan Trias pernah berharap jika ia dilahirkan seperti Airlangga—dengan nama Sangaji—mungkin ia akan lebih berpeluang mendapatkan cita-cita, cinta atau bahkan kehidupan yang selama ini ia impikan. Tidak seperti sekarang.
"Tunggu, Ana. Tunggu hingga Airlangga selesai dengan masalah di hatinya dan kemudian dia akan kembali menjadi Airlangga yang lebih baik dari sekarang." Trias memastikan agar Adriana mau menunggu Airlangga selesai dengan masalahnya.
Adriana mengulas senyum tipis ketika mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Trias. Sedikit lebih lega ketika sudah berbagi masalah dengan laki-laki yang sudah dianggap kakak kandung itu.
Sesuai dengan saran Trias, mungkin ke depannya Adriana tidak akan terlalu menempel pada Airlangga. Ia akan bersikap lebih wajar selayaknya bawahan dengan atasan dengan mencoba memberikan ruang pada Airlangga untuk bergerak lebih bebas dan melampiaskan segala emosinya.
Adriana jadi paham kenapa CDC berusia 28 tahun itu sangat galak ketika berada di dapur.
sᴇʙᴇᴛᴜʟɴʏᴀ sᴀɪɴɢᴀɴ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴅᴀᴘᴇᴛɪɴ ᴀɴᴀ ɪᴛᴜ ʙᴀɴʏᴀᴋ :(
ᴛᴀᴘɪ ᴛᴇᴛᴀᴘ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴊᴜᴀʀᴀɴʏᴀ ʜᴇʜᴇʜᴇʜᴇ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top