ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴇɴᴀᴍ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Adriana meringis, menahan ngilu yang tidak terasa ketika mendapati seluruh staff hot kitchen saling tatap melihat wajah Airlangga pagi ini. Seingat perempuan itu, kemarin memar di wajah Airlangga tidak begitu terlihat, tetapi kenapa hari ini lebamnya membuat Airlangga terlihat lucu?
Adriana pikir Airlangga seperti anak kecil yang baru saja makan es krim dan nodanya menempel di hidung bangirnya. Hampir saja perempuan yang berprofesi sebagai cook helper baru itu meloloskan tawanya sebelum teringat bahwa ialah penyebab memar di hidung Airlangga.
"Chef Airlangga baik-baik saja?" Taufik bertanya ragu. Pasalnya yang ia tahu, Airlangga terhantuk karena kaget saat ia membuka pintu tanpa mengetuknya.
Sementara Airlangga mati-matian menahan malu. Di perjalanan mungkin ia bisa menutupi wajah dengan masker, meski ketika di parkiran ia menjadi pusat perhatian karena dianggap tengah mengantarkan virus ke dalam dapur akibat flu.
"Saya baik-baik saja. Kembali ke station kalian masing-masing."
"Yes, Chef!"
Setelah hidangan buffet siap, Airlangga kembali ke ruangannya. Ia gerah sendiri mendapati seluruh staff kasak-kusuk di belakangnya membicarakan bekas luka yang laki-laki itu dapat. Kalau bisa, Airlangga bahkan ingin menyeret Adriana dan mengatakan pada semuanya bahwa ia ulah 'si biang kerok' satu itu.
Jam makan siang Airlangga kembali pada monitor kitchen display system. Dengan wajah yang tertutup masker putih, laki-laki itu agaknya kesulitan membacakan menu yang tertera pada kertas yang keluar dari print out.
"Dua tahu tek telur, satu classic caesar salad with chicken breast."
"Yes, Chef!"
Setelah dirasa tidak ada pesanan baru, Airlangga menuju station poissonier. Memeriksa pesanan makanan laut untuk beberapa meja yang tengah di kerjakan. Adriana berada di samping Taufik, membantu laki-laki itu menyiapkan piring dan saus yang akan digunakan untuk sajian.
"Ana, tolong ambilkan tray untuk ini." Suara Nindya menginterupsi. Di tangannya ada container stainless berisikan kentang yang sudah dicuci bersih untuk dan diberi bumbu.
Ketika Adriana berbalik, sosok Airlangga tepat di hadapannya ingin menghampiri station yang dipegang Aji Saka. Alih-alih berhadapan dengan Airlangga, Adriana memutar meja utama, mengambil jalan paling jauh untuk menghindari bertatapan dengan CDC yang sering kali menatapnya tajam.
Kadang laki-laki itu heran ketika menatap Adriana yang tersenyum lebar pada Aji Saka, atau kadang merasa kesal ketika dengan sigap perempuan itu menghampiri Taufik atau Rizal.
Kenapa perempuan itu berbeda sekali ketika bersama Airlangga? Seingat Airlangga, Adriana tidak pernah sekali pun menampilkan senyum seperti itu di depannya. Seperti ketika selesai hidangan breakfast, saat Adriana mendapat kiriman kue dari salah satu temannya yang sengaja datang dari toko kue yang letaknya tidak jauh dari hotel, perempuan itu dengan ceria membagikan kue miliknya pada staff kitchen lain, bahkan menyuapi Taufik tanpa mempedulikan sosok Airlangga.
"Kalian ini staff hot kitchen atau siput? Kenapa lama sekali?"
"Mana pesanan meja nomor enam?!"
"Lima menit, Chef!" Nindya menjawab.
"Dua menit!" Airlangga menyentak, mau tidak mau perempuan itu mempercepat gerakkan tangannya.
Adriana berlari, mengambil minyak yang dibutuhkan Rizal ketika Airlangga berteriak di station poissonier yang bersebelahan boucher.
"Ini sudah berapa menit?" Airlangga bertanya pada Aji Saka. Ia memeriksa pesanan, apakah sesuai dengan permintaan konsumen.
"Tiga menit, Chef."
"Kecilkan apinya, kemudian tambahkan bawang putih. Medium rare tidak mengalami proses lebih dari lima menit. Pastikan daging yang disajikan tidak alot." Tangan Airlangga bergerak mengecilkan api yang digunakan Aji Saka.
"Baik, Chef." Aji Saka menjawab sekadarnya.
"Ana, tolong ambilkan telur."
Airlangga mengembuskan napas pelan dan panjang ketika mendengar suara Taufik memanggil Adriana. Sepertinya laki-laki itu memang sengaja ingin mendekati Adriana. Sebetulnya Airlangga tidak peduli, tetapi kenapa selalu di jam kerja? Apa laki-laki itu pikir Adriana asisten pribadinya begitu?
"Hidangan meja nomor empat sudah siap, Chef."
Kali ini suara Niur menginterupsi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang ketika pesanan terakhir datang. Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari jaket chef yang dikenakannya dan memberikannya pada Airlangga.
"Apa ini?"
"Salep untuk memar Chef Air. Biasanya akan lebih cepat hilang kalau dikasih salep, Chef. Saya nggak berikan tadi karena takut salepnya mengenai makanan."
Airlangga menerima salep dengan warna oranye dari Niur. Ia mengulas senyum tipis. "Terima kasih."
"Hmm ... Chef."
Airlangga yang baru saja ingin meninggalkan kitchen berbalik kembali. Menatap perempuan yang biasanya ada di station entremetier dengan tatapan datar. "Apa ada?"
"Chef Airlangga mau saya bantu oleskan? Sepertinya akan sulit untuk Chef Airlangga memakainya kalau hanya dengan bantuan cermin."
Airlangga menatap dapur yang sudah lebih santai dari satu jam lalu. Entah kenapa, matanya bersibobok dengan Adriana yang diam-diam penasaran dengan jawaban apa yang akan Airlangga berikan.
"Kalau kamu tidak sibuk dan tidak keberatan."
"Station saya sudah selesai, Chef!" Niur menjawab antusias. Selama ini, rasa kagum pada atasannya hanya dapat ia simpan dalam hati karena rasa takut jika ia akan berbuat kesalahan.
****
Alih-alih memilih ruang pribadinya untuk tempat mengoleskan salep, Airlangga memilih restroom.
"Aw!"
"Ma-maaf, Chef." Niur berhati-hati ketika mengoleskan salep pada hidung Airlangga.
Diam-diam Adriana memperhatikan ketika perempuan itu mengambil baju di dalam loker, bibirnya mengerucut sebal lantaran Niur sengaja mendekatkan wajahnya dengan wajah Airlangga.
"Lagian, 'kok, bisa sampai begini, Chef?"
"Saya terhantuk meja karena ada kucing menarik tangan saya." Airlangga sedikit meringis, ternyata memar di hidungnya semakin parah.
"Kok bisa ada kucing, Chef? Memang Chef Airlangga pelihara kucing?"
Airlangga terkekeh pelan, Niur sempat tertegun ketika melihat sepasang lubang cacat di pipi Airlangga dan itu semakin membuat Adriana kesal. Ia menggebrak pintu lokernya hingga staff kitchen yang lain menatapnya heran, termasuk Arial yang baru memulai shift-nya.
Airlangga mengucapkan terima kasih. Ia kembali ke ruangannya, kemudian mengganti pakaian sebelum pulang.
"Chef Airlangga mau pulang?" tanya Niur ketika mereka memasuki lift khusus pegawai.
"Iya," jawab Airlangga ketika menyimpan ponsel dengan 28 panggilan tidak terjawab.
"Di d'Amore sibuk, ya, Chef? Saya sudah nggak pernah lihat Chef Airlangga posting foto di Instagram lagi. Padahal saya berharap Chef Airlangga akan buat channel youtube untuk mengajari orang lain memasak."
"Kamu tahu saya suka food fotografi?"
Niur mengangguk antusias mendengar pertanyaan Airlangga. Rupanya, jika didekati dengan topik yang ia minati, Airlangga tidak akan seseram bayangannya. "Saya salah satu followers, Chef Air!"
"Saya nggak hapal jalanan Jogja. Jadi liburan saya habiskan waktu dengan beristirahat saja di rumah."
Tentu Airlangga berbohong, selama ini, jatah libur Airlangga banyak habiskan mencari keberadaan Retno, sampai-sampai laki-laki itu lupa jika ia memiliki kehidupan yang menyenangkan sebelumnya.
"Chef Airlangga sudah pernah ke Rumah Nyonya Kasmirah?"
"Rumah Nyonya Kasmirah?"
"Iya, di daerah Gondokusuman, tempat itu banyak di ulas sama traveler-traveler Jakarta loh, Chef. Tempatnya hits banget."
"Saya bukan traveler, apalagi reviewer. Saya cuma suka fotografi saja."
"Tapi kalau makanan mereka dipajang di beranda instagram Chef Air, pasti mereka akan tambah ramai, siapa sih yang nggak mengenal chef terkenal yang jago fotografi."
Airlangga hanya menderai tawa ketika mendengar pujian Niur. Selama ini, ia jarang sekali berbicara banyak dengan orang lain. Obrolannya dengan orang lain hanya sebatas pekerjaan.
"Kalau begitu bagaimana kapan-kapan kamu temani saya ke sana?"
"Bisa, Chef!"
Suara Niur terdengar antusias ketika mereka keluar dari lift khusus karyawan. Airlangga berjalan menuju tempat di mana mobilnya terparkir sebelum Niur kembali menahannya.
"Chef, saya boleh numpang mobil, Chef? Saya lupa hari ini tidak bawa motor."
"Di mana rumah kamu?"
"Saya numpang sampai Yos Sudarso saja, Chef. Karena rumah saya dekat Mandala Krida. Chef bisa lanjutkan perjalanan tanpa mengantar saya."
Sejenak Airlangga berpikir. Ayunda tidak pernah mengajarinya menolak orang yang meminta bantuan, tetapi Airlangga ragu jika ia tahu tempat itu, selama di Jogja laki-laki berusia 28 tahun itu tidak pernah keluar selain ke tempat kerjanya.
"Nggak apa, saya antar kamu saja."
Rupanya permintaan Niur disambut baik oleh Airlangga. Namun, ketika mereka sampai pada mobil Airlangga, Adriana terlebih dahulu menyusul keduanya.
"Chef, saya boleh ikut mobil Chef Air? Motor saya mogok." Adriana menangkupkan kedua tangan di depan wajah.
Awalnya Airlangga ingin menolak, tetapi sekali lagi berpikir menjadikan Adriana sebagai maps yang dapat berbicara sepertinya bukan ide yang buruk. Perempuan itu pintar menggunakan maps, terlebih dia pasti hapal jalanan tanpa harus meraba.
"Ya sudah, ayo."
Baru saja Niur ingin membuka pintu mobil bagian depan, lebih dulu Adriana melakukannya dan duduk di samping Airlangga yang menyalakan mesin. Sesekali bertanya di mana lokasi rumah Niur, kemudian Adriana dengan sigap memberitahu ke mana arahnya pada Airlangga. Di mata Niur, Adriana sepertinya sudah terbiasa menunjukkan arah pada Airlangga, begitu juga sebaliknya.
Airlangga menepikan mobil ketika rumah Niur sudah terlihat. Perempuan itu turun dan mengetuk kaca bagian depan.
"Terima kasih, Chef. Sebagai gantinya bagaimana besok sore Chef Airlangga saya temani Chef Airlangga ke Rumah Nyonya Kasmirah?" tawarnya ketika Airlangga menurunkan kaca mobil.
"Saya kabari nanti," jawabnya sebelum kembali menutup kaca.
"Chef Airlangga ada janji pergi sama Mbak Niur?" tanya Adriana yang tiba-tiba saja penasaran.
"Iya."
"Kita nggak akan pergi ke Bantul lagi? Nyari rumah perempuan yang namanya Retno Retno itu?" Adriana kembali bertanya. Sesekali menunjukkan ke mana Airlangga harus belok.
"Bukannya kamu akan sibuk dengan Taufik dan Arial?"
Adriana mengerutkan kening. Kenapa Airlangga tahu dia akan ada janji dengan Taufik atau Arial? Bahkan Adriana sendiri saja tidak tahu akan hal itu.
Airlangga mengerutkan kening ketika Adriana menampilkan senyum yang menurutnya menyeramkan itu. "Kenapa kamu senyum-senyum?"
"Chef Air cemburu karo Mas Taufik, ya?"
"Saya? Cemburu? Sama Taufik? Ngaco kamu! Taufik itu bukan saingan saya!" Airlangga bersungut ketika mobilnya sampai di depan kos Adriana.
"Ya ... memang bukan saingan Chef Air. Bener." Respons yang diberikan Adriana kelewat tenang.
"Saya bisa melakukan apa saja, berbeda dengan Taufik dan Arial."
"Masa? Contoh ...."
Ucapan yang terdengar menjengkelkan di telinga Airlangga dihentikan karena laki-laki itu lebih memilih membungkam mulut Adriana dengan ciuman di bibirnya. "Lihat, 'kan? Saya bisa melakukan apa saja yang saya mau."
Adriana tidak terima, ketika Airlangga menjauhkan wajahnya, perempuan itu justru menangkup wajah Airlangga dan menariknya hingga bibir mereka kembali bertemu.
"Chef Airlangga nggak boleh melakukan itu dengan orang lain, Chef. Chef hanya boleh melakukannya dengan perempuan yang menjadi kekasih Chef Airlangga." Adriana masih memegangi wajah Airlangga yang kini mematung menatapnya. "Berarti sekarang kita sudah jadi pasangan. Chef Air nggak boleh pergi sama Mbak Niur, aku cemburu!"
Tidak ada respons dari Airlangga.
"Chef?" Adriana menempelkan tangannya di dada Airlangga yang kini berdegup kencang.
"Chef jangan kencang-kencang. Nanti jantungnya copot." Adriana mencubit wajah Airlangga karena tidak juga memberikan respons. Airlangga mengedipkan matanya beberapa kali. AC di mobilnya terasa lebih dingin dari biasanya.
"Sa-saya ...." Gerakan bibir Airlangga jadi kaku, ia tidak menyangka akan mendapat respons sedemikian mengejutkannya dari Adriana.
"Pokoknya yang Chef Airlangga harus tahu sekarang. Chef Airlangga itu pacar aku! Jangan dekat-dekat perempuan lain, dan aku juga nggak akan dekat-dekat laki-laki lain."
Tanpa sadar Airlangga mengangguk untuk mengiyakan apa yang diucapkan Adriana sebagai kekasih barunya. Entahlah, Airlangga juga tidak tahu hubungan apa yang terjalin antara dirinya dengan Adriana.
ɢʟᴏsᴀʀɪᴜᴍ :
ᴘᴏɪssᴏɴɪᴇʀ : ᴄʜᴇғ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴀɴɢᴀɴɪ ʙᴀɢɪᴀɴ ɪᴋᴀɴ ᴅᴀɴ ᴍᴀᴋᴀɴᴀɴ ʟᴀᴜᴛ
ʙᴏᴜᴄʜᴇʀ/ʙᴜᴛᴄʜᴇʀ : ᴄʜᴇғ ʏᴀɴɢ ᴀᴅᴀ ᴅɪ ʙᴀɢɪᴀɴ ᴅᴀɢɪɴɢ (sᴛᴀᴛɪᴏɴ ᴀᴊɪ sᴀᴋᴀ)
ᴇɴᴛᴇᴍᴇᴛɪᴇʀ : ᴄʜᴇғ ʙᴀɢɪᴀɴ sᴀʏᴜʀ ᴅᴀɴ sᴏᴜᴘ (sᴛᴀᴛɪᴏɴ ɴɪᴜʀ)
ᴍᴇᴅɪᴜᴍ ʀᴀʀᴇ : ᴛɪɴɢᴋᴀᴛ ᴋᴇᴍᴀᴛᴀɴɢᴀɴ ᴘᴀᴅᴀ sᴛᴇᴀᴋ. ʙɪᴀsᴀɴʏᴀ ʙᴀɢɪᴀɴ ʟᴜᴀʀ sᴜᴅᴀʜ ᴍᴀᴛᴀɴɢ, ᴛᴀᴘɪ ᴅɪ ᴅᴀʟᴀᴍɴʏᴀ ᴍᴀsɪʜ ᴍᴇʀᴀʜ/ᴍᴇɴᴛᴀʜ
ɴᴜʀᴀɴᴅ sᴀʏs : ᴍᴀᴋᴀɴʏᴀ, ʟᴀɴɢ, ᴊᴀɴɢᴀɴ sᴜᴋᴀ sᴇᴇɴᴀᴋɴʏᴀ sᴀᴍᴀ ᴀɴᴀᴋ ᴏʀᴀɴɢ, ᴅɪʙᴀʟᴇs ʙᴀʀᴜ ᴛᴀʜᴜ ʀᴀsᴀ ᴋᴀɴ??
#!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top