ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Chef Air pergi ke bagian purchasing. Mungkin mau membahas masalah supplier baru. Lama pasti. Kayaknya akan langsung pulang."
Aji Saka menjawab sambil mencomot tahu goreng yang tersaji di atas piring bersama lauk pauk lainnya sebagai makan siang. Saat ini jam kerja mereka sudah habis setelah memastikan serah terima pekerjaan dan stok pada sif siang.
"Memang Chef Air sudah ganti baju?"
"Nggak tahu. Keluarnya aku nggak lihat, tapi sebelum pergi tadi titip kitchen begitu."
Setelah meladeni pertanyaan Niur, Aji Saka mengambil piring, menyendok nasi serta lauk di depannya. Niur baru saja akan bertanya kembali sebelum tiba-tiba Adriana menyentak dengan nada kelewat sinis.
"Kenapa yang ditanyain Chef Air terus? Baper karena kemarin diantar pulang?"
Yang lain menatap Niur dengan tatapan takjub. Menurut mereka, baru kali ini ada orang yang berani satu mobil dengan singa dapur itu. "Kamu beneran deketin Chef Airlangga, Ni?" tanya Nindya.
"Nggak, 'kok!" Jawaban kelewat gugup itu membuat Adriana berdecih pelan di sela-sela suapannya pada nasi bercampur dendeng goreng.
"Kalau kamu pacaran sama Chef Air, titip pesan jangan galak-galak, Ni." Rizal ikut menyahut.
"Kalau dia marah-marah di kitchen, kamu cium saja, Mbak. Kali marahnya hilang, kita juga yang untung." Ucapan Gama semakin membuat Adriana dongkol.
Kenapa mereka jadi menyetujui hubungan Niur dengan Airlangga? Tidak bisa! Apa mereka tidak tahu bahwa Airlangga sudah mengakui Adriana sebagai kekasihnya? Menyebalkan!
Lebih menyebalkan lagi, ketika Adriana mendapati wajah Niur merah padam akibat candaan yang dilayangkan seluruh staff kitchen. Selera makannya jadi hilang saat membayangkan bahwa Niur tengah berandai menjadi pasangan Airlangga dan untuk mengusir pikiran itu, Adriana menggelengkan kepalanya keras.
"Ono opo, An? Kesurupan kamu?" ucap Aji Saka seraya mendorong pelan kepala Adriana.
"Chef! Amis rambutku!"
"Biar setannya hilang," jawab Aji Saka tenang kemudian kembali memakan ayamnya.
Seluruh staff kitchen tertawa. Sejak kehadiran Adriana, suasana kitchen memang lebih hangat karena sifat ceria anak itu. Aji Saka yang biasanya keras kini lebih lembut karena Adriana kerap mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu penting, membuat butcher berusia tiga puluh tahun itu terbiasa menjawab semua pertanyaannya.
"Bahagia banget kalian makan kalau nggak aku."
Semua kompak menoleh ketika suara Taufik menginterupsi. Laki-laki itu terlihat santai dengan balutan kemeja polos yang membungkus tubuh kurusnya, celana chinno fit membuat kakinya lebih jenjang dibandingkan ketika memakai celana seragam.
"Fik, bukannya libur kamu? Makan, Fik?" tanya Aji Saka dengan aksen jawa yang kental.
"Iyo, Mas. Aku mau jalan-jalan saja. Bosan di rumah."
"Arep Adriana?" Gama tersenyum lebar. Menunjuk dengan tulang ayam di tangannya.
"Iya. Mau ikut kamu, Gam?" Adriana menawarkan tawaran yang jelas dibalas gelengan serta senyuman oleh Gama. Agaknya senyuman Gama mengandung arti berbeda, tetapi Adriana tidak peduli apa itu.
Perempuan itu langsung bangun dari duduknya dan mencuci tangan. "Sebentar aku ganti baju dulu, ya?"
Biasanya, Taufik tidak pernah datang ke kitchen jika sedang libur. Dia bukan laki-laki yang kerap punya hubungan relasi dengan luar ruang lingkup pekerjaan. Tidak seperti Arial yang memiliki banyak kenalan. Oleh karena itu, kedatangan Taufik kali ini disambut berbeda dengan staff kitchen.
"Mas! Semangat ya pedekate-nya." Rizal mengangkat gelas berisi air putih ke arah Taufik.
Di sela tawa canggung yang Taufik berikan, Arial masuk untuk menanyakan menu pada Aji Saka. Laki-laki berusia 25 tahun itu mengerutkan kening, menatap Taufik dengan pertanyaan yang tidak juga ia suarakan.
"Mas Arial, masa kalah sama Mas Taufik. Dia sudah berani ajak Ana pergi jalan-jalan loh, Mas."
Ucapan dari mulut kompor Rizal membuat Arial menghentikan langkah dan menatap Taufik. Taufik sempat canggung awalnya. Namun, wajah Arial terlalu tenang untuk ukuran orang yang merasa ditikung oleh teman sejawatnya sendiri. Taufik menggaruk tengkuk ketika Arial tersenyum kepadanya kemudian kembali fokus pada Aji Saka untuk menanyakan masalah pekerjaan.
"Kamu ditikung Taufik, Mas." Begitu ucapan Nindya ketika Arial berada di dekatnya dan Aji Saka.
"Aku sedang nggak balapan. Kalau Taufik bisa luluhkan hati Adriana aku akan jadi orang pertama yang ucapkan dia selamat."
Seperti biasa. Arial memang selalu tenang menanggapi perkataan yang datang kepadanya. Pertama kali mereka melihat emosi di mata Arial adalah ketika Airlangga berkata kasar pada Adriana. Sous Chef berusia 25 tahun itu sepertinya memiliki pengendalian diri yang baik. Bahkan kelewat baik.
"Maksud kamu?" tanya Taufik yang tiba-tiba penasaran.
"Kalau kamu berpikir aku suka Ana. Iya, kamu benar. Tapi aku sudah berhenti berusaha sejak aku tahu ada orang yang lain yang ia inginkan lima tahun lalu. Jadi jika kamu bisa membuat Ana melupakan siapa yang tidak aku ketahui itu, aku ucapkan selamat sama kamu."
Arial adalah senior Adriana di bangku sekolah menengah atas. Terlebih meski tidak berdekatan, rumah mereka masih dalam satu ruang lingkup yang sama. Jadi perihal bagaimana Adriana adalah Arial mungkin yang paling tahu. Hanya saja, selain Trias Adichandra, Arial tidak pernah tahu siapa laki-laki yang kerap disebutkan sebagai 'burung elangnya' oleh Adriana selama mereka saling mengenal.
Taufik bungkam, kini ia tahu kenapa Arial selalu melindungi Adriana tanpa pernah sekalipun mendekati atau sekadar mencari simpati perempuan itu.
"Aku sudah siap. Ayo, Chef."
Suara Adriana menginterupsi mereka. Seperti biasa, Arial mengulas senyum ketika berpapasan dengan Adriana. "Mau pulang, An? Salam buat ibu, ya."
"Siap!" Adriana membalas ucapan Arial dengan memeragakan gerakan hormat bendera.
Taufik membalas Arial dengan senyum. Pria itu lebih diam dibanding sebelum Arial melemparkan jawaban.
"Kamu sudah makan, berarti kita langsung jalan saja?"
"Iya." Adriana menjawab sekadarnya. Di jalan, ia memainkan rambut dan tersenyum pada setiap orang yang dilaluinya. Taufik memperhatikan, mulai menerka sebuah pertanyaan yang kini bersarang di kepala.
Awalnya ia berpikir, senyuman hangat Adriana berbeda jika ditujukan kepadanya. Ia sering melihat Adriana menatap ke arah Airlangga dengan berbagai ekspresi. Lain sekali jika ke arahnya, Adriana akan lebih banyak tersenyum. Namun, setelah apa yang dikatakan Arial, Taufik seharusnya sadar jika berbagai ekspresi pada Airlangga itulah yang justru mungkin saja spesial di mata Adriana.
"Tadi kitchen bagaimana, An? Ramai? Ada masalah tidak?" tanya Taufik, ia mencoba mengalihkan pemikiran yang ada di kepalanya agar terlihat lebih santai.
"Nggak ada. Ehh ... ada! Tadi ada komplain masalah hidangan yang kurang enak katanya. Tapi habis itu Chef Air ganti makanannya dengan masakan buatan Chef Air sendiri." Adriana menepuk kedua tangannya dengan antusias. Kini mereka memasuki lift khusus karyawan dan menekan tombol LG untuk sampai pada parkiran. "Pasti enak banget! Semua masakan Chef Air enak-enak, 'kan?"
"Nggak tahu." Taufik menjawab singkat.
"Kok, nggak tahu? Enak tahu, Chef!"
"Memang kamu pernah makan makanan yang dibuat Chef Air? Aku saja nggak pernah." Kerutan tercetak samar di dahi Taufik ketika mendengar ucapan Adriana.
Adriana hampir saja keceplosan mengatakan bahwa ia pernah merasakan makanan yang dibuat Airlangga. Adriana lupa, jika Airlangga tidak pernah campur tangan dalam menu yang dibuat untuk karyawan d'Amore.
"Aku cium bau masakannya Chef Air saja sudah tahu kalau itu enak, 'kok. Masa Chef Taufik nggak pernah cium?"
"Ya sering. Sayangnya Chef Airlangga tidak akan pernah turun tangan kalau resto tidak ramai atau untuk pesanan menu spesial seperti tamu penting." Taufik menampilkan ekspresi kecewa.
Sebagai bawahan dari Chef yang dikenal sebagai lulusan luar negeri dan punya pengalaman di dapur kapal pesiar, agaknya laki-laki itu pernah setidaknya berharap suatu saat nanti dapat mencicipi makanan yang dibuat Airlangga. "Jadi cuma tamu yang dapat mencicipi makanan yang dibuat Chef Air."
"Bagaimana kalau kapan-kapan kita minta reward sama Chef Air? Kita minta sebagai bonus karena sudah bekerja dengan keras." Adriana menjentikkan jarinya. Mereka kini sudah sampai di samping motor Taufik, laki-laki itu tertawa seraya memberikan helm untuk digunakan Adriana.
"Memangnya kerja keras kita dihargai? Kamu tahu, 'kan, Chef Air bukan orang yang suka mengapresiasi orang. Bahkan, aku ragu kalau Chef Air bisa mengatakan pekerjaan kita memuaskan sesuai apa yang dia bayangkan."
Adriana diam, bahkan dalam obrolan santai serupa pengandaian pun, staff kitchen menganggap buruk pada Airlangga. Adriana tidak percaya, jika tidak ada sama sekali kebaikan yang Airlangga pernah lakukan.
"Ayo, An."
Perempuan itu sadar dari lamunan dua detiknya kemudian naik ke motor yang sudah dinyalakan oleh Taufik. Besok ia libur, dan pergi mengunjungi ibu juga adiknya adalah ide yang bagus.
Taufik membawa motornya keluar dari parkiran, sesampainya di pintu keluar laki-laki itu sempat memelankan laju motor untuk menyapa seseorang yang tengah berjalan menuju lift karyawan sementara Adriana meneruskan lamunannya tanpa melihat siapa sosok yang disapa oleh Taufik.
"Duluan, Chef," sapa Taufik.
Airlangga tidak mengucapkan apa-apa, tetapi kepalanya mengangguk sekilas untuk mempersilakan Taufik melintas. Sempat berdecih pelan saat melihat motor itu keluar melewati ramp, Airlangga merasa dirinya bodoh ketika ia berpikir untuk kembali ke hotel setelah urusannya dengan supplier selesai.
Untuk apa dia kembali?
Bahkan laki-laki yang kini sudah mengenakan pakaian lebih santai itu menolak ajakan makan siang dengan pihak supplier dan purchasing karena mengingat ada perempuan yang mungkin saja tengah menunggunya untuk pulang bersama. Bodoh! Seharusnya Airlangga tidak perlu memikirkan apa yang dikatakan cook helper barunya itu sebagai suatu keseriusan.
Bodoh!
Bodoh!
Bodoh!
Tanpa sadar Airlangga memukul tembok samping lift dengan amat keras. Ada apa dengannya? Dalam hatinya menganggap amarah itu adalah sebuah ekspresi kecewa karena menganggap dirinya bodoh. Yaa ... tidak mungkin akan lebih dari itu bukan?
Iya! Kemarahan itu pasti karena dirinya merasa bodoh karena kembali ke d'Amore secara sia-sia. Airlangga tidak mungkin cemburu melihat kedekatan Adriana dengan Taufik bukan?
ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴄᴇᴍʙᴜʀᴜ ᴛᴀᴘɪ ɴɢɢᴀᴋ ᴍᴀᴜ ɴɢᴀᴋᴜ ʜᴇʜᴇʜᴇᴇ...
Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, tapi happy reading aja :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top