ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ sᴀᴛᴜ

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Sebagaimana seorang perempuan berada di sebuah pantai. Adriana jelas tidak menghiraukan decakan yang keluar dari bibir Airlangga ketika berjalan. Perempuan dengan rambut yang dikucir kuda itu berlari, menyusuri jalan yang dibuka oleh pohon-pohon kering di kedua sisinya.

Sesekali ia menatap ke belakang, ada geli yang timbul di perutnya ketika mendapati Airlangga tengah menatap ke atas, bibirnya menyunggingkan senyum, sinar matahari yang menyoroti Airlangga membuat laki-laki itu terlihat menawan.

"Pantainya bagus, 'kan, Chef?" Adriana menaik-turunkan alisnya ketika menghampiri Airlangga. Mereka sudah berada di ujung jalan dengan bentangan pantai seluas mata menangkap.

"Sepertinya ombaknya besar." Begitu komentar Airlangga ketika menaikkan kacamata hitamnya sesaat dan kembali memasangnya.

"Chef Air mau naik ke sana?" Adriana menunjuk sebuah bangunan kayu yang dibuat menyerupai bibir dermaga.

"Untuk apa?"

Adriana memutar bola matanya secara malas. "Biar saya mudah dorong Chef sampe kecebur ke laut."

Yang mendengarkan menatap Adriana hanya membuang napas secara kasar, kemudian berjalan meninggalkan Adriana untuk naik ke jembatan tua tersebut dan menatap laut yang dengan gulungan ombak besar.

"Pantai ini sepi sekali." Airlangga kembali berkomentar setelah Adriana sampai di sisi kanannya.

"Karena itu aku minta Chef Air ke sini. Coba deh, anggap saja di sini nggak ada siapa-siapa yang akan bisa dengar Chef Air marah-marah, nggak ada yang bisa lihat emosi Chef Air. Keluarin semua yang ada di sini." Adriana menunjuk dada Airlangga.

Airlangga hanya tertawa remeh mendengar saran Adriana. "Kamu itu aneh, Adria."

"Aneh kenapa, Chef?"

"Aneh karena berpikir saya ini anak kecil yang bisa mempan dengan perkataan seperti itu. Itu hanya terjadi di film-film, Adriana." Airlangga tertawa garing di sela-sela kalimatnya.

Namun, Adriana tidak dapat dibohongi, ia dapat merasakan tawa remeh Airlangga kini terdengar sumbang. Akan tetapi, mungkin Airlangga belum bisa membagi kesedihan yang ia rasakan pada orang lain.

Oleh karena itu, Adriana memutuskan untuk menunggu. Menunggu hingga Airlangga siap membagi semuanya pada Adriana. Perempuan itu mundur dua langkah, bersandar pada pagar kayu yang berada di belakangnya, sementara Airlangga masih terpaku pada air laut yang semakin lama semakin besar ombaknya.

Mulanya Airlangga hanya diam, menatap dengan pandangan kosong ke arah laut untuk waktu yang lama. Adriana hanya diam, ia sedikit bergeser dan menangkap potret Airlangga yang sama sekali tidak bereaksi ketika ia mengambil gambarnya dengan kamera ponsel.

Adriana sempat terpaku sesaat ketika melihat dari layar ponsel. Dari kacamata hitam yang dikenakan Airlangga, ia bisa melihat tetesan air jatuh membasahi pipinya. Perempuan dengan poni yang menutupi bagian keningnya itu menelan ludahnya susah payah.

Adriana menatap langit, tetesan air hujan mulai turun perlahan. Pantas saja ombaknya terlihat lebih besar dari biasanya, ternyata angin laut tengah mengantar hujan pada tanah Jogja.

"Chef, ayo turun, di sini hujan."

Adriana mencoba menyadarkan Airlangga dari lamunan. Perempuan itu menutupi kepalanya dengan telapak tangan, mencoba melindungi pusat kepala agar tidak terkena air hujan yang akan menyebabkan ia flu saat bekerja besok.

"Kamu tahu, Adria? Saya sedang bertanya-tanya pada diri saya sendiri? Apa yang pernah saya lakukan dalam kehidupan sebelumnya hingga mendapat hukuman seperti ini?"

Airlangga tampaknya tidak menanggapi peringatan Adriana sama sekali. Ia membuka kacamata dan menatap tajam Adriana yang berusaha menariknya. "Kamu tahu? Keinginan saya untuk membunuh perempuan itu semakin besar setiap kali saya mengingat air mata mama saya sebelum beliau wafat."

"Apa dengan membunuhnya Chef Air akan merasa lebih baik? Apa dengan menghilangkan nyawa orang masa lalu itu akan berubah?" Adriana mengeraskan suaranya yang mulai teredam oleh derasnya suara hujan.

Mungkin Airlangga tidak tahu. Air hujan menutupi air mata Adriana yang meluruh karena melihat Elangnya telah berubah. Demi apa pun, Adriana tidak ingin Airlangga menyimpan dendam yang akan menyakiti dirinya sendiri.

Airlangga menggeleng. Sejujurnya ia tidak tahu harus berbuat apa? Ia merasa dirinya yang sekarang bukanlah Airlangga yang dulu.

"Lebih baik kita turun dulu, Chef. Nanti Chef Air bisa masuk angin lama-lama di sini."

Adriana menggapai tangan besar Airlangga, menuntun laki-laki berusia 28 tahun itu untuk menuruni undakan tangga berbahan kayu dengan hati-hati kemudian membawanya pada salah satu warung tenda yang masih buka.

"Bu, teh hangatnya dua, ya," kata Adriana ketika duduk pada gazebo kayu sederhana.

Ia membuka kemeja kotak-kotak yang ia gunakan, menyisakan kaus putih polos dan mencoba mengeringkan kemeja kotak-kotak tersebut hingga pemilik warung datang membawakan dua gelas teh hangat.

"Lagi sering hujan, ya, Bu?" tanya Adriana basa-basi.

"Iya, Mbak. makanya pantainya sepi pengunjung." Si ibu menjawab pelan.

Adriana memberikan satu gelas berisikan teh hangat pada Airlangga dengan senyuman hangat. Namun, tiba-tiba perut Adriana berbunyi, ia menyembunyikan wajahnya yang memerah dari Airlangga yang kini mencoba menahan senyum.

"Ini sudah jam dua loh, Chef. Dan kita belum makan siang."

"Saya minta maaf, Adria. Kita akan makan di perjalanan pulang nanti." Airlangga menjelaskan. Mencoba memperbaiki kesalahannya pada cook helper barunya itu.

"Pakai baju basah gini? Malulah, Chef!" Adriana memprotes usulan Airlangga.

"Lalu? Kamu mau saya transfer saja uang makan untuk bayaran kamu hari ini?"

Mungkin, jika itu bukan seorang Airlangga Sangaji, Adriana akan memukulnya dengan sepatu basah yang kini ia kenakan. Bisa-bisanya laki-laki berhidung bangir itu berpikir Adriana akan mengharapkan bayaran atas apa yang sudah dilakukannya.

"Nggak perlu, Chef. Bayaran saya tidak sampai sepuluh ribu rupiah. Tidak akan bisa ditransfer." Adriana menjawab asal. Sejujurnya ia tersinggung dengan perkataan Airlangga barusan.

"Bu, ada mi cup? Mau yang rasa soto ayam, ya?" Adriana berbalik, menoleh pada Airlangga. "Chef Air mau?"

Gelengan kepala menjadi jawaban Airlangga atas pertanyaan Adriana. Perempuan yang hanya terbalut kaus putih polos tipis itu memunggungi Airlangga ketika makan hingga mi yang berada di tangannya sisa setengah.

"Berapa semuanya, Bu?" tanya Adriana setelah meletakkan kap mi di meja.

Mulanya Airlangga tidak menyadari, tetapi lambat laun laki-laki itu mulai sadar bahwa Adriana mendiaminya sejak perempuan itu makan. Bahkan, Adriana menolak uang yang disodorkan Airlangga untuk membayar makanan dan lebih memilih mengeluarkan uang yang basah dari dalam saku celananya.

"Ayo pulang, Chef. Sudah sore."

Airlangga hanya menganggukkan kepala kemudian mengikuti Adriana yang berlari kecil menuju mobil yang berada di parkiran. Airlangga gerah sendiri, berada dalam situasi yang tidak biasa seperti ini membuat dirinya merasa bersalah.

"Ada perkataan saya yang membuat kamu marah, Adria?"

"Ehh?" Adriana menoleh. "Nggak ada, Chef," jawabnya seraya menggelengkan kepala.

Memang apa yang Adriana harapkan? Airlangga akan menyadari jika perkataannya menyakiti hati Adriana begitu? Jelas sekali itu bukan sifat Airlangga.

Bahkan hingga mobil berhenti di depan rumah Airlangga satu jam kemudian. Tidak ada percakapan sama sekali antara keduanya. Adriana bahkan keluar dari mobil tanpa mengatakan apa pun dan langsung menuju motor matic yang diparkirkan di halaman rumah Airlangga.

"Kamu mau langsung pulang?" Airlangga menahan pergerakan Adriana ketika perempuan itu memutar motornya.

"Iya, Chef. Sudah sore. Saya harus cepat-cepat mandi agar tidak masuk angin."

"Kamu bisa gunakan kamar mandi saya untuk mandi."

"Saya nggak bawa sikat gigi, Chef." Adriana tahu itu akan menjadi alasan bodoh dan mungkin saja Airlangga akan tertawa mendengarnya.

"Saya akan belikan kamu sikat gigi baru di depan."

Adriana menatap Airlangga dengan kedua alisnya yang bertaut. "Apa itu sebagai bayaran atas yang saya lakukan hari ini? Kalau iya, nggak perlu, Chef."

"Kamu marah sama saya, Adria." Airlangga memutuskan.

"Memang saya punya hak apa untuk marah sama Chef Air?" Adriana tertawa mengejek.

"Tapi ini kamu marah sama saya."

"Yaudah iya saya marah sama Chef Air. Nggak ada pengaruh apa pun juga sama Chef Air, 'kan! Sudah saya mau pulang, Chef." Adriana memutar gas, mencoba tidak menghiraukan Airlangga yang mencegahnya pergi. Sampai pegangan pada motor Adriana membuat Airlangga jatuh.

Perempuan itu menghentikan laju motornya dan membantu Airlangga berdiri. "Chef Air nggak apa-apa? Ada yang luka?"

Airlangga terpekik kencang ketika Adriana menyentuh tangannya. Yang mendengarkan berlalu panik dan mencoba menuntun Airlangga masuk ke dalam rumah secara hati-hati. Ketika mereka di dalam, Airlangga dengan cepat mengunci pintu dan memasukkan kunci tersebut pada saku celananya.

"Chef Air bohongin saya, ya!" Adriana menunjuk Airlangga.

"Iya. Sudah mandi sana, kamu masuk ke kamar mandi dulu, baru saya akan pergi membelikan sikat gigi baru untuk kamu." Airlangga melenggang santai duduk pada sofa abu-abu dan menyalakan televisi tanpa mempedulikan Adriana.

"Nyebelin banget!" Adriana menghentakkan kaki masuk ke kamar mandi dan membanting pintunya secara kasar.

Setelah itu Adriana keluar dengan kaus kebesaran pemberian Airlangga. Lima menit lalu, Airlangga mengetuk pintu kamar mandi dan memberikan kaus dan celana pendek miliknya, serta tidak ketinggalan sikat gigi baru yang dibeli saat Adriana di kamar mandi.

"Kamu sudah selesai? Bagaimana kalau temani saya makan."

Airlangga sudah siap dengan satu buah frypan berisikan beef teriyaki yang masih mengepulkan asap panas. Perut Adriana kembali kosong, tadi ia hanya menghabiskan setengah kap mi yang ia pesan karena terlanjur jengkel dengan Airlangga.

Cuaca dingin ditemani nasi hangat juga masakan yang terasa nikmat karena buatan Airlangga. Apakah Adriana akan menolak itu semua? Tentu saja tidak!

"Saya minta maaf jika perkataan saya tadi buat kamu tersinggung."

Adriana menganggukkan kepala. Tidak biasanya seorang Airlangga mau meminta maaf bukan? Kali ini biarkan Adriana merasa tersanjung. Setelah makan, mereka duduk pada sofa abu-abu. Airlangga buku bersampul kulit cokelat dan menunjukkan halaman terakhirnya pada Adriana.

"Jadi ini yang buat Chef Air datang ke Jogja?"

Airlangga menganggukkan kepalanya.

"Kamu tahu, Adria? Jika ibu adalah bintang, maka ayah adalah sebuah kompas. Selama hidup, saya hanya tahu jika merekalah satu-satunya orang yang menjadi arah hidup saya. Ketika bintang saya hilang dan kompas itu sekarang rusak, saya seperti kehilangan arah. Saya tidak tahu harus melangkah kemana."

Perlahan air mata meluruh dari mata Airlangga yang kerap terpejam. Sementara Adriana hanya diam, lebih tepatnya dia tidak tahu harus memberikan respons bagaimana.

"Saya seperti orang buta yang tidak mengenali siapa pun. Siapa Abikara Sangaji? Siapa papa? Dia tiba-tiba menjadi asing buat saya." Airlangga memukul dadanya yang terasa sesak. "Di sini. Rasanya sakit, Adriana."

Adriana menarik tubuh Airlangga, memberikannya pelukan untuk sekadar menguatkan dan memberitahu bahwa akan selalu ada dirinya yang siap menunjukkan jalan bagi Airlangga. Seperti seminggu terakhir ini.

"Chef Airlangga nggak perlu takut. Jika bintang itu hilang dan kompas Chef Airlangga rusak. Chef Airlangga cukup buka ponsel. Bukankah sekarang banyak orang yang beralih menggunakan maps? Anggap saya maps yang akan selalu mencegah Chef Air tersesat," ucap Adriana saat menepuk pelan pundak Airlangga.

Dan ketika Airlangga menciptakan jarak di antara mereka. Adriana mengerjap, manik mata Airlangga terlihat menyelam ke dalam matanya. Adriana hampir saya tidak dapat memproses apa yang terjadi, ketika tiba-tiba Airlangga menyatukan bibir mereka.

Jantung Adriana seperti akan meledak rasanya, ketika Airlangga memperdalam ciumannya, perempuan itu tahu ini bukanlah sebuah tidak sengajaan.

Adriana mendorong pelan dada Airlangga ketika dirasa membutuhkan napas. Ia menyembunyikan wajahnya yang memerah kemudian bergegas berdiri dan mengambil tas.

"Adriana, tunggu!"

"Maaf, Chef. Saya harus pulang." Adriana menolak menatap Airlangga.

"Sa-saya minta maaf, Adriana. Saya refleks, ya, hanya refleks." Airlangga salah tingkah sendiri. Laki-laki yang bahkan dalam 28 tahun hidupnya itu belum pernah merasakan cinta kini harus merasakan rasa aneh yang ia sendiri tidak mengerti itu apa.

"Iya, Chef. Saya mengerti. Saya pulang dulu."

Setelahnya Adriana bergegas, memacu motor matic-nya tanpa mempedulikan bahwa hujan masih betah bermain di luar. Sementara Airlangga, ia mengacak-acak rambutnya, merasa frustrasi dengan apa yang ia lakukan.

Dalam hatinya bertanya. Ada apa dengannya? Ia memegangi dada yang tiba-tiba saja berdegup dengan kencang. Apa ia akan segera mati karena serangan jantung?


ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴘᴇʀɴᴀʜ ᴍᴀɪɴ ᴋᴇ ᴘᴀɴᴛᴀɪ ᴄᴇᴍᴏʀᴏ sᴇᴡᴜ? ᴛᴇᴍᴘᴀᴛ ɪɴɪ ʀᴇᴋᴏᴍᴇɴ ʙᴜᴀᴛ ᴋᴀʟɪᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴍᴀᴜ ʟɪʙᴜʀᴀɴ ᴋᴇ ᴊᴏɢᴊᴀ ɴɪʜ!

ᴛᴀᴅɪɴʏᴀ ᴀᴋᴜ ᴍᴀᴜ ᴍᴀsᴜᴋɪɴ ғᴏᴛᴏ ʜᴀsɪʟ ᴊᴇᴘʀᴇᴛᴀɴ ᴀᴋᴜ sᴇɴᴅɪʀɪ, ᴛᴀᴘɪ ᴛᴇʀɴʏᴀᴛᴀ ᴀᴋᴜ ʟᴜᴘᴀ ᴅɪᴍᴀɴᴀ ᴀᴋᴜ sɪᴍᴘᴀɴ ғᴏʟᴅᴇʀɴʏᴀ sᴀᴋɪɴɢ ᴋᴇʙᴀɴʏᴀᴋᴀɴɴʏᴀ. ᴊᴀᴅɪ ᴀᴋᴜ ᴅᴏᴡɴʟᴏᴀᴅ ʙʏ ɢᴏᴏɢʟᴇ ᴀᴊᴀ ᴅᴇʜ ʜᴇʜᴇʜᴇᴇ

ʙᴛᴡ ʙᴀɢᴀɪᴍᴀɴᴀ sᴇɴɪɴ ᴋᴀʟɪᴀɴ? ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴅɪᴘᴇɴᴜʜɪ ᴄᴜʀᴀʜ ʜᴜᴊᴀɴ ʏᴀɴɢ ɴɢɢᴀᴋ ʙᴇʀʜᴇɴᴛɪ ᴊᴜɢᴀ? ᴅɪsɪɴɪ ᴀᴋᴜ ʜᴀᴍᴘɪʀ ʙᴇʀᴜʙᴀʜ ᴊᴀᴅɪ ᴘɪɴɢᴜɪɴ sᴀᴋɪɴɢ ᴅɪɴɢɪɴɴʏᴀ :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top