ᴛɪɢᴀ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Airlangga menginjak pedal gas BMW-X1 putihnya, lelah di badannya belum hilang karena harus berangkat lebih pagi akibat rombongan tamu hotel yang meminta sarapan lebih awal. Tiga bulan ini adalah hal berat bagi Airlangga, ia harus membenahi ritme kerja lamban para pegawai akibat kepemimpinan yang lama.
Airlangga benci jadi seorang pecundang, dia benci berada di tengah-tengah orang yang tidak memiliki semangat membangun tempat mereka bekerja menjadi lebih besar. Jiwa kompetisinya ingin memberontak, mengatakan bahwa tidak peduli siapa yang tertera dalam pemilik bangunan, dapur adalah harga diri seorang chef.
Ketika kata-kata sang ayah terngiang, ia memukul stir. Amarah membuncah secara tiba-tiba karena ada rasa yang tak mau ia jelaskan muncul dari dalam hatinya. Untung saja dering ponsel mengalihkan emosi itu. Segera ia menggeser ikon hijau ponsel yang berdiri pada holder di dashboard.
"Share lokasinya. Gue nggak hapal jalan."
Tanpa menunggu jawaban si penelpon, laki-laki berusia 28 tahun itu memutuskan sambungan, menginjak pedal gas ketika lampu merah menyala dan melihat lokasi yang dikirimkan sepupunya melalui pesan WhatsApp.
Airlangga mengembuskan napas berat ketika melihat jarak yang tertera pada aplikasi maps. 45 menit perjalanan jika lalu lintas tidak tersendat. Ia mengalihkan pandangan keluar jendela, deretan penjual oleh-oleh khas Jogja disambangi pembeli, kusir andong menawarkan jasa pada calon penumpang, serta bentangan benteng tua membuat kota ini berbeda dengan kota asalnya.
Maps yang Airlangga gunakan berhenti di sebuah toko oleh-oleh khas Jogja setelah satu setengah jam berkendara. Parkirannya cukup untuk tiga buah bus, ia menempati posisi paling pojok, di sebelah mobil pengiriman barang yang ada di depan pabrik kue toko itu sendiri.
"Trias ada?" tanya Airlangga pada petugas kasir yang sibuk mengepak kotak bakpia kecil ke dalam kardus besar milik konsumen.
"Sebentar ya, Mas."
Petugas kasir itu menjawab sopan, sedikit terbata ketika melihat sosok yang terbalut kemeja hitam dengan celana chino fit warna khaki.
"Saya tanya Trias ada?" Airlangga menekan pertanyaannya kembali dengan suara yang lebih kencang.
"Baru datang udah mau bikin keributan?"
Yang sejak tadi disebut namanya oleh Airlangga muncul dari balik pintu kaca buram. Ia terkekeh, kemudian mendekat dan menepuk pundak Airlangga.
"Apa kabar, Dek?"
Trias Adichandra, kakak sepupu dari ibu Airlangga merangkul pundak sang adik. Tersenyum bangga ketika akhirnya dapat membujuk laki-laki yang selama ini tinggal di daerah Sosromenduran itu mau datang ke daerah Kaliurang.
"Apaan, sih!" Airlangga menyentak akibat risi dengan perlakuan laki-laki yang bajunya lusuh karena berada seharian di pabrik.
Bukannya marah, Trias justru tertawa. Ia tahu, lebih dari siapa pun bahwa selama satu tahun belakangan ini Airlangga antipati sekali dengan perlakuan sentimentil seperti pelukan.
"Jadi, sudah mau tinggal di sini?" Trias kembali bertanya. Ia menggiring Airlangga duduk di meja restoran miliknya yang bersebelahan dengan toko oleh-oleh dan pabrik bakpia tersebut.
"Lo nggak lupa, 'kan, kedatangan gue ke sini untuk apa?" Suara Airlangga terdengar rendah. Ia menatap air terjun buatan yang di kelilingi tanaman rambat, menghindari tatapan Trias yang menurutnya menjengkelkan.
"Nggak. Sama sekali nggak. Tapi apa lo yakin? Maksud gue, kenapa nggak coba dibicarakan sama Paman Abi dulu?" Suara Trias terdengar ragu. Ia mengubah bahasa yang berusaha ia buat halus menjadi kembali seperti semula.
Mantan polisi yang berhenti karena permintaan kakeknya untuk mengurus bisnis keluarga itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran Airlangga.
"Nggak ada maling yang akan mau ngaku sebelum ketangkap basah. Gue yakin betul. Dan cepat atau lambat, gue bakal dapat orang yang udah bunuh mama."
**Lik : Pak Lik : Sebutan Paman (adik dari ibu dalam silsilah keluarga)
ɴɢɢᴀᴋ ᴀᴅᴀ ʙᴀsᴀ ʙᴀsɪ ᴅɪ ᴀᴜᴛʜᴏʀ ɴᴏᴛᴇ ᴋᴀʟɪ ɪɴɪ. ᴄᴜᴍᴀ ᴜᴄᴀᴘᴀɴ ᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴋᴀsɪʜ sᴜᴅᴀʜ ʙᴇʀsᴇᴅɪᴀ ʜᴀᴅɪʀ :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top