ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ ᴛᴜᴊᴜʜ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Adriana tiba di kitchen utama pukul satu lewat tiga puluh menit. Lebih awal dari biasanya.
Meski di akhir pertemuannya dengan Trias ia sempat tertawa bersama laki-laki tersebut, nyatanya obrolan itu tetap saja tidak membuahkan hasil yang cukup signifikan. Adriana jadi gugup, menyimpan kebohongan ternyata membuat dirinya tidak nyaman, hatinya dibebat gelisah yang kerap membuatnya mual.
"Ada masalah, An?"
Tepukan pada bahu agaknya menjadi cara paling halus dari seorang Arial. Akan tetapi, Adriana tetap terlonjak, bahkan Arial sempat mengerutkan kening sesaat sebelum mengubah ekspresi di wajahnya menjadi datar kembali.
"Nggak ada apa-apa, kok, Ial."
"Kamu yakin?" tanya Arial sarat dengan nada kurang percaya.
"Iya." Adriana hanya mengulas senyum sebelum bergerak menjauh dari Arial.
Di ruang ganti baju, dekat loker paling ujung milik Airlangga terdapat papan yang tertempel jadwal sif kerja selama satu bulan. Adriana memperhatikan, sistem kerja empat-satu yang diterapkan akan membuatnya mendapat jatah libur dua hari lagi. Kenapa waktu cepat sekali berlalu? Pikirnya.
Staff kitchen yang lain mulai berdatangan. Aji Saka menyenggol Adriana ketika dirasa perempuan itu lebih diam dari biasanya. "Ono opo kamu? Kesambet setan Chef Air yang kemarin?"
"Nggak. Apa sih, Chef."
"Nggak biasanya kamu diam begini, An? Ada masalah? Kalau ada lebih baik diselesaikan dulu, kamu tahu sendiri Chef Air kalau sudah ada masalah akan seperti apa." Nindya mengusulkan, wajahnya menyiratkan rasa khawatir pada junior yang kerap membantunya di dapur itu.
Adriana mengembuskan napas berat kemudian menampilkan ekspresi ceria seperti biasanya. "Nggak kok. Aku baik-baik saja." Dan sebuah cengiran ia tampilkan pada rekan yang kini menelisik ke arahnya.
"Loh? Arial kamu satu sif sama kita?"
"Baru sadar kamu?" Arial mendorong pelan kening Adriana.
"Kok bisa?"
"Gantian sama Chef Taufik. Dia besok off dan hari ini sore ada keperluan sampe besok, sudah izin juga sama Chef Air kok." Arial menjelaskan.
Adriana hanya menganggukkan kepala saja sebelum salah seorang staf menginformasikan bahwa Airlangga sudah siap untuk pergantian sif. Arial sedikit antusias, jarang sekali ada momen di mana ia dapat melihat secara langsung Airlangga bekerja.
Tidak ada percakapan berarti yang Airlangga sampaikan selain perihal kecepatan dan ketepatan pesanan pelanggan. Airlangga diam saja ketika Adriana membantu Arial untuk menyiapkan hidangan ikan yang lumayan banyak, tetapi sorot matanya menangkap hal berbeda, Adriana terkesan menghindari kontak mata dengannya kali ini.
Airlangga fokus membantu Aji Saka yang tengah kerepotan di station-nya. Laki-laki itu mengambil capit berbahan stainless dan memeriksa daging yang tengah di-grill oleh Aji Saka sebelum mengoleskan lemon zest pada permukaan bertekstur kasar tersebut.
"Ini untuk berapa pesanan?" tanya Airlangga ketika membalik daging di dalam frypan yang ia pegang. Bunyi desis butter yang terbakar membuat Airlangga memundurkan wajahnya sejenak sebelum kemudian menggoyangkan frypan dalam tempo sedang.
"Empat, Chef," jawab Aji Saka.
Anggukan Airlangga menjadi jawaban sebelum laki-laki itu pergi pada rak penyimpanan piring dan menyiapkan piring yang akan digunakan oleh Aji Saka. Ia tidak ingin mengganggu Adriana yang sedang kerepotan membantu Arial pada jobdesk utama poissonier yang memang sudah banyak.
Namun, perbuatan itu agaknya membuat Aji Saka berpikir jika ada yang salah dengan kepala Airlangga. Butcher berusia tiga puluh tahun itu hampir saja menjatuhkan bola matanya saat melihat Airlangga datang dengan piring yang ada di tangannya.
"Ada masalah?" Airlangga memastikan.
"Ti-tidak, Chef." Aji Saka memilih untuk tidak banyak bicara.
Mungkin ini adalah sebuah keberuntungan karena akhirnya setelah tiga bulan mereka dapat bernapas lega karena Airlangga dapat melunak. Akan tetapi, itu tidak bertahan lama ketika tiba-tiba seruan Gama memenuhi station karena melihat ada darah di tangan Adriana.
Rupanya Adriana melamun ketika tengah memotong irisan lemon. Lukanya cukup dalam hingga keluar beberapa tetes dari jemari yang terbuka itu. Niat Arial membantu Adriana terhenti ketika tiba-tiba Airlangga berada di hadapan perempuan itu dan membawa jemari Adriana pada tangan besarnya kemudian menuntun perempuan itu pada sink.
Cairan merah kental tidak berhenti ketika Airlangga mengalirkan air keran pada luka. Ia mengambil inisiatif dengan membawa jemari Adriana pada bibir dan menghisapnya perlahan. Adriana meringis, sensasi aneh muncul di perutnya ketika jari telunjuknya berada pada mulut Airlangga.
"Kamu ke ruangan saya."
Ucapan Airlangga diartikan bahwa Adriana harus siap menerima amukan dari Airlangga. Pasalnya darah Adriana hampir saja mengenai makanan yang dibuat Arial dan itu berbahaya untuk pelanggan. Sebelum mengikuti Adriana masuk ke ruangannya, Airlangga berpesan pada Arial agar mengganti semua peralatan yang sempat terkena noda darah.
Airlangga merapatkan pintu ruangannya ketika mendapati Adriana hanya duduk sembari berpangku tangan tanpa berniat mengambil plester untuk menutup lukanya. Dengan ekspresi lelah ia membuka laci, mengambil satu plester berwarna cokelat dan memposisikan dirinya berjongkok di depan Adriana.
"Kamu ada masalah apa, An?" tanya Airlangga ketika menempelkan plester pada jari Adriana.
"A-Aku ...." Adriana ragu. Ia belum siap kehilangan Airlangga, sama sekali belum.
"Kamu pulang saja, ya? Bukan aku nggak peduli, tapi pekerjaanku masih banyak dan aku nggak akan berhenti khawatir kalau kamu seperti ini." Airlangga tidak begitu mendengarkan perkataan Adriana. Baginya setiap waktu di lingkungan pekerjaan harus ia manfaatkan dengan bekerja, bukan dengan hal lain.
Adriana mengangguk saja. Lagi pula tidak ada hal yang penting yang harus ia bicarakan dengan Airlangga saat ini.
"Kamu mau aku antar?" Airlangga menawarkan.
Adriana hanya menggeleng seraya tersenyum tipis, bibirnya rapat seolah menahan sesuatu yang ingin ia katakan pada Airlangga.
"Hmm ... Lang."
"Iya?"
Adriana tidak menjawab, perempuan itu memilih merengkuh tubuh Airlangga dan menyembunyikan wajahnya pada dada laki-laki yang kini mengusap kepalanya.
"Aku antar kamu pulang saja, ya?" Airlangga perlahan melepaskan pelukan Adriana. "Tunggu sebentar, aku akan bicara dengan Arial."
Adriana kali ini hanya mengangguk. Entah, ketakutan macam apa yang tengah menyergapnya hingga menjadi lemah di hadapan Airlangga saat ini. Namun, untuk kali ini Adriana hanya ingin bersama Airlangga.
Airlangga menghampiri Arial yang kini menatapnya dengan ekspresi kelewat bingung, tetapi asisten chef berusia 25 tahun itu lebih cepat paham situasi dibandingkan orang lain. Ujung bibir Arial tertarik samar, sebelum Airlangga mengucapkan barang satu kata, ia dengan mantap mengatakan. "Untuk sesi makan malam kali ini serahkan semuanya pada saya, Chef."
Tidakkah Arial kelewat perhatian pada situasi?
Tanpa mengganti baju Airlangga dan Adriana pergi d'Amore, Airlangga berkendara tanpa suara, sesekali matanya memperhatikan Adriana yang hanya diam dengan pandangan kosong seolah ada hal yang mengganggu pikirannya.
"Kamu kenapa, Adriana?" Akhirnya Airlangga menyuarakan tanya ketika mobilnya sampai di pelataran rumah yang ia sewa selama satu tahun.
"Kita ke rumah kamu?" Adriana balik bertanya.
"Diam kamu ini tidak akan selesai jika tidak diselesaikan masalahnya. Ada apa? Apa masalah itu berhubungan dengan keluarga kamu? Atau dengan aku?" Airlangga melepas seat belt dan menghadap Adriana. "Kita bicara di dalam. Kamu belum makan, kan? Aku buatkan makanan kesukaan kamu bagaimana?"
Adriana mengangguk saja, sekaligus memantapkan hati akan jujur pada Airlangga, setidaknya ia tidak berniat sama sekali untuk menipu Airlangga. Itu hanya masalah situasi.
Adriana duduk pada sofa panjang, menghadap sebuah televisi layar besar yang senantiasa mati hingga Airlangga menyusulnya dengan segelas air putih.
"Ternyata di kulkas tidak ada apa pun selain air putih." Airlangga menampilkan senyuman canggung.
"Dasar, Chef!" Adriana mengeluh tetapi tetap mengambil gelas yang disodorkan Airlangga padanya.
"Kita pesan makanan lewat delivery saja bagaimana?" Airlangga menawarkan.
"Boleh."
Airlangga tidak langsung memesan, ada hal yang ia rasakan berbeda dari Adriana yang harus diluruskan. Airlangga bingung, selama ini dia hanya berhadapan dengan Ayunda sebagai satu-satunya perempuan yang dekat dengannya dan menghadapi Adriana, jelas berbeda dengan Ayunda.
"Kamu sudah boleh jujur sekarang. Ada apa?"
"A-aku, aku ...."
Airlangga mendekatkan wajahnya, lebih seperti tidak sabar dengan apa yang akan dikatakan Adriana padanya.
"Lang, ayo kita nikah." Adriana spontan mengatakan hal yang ia sendiri tidak ia duga.
"Apa?" Airlangga masih memproses apa yang ia dengar dari mulut Adriana.
"Kenapa? Kamu tidak mau menikahi aku?"
"Ya bukan aku tidak mau, Adriana. Tapi ... kenapa tiba-tiba?" Airlangga kelimpungan sendiri. Agaknya ia lupa jika berbicara dengan Adriana memang bukanlah hal mudah. Laki-laki itu memijit pangkal hidung karena tiba-tiba saja kepalanya pusing.
Kamu harus buat Airlangga punya alasan untuk tidak meninggalkan kamu, Adriana.
Perkataan Trias itulah yang mendorong Adriana mengatakan hal bodoh pada Airlangga. Jika mereka menikah, kecil kemungkinan Airlangga akan pergi jika semuanya terbongkar, itulah yang dipikirkan Adriana saat ini.
"Kalau mau ya kenapa tidak dipercepat saja, Lang? Toh besok atau tahun depan akan sama saja, 'kan? Atau kamu masih ragu sama aku?"
Airlangga hanya menghela napas pelan sebelum mengambil tangan Adriana dan menggenggamnya erat. "Saat aku mengatakan aku jatuh cinta, aku tidak punya kesempatan untuk ragu lagi, Adriana. Tapi menikah bukan hal yang mudah, butuh banyak persiapan. Bagaimana kalau waktu senggang nanti aku temui ibu kamu? Aku akan bicarakan semuanya sama ibu, karena jujur untuk masalah pernikahan aku lebih percaya ibu kamu yang mengurusnya."
Tunggu.
Dari perkataan Airlangga itu, Adriana menyimpulkan bahwa Airlangga telah menyetujui permintaan konyolnya. Perempuan itu hampir saja tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan, matanya mengerjap beberapa kali dan menatap Airlangga dengan tatapan tidak percaya.
"Kamu serius?"
Hanya anggukan yang menjadi jawaban Airlangga sebelum Adriana terpekik dan memeluk lehernya erat. "Kamu serius, Lang? Aku lagi tidak bermimpi, 'kan?"
Tidak ada kata yang dapat mendefinisikan perasaan Adriana sekarang ini. Jika memang ini adalah sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan Adriana sampai kapan pun.
"Tapi dengan satu syarat." Airlangga melepaskan pelukan Adriana dan menarik perempuan itu ke atas pangkuannya.
"Apa?"
"Tidak akan lagi ada rahasia apa pun di antara kita." Airlangga menarik wajah Adriana hingga tidak ada lagi jarak di antara keduanya. Aroma vanilla raspberry yang keluar dari ceruk leher Adriana membuat Airlangga candu, bagaimanapun Airlangga punya sisi laki-laki yang tidak dapat bersembunyi terus menerus bukan?
#!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top