ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ ᴛɪɢᴀ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Chef Airlangga kenapa bilang kayak tadi sama teman sekolahku?"
"Bukankah kamu lebih dulu yang mengatakan hal itu? Saya hanya mengikuti permainan kamu," jawab Airlangga seolah tanpa beban.
Oke! Adriana tahu ia salah, jelas yang namanya sebuah hubungan tidak dapat dipermainkan, tetapi bukan berarti Airlangga membalasnya di depan teman-temannya, bukan? Bagaimana nanti jika berita itu tersebar luas? Apa Adriana akan mengarang cerita bahwa ia dicampakkan oleh Airlangga?
Adriana hanya menghela napasnya, duduk pasrah di kursi penumpang sembari memperhatikan jalan. Perempuan itu sempat memperhatikan ke luar, ada kakek tua renta yang mengayuh sepeda susah payah. Senyuman di bibirnya terbit seketika, mengingat masa kecil ketika Airlangga memboncengnya dengan sepeda.
"Ada yang kamu pikirkan, Adriana?"
"Tidak, Chef."
"Kamu marah?"
"Tidak."
"Kata orang perempuan selalu mengatakan kebalikannya." Airlangga menyindir.
"Sejak kapan Chef Airlangga mendengarkan kata orang?"
Balasan yang dilemparkan Adriana membuat Airlangga memicingkan mata. Tidak bersuara ketika Adriana menaikkan kedua alisnya, Airlangga lebih memilih untuk memarkirkan mobilnya di sebuah pelataran kosong.
"Ke mana kita setelah ini?" tanya Airlangga.
Adriana menegapkan badan, melihat sekeliling jalan yang dilintasi pengendara motor juga sepeda.
"Memang kita mau ke mana, Chef? Ini sudah sore."
Airlangga hanya mengedikkan bahu sekilas kemudian menyandarkan bahu, menunggu jawaban yang akan diberikan Adriana akan pertanyaannya barusan. "Saya sedang tidak ingin pulang. Kamu tahu tempat lain?"
"Semua tempat wisata sudah tutup, Chef." Adriana menggeleng. Selain perkara aneh, Adriana juga merasakan curiga pada sikap Airlangga saat ini. Sedari tadi laki-laki 178 CM itu lebih banyak bicara jika dibandingkan biasanya, bahkan tidak henti-hentinya mengolok Adriana atau bahkan memberikan tatapan aneh.
Sekelebat pikiran mungkin saja Airlangga dirasuki makhluk halus melintas, tubuh Adriana sebentar meremang memikirkan jika saja tiba-tiba laki-laki di sampingnya itu akan mengamuk. Namun, buru-buru ia mengenyahkan pikiran itu. Ia kapok untuk bersikap berlebihan di depan Airlangga.
"Adriana, kita mau ke mana?"
"Jalan saja lurus, Chef." Adriana menunjuk ke jalan yang tidak terlalu besar.
Mobil BMW X-1 berwarna putih milik Airlangga melintasi jalan yang dikelilingi pohon di kanan dan kirinya sepanjang jalan. Sedikit gelap, lampu jalan hanya dipasang satu di setiap lima meter dengan penerangan yang tidak begitu membantu.
Airlangga jarang berkendara di tempat gelap, selama ini ia hidup di kota dengan pendar lampu di setiap meter, pula ditambah dengan lampu dari setiap gedung perkantoran yang menyala. Kali ini ia sedikit kesulitan mengendarai mobil, terutama ketika mobilnya melintasi perbukitan.
Mereka turun ketika mobil berhenti setelah melaju selama satu jam perjalanan. Di depan ada sebuah gapura kecil terbuat dari ranting dan kayu panjang dengan papan nama Puncak Becici. Mereka berjalan mendekati gardu penjualan tiket, membayar enam ribu rupiah untuk dua tiket sebelum masuk ke dalam kawasan hutan.
"Tempat ini bagus."
Sejenak langkah Adriana tanpa sadar terhenti kala mendengar komentar Airlangga. Adriana menoleh ke arah Airlangga yang berada tepat di belakangnya, perlahan bibirnya menyunggingkan senyum kala melihat sosok di belakangnya benar-benar Airlangga.
"Dulu tempat ini sempat viral loh, Chef."
"Karena?" Airlangga mempersilahkan Adriana menduduki hammock yang sempat ia sewa setelah membayar parkir juga tiket masuk.
"Presiden Barrack Obama pernah mampir ke sini." Adriana menganyunkan kaki ketika duduk di kain berwarna merah itu.
"Yang benar? Apa dia bayar tiket tiga ribu rupiah juga?"
Pertanyaan Airlangga sontak membuat Adriana tertawa. Mungkin dari sekian ucapan Airlangga pertanyaan itulah yang membuat laki-laki berusia 28 tahun itu terlihat lebih manusiawi.
"Chef Airlangga belum jawab pertanyaan saya tadi, Chef." Adriana kembali memasang wajah serius.
"Pertanyaan yang mana?" Airlangga berlagak bodoh dengan terus-terusan bertanya hal yang sebetulnya ia tahu jawabannya. Hanya saja, justru Airlangga tidak tahu jawaban akan pertanyaan yang kerap ditujukan Adriana padanya.
"Kalau begini caranya nggak akan selesai-selesai." Tanpa butuh waktu lama Adriana mengembalikan ucapan Airlangga. Adriana merasa kecewa dengan sikap pengecut Airlangga yang bahkan tidak mau mengakui apa yang ia katakan.
Adriana bangun dari hammock yang ia tempati dan berjalan pada sebuah spot foto yang menyerupai sarang burung. Dari sana, terlihat jelas kota Jogja dengan kerlap kerlip lampu.
"Kamu mau naik ke sana?" Airlangga menawarkan.
Perempuan itu hanya menggeleng kemudian menyenderkan bahu pada pohon yang menjulang tinggi di depannya. "Saya nggak suka ketinggian, Chef."
"Apa itu ada hubungannya dengan laki-laki pendek yang mau dikenalkan pada kamu?" Airlangga mengubah topik. Masih melekat di ingatannya ketika laki-laki yang datang bersama Nimas menatap Adriana dengan tatapan kagum.
"Kenapa jadi tiba-tiba bahas laki-laki? itu nggak nyambung sama sekali, Chef." Adriana memutar bola matanya ketika mendengar ucapan Airlangga.
"Tapi Taufik juga pendek, Arial juga. Kamu itu sudah pendek, harusnya kamu pilih laki-laki yang lebih tinggi dari kamu."
Entah apa yang merasuki Airlangga, tetapi ia merasa kesal jika mengingat siapa-siapa yang ada di dekat Adriana. Astaga! Apa tidak ada perempuan lain sehingga mereka semua harus menempel dengan Adriana? Setidaknya begitu pikiran Airlangga.
"Chef Airlangga ini sebetulnya mau bicara apa?" Adriana memotong topik pembicaraan Airlangga. Ia merasa Airlangga punya sesuatu yang ingin disampaikan padanya hingga harus pergi sejauh ini.
"Saya rasa saya menyukai kamu, Adriana."
Adriana tidak bisa untuk tidak terkejut dengan apa yang Airlangga katakan. Tanpa persiapan, tanpa apa pun yang dapat ia perkirakan, Adriana harus mendengar pernyataan yang kerap ia mimpikan selama ini.
Adriana bahkan menahan napasnya ketika Airlangga menatapnya dengan sorot matanya yang tajam, mencari celah candaan seperti yang biasa laki-laki itu lemparkan. Akan tetapi, kali ini hanya ada raut keseriusan dari wajah Airlangga.
"Chef Airlangga?"
"Saya menyukai kamu, Adriana. Saya menyukai kamu."
"Ini becanda, 'kan, Chef?" Adriana salah tingkah, ia menyelipkan rambut ke belakang telinga seraya mengalihkan pandangan. Jantungnya berdegup dengan kencang, seolah itu akan meledak sebentar lagi. Ketika Adriana hendak menjauh, Airlangga memerangkap tubuhnya di antara Airlangga dengan pohon di belakang Adriana.
"Saya serius." Sorot mata Airlangga tajam mengarah pada Adriana.
"Terus?" Adriana tidak tahu harus mengucapkan apa lagi, berada di dekat Airlangga selalu membuatnya bodoh seketika.
"Terus?" Airlangga membeo.
"Iya kalau Chef Airlangga suka saya, terus bagaimana?"
"Bagaimana apanya? Kamu itu bodoh atau apa? Saya sedang menyatakan perasaan saya, kenapa kamu tanya terusannya? Seharusnya kamu menjawab!"
Airlangga kesal sendiri, sejak tadi ia sudah menguatkan hati untuk mengatakan sejujurnya pada Adriana. Namun, respons Adriana sungguh menyebalkan baginya.
"Kenapa Chef Airlangga marah? Masa menyatakan perasaan galak begitu, Chef?" Melihat tatapan Airlangga Adriana jadi semakin gugup, bahkan kata-kata yang keluar dari bibirnya menjadi semakin terbata-bata.
"Oke saya jawab. Tidak ada terusannya. Saya menyukai kamu, hanya kamu. Titik."
"Ooh." Hanya itu yang Adriana berikan pada Airlangga sebagai respons.
Adriana pernah, sering bahkan menonton drama Korea dengan adegan romantis, membayangkan sosok Airlangga menjadi tokoh utama dengan dirinya sebagai pasangan. Oleh karena itu, diam Adriana tengah mencoba mengingat apa yang harus dikatakan pada laki-laki dalam adegan seperti itu.
"Kamu bercanda, Adriana?"
Airlangga lebih tidak percaya dengan Adriana. Ia pikir, Adriana adalah perempuan teraneh yang pernah ia temui seumur hidupnya.
"Chef! Kenapa nggak bilang-bilang kalau mau nembak saya?! Saya juga kan butuh persiapan." Adriana menghentakkan kakinya, merasa kesal pada dirinya sendiri karena tidak tahu harus berbuat apa hingga air matanya jatuh perlahan.
Awalnya Airlangga menatap bingung, tetapi saat dirasa ia mengerti akan ucapan Adriana, laki-laki yang lebih tinggi lima belas senti meter dari Adriana itu tertawa seraya meletakkan keningnya pada pundak Adriana.
"Chef Airlangga kenapa ketawa?"
"Tidak," jawab Airlangga yang justru semakin mengeraskan tawanya.
Airlangga sedikit menunduk, melingkarkan tangannya pada pinggang Adriana dan menggendong perempuan yang beberapa saat lalu menangis karena kebingungan itu.
"Chef!" pekik Adriana ketika kini berada di posisi lebih tinggi dari Airlangga. Tangannya yang sejak tadi gemetar karena pernyataan cinta Airlangga dengan ragu berpegangan pada pundak Airlangga.
"Kamu menyukai saya, Adriana?" tanya Airlangga.
Secara otomatis Adriana mengangguk kaku, pergerakkannya menjadi terbatas karena ototnya mengencang akibat gugup yang berlebihan.
"Kamu mau jadi milik saya?"
Adriana kembali mengangguk, kali ini disusul senyum tipis yang sejak tadi berusaha ia tahan.
"Semudah itu, Adriana. Kamu tidak perlu memikirkan harus apa dan bagaimana di hadapan saya. Karena saya tidak peduli dengan apa pun itu, selama itu kamu."
Tidak ada yang bisa mendefinisikan apa yang ada di hati Adriana sekarang, Airlangganya kembali, Airlangga kembali menjadi miliknya untuk saat ini. Bahkan jutaan kupu-kupu yang terasa menggelitik perutnya tidak dapat ia tahan, ia terpekik di pelukan Airlangga kemudian mendekap erat Airlangga.
"Berarti Chef Airlangga sekarang jadi milik saya juga?"
Airlangga menaikkan kedua alisnya kemudian mengangguk mantap disertai senyum yang terkembang apik di wajahnya.
"Saya milik kamu. Cuma kamu."
Airlangga tidak juga menurunkan Adriana dari gendongannya, baginya posisi ini adalah yang terbaik karena ia dapat melihat jelas wajah Adriana yang sedang tersenyum. Ia menyukainya, senyum itu membuat hatinya hangat karena mengingatkannya pada sosok Ayunda.
"Turunin saya, Chef."
"Hmm? Kamu panggil saya apa?" Airlangga mengeratkan dekapannya pada Adriana.
"Chef."
"Saya bukan atasan kamu di sini."
Adriana kembali mengurai tawa, tangannya terulur mengelus pelan pipi Airlangga kemudian menarik pelan pipi itu.
"Terus harus panggil apa?"
"Hmm ...." Airlangga tampak berpikir sejenak. "Terserah kamu saja."
"Elang?"
"As you wish."
Tepat ketika Airlangga selesai dengan perkataannya, Adriana mengecup pelan pipi kanan Airlangga.
"Hei!" Airlangga melebarkan matanya. "Lagi?"
"Turun dulu."
"Nggak." Airlangga mempertahankan posisi, laki-laki itu memejamkan matanya, menunggu hal yang ia minta dari kekasih barunya.
Adriana kembali mengusap pelan pipi Airlangga, mendekatkan wajah hingga merasakan deru napas tenang dari Airlangga sebelum menempelkan bibirnya pada pada bibir Airlangga.
Ketika Airlangga merasakan hangat pada bibir, laki-laki itu membuka mulutnya, memberikan akses pada Adriana sebelum ia menurunkan Adriana dan mengambil alih.
Kamu tahu, Airlangga? Sejatinya sebuah kepulangan adalah hal yang paling nyaman untuk dilakukan.
Airlangga rasa kata-kata Ayunda kali ini meleset, karena ia menemukan kenyamanan justru saat ia pergi jauh, meski ia tidak mengerti apa arti kepulangan yang sesungguhnya.
Ekspresi Nurand ketika dipaksa menulis adegan uwu-uwu ...
Kayaknya terakhir aku update lama jumat, tapi kok berasa lama banget ya :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top