ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ ᴇᴍᴘᴀᴛ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Untung saja sih konsumennya nggak komplain, Mas. Kalau nggak, bisa habis aku sama Chef Airlangga." Suara Arial terdengar lega, pria itu mengusap bagian dadanya tanda bersyukur karena masalah di shift-nya selesai sebelum Airlangga datang.
Baru saja Adriana dan Aji Saka yang sejak tadi mendengarkan Arial ingin membuka suara, Nindya datang dengan raut wajah pias disertai tingkah aneh yang beberapa kali menoleh ke belakang. Taufik baru saja keluar dari toilet ketika melihat Nindya menghampiri Aji Saka, Adriana, dan Arial yang sedang mengobrol.
"Nindya kenapa?" tanya Taufik ketika berdiri di depan Nindya yang menatapnya dengan tatapan kosong.
Aji Saka mengedikkan bahu, menempelkan punggung tangannya pada kening Nindya kemudian membaca doa. Aji Saka pernah dengar, orang yang memiliki iga jarang adalah orang yang rentang kesurupan, kini ia mulai menduga bahwa Nindya tengah dirasuki makhluk halus penunggu hotel.
"Bukan aku yang kesurupan!" Nindya memukul tangan Aji Saka yang masih bertengger di kepalanya. Baginya doa yang dirapalkan Aji Saka lebih seperti mantra dukun di film-film horor yang ia tonton.
"Terus siapa?" tanya Taufik.
"Memang benar ada yang kesurupan?" Adriana ikut bertanya.
Nindya mengangguk. "Kayaknya Chef Airlangga kesurupan deh."
Pernyataan itu sontak membuat semuanya kaget. Terlebih Adriana, karena seingatnya ia baru saja menelepon Airlangga untuk mengatakan ia sudah sampai di d'Amore Hotel.
"Chef Airlangga nggak kesurupan saja galaknya minta ampun. Bagaimana kesurupan? Dimakan kamu, Nin." Aji Saka meraup wajah Nindya seraya tertawa.
"Kalau kalian nggak percaya lihat saja nanti!"
Perkataan Nindya yang terakhir itu tidak disambut jawab karena objek topik mereka tiba-tiba muncul dari balik pintu. Arial, Aji Saka, Taufik, Nindya, dan Adriana menatapnya tanpa suara. Bersiaga jika tiba-tiba Airlangga mengamuk mereka akan langsung mengevakuasi diri masing-masing.
"Kalian kenapa melihat saya seperti itu? Ada yang aneh di wajah saya?" tanya Airlangga ketika mendapat tatapan aneh dari para pegawainya.
"Tidak ada, Chef." Aji Saka lebih dulu menjawab.
Arial memutuskan untuk tidak mendengarkan ucapan Nindya, menghampiri Airlangga dan memberikan catatan keluhan pelanggan hari ini. Cukup banyak, Arial yakin Airlangga akan menghabisinya hari ini.
Namun, tanpa diduga Airlangga justru tersenyum dan mengangguk sekilas ketika Arial memberikan alasan. Aji Saka, Taufik, dan Nindya saling tatap. Mereka merasakan ada yang aneh dalam sikap Airlangga kali ini.
"Kalau begitu saya ke ruangan dulu, sampai bertemu di station."
Begitu Airlangga pergi ketiganya kompak mengembuskan napas pelan, mengelus dada dan menyenderkan bahu pada meja panjang tempat mereka mengobrol tadi.
"Aku sudah bilang, 'kan, Chef Air itu kesurupan." Perempuan itu bergidik, takut-takut jika arwah yang ia duga merasuki Airlangga pindah padanya.
"Chef Airlangga bukan kesurupan itu sih. Itu tanda-tanda orang lagi jatuh cinta." Aji Saka membuat argumen. Ia memicingkan mata kemudian mengusap dagu gaya detektif yang biasa ia tonton pada aplikasi Netflix.
"Jangan-jangan beneran pacaran sama Niur?" Taufik menebak.
Adriana sudah akan menyangkal dugaan Taufik sebelum kemudian didahului Nindya yang menggeleng kencang. "Nggak mungkin! Ingat nggak waktu Chef Airlangga balik lagi ke kitchen sebelum libur kemarin? Itu saja tangannya luka ditanya Niur ketus sekali. Kayaknya dia habis berantem sama pacarnya deh."
"Ohh dua hari lalu itu?" Taufik memastikan. "Terus Niur bagaimana?"
"Iya nggak bagaimana-bagaimana, Chef. Memang mau bagaimana?" Nindya menjawab polos kemudian berdiri, mengambil seragam dari dalam loker untuk segera mengganti baju.
"Loh? Memangnya Chef Air balik lagi? Waktu itu bilangnya sama orang purchasing ke tempat supplier, 'kan?" tanya Adriana. Pasalnya cerita Nindya soal luka di tangan Airlangga menjadi jawaban tersendiri dari mana Airlangga mendapatkan luka tersebut.
"Masa kamu nggak ingat, An? Kan ketemu kita di parkiran." Taufik menjawab karena ia sempat berpamitan pada Airlangga sebelum mereka melintasi ramp.
"Masa? Kok aku nggak lihat ya? Di sana tangannya sudah luka?" tanya Adriana.
"Mana aku tahu, aku nggak begitu perhatikan tangannya Chef Airlangga sih." Taufik mengedikkan bahunya.
Seharusnya ada satu kata dua kata yang dapat Adriana sampaikan, tetapi bibirnya tidak dapat menahan tawa ketika sel otaknya menangkap signal bahwa mungkin saja Airlangga cemburu ketika melihatnya dengan Taufik.
"Ya sudah, lebih baik sekarang kita bersiap, kalian tidak mau merusak suasana hati Chef Airlangga yang sedang bagus ini bukan?" Arial mengusulkan, ia bukan pria yang suka dengan gosip dan membicarakan Airlangga sebagai atasan bukanlah kesukaannya.
Ketika yang lain sibuk, Adriana mengendap masuk ke dalam ruangan Airlangga. Airlangga tersenyum, menyambut Adriana yang mendekat pada mejanya.
"Lang, bisa nggak kamu jangan terlalu berekspresi?" Adriana setengah berbisik meski tahu suaranya tidak akan terdengar oleh siapapun di luar. "Orang-orang akan curiga kalau kita punya hubungan nanti."
"Maksudnya kamu nggak mau orang lain tahu kita punya hubungan?"
"Bukannya nggak mau, tapi aneh saja rasanya. Bisa nggak kita simpan hubungan kita untuk kita berdua dulu dan kamu bersikap seperti biasanya saja." Adriana beberapa kali menoleh ke arah pintu, jaga-jaga pintu itu tiba-tiba terbuka.
Airlangga menghela napasnya. "Memangnya selama ini aku bersikap bagaimana? Biasa saja, 'kan?"
"Biasa bagaimana?" tanya Adriana.
"Attention! Taufik kamu harusnya jangan jadi pahlawan untuk orang lain! Kalau mau berwisata lebih baik ke Candi Prambanan saja sana!" Adriana memperagakan semua ucapan Airlangga ketika mereka bekerja.
Bukannya tersinggung, Airlangga justru merasa geli melihat tingkah Adriana yang menurutnya lucu. Laki-Laki itu kembali menderai tawanya, menampilkan dua lubang cacat di pipinya dan membuat Adriana menghela napas lelah.
"Jangan ketawa, Lang." Adriana duduk di kursi yang menghadap Airlangga. "Aku nggak suka kamu ketawa di depan orang lain. Apalagi Niur!"
Airlangga berdeham untuk meredam tawanya. Posisi duduknya yang semula santai ia buat tegap dan menatap Adriana dengan tatapan serius. "Seperti ini yang kamu maksud, Adriana?"
"Iya!" Adriana antusias. "Aaa ... kalau seperti ini kamu Airlangga sekali."
Airlangga tertawa sekilas ketika mendengar jawaban Adriana. Hatinya kini lebih hangat, pun ia lebih percaya diri dengan apa yang akan terjadi esok hari meski tanpa rencana karena ia tahu akan selalu ada Adriana yang menemani langkahnya.
Airlangga bangkit dari duduknya, mendekati Adriana yang masih duduk di kursi yang menghadap meja Airlangga dan menggenggam tangan kecil yang sejak tadi terkepal. "Baiklah, aku tunggu sampai kamu siap dengan kita di luar sana." Airlangga mencium pelan punggung tangan Adriana.
Beginikah rasanya dicintai Airlangga? Sebentar lagi mungkin Adriana akan menangis jika ini semua diteruskan. Penantiannya selama lima belas tahun rasanya tidak terasa sia-sia karena Airlangga menjadi miliknya.
"Aku kerja dulu, ya, Lang. Sampai ketemu di station." Adriana memalingkan wajahnya dari Airlangga, menutupi pipinya yang bersemu merah akibat perlakuan Airlangga barusan.
Sudah begitu, Adriana keluar dari ruangan Airlangga, mengganti baju dengan jacket chef dan memasang safety shoes sebelum berbaris untuk briefing awal sif.
Airlangga kembali tertawa ketika melihat punggung Adriana menghilang di balik pintu. Sebelum memulai shift, ia teringat akan Trias. Kemarin ia tidak sempat bertemu dengan Trias karena kakak sepupunya itu sibuk di kafe dan toko oleh-oleh yang ramai saat itu.
Kafe yang dikelola Trias memang ramai, laki-laki yang berhenti dari kepolisian itu pintar memilih nama Hiraeth sebagai nama kafe yang berarti kerinduan atau nostalgia. Meski sebenarnya Airlangga masih belum mendapatkan jawaban kenapa kakak sepupunya itu berhenti dari cita-citanya sejak kecil tapi Airlangga akui Trias berhasil dalam bisnis kecilnya. Mungkin saat libur nanti Airlangga akan mengajarkan beberapa ilmunya atau membagi resep ciptaannya untuk kafe Trias.
Rencana itu segera dimasukkan ke dalam jurnal digital yang ia buat di dalam tabletnya sebelum keluar ruangan untuk memeriksa setiap section.
Gama berada pada section utama, menumis bumbu yang mengeluarkan bau menusuk hidung.
"Api yang kamu gunakan terlalu besar, saus akan lebih mudah gosong sebelum mengental seluruhnya."
"I-iya, Chef." Gama sedikit terbata. Biasanya Airlangga akan langsung berteriak atau sekadar melotot ke arahnya.
Namun, kali ini Chef de Cuisine berusia 28 tahun itu hanya berekspresi datar, kemudian mengulurkan tangan untuk mengecilkan api yang digunakan Gama.
Gama sempat mengedipkan matanya beberapa kali. Apa apa dengan chef favoritnya itu? Kenapa tidak berteriak kali ini?
Seolah tidak cukup dengan keanehan yang ada, ketika salah satu waitress tanpa sengaja menjatuhkan soup yang seharusnya sampai ke meja pelanggan.
Haris selaku head waitress mengusap belakang lehernya ketika akan meminta maaf, air merembes keluar dari pori-pori keningnya saat berjalan kaku menghampiri Airlangga yang sudah dipastikan akan menaikkan suaranya hingga sepuluh oktaf.
Namun, Haris hampir saja pingsan mendapati Airlangga hanya menghela napas lelah, kemudian dengan wajah roman khawatir justru menanyakan apakah Haris baik-baik saja karena berkeringat berlebihan. Sepertinya ada yang salah dengan isi kepala Airlangga.
"Apa Chef Airlangga habis makan jamur yang beracun?" bisik Haris pada Nindya yang buru-buru mengantarkan ulang pesanan soup pada counter check in.
Sepertinya kitchen d'Amore Hotel tidak akan pernah terbiasa dengan sikap apa pun yang diberikan Airlangga.
Lang, dibilangin juga jangan keliatan banget bucinnya, kamu yang bucin saya yang malu nih!!
Nggak deng, becanda. Aku suka lihat Airlangga bucin eheheheee ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top