ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴜᴀ

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

"Kalian mau pergi ke mana?"

Trias tidak berhenti menatap aneh pada Adriana dan Airlangga secara bergantian. Pekerjaan bisa menunggu jika itu berhubungan dengan Airlangga. Terlebih Trias dimandatkan untuk menjaga Airlangga meski dari jarak paling jauh.

"Mau ke kedai kopi, Mas. Mas Trias mau ikut?" Adriana menawarkan ajakan yang langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Trias.

"Kalau cuma mau kopi, di sini juga ada. Mulai dari kopi arabica, liberica atau robusta, kalau mau makan kopi yang masih bubuk juga ada." Trias menjawab asal sekaligus mengabsen isi toko oleh-oleh.

Airlangga menggeleng, ia butuh refreshing dengan menghirup udara segar. Jogja punya semuanya, budaya yang kental, masyarakat yang ramah dan menjunjung tradisi, serta destinasi wisata yang tidak ada habisnya. Namun, selama tiga bulan laki-laki itu hanya berkutat dengan kompor dan resep masakan.

Omong-omong soal kedai kopi dan toko oleh-oleh, Airlangga jadi ingat dengan salah satu pegawai yang kemarin menunjukkan jalan. Ketika hendak berbalik untuk membuka pintu mobil, Airlangga kembali menghadap Trias.

"Gue baru ingat satu hal." Airlangga mengacungkan tangannya. "Pegawai lo sudah pernah kena training soal kebersihan? Karena yang gue lihat mereka sama sekali nggak kompeten dalam hal menjaga kebersihan. Ingat, kebersihan pilar utama dalam bisnis food and beverage."

"Bagaimana kalau kamu yang urus ini semua? Aku yakin kamu lebih kompeten." Trias mengusulkan. Bukan untuk pertama kalinya, ia pernah mengusulkan itu ketika awal diminta mengurus toko oleh kakeknya karena Trias tahu Airlangga lebih paham dengan bidang itu.

Airlangga menggeleng pelan. "Terima kasih, tapi menjalani bisnis keluarga bukan hal yang mau gue pilih."

"Kenapa?"

"Terlalu mudah. Bahkan kalo gue minta sekarang juga sama kakek supaya lo dipecat dan gue rebut semuanya dari Mas Trias bisa aja, 'kan? Tunggu sampai gue berminat, oke?"

Jawaban Airlangga disusul seringai tawa remeh yang berhasil membuat Trias menghela napas dengan amat berat. Perkataan itu bukan bualan sama sekali, sejak dulu Airlangga akan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan dari Hadimulyo. Sedangkan Trias? Ia hanya bertugas menjadi penjaga milik Airlangga.

Mata Adriana menatap Airlangga tidak percaya. "Chef Airlangga kenapa bicara seperti itu sama Mas Trias?"

Airlangga menoleh setelah mengunci pintu mobil dan menginjak pedal gas perlahan. Ia kembali memandang jalanan di depan dan membunyikan klakson samar agar tukang parkir sedikit bergeser.

"Bicara apa?" tanya Airlangga ketika mobil yang dikendarai sudah berada di jalan utama.

Dari samping Airlangga, Adriana menjawab seraya menatap penuh ragu ke arahnya. "Bercanda kayak tadi ke Mas Trias. Aku pikir Mas Trias bisa saja tersinggung, 'kan?"

"Saya nggak sedang bercanda, Adriana. Itu memang kenyataan. Trias terlalu takut dengan kakek hingga tidak bisa melawan. Padahal Trias punya semua kekuatan jika ia ingin bebas. Simpel saja, Trias pengecut." Airlangga selalu menganggap apa yang dilakukan Trias adalah sebuah bentuk ketakutan. Percuma punya otak cerdas jika ia masih bisa dibodohi oleh rasa takut. "Ini kita ke mana lagi?"

Seharusnya ada sepatah dua patah yang bisa Adriana ucapkan untuk membela Trias. Namun, ia tidak seharusnya masuk ke dalam masalah internal keluarga. Biarlah Adriana menjadi pendukung setiap langkah keduanya secara baik-baik tanpa harus menyalahkan salah satunya.

Airlangga melepaskan pedal gas perlahan kemudian menginjak rem ketika mobilnya berada dekat dengan plang kayu sederhana. Bangunan satu lantai itu tertutup tanaman rambat, beberapa orang mengantri untuk masuk ke dalam pintu berbahan kayu jati. Ada sticker tahun 60-80'an yang tertempel pada dinding sebelah kiri, sepertinya konsep kafe ini mengusung tema tempo dulu.

Adriana memilih tempat duduk paling belakang, ada meja kosong yang masih bersisa piring kotor juga gelas kosong bekas pelanggan sebelumnya.

"Duduk, Chef!" Adriana menepuk bangku berbentuk potongan pohon utuh yang dilapisi busa berwarna-warni. "Chef Airlangga mau di luar saja? Tapi di luar banyak asap rokok."

"Tidak. Di sini saja." Airlangga duduk di depan Adriana, menghadap tembok bermural apik, di paling atas ada sebuah sepeda onthel tua yang digantung menjadi pajangan.

Pelayan sigap memberi buku menu dan lembar nota kosong lengkap dengan pulpen sembari mengatakan, "Nanti untuk orderan langsung ke kasir saya, Mas."

Keduanya mengangguk kompak yang dibalas gestur bungkuk oleh pelayan sebelum meninggalkan meja. Airlangga memesan makanan hangat juga segelas wedang jahe, enggan menjawab ketika Adriana menawarkan kopi, ia hanya beralasan, jahe bagus untuk udara dingin.

Adriana hanya memperhatikan ketika Airlangga membidik suasana kafe dengan kamera ponselnya, dengan resolusi 108 megapiksel, laki-laki itu dengan serius menggabungkan sembilan piksel menjadi satu agar menghasilkan cahaya yang mumpuni dalam ruangan tertutup juga field of view seluas 120 derajat.

Ketika makanan datang, Adriana merapikan tata letaknya, memberi peta empat sudut dengan jarak tidak begitu jauh dan meletakkan minuman di sisi paling pojok. Airlangga berbalik, tersenyum ketika melihat apa yang Adriana kerjakan.

"Kamu tahu saya mau foto meja ini?" tanya Airlangga ketika meletakkan stylus pen ke dalam ponselnya kemudian kembali duduk di bangku yang sempat ia tinggalkan.

"Saya followers paling setia sosial media Chef Air."

Kemarin Niur, sekarang Adriana juga mengatakan hal yang sama pada Airlangga. Apa ia seterkenal itu hingga dikenal banyak pegiat dapur di Kota Yogyakarta? Apakah Airlangga harus merasa tersanjung akan hal ini?

"Kalau begitu kamu salah satu followers yang beruntung, 'kan?"

Adriana hanya berdecak ketika Airlangga menjawab dengan nada bangga. Laki-laki itu hanya menderai tawanya pelan kemudian merapikan tatanan meja, mengarahkan ponsel berlawanan dengan sorot lampu untuk menghindari backlight kemudian mengaktifkan auto focus agar sebelum menekan tombol shutter.

"Sudah selesai, Adriana."

Airlangga kembali duduk kemudian menyesap pelan wedang jahe yang ia pesan, laki-laki itu menaikkan alisnya antusias, hangat air jahe menyapa lidahnya, rasa manis yang tidak begitu kentara membuat Airlangga kembali menyesap minuman berbahan jahe untuk kedua kalinya.

"Gimana, Chef? Enak?" tanya Adriana ketika selesai dengan latte hangat yang menampilkan bentuk tulip di bagian atasnya.

Airlangga tertawa, menunjuk bibir Adriana yang tertutup oleh foam tipis, sepertinya proses steam yang dilakukan barista lebih lama dari biasanya. Adriana yang paham menutup wajahnya dengan tangan, Airlangga justru semakin tertawa, baru kali ini ia melihat wajah konyol Adriana.

"Biarkan seperti itu," ujarnya seraya menarik tangan Adriana kemudian mengambil ponsel dengan tangan satunya untuk mengambil gambar perempuan itu. "Kamu lucu jika seperti ini."

Adriana memberengut sebal, kemudian menjilat bibir atasnya agar bebas dari foam latte.

Melihat itu, Airlangga jadi teringat akan kejadian di mobil sebelum ini. Otaknya mulai mengingat rasa bibir Adriana sore itu, cherry. Mungkin perempuan itu menggunakan sejenis pelembab agar bibirnya terasa manis, tetapi kini bibir itu penuh dengan foam latte, apa itu akan menjadi terasa manis seperti latte yang Adriana minum? Airlangga jadi ingin mencobanya, tentu dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang meminum latte.

Airlangga merutuk dalam hati. Kenapa sekarang ia jadi sering berpikiran kotor? Apa pikiran kotor Adriana menular pada Airlangga karena sore itu? Sialnya keinginan itu tidak juga hilang, justru semakin menjadi ketika ia memperhatikan gerakan bibir Adriana saat mengunyah roti bakar.

Airlangga mengusap wajahnya frustrasi, sepertinya ia harus jauh-jauh dari Adriana kalau tidak ingin namanya masuk ke dalam headline news dengan berita yang tidak-tidak.

"Chef Airlangga kenapa? Sakit?"

Adriana mencondongkan badannya, menempelkan punggung tangan pada kening Airlangga. Posisi ini jelas berbahaya bagi Airlangga, laki-laki itu justru dapat dengan jelas menghidu aroma yang keluar dari Adriana.

Selama ini Airlangga hanya mencium bau bumbu dapur, dari lengkuas hingga kemangi ia hapal betul tanpa melihat, bahkan bahan mentah seperti telur ia dapat prediksi umur penyimpanan hanya dari aromanya. Namun, aroma yang keluar dari tubuh Adriana memabukkan menurutnya. Airlangga suka itu.

"Saya baik-baik saja." Airlangga memundurkan kursinya, mencekal tangan Adriana agar perempuan itu sedikit menjaga jarak.

"Yakin?"

Adriana melanjutkan makannya setelah mendapat anggukan dari atasannya di kitchen itu.

Hari sudah menjelang sore, kedai kopitown yang mereka kunjungi semakin ramai, ada beberapa orang yang masuk dan mencari tempat. Kebetulan meja untuk enam orang di samping mereka kosong.

"Anaaa!" Seorang perempuan berlari kecil menghampiri Adriana ketika perempuan itu menaikkan kepalanya. Memeluk erat tubuh kecil Adriana disusul tiga orang laki-laki dan satu perempuan lain yang menyapanya. "Aku kira siapa tadi! Hampir aku nggak ngenali."

"Aku juga kaget ketemu kamu di sini, Nim."

Nimas, anak pemilik warung makan di alun-alun kidul itu adalah teman sekolah Adriana dulu. "Ehh ... aku kira kamu sama Mas Trias. Baru aku mau kenalin kamu sama temenku ini."

Tatapan Airlangga tertuju pada laki-laki yang disenggol lengannya oleh Nimas. Laki-laki itu tidak lebih tinggi dari Airlangga, kulitnya sawo matang dengan potongan rambut sedikit panjang. Airlangga tersenyum miring, laki-laki yang ia tidak ketahui namanya itu jelas tidak lebih baik darinya. Akan tetapi, Airlangga merasakan jengkel ketika menatap Adriana yang tersipu. Kenapa perempuan itu mudah sekali tersanjung dengan laki-laki yang tidak ada apa-apanya sama sekali di banding Airlangga? Dasar!

Airlangga berdiri di samping Nimas, menunjukkan bahwa ia bukan Trias, dan ia bukan tandingan laki-laki yang akan Nimas sodorkan pada Adriana. "Airlangga Sangaji, kepala koki hotel d'Amore."

Airlangga menjabat tangan Nimas dengan mantap, menunjukkan seringaian juga tatapan tajam ke arah laki-laki yang ada di belakangnya yang hanya sampai bahu Airlangga.

"Aku Nimas, teman sekolahnya Ana." Nimas membalas jabatan tangan Airlangga antusias. Perempuan itu kembali menatap Adriana dengan tatapan tidak percaya. "Kamu pacaran sama kepala koki, An? Hebat!"

"Buk ...."

"Iya."

Adriana yang baru saja ingin menyangkal dibuat diam dengan jawaban yang keluar dari bibir Airlangga. Matanya hampir saja jatuh ke lantai jika saja Airlangga tidak tiba-tiba menariknya agar mendekat, Airlangga bahkan menarik pinggang Adriana, seolah mengatakan bahwa perempuan di sampingnya itu adalah miliknya.

"Tapi kita tidak bisa lama-lama, Nimas. Karena kami harus pulang, ada banyak pekerjaan besok. Kamu tahu, 'kan, profesionalitas di atas segalanya untuk seorang Chef." Airlangga beralasan. Ia tidak suka dekat-dekat dengan laki-laki yang menatap Adriana seolah menginginkan perempuan kecilnya.

"Ah iya! Semoga kalian langgeng ya, aku tunggu undangannya!"

Airlangga menarik lembut tangan Adriana, menuntun perempuan yang sejak pernyataan Airlangga tidak mengatakan sepatah kata pun. Sepertinya, hubungan tanpa status mereka akan menjadi rumit setelah ini.

Siapa di sini dari kalian yang punya handphone dengan banyak kamera tapi nggak tahu itu buat apa? Kalau ada, sama, aku juga, tapi itu dulu ehehehee ...

ᴛᴀᴘɪ ᴅᴀʀɪ sᴇᴍᴜᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀᴋᴜ ᴋᴀʏᴀᴋɴʏᴀ ʏᴀɴɢ ᴘᴀʟɪɴɢ ᴀɴᴇʜ sɪᴋᴀᴘɴʏᴀ ᴇᴍᴀɴɢ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴅᴇʜ. ᴀᴋᴜ ᴀᴊᴀ sᴇɴᴅɪʀɪ ʙɪɴɢᴜɴɢ, ᴅɪᴀ ᴍᴀᴜɴʏᴀ ᴀᴘᴀ_-')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top