ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Jalanan pagi itu terasa lengang. Bus bergerak cepat mendahului mobil yang dikendarai Airlangga, beberapa motor membunyikan klakson ketika berniat mendahului BMW X-1 berwarna putih tersebut. Pikiran Airlangga melanglang buana ke tempat lain, tentang ia, Adriana, Retno, juga Ayunda.
Lebih dari satu minggu Airlangga berpikir, tepatnya sejak kejadian malam ketika Adriana menginap di tempatnya. Hari ini, ia memutuskan untuk membicarakan rencananya dengan Trias. Sejujurnya Airlangga khawatir dengan respons yang mungkin akan diberikan Trias nantinya, karena kakak sepupunya itu terlalu membela Abikara, sudah pasti Trias tidak akan setuju dengan rencana yang dibuat Airlangga.
"Apa Trias sudah sampai di sini?" tanya Airlangga pada pegawai wanita berkerudung cokelat.
"Belum, Mas. Mungkin sebentar lagi. Mas bisa tunggu di ruangannya kalau mau." Pegawai itu membungkuk singkat seraya menunjuk satu pintu cokelat dengan ibu jari sebagai tanda kesopanan.
Airlangga masuk ke dalam ruangan tersebut, mengambil posisi duduk pada kursi utama dan mengotak-atik data penjualan untuk melihat perkembangan bisnis keluarga tersebut. Ia jadi ingat kalau pernah berjanji akan membantu Trias dalam mengembangkan bisnis kulinernya itu.
"Sudah siap duduk di sana?"
Adalah Trias yang membuka ruang kerjanya sembari membawa satu kotak bakpia hangat dengan dua kaleng kopi dingin yang ia ambil dari dalam chiller.
"Ha? Nggak. Gue cuma penasaran saja dengan perkembangannya. Lumayan, bisnis kuliner memang lagi bagus di Jogja." Airlangga menyandarkan bahunya pada belakang kursi seraya menerima kaleng kopi dingin dari Trias.
"Ada apa?" Trias membuka kaleng kopi miliknya dan menenggaknya santai. Hari ini toko sedang sepi karena masih pagi, cafe juga masih dalam persiapan buka toko sebelum memasuki jam sepuluh pagi.
"Nggak ada." Airlangga menjawab santai.
Trias tertawa. dari semua orang yang dekat dengan Airlangga, Trias adalah orang yang paling mengerti jika laki-laki yang ada di depannya ini bukanlah orang yang suka membuang-buang waktu.
"Pekerjaanku banyak, kalau kamu cuma mau buang-buang waktu lebih baik pergi dari ini."
Airlangga tertawa ketika mendengar ucapan Trias. Sepupunya itu memang juara dalam membalas perlakuan Airlangga padanya.
"Aku akan menikahi Adriana secepatnya."
Trias terbatuk susah payah karena tersedak kopi dingin yang ia minum, ia bahkan mengelap kopi yang tanpa sengaja keluar dari hidungnya akibat mendengar ucapan Airlangga barusan.
"Jangan bercanda pagi-pagi, Lang!" Trias memerotes, ia mendengkus beberapa kali agar kopi yang tersisa di hidungnya segera hilang, rasanya panas ketika tanpa sengaja ada air yang masuk ke dalam hidung.
"Siapa yang bercanda?" tanya Airlangga dengan air muka roman keseriusan.
"Ya terus? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau menikahi Adriana? Kamu baru berhubungan sama dia seminggu terakhir ini, 'kan?" Trias memastikan, laki-laki itu merebut kaleng kopi dari tangan Airlangga yang belum dibuka kemudian meminumnya.
"Sudah kasih diminta lagi."
"Jawab pertanyaanku, Lang! Kenapa kamu tiba-tiba ingin menikahi Adriana? Kamu nggak buat anak orang hamil, 'kan?"
Pertanyaan bernada tuduhan itu membuat Airlangga melebarkan matanya kemudian menatap Trias dengan tajam. Sial! Kenapa juga Trias menuduhnya macam-macam? Ya meski malam saat Adriana menginap di tempatnya memang terjadi hal yang Airlangga tidak duga, tapi bukan itu alasannya menikahi Adriana. Ia memang berniat menikahi Adriana sejak pertama kali mengatakan bahwa ia jatuh hati pada perempuan itu. Keduanya berbeda.
"Nggak!"
"Nggak apa?!" Trias melempar Airlangga dengan kaleng kosong.
"Ya Adriana nggak mungkin ...." Airlangga tiba-tiba saja ragu.
Seminggu terakhir ini Adriana tidak pernah mengatakan apa pun, hubungan mereka berjalan baik-baik saja, bahkan hari ini Adriana pulang ke tempat ibunya untuk mengatakan bahwa Airlangga akan segera melamarnya, kenapa Trias jadi pencuriga seperti itu? Bukankah ini hal baik?
"Anggap aku percaya dengan kamu. Tapi bagaimana dengan Lik Abi? Kamu sudah menghubunginya? Apa tanggapan ayahmu jika dia sama sekali nggak mengenal calon menantunya?" Trias kembali berbohong untuk memberikan pengandaian yang diterima Airlangga.
"Dia nggak perlu tahu soal ini."
"Airlangga!"
"Nggak perlu teriak-teriak." Raut wajah Airlangga berubah masam ketika Trias menyebutkan nama Abikara.
"Kamu gila? Kamu nikah sama anak orang tanpa restu ayahmu? Sudah gila kamu, Lang."
Trias tidak habis pikir dengan Airlangga, bisa-bisanya laki-laki itu berpikir sejauh itu. Bagaimana perasaan Abikara jika ia tahu anak semata wayangnya sudah tidak menganggapnya sama sekali? Ada rasa panas yang timbul di hati Trias, bukan karena Adriana, tetapi ketika membayangkan laki-laki di depannya ini akan menghancurkan hati seorang ayah yang selama ini di harapkan oleh Trias selama bertahun-tahun.
"Aku nggak setuju, Lang. Setidaknya kalau menikah kamu butuh seorang pendamping untuk melamar Adriana dari ibunya, dan itu bisa kamu lakukan dengan Lik Abikara." Trias menggeleng tidak percaya.
"Kalau lo lupa, gue nggak butuh persetujuan lo untuk hal itu. Gue akan bilang sama kakek kalau gue setuju urus ini semua dengan syarat kakek yang urus semua pernikahan gue nanti. Kira-kira apa tanggapan kakek?"
"Kamu menerima toko ini adalah impian kakek, mungkin beliau akan setuju." Trias mengepalkan tangannya di atas paha. Tidak, Trias tidak marah karena Airlangga akan merebut semuanya, tapi ia marah karena ternyata Airlangga sudah mempersiapkan segalanya untuk menyingkirkan Abikara.
"Lo tenang saja, lo nggak akan gue pecat dari sini, kok."
"Aku nggak butuh jaminan kamu, Lang. Hanya saja, bagaimana dengan niat kamu mencari perempuan yang kamu anggap selingkuhan ibu kamu itu?" Kaleng kopi yang masih tersisa setengah milik Airlangga mengkerut karena remasan tangan Trias.
Trias memijat keningnya dengan jari telunjuk. Berpikir sejenak.
Lima bulan lalu Airlangga menghubunginya, menanyakan perihal keberadaan perempuan bernama Retno dengan roman kemarahan. Trias hampir saja menjawab seadanya yang ia tahu sebelum Airlangga mengatakan bahwa perempuan itu adalah penyebab Ayunda meninggal dan Airlangga akan membalaskan dendam pada orang itu sesegera mungkin.
Trias mengubah jawaban, mengatakan pada Airlangga bahwa ia tidak mengenal Retno tapi pernah mendengar namanya. Itu dilakukan agar Airlangga tidak mengandalkan orang lain perihal mencari keberadaan Retno, setelahnya Trias menceritakan semua prasangka Airlangga pada Abikara dengan harapan Abikara dapat meluruskan kesalahpahaman ini.
Namun, sebagaimana sebuah bangkai, kebohongan Trias lambat laun mungkin akan tercium oleh Airlangga. Mulai dari alamat seseorang yang tinggal di Bantul, fakta kepemilikan rumah orang Jakarta adalah karangan Trias semata agar menahan Airlangga sampai Abikara menemukan cara memulangkan Airlangga ke Jakarta.
Trias hampir saja mengucap syukur bahwa orang yang dimintai tolong oleh Adriana mencari Retno di Bantul hari itu adalah kenalannya, jadi ia dapat menyiapkan skenario agar Airlangga tidak curiga bahwa tidak pernah ada yang bernama Retno tinggal di Bantul.
Akan tetapi, sekarang bagaimana dengan rencana Airlangga menikahi Adriana? Ini sungguh gila. Trias tidak akan mampu berbohong lebih jauh lagi. Ia butuh Abikara untuk membawa Airlangga pulang dengan segera.
"Mas!"
"I-iya?" Trias gagap, di dalam pikirannya sekarang hanyalah menelepon Abikara secepatnya dan menemui Adriana agar menolak lamaran Airlangga.
"Lo ngelamunin apa?"
"Nggak ada. Aku cuma mikir mungkin kamu butuh les bahasa jawa? Kamu akan tinggal di sini kalau kamu menikahi Adriana bukan?"
Gila.
Trias pasti sudah gila sekarang. Jika ada orang yang punya predikat manusia paling munafik sedunia, mungkin Trias cocok mendapatkan gelar itu karena lancar sekali membohongi Airlangga.
"Mungkin? Tapi gue nggak berniat tinggal di sini lama, Mas."
"Maksudmu? Katanya kamu akan mengurus tempat ini. Atau kamu akan benar-benar menjual tempat ini kalau kepemilikannya sudah atas namamu?" Trias menelisik curiga. Baginya setiap keputusan Airlangga selalu membuat jantungnya tidak sehat.
"Hanya sampai satu tahun, kemudian memindahkan semua kepemilikannnya atas nama Mas Trias. Gue rasa Mas lebih berhak mendapat ini semua, gue cuma butuh itu untuk membujuk kakek, Mas."
"Sejak lahir aku tidak punya hak apa-apa, Lang."
Trias bangun dari duduknya, mendekati lemari pajangan dengan pintu kaca dan mengambil sebuah name tag, ada nama lengkapnya ditulis dengan warna putih. "Bahkan hanya sekadar bermimpi aku nggak punya hak." Trias tersenyum kecut.
"Untuk terakhir kalinya aku minta kamu pikirkan matang-matang, Lang. Setidaknya balas semua kebaikan ayahmu dengan meminta restunya barang satu kali saja." Trias menghadap dinding, diam-diam air matanya jatuh ketika memohon untuk Abikara.
Laki-laki itu tidak akan sampai hati jika melihat Abikara sakit hati akan sikap Airlangga. Demi Tuhan apakah tidak bisa Trias bertukar posisi saja dengan Airlangga bahkan hanya untuk satu malam? Jika itu dapat dilakukan, Trias akan menggunakan kesempatan itu untuk sekadar memeluk dan berterima kasih untuk kebaikan yang selama ini Abikara berikan padanya.
Trias mengambil napas panjang kemudian mengembuskannya seraya tersenyum ke arah Airlangga yang kini tengah mengotak-atik komputernya. "Aku mohon, Lang. Sekali saja kamu memaafkan Lik Abikara, setidaknya itu akan jadi kali terakhir kamu menjadi seorang anak sebelum menjadi seorang suami bukan?"
Sikap keras kepala Airlangga dengan santai menjawab, "Dia nggak pantas mendapatkan kehormatan itu."
Trias gagal. Hanya ada satu cara mengembalikan situasi seperti semula. ia harus memanggil Abikara datang ke Yogyakarta secepatnya.
ɪʏᴀᴀᴀ ᴀʙɪᴋᴀʀᴀ ʜᴀʀᴜs ᴄᴇᴘᴀᴛ ᴅᴀᴛᴀɴɢ sᴏᴀʟɴʏᴀ ᴋᴀʟᴏ ᴅɪᴀ ɴɢɢᴀᴋ ᴅᴀᴛᴀɴɢ ᴀᴋᴜ ɴɢɢᴀᴋ sᴇʟᴇsᴀɪ-sᴇʟᴇsᴀɪ ɴᴜʟɪsɴʏᴀ :(
ɴᴀɴɢɪs ʙᴀɴɢᴇᴛ ᴀᴋᴜ ʙɪᴋɪɴ ᴋᴏɴғʟɪᴋ ʀɪʙᴇᴛ ʙᴇɢɪɴɪ, ᴋᴀᴘᴏᴋ ᴋᴀᴘᴏᴋ :(
ᴍᴀᴜ ʙɪᴋɪɴ ʙᴜᴄɪɴ ʙᴜᴄɪɴᴀɴ ᴀᴊᴀ ʙᴇsᴏᴋ-ʙᴇsᴏᴋ ᴅᴀʜ :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top