ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ ʟɪᴍᴀ

ǝTHirëǝl
ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ

Adriana sengaja memperlambat pekerjaan terakhirnya. Di depan kitchen sink, Adriana sesekali menoleh pada lorong yang menghubungkan kitchen utama dengan ruangan Airlangga, memastikan laki-laki itu belum keluar setelah pekerjaannya selesai.

"Kenapa masih diterima? Kamu tahu ini sudah hampir jam sebelas, 'kan?"

Kegiatan Adriana teralihkan dengan suara Taufik yang tengah memegang gagang intercom dari bagian customer service. Semestinya, customer service memberi pengertian pada tamu bahwa jam terakhir masuk order adalah pukul setengah sebelas karena jam kerja mereka habis pada pukul sebelas malam. Butuh waktu untuk membersihkan semua peralatan untuk siap digunakan besok dan Taufik tidak ingin menambah jam kerjanya.

"Ada apa?"

Taufik menatap sosok Airlangga yang baru saja keluar dari ruangan. Seragamnya masih lengkap karena belum sempat mengganti jacket chef dengan pakaian biasa.

"Ada pesanan dari kamar tamu yang baru masuk, Chef."

Jawaban yang dikeluarkan Taufik membuat Airlangga melengos seketika. Matanya sempat bersibobok dengan Adriana yang baru saja menyelesaikan tugas terakhirnya.

"Tolak saja."

"Jangan, Chef." Adriana cepat-cepat memberikan usul. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, tetapi perempuan itu tidak tega jika ada tamu yang mungkin saja tidak dapat tidur karena kelaparan.

Adriana kembali meringiskan senyum ke arah Airlangga yang sekarang sudah menatapnya dengan kening berkerut. Perempuan dengan poni depan yang sudah menutupi keningnya itu mendekati Airlangga, menyakinkan bahwa Airlangga mungkin dapat memenuhi pesanan itu dengan cepat.

"Kita lihat seberapa cepat Chef Air memasak tanpa bantuan orang lain, bagaimana?"

"Kamu meragukan saya? Asal kamu tahu saja, makanan yang saya buat itu selalu spesial secepat apa pun prosesnya."

Ucapan bernada kepercayaan diri tingkat tinggi itu membuat Adriana kembali tersenyum, Taufik sendiri jadi bingung harus berbuat apa. Ia memilih diam, melihat interaksi dua orang yang kelewat dekat jika dibilang atasan dan bawahan yang tidak begitu akrab, menurut Taufik.

"Lebih baik kalian pulang lebih dulu, saya tidak butuh bantuan jika hanya memenuhi pesanan satu orang." Setelah mengucapkan kalimat itu, Airlangga bergegas meng-input pesanan dalam mode manual karena kitchen display system sudah dimatikan, mengambil bahan yang dibutuhkan kemudian menyalakan kompor.

"Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya ketika melihat Taufik dan Adriana justru memperhatikannya. "Saya sudah bilang saya tidak butuh bantuan kalian. Adanya kalian di sini justru mengganggu pergerakan saya."

"Tapi nanti siapa yang bersihkan peralatan yang digunakan Chef Air?" Adriana beralasan. Bukan sepenuhnya alasan, karena memang itulah yang menjadi tugasnya.

"Saya bisa melakukannya sendiri. Lebih baik kalian pulang," jawab Airlangga tanpa menoleh ke arah Adriana. Mata elang laki-laki itu fokus menatap cacahan bawang putih di depannya.

"Tapi ...."

Belum sempat Adriana menyelesaikan ucapannya, Taufik lebih dulu menarik perempuan itu keluar dari kitchen utama, meninggalkan Airlangga sendirian dengan segala perlengkapan dapur yang sudah ia simpan ke dalam rak penyimpanan.

"Apa sih, Chef! Main tarik-tarik saja. Memang aku karung beras!" Adriana memerotes setelah berhasil melepaskan cengkeraman Taufik dari lengannya.

"Kamu dengar apa yang tadi Chef Airlangga bilang, 'kan? Hari ini mood Chef Airlangga sedang baik, jangan hancurkan mood itu karena besok mungkin dia bisa kembali galak lagi. Chef Airlangga itu kalau bicara pedas banget tahu."

Adriana berkacak pinggang mendengar pendapat Taufik tentang Airlangga. Oke! Adriana tahu jika Airlangga adalah orang yang galak, cerewet, bawel, kasar, tapi bukankah apa yang dikatakannya selalu benar? Seharusnya Taufik tidak mengatakan hal buruk bagi Airlangga, terlebih di depan Adriana yang berstatus kekasih Airlangga.

"Aku tahu Chef Airlangga galak, tapi bukan berarti dia akan marah pada setiap perilaku yang aku buat jika aku nggak berbuat kesalahan. Dia tegas, bukan gila. Lagi pula itu tugasku untuk merapikan semua pekerjaan Chef Airlangga."

"Tapi Chef Air sendiri yang sudah suruh kamu pulang tadi, An."

Adriana menghentakkan kakinya satu kali. "Lebih baik Chef Taufik pulang duluan, aku bisa pulang sendiri kalau shift-ku sudah selesai."

Taufik hanya menggelengkan kepalanya pelan melihat keluakuan Adriana yang sekarang tengah berjalan kembali ke kitchen utama. Laki-laki itu mengambil tas, kemudian berjalan keluar sambil menitipkan pesan pada security bahwa di dalam masih ada orang.

****

"Kenapa kamu masih di sini?" Airlangga yang sedang mengaduk nasi goreng dalam wok pan menoleh pada Adriana sekilas.

Menatap jam digital yang terpasang pada tembok untuk mengetahui jam-jam sibuk restoran menunjukkan pukul sebelas lewat empat menit, dia masih punya waktu enam menit sebelum hidangan disajikan.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Adriana menghampiri Airlangga yang baru saja menuangkan nasi goreng buatannya ke dalam piring. Aromanya yang keluar dari nasi goreng buatan Airlangga keluar kuat. Perut Adriana jadi lapar karena tadi tidak sempat makan malam.

"Kenapa kamu balik lagi?" Bukannya menjawab, Airlangga justru balik bertanya.

Lincah tangannya mengocok telur di dalam wadah secara cepat dan memasukkannya ke dalam frypan berukuran 26 CM yang sebelumnya sudah disemprotkan minyak. Dengan spatula kayu Airlangga memutar telur di dalam frypan agar mendapat panas yang merata.

"Lang, aku senang tadi kamu nyuruh aku pulang sama Taufik dan bilang kami mengganggu. Kayaknya Taufik jadi nggak curiga. Akting kamu bagus." Adriana mengangkat kedua ibu jarinya.

Airlangga menatapnya dengan raut bingung dan menggelengkan kepalanya pelan. Ia kembali fokus pada makanan yang sedang disusun di atas piring. "Siapa yang akting? Aku bicara sejujurnya. Kehadiran kamu di sini memang mengganggu. Aku nggak pernah mau main-main ketika berada di dapur."

"Jadi menurut kamu aku ganggu kamu?" Adriana memastikan.

Airlangga mengangguk. Adriana melemparkan spatula yang digenggamnya ke atas meja stainless. Menyebalkan! Pacar macam apa yang mengatakan perempuannya mengganggu? Adriana berbalik kemudian melipat tangannya di depan perut, sementara Airlangga berusaha mati-matian menahan tawa melihat reaksi Adriana.

Menurutnya, lucu saja menggoda Adriana.

Intercom kembali berbunyi, Adriana dengan sigap mengangkat dan mengatakan bahwa pesanan yang diminta oleh tamu sudah siap dan dapat segera diambil. Tidak lama seorang pegawai perempuan datang untuk mengambil pesanan, wajahnya dipoles make up sesuai standard operasional, stelan blazer hitam yang dikenakannya membentuk tubuh bak biola dengan pas, ketukan hak setinggi dua belas centi dengan mantap berjalan mendekati Airlangga.

"Maaf, Chef. Saya janji ini yang terakhir." Wanita itu berucap penuh sesal.

"Tidak masalah."

Biasanya Airlangga akan mengatakan 'Saya tidak butuh janji, yang saya mau adalah kamu menepatinya tanpa banyak bicara.' tetapi kali ini suasana hatinya sedang baik, karena tahu Adriana mengkhawatirkannya dengan kembali ke kitchen. Namun, senyum Airlangga ditangkap berbeda oleh Adriana yang berada di sampingnya.

Adriana menduga bahwa Airlangga tersenyum karena mendapat kesempatan bertemu dengan customer service cantik ber-name tag Naya itu. Oleh karena itu, Adriana yang kesal mencubit pinggang Airlangga dari belakang. Naya melebarkan matanya ketika Airlangga tiba-tiba berteriak.

"Chef Airlangga baik-baik saja?" tanya customer service yang Adriana tahu bernama Naya itu.

"Chef Airlangga nggak baik-baik saja. Dia sedang punya bisul, mungkin tadi kena jahitan baju.

"Ohh begitu." Naya tersenyum kaku. Lebih seperti tidak percaya jika laki-laki setampan Airlangga memiliki bisul.

Sementara Airlangga lebih seperti tidak peduli dengan apa yang dikatakan Adriana. Toh, apa pun yang ada di pikiran Naya saat ini tidak akan berpengaruh apa-apa padanya.

"Sebaiknya kamu bergegas antarkan makanan ini pada tamu, saya tidak suka makanan yang saya buat susah payah dingin sebelum sampai di depan pelanggan."

"Baik, Chef."

Setelah Naya pergi, Adriana berbalik untuk mengambil semua peralatan yang baru saja Airlangga gunakan dan membawanya pada kitchen sink. Tanpa mengatakan apa pun, perempuan berusia 22 tahun itu mencuci semua peralatan hingga sepasang tangan melingkar di perutnya.

"Rajin banget."

"Iya. Biar gajiku besar, jadi nggak akan mengganggu siapa-siapa." Adriana menyikut pelan Airlangga yang berada di belakangnya agar melepaskan rangkulan.

Jawaban ketus Adriana membuat Airlangga tertawa. "Aku suka kamu marah."

Adriana tidak menghiraukan, setelah selesai mencuci perempuan itu menyimpan peralatan sesuai dengan tempat yang sudah disediakan dan melepas apron plastik yang ia gunakan untuk mencuci tadi.

"Saya pulang duluan, Chef."

Airlangga menarik pelan lengan Adriana dan mengacak-acak rambutnya. "Antar aku pulang, ya? Kayaknya bisul bikin aku nggak bisa pulang sendiri."

Ucapan Airlangga mau tidak mau membuat Adriana tertawa. Ia memukul pelan pundak Airlangga seraya merapikan rambut yang berantakan karena ulah Airlangga. "Tadi kok nggak nyangkal?"

"Kalau aku nyangkal kamu ketahuan bohong sama pegawai tadi."

"Memang kenapa kalau aku ketahuan bohong sama Naya?" Adriana melebarkan tangan kanannya, memberikan akses agar Airlangga menggenggam tangannya. Gayung bersambut, Airlangga dengan mantap mengisi sela-sela jari Adriana dan mengajaknya ke ruangan. Laki-laki itu harus ganti baju sebelum pulang.

"Siapa Naya?"

"Customer service yang tadi." Adriana menatap Airlangga tidak percaya, padahal Adriana yang dari jauh saja dapat membaca name tag yang digunakan perempuan bertubuh biola tersebut.

"Ohh ... Mana aku tahu namanya."

"Kan ada di name tag, Lang."

"Kenapa aku harus baca name tag-nya? Itu bukan hal penting untuk aku."

"Kenapa begitu?" Adriana tidak mengerti dengan Airlangga. Apa laki-laki ini sama sekali tidak pernah memperhatikan sekitarnya? Adriana jadi teringat Niur, perempuan itu Adriana dengar sudah menyukai Airlangga sejak lama, tetapi kenapa Airlangga seolah tidak tahu akan hal itu?

"Buatku dia siapa dan dia bagaimana nggak begitu penting. Sama seperti yang tadi kamu tanya, kenapa aku nggak protes saat aku berbohong? Itu karena aku nggak peduli dengan apa yang dia pikirkan tentang aku, yang aku pedulikan hanya apa yang dia pikirkan tentang kamu."

Adriana mengangguk kaku, seulas senyum tersimpul dengan samar di sudut bibirnya ketika mendengar ucapan Airlangga.

"Kamu nggak perlu cemburu berlebihan Adriana. Karena saya bukan orang yang suka melihat ke kanan atau pun ke kiri. Saya hanya fokus melihat ke depan."

Perkataan Airlangga barusan menunjukkan bahwa Nana benar-benar sudah mati di hidupnya bukan? Karena mungkin saja Airlangga juga tidak ingin melihat ke belakang, seperti masa lalu mereka.

Adriana jadi bimbang dengan langkah apa yang harus dia ambil. Apakah dia harus jujur? Atau meninggalkan semua yang ada pada lima belas tahun belakangan? Sepertinya ia butuh saran, dan Trias adalah orang yang tepat untuk hal ini.

Yaudah aku nggak bilang apa-apa, cuma makasih kalian udah sampai disini 😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top