ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ sᴇᴍʙɪʟᴀɴ

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Makan siang di rumah Adriana terasa berbeda kali ini, sejak putri sulungnya mengutarakan rencana kedatangan Airlangga, perempuan paruh baya itu langsung diam seribu bahasa.

Ia bukan wanita dengan pendidikan tinggi, jelas rencana menikah muda sebetulnya akan sangat menggembirakan untuk Arum karena mereka tinggal di pedesaan. Namun, yang jadi masalah adalah perihal dengan siapa Adriana memantapkan pilihannya. Kenapa harus Airlangga dari sekian banyak laki-laki yang dapat ia pilih?

Tiba-tiba saja dering telepon memutuskan keheningan itu, Arum bergerak was-was, menerima telepon sembari keluar dari rumah. Tidak lama kemudian wanita itu kembali dan meletakkan ponsel di samping piring nasi dengan lauk ikan pindang yang sisa setengah.

"Besok kamu minta cuti sama atasanmu, bantu ibu buat pesenan klanting."

Adriana menggaruk tengkuk, lebih seperti orang kebingungan dengan sikap yang disampaikan Arum padanya.

"Ibu marah sama Ana?"

"Untuk apa Ibu marah? Ibu cuma kaget saja dengan permintaan kamu. Apa kamu yakin keluarga besar Airlangga akan menerima kamu? Lagi pula apa kata tetangga kalau kamu tiba-tiba menikah bahkan dengan orang yang baru kamu kenal?"

"Aku kenal Mas Elang sudah lima belas tahun, Bu."

"Kamu kenal dia lima belas tahun lalu. Selama lima belas tahun apa dia kenal kamu? Tidak toh? Kalian sudah asing, bahkan dia ndak mengingat kamu siapa saat kamu ada di sampingnya, Adriana."

Adriana dapat merasakan jelas intonasi bicara Arum meninggi meski wanita yang kini menginjak usia kepala lima mencoba menahan nada suara. Belum sempat Adriana menyuarakan bujukan, Arum kembali bersuara.

"Lalu bagaimana dengan Mas Abikara? Kamu yakin dia akan setuju kamu menjadi istri Airlangga? Kamu itu harusnya sadar, Adriana. Mereka berbeda dengan kita, dia Airlangga, bukan Trias. Kita bukan siapa-siapa bagi keluarga besar mereka."

Air mata Arum jatuh ketika dengan terpaksa ia harus menyakiti hati Adriana. Ia tahu, lebih dari siapa pun bahwa laki-laki yang selama ini diharapkan Adriana hanyalah Airlangga. Namun, Adriana harus realistis, Airlangga punya dunia yang berbeda dengannya.

"Kalau kamu tanya Ibu setuju atau nggak, jawaban ibu tidak setuju. Hubungan kalian juga baru seumur jagung, lebih baik kamu fokus pada pekerjaan dulu untuk biaya sekolah adik-adikmu. Apa kamu mau kita terus jadi pengemis dengan belas kasihan orang hanya untuk menyekolahkan adikmu?"

Perkataan telak yang dilemparkan Arum menghantam rasionalitas Adriana. Perempuan itu lupa jika ia harus bekerja demi kedua adiknya agar dapat mengeyam pendidikan yang sama sepertinya. Sejak kematian Aryo—Ayah Adriana—Adriana bertekad untuk bekerja giat agar kedua adiknya mendapatkan kehidupan yang layak, meski sekarang mereka berkecukupan, tetapi hidup dengan bantuan orang lain bukanlah hal yang Adriana inginkan.

Adriana mengambil ponselnya, mencari kontak Airlangga untuk menghubungi laki-laki itu sesegera mungkin.

"Hh hallo, Lang," ucapnya terbata, ia mengambil handuk kecil guna menutupi speaker ponsel agar Airlangga tidak mendengar suara sumbangnya.

"Iya, Adria? Kamu sudah bicara dengan ibu kamu? Siang ini aku jemput di rumah, ya? Kita makan siang bareng."

Di seberang telepon Airlangga berkata lembut, terdengar alunan tawa ringan darinya ketika mengusulkan ide makan siang.

"Aku belum bilang sama ibu, ada banyak pesanan juga tamu di rumah. Aku mau minta cuti satu hari untuk besok bisa? Mungkin aku akan ngomong sama ibu besok pagi atau malam ini."

Sejujurnya Airlangga bukanlah orang yang dapat menoleransi izin secara pribadi, loyalitasnya dipertaruhkan dan ia tidak ingin dicap sebagai orang yang melalaikan jabatan hanya karena seorang gadis.

"Lang?"

"Maaf, Adriana. Aku nggak bisa kasih izin dengan alasan seperti itu. Bagaimana kalau kamu besok tukar sif? Kamu bisa masuk siang bersama Arial besok, lagi pula masa percobaan sudah selesai, kamu bebas memilih sif."

Airlangga memberikan opsi, bagaimanapun ia adalah atasan Adriana di d'Amore.

"Iya, begitu lebih baik." Adriana memelankan suaranya.

"Kamu baik-baik saja, Adriana? Kamu marah karena aku nggak beri izin?"

"Nggak kok, cuma sejak tadi ibu marah-marah karena banyak kerjaan. Aku tutup dulu, ya, Lang." Adriana mencoba berbohong kepada Airlangga untuk kesekian kalinya.

"Oke, jaga kesehatan. Nanti malam aku telepon kamu bagaimana?"

"Boleh. Aku tutup dulu teleponnya."

Setelahnya Adriana hanya merebahkan dirinya pada kasur yang hanya muat untuk satu orang. Ditatapnya sebuah figura kecil yang berdiri di atas meja belajarnya, Itu foto Adriana bersama Airlangga ketika acara ulang tahun Adriana yang ke tujuh.

Adriana menguap, belakangan ini kantuk lebih sering menyerangnya, mungkin karena badannya lelah bekerja. Perempuan itu memutuskan untuk tidur sejenak.

****

Seingat Adriana ia hanya tidur sebentar, tapi kenapa hari sudah gelap?

Ia mengecek jam dinding yang terpasang di sebelah kiri, kemudian mengumpat keras ketika jam menunjukkan pukul delapan malam. Itu berarti, ia hampir sembilan jam tertidur. Sebenarnya ia tidur atau pingsan?

Adriana bergegas keluar kamar, mengikat asal rambut panjangnya dengan ponytail. Namun, gerakannya terhenti ketika melihat siapa yang ada di ruang tamu. Ia tersenyum kikuk, menggaruk tengkuk sebelum berpamitan dengan sopan ke kamar mandi.

"Ibu kok nggak bangunin Ana kalau ada paman?" Adriana memerotes ketika ibunya masuk ke dapur untuk mengambil air minum.

"Ibu wes nggugah koe saduru nge Maghrib! Koe tidur wes koyo orang mati." Arum tidak banyak berdebat. Ia mengangkat pelan panci susu yang digunakan untuk menyeduh kopi.

"Paman kok nggak kasih kabar kalau mau ke sini, Bu?"

"Sudah mandi kamu! Masih malas begini saja mau nikah, bagaimana nanti kamu urus suamimu? Dikasih makan rumput nanti suamimu!" Arum menyikut Adriana yang tidak juga masuk ke dalam kamar mandi.

"Mas Elang, 'kan, pinter masak, Bu. Masa dia mau makan rumput yang aku sediakan."

Jawaban asal Adriana membuat Arum geram dan memukul putrinya dengan centong kayu yang tergantung di depan kompor. Adriana terpekik sebelum berlari ke arah kamar mandi.

Hanya butuh waktu lima belas menit, Adriana bergabung di ruang tamu. Jantungnya terpaksa memompa dengan kecepatan penuh ketika duduk di hadapan sosok yang kini tersenyum hangat di depannya.

(Kalau Pak Abikara begini, aku mau jadi mama tiri Airlangga)

Laki-laki, berusia 55 tahun dengan kemeja biru navy gelap yang digulung hingga lengan juga celana bahan hitam serta sepatu mengkilap, rambutnya sedikit berantakan dengan kacamata bulat yang ia lepas ketika memandang Adriana.

"Apa kabar, Adriana?" Seperti biasa, tutur kata yang keluar dari laki-laki paruh baya yang sama sekali tidak terlihat tua itu sangat halus juga bersahaja.

"Ba-baik, Paman." Adriana menundukkan kepalanya.

"Paman nggak tahu harus mulai dari mana mengatakan ini, Adriana. Tapi bisakah kamu menjauh dari Airlangga?" Abikara menumpukan kedua tangannya pada ujung lutut, mencoba mencari wajah yang selama ini sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri.

Bibir Adriana kelu, hati dan lidahnya menolak untuk menjawab permintaan Abikara yang sangat tiba-tiba. Apa Abikara jauh-jauh datang ke Jogja hanya untuk mengatakan hal ini? Bagaimana cara agar Adriana dapat menolak jika selama ini Abikara adalah orang yang paling ia hormati.

Adriana hanya diam, tidak berani menatap Abikara barang sedetik pun. Tangannya terkepal kuat, berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berlalu.

"Adriana kamu tahu Paman sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri bukan? Jika kamu mau menganggap Paman sebagai ayah kamu, bisakah kamu mengabulkan permintaan paman yang satu ini?"

"Tapi kenapa? Apa Lik Abi berpikir aku tidak pantas untuk Mas Elang juga kayak Ibu?" Adriana memberanikan diri untuk mengeluarkan suaranya.

Arum yang duduk di sampingnya dengan cepat memukul wajah Adriana agar tidak berbicara sembarangan.

"Arum! Aku sudah bilang jangan pakai kekerasan. Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Abikara menghentikan tangan Arum yang ini memukul Adriana untuk kedua kalinya. Abikara menepuk kursi di sebelahnya, meminta Adriana duduk di sampingnya agar lebih mudah menjauhkan Adriana dari Arum.

Mata Abikara berkaca-kaca, ia terpaksa harus mengulang kejadian delapan tahun lalu yang ia anggap sebagai mimpi paling buruk di dunia.

"Kamu ingat bagaimana ayah kamu meninggal, Adriana?"

Adriana mengangguk kaku, sementara air mata menetes di kedua matanya. "Kecelakaan beruntun, dan ayah mendonorkan matanya untuk korban lainnya, 'kan?"

"Sebetulnya ayah kamu nggak mendonorkan matanya pada korban, Adriana. Tapi pada tersangka tabrakan saat itu." Abikara memejamkan matanya erat. "Dan dia adalah Airlangga."

Adriana hampir saja tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Abikara. Bagaimana mungkin itu terjadi? Dan kenapa fakta ini disembunyikan hingga begitu rapat? Dan apa hubungannya dengan hubungan Adriana dan Airlangga sekarang? Bukankah itu bagus karena berarti ada bagian diri Aryo yang akan selamanya menjaga Adriana?

Pertanyaan-pertanyaan itu mencuat di kepala Adriana tanpa satu pun ia suarakan.

"Selama delapan tahun Paman menebus semua kesalahan Airlangga dengan membiayai kalian meski Paman tahu itu tidak akan pernah cukup meski Paman memberikan nyawa Paman sekalipun. Paman dan Bibi Ayunda adalah pengkhianat paling kejam yang menghancurkan masa depan kalian, Adriana."

Bahkan selama delapan tahun pun rasa bersalah masih membungkus dada Abikara perihal kematian Aryo, sahabatnya. Laki-laki yang kini berusia 55 tahun itu meneteskan air mata yang sejak keberangkatannya dari Jakarta ia tahan.

"Tunggu. Jadi maksud Paman, orang yang dicari Mas Elang adalah ...." Adriana menjeda ucapannya. "Ibu?"

Abikara mengangguk susah payah, sementara Adriana tertawa perih mendengar fakta yang sama sekali tidak ia duga. Airlangga bahkan mengharapkan ibunya segera mati menggantikan Ayunda. Kenapa Airlangga bisa salah paham seperti ini? Setidaknya itulah yang ingin Adriana tahu saat ini.

"Airlangga salah paham dengan tulisan yang dibuat Ayunda. Ayunda menuliskan seorang pengkhianat itu untuk menggambarkan dirinya sendiri. Tapi Airlangga salah paham dengan tulisan ibunya." Abikara menjelaskan.

"Kalau begitu mudah, 'kan? Kita tinggal luruskan masalah ini sama Mas Airlangga. Dengan begitu Mas Airlangga akan mengerti dan berhenti marah." Adriana bangkit dari duduknya dan berlari menuju kamar, mengambil ponsel dengan niat menghubungi Airlangga sebelum benda itu direbut oleh Trias.

"Kamu nggak boleh hubungin Airlangga."

"Kenapa? Mas Airlangga harus tahu ini semua. Aku nggak mau Mas Airlangga salah paham sama ibu."

Abikara berdiri di hadapan Adriana, Adriana sempat melebarkan matanya ketika tiba-tiba Abikara menjatuhkan lututnya di depan Adriana. "Kalau perlu saya akan berlutut di hadapan kamu untuk memohon agar kamu dapat merahasiakan ini semua dari Airlangga, Adriana."

Adriana mundur dua langkah ketika melihat Abikara berlutut di hadapannya. Dadanya sesak melihat orang yang selama ini ia hormati berlutut dengan roman kekecewaan.

"Saya mohon, Adriana. Jangan biarkan Airlangga tahu semuanya. Saya tidak sanggup melihat Airlangga hidup dalam kurungan penyesalan seperti yang saya alami selama delapan tahun ini. Saya rela Airlangga membenci saya asalkan ia dapat hidup baik-baik saja."

Trias yang sejak tadi tidak bersuara meneteskan air matanya. Beginikah rasanya memiliki ayah seperti Abikara? Laki-laki yang kerap disegani itu bahkan rela berlutut demi anaknya yang tidak tahu diri itu.

"Kamu tahu Ayunda istri saya meninggal satu tahun lalu, 'kan, Adriana? Depresi memicu penyakitnya tambah parah, selama enam tahun Ayunda selalu melabeli dirinya sebagai pengkhianat karena mengorbankan Arum, sahabatnya demi Airlangga. Ayunda tidak bisa memaafkan dirinya, penyakit itu semakin menggerogoti Ayunda karena rasa bersalah yang bercokol dalam hatinya. Saya tidak ingin Airlangga bernasib sama dengan ibunya, Adriana."

"Lik Abi, bangun, Lik." Trias mencoba mengangkat Abikara dan posisinya berlutut.

"Saya berjanji akan secepatnya mencari cara agar Airlangga tidak mengganggu kalian lagi. Saya mohon, jangan biarkan Airlangga hidup dalam perasaan bersalah."

Adriana menjatuhkan dirinya di samping sofa. Tangisannya pecah saat mendengar kenyataan yang keluar dari mulut Abikara. Akhirnya Adriana tahu alasan Arum melarangnya bersama dengan Airlangga, tetapi kenapa rasanya begitu sakit?

Menurut kalian langkah Adriana selanjutnya apa? Jujur atau beneran ninggalin Airlangga?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top