ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Adriana sudah akan memberi kabar pada Airlangga kalau hari ini ia harus pulang ke rumah karena sekitaran sana ada acara. Ia diminta ibunya membantu membuat banyak kue untuk diantarkan pada acara di sekitaran desanya. Namun, ketika sampai di Taman Wisata, ponselnya mati. Dengan begitu ia tidak dapat menghubungi Airlangga hingga sampai di rumah malam nanti.
Tempat dengan konsep gardu pandang setinggi lima meter menjadi pilih Taufik kali ini. Ia membawa sebuah kamera saku untuk sekadar mengabadikan pemandangan yang jarang ia lihat. Aneh, semestinya Taufik sudah terbiasa, wisata Bukit Klangon tidak jauh dari rumahnya, hanya butuh waktu belasan menit untuk sampai di sana.
"Kamu kenapa, An?" tanya Taufik ketika mendapati Adriana sibuk dengan ponselnya yang mati.
Meski Adriana menampilkan ekspresi baik-baik saja, dengan melempar senyum pada Taufik yang berjalan dua langkah di depannya, Taufik tahu jelas jika ada sesuatu yang Adriana sembunyikan. Perempuan itu berlari kecil, kemudian menyamakan langkah pada laki-laki yang lebih tinggi darinya.
Tidak begitu peduli, Taufik kemudian membalas senyum ketika Adriana berada di sampingnya. Menarik pelan ujung rambut perempuan di sebelahnya kemudian tertawa ringan sebagai balasan pekikan Adriana.
"Kayaknya seru kalau ajak yang lain ke sini, ya, Chef." Adriana menatap sekeliling. Mengalihkan tatapan Taufik yang sejak tadi berpusat padanya.
Agaknya setelah ini Adriana terpikirkan untuk menjaga jarak. Ia tahu—mungkin agak sedikit terlambat tahu—jika Taufik kini menaruh hati padanya. Ini seperti yang sudah-sudah pernah ada di radius kehidupannya, di mana ada kakak kelas atau teman sekelasnya mendekati untuk menjalin hubungan yang lebih lanjut.
Namun, sayangnya semua yang datang dalam kehidupan Adriana tidak dapat menggantikan posisi Airlangga yang sudah terlanjur menetap tanpa mau pergi sama sekali. Katakanlah Adriana bodoh, tetapi bagaimana ia dapat menggantikan orang yang jelas-jelas kini ada di hadapannya?
Airlangga mungkin melupakannya, tetapi Adriana tidak. Apa menghapus memori dalam otak semudah kita menggoreskan penghapus karet pada lembar kertas? Tidak, bukan?
"Memang kalau hanya sama aku nggak seru?" tanya Taufik. Ia sedikit paham dengan arah pembicaraan Adriana.
"Seru saja sih, cuma kurang sesuatu begitu. Bagaimana kalau nanti usul ke Chef Air untuk wisata bareng? Kalau bisa Chef Air yang masak untuk bekalnya." Adriana berbicara asal, mimik wajahnya berseri ketika menyebutkan nama Airlangga dan Taufik menangkap itu dengan baik.
"Kamu suka sama Chef Airlangga, An?"
Adriana tidak dapat tidak terkejut mendengar ucapan spontan Taufik. Baginya, perasaan terhadap Airlangga bukanlah suatu hal yang harus ia umbar, terlebih Airlangga adalah atasannya. Adriana pernah sakit hati mendengar penolakan dari Airlangga, dan ia tidak ingin ada orang lain yang menganggap perasaan itu sebuah lelucon.
"Kenapa Chef Taufik bicara begitu?"
Taufik tidak langsung menjawab, ia naik dan duduk pada gardu pandang berbahan kayu, menatap pada pemandangan Gunung Merapi yang terlihat jelas dari atas sana. Wisata alam yang bernama asli Bukit Glaharjo ini sebetulnya tempat yang cocok untuknya jujur akan perasaan.
"Nggak apa. Cuma nebak saja sih. Aku lupa kalau kamu sudah ada orang yang kamu suka." Tanpa sadar Taufik mengatakan hal yang disampaikan Arial sesaat sebelum mereka pergi.
Kening Adriana bertaut samar. Dari mana Taufik bisa menyimpulkan seperti itu? "Maksud Chef Taufik apa? Siapa orang yang aku suka? Chef Taufik tahu dari siapa?"
"Maksudku ... aku hanya dengar-dengar saja, kok. Nggak pasti juga."
Rasanya Taufik ingin sekali memaki dirinya sendiri. Kenapa juga ia bisa keceplosan seperti ini? Seharusnya ia berusaha lebih keras agar dapat menggantikan laki-laki yang Adriana suka itu, bukan malah cemburu tanpa kejelasan dengan Airlangga yang ia tahu itu adalah hal yang tidak mungkin.
"Sudah sore, Chef. Aku harus pulang. Mau bantu ibu buat kue di rumah."
Setelahnya Adriana turun tanpa mempedulikan seruan Taufik yang mengejarnya. Ia tersinggung, sudah jelas pasti Taufik tahu semuanya dari Arial. Mungkin setelah ini Adriana akan membuat perhitungan dengan Arial karena sudah bermulut ember. Tunggu saja!
****
Setelah dibalut plester, Airlangga meringis ketika memegang gelas untuk mengusir dahaga. Hari ini ada acara desa yang diadakan setiap tahun. Hadimulyo-kakek Airlangga-sudah siap dengan banyak makanan yang akan diantarkan ke kantor desa. Lebih banyak dari biasanya, karena beranggapan kepulangan Airlangga ke rumahnya adalah sebuah berkah.
"Lang, kamu bantu aku antar makanan ke tempat acara ayo." Itu Trias, setelah semalaman mendiami Airlangga, laki-laki itu kembali dan meminta Airlangga membantunya mengantar makanan ke balai desa.
"Males."
Tepat Airlangga selesai dengan perkataan yang amat singkat itu, bantal kembali mendarat di kepalanya.
Sial! Sepertinya Trias tidak akan membiarkan Airlangga bersantai barang sehari saja di rumah kakeknya.
"Ayo!" Trias menarik kaki panjang Airlangga hingga sprei yang melapisi kasur terseret bersama Airlangga.
"Sabar!"
Airlangga gerah sendiri. Sejak dulu, Trias adalah satu-satunya orang yang bisa berbuat seenaknya pada Airlangga karena Abikara selalu membelanya. Ia bangkit dari posisinya kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Dengan wajah cemberut ia menerima wadah berisi makanan yang diberikan oleh Amira--Ibu Trias-- kemudian mengikuti langkah kakak sepupu yang lebih muda satu tahun itu keluar.
"Lang, aku ada hal yang mau ditanyain sih sebetulnya." Ada nada ragu yang kentara terdengar dari suara Trias ketika mereka melewati pagar yang ditumbuhi tanaman rambat.
"Apa?"
Kini, mereka melewati rumah kosong yang kemarin membuat Airlangga merasakan denyut di kepala. Ia berjalan lebih pelan dari biasanya, kemudian menyunggingkan senyum remeh sebelum menggelengkan kepala melihat rumah tua yang pondasi utamanya kayu tersebut.
"Kamu ingat siapa yang pernah tinggal di sana?"
Tidak ada respons berarti dari Airlangga. Matanya masih menyorot pada ingatan masa lalu yang samar-samar memenuhi kepalanya. Sebelum ini, Airlangga sempat menduga jika suatu saat mungkin akan bertemu kembali dengan sosok yang pernah amat ia rindukan. Airlangga memilih menggeleng sebagai respons untuk Trias.
"Mas Trias! Loh! Chef Airlangga?"
Percakapan keduanya terhenti ketika sebuah suara menyapa dari jarak lumayan jauh. Kompak menoleh, Trias menyunggingkan senyum pada Adriana, sementara Airlangga hanya membuang muka melihat cook helper yang menyebalkan itu.
"Hai, An. Kamu ikut bantu juga?" Trias berbasa-basi, mereka berjalan bersisian dengan Trias di posisi tengah.
"Iya, Mas. Kemarin di telepon ibu. Apa kabar, Chef?" Adriana mencondongkan badan ke depan, mencari wajah Airlangga yang sejak kedatangannya tidak bersuara.
Airlangga membuang muka. Adriana bergeser ke sampingnya dengan menarik pelan tangan Trias agar mau bertukar posisi. Baru saja perempuan itu ingin membuka suara, perhatiannya teralih pada plester di tangan Airlangga.
"Tangannya kenapa, Chef? Kok bisa luka?" Sekonyong-konyong Adriana menarik tangan Airlangga, meneliti jari yang membengkak sejak malam. "Parah banget loh ini, Chef."
Airlangga menarik kasar tangannya. "Bukan urusan kamu!"
"Bukan urusan aku bagaimana? Kan kita pacaran." Lagi-lagi Adriana melemparkan senyum jenakanya yang lebih seperti ejekan di mata Airlangga.
"Kalian pacaran?!" tanya Trias yang sejak tadi menguping pembicaraan keduanya.
"Iya!"
"Nggak!"
Suara Adriana dan Airlangga terdengar berbarengan.
"Mas Trias lebih percaya siapa?" Adriana menantang.
"Lebih percaya kamu sih."
"benar, 'kan!" Adriana menunjuk Airlangga kemudian memicingkan mata.
Trias tertawa. Ekspresi Airlangga terlihat lucu di matanya. Terlebih ketika laki-laki kelahiran Jakarta, 28 tahun lalu itu berjalan lebih cepat guna meninggalkan Adriana.
Trias menahan Adriana yang ingin menyusul Airlangga di sela tawanya. "Jadi kamu sudah jujur sama Elang? Aku senang dengarnya kalau begitu."
Adriana menggeleng. "Belum, Mas?"
"Loh? Bagaimana maksudnya? Kamu belum jujur kalau kamu Nana sama Elang tapi kalian sudah berhubungan." Trias membuka tutup baskom berisi berbagai macam kue yang dibawa Adriana, mencomot satu kue sus berisi susu dan memakannya.
"Memang nggak bisa ya, Mas. Kalau Nana dikubur saja hidup-hidup?"
"Maksudnya? Kamu mau aku kubur hidup-hidup? Sudah bosan hidup kamu?" Salahkan ucapan Adriana yang terdengar ambigu di telinga Trias.
"Maksudnya ... Anggap saja kenangan aku sama Kak Elang sudah nggak ada, nggak ada Nana, adanya hanya Adriana yang sekarang. Bukannya itu nggak penting, ya, Mas? Kita nggak hidup di masa lalu, 'kan? Kalau Kak Elang nggak mau ingat, aku nggak masalah, kok." Adriana berusaha menjelaskan.
Kemarin, setelah ia berpikir semalaman, Adriana memutuskan untuk melepaskan kenangan lima belas tahun lalu. Baginya, ada atau pun tidak ada kenangan itu, Airlangga tetaplah Airlangga, mungkin itu tidak menjadi masalah bagi Adriana. Namun, tidak untuk Trias.
"Jadi kamu selamanya nggak akan jujur sama Elang?"
Adriana hanya mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Trias. Laki-laki itu menghela napas, kemudian mengambil satu jenang buatan ibunya dari dalam baskom dan memakannya.
"Menurut Mas Trias bagaimana?" tanya Adriana. "Jangan makan sambil jalan toh, Mas!"
"Menurutku, ya? Sebuah hubungan kalau kamu jalani dengan ketidakjujuran nggak akan berakhir baik. Kalau menurutku, mau bagaimanapun respons Elang nantinya, kamu harus jujur. Dalam membangun sebuah hubungan transparansi sangat dibutuhkan, An." Trias berkomentar.
Airlangga sudah tidak terlihat dari jarak pandang mereka. Rupanya laki-laki itu mengikuti rombongan ibu-ibu yang juga mengantar kotak kue ke balai desa.
"Apalagi kamu tahu kepala Airlangga itu seperti batu kali, keras. Jangan coba-coba sembunyikan sesuatu dari Airlangga, An. Karena kalau Airlangga sampai tahu dari orang lain, nasibmu akan sama seperti Lik Abi."
Adriana diam mendengar perkataan bernada peringatan dari Trias. Adriana hampir lupa dengan permasalahan Airlangga dengan Abikara, ia tidak ingin Airlangga berakhir mendiaminya seperti yang laki-laki itu lakukan pada Abikara.
Sesampainya mereka di balai desa, keduanya mendapati Airlangga dikerumuni ibu-ibu yang sesekali mencubit gemas pipi atau lengannya, melempari pertanyaan yang Airlangga sendiri kelimpungan menjawabnya.
Trias tertawa paling kencang melihat Airlangga menjadi idola baru ibu-ibu di sana. Setidaknya, kali ini Trias akan terbebas dari pertanyaan kapan nikah? Sudah punya calon atau belum? Karena sekarang ibu-ibu itu punya target baru.
Apa ya? Disini nggak ada glosarium atau pengertian yang ribet sih menurutku.
Tapi karena sudah sampai di bab 40 (rasa 20) ini, aku mau ngucapin terima kasih aja deh karena kalian sudah stay di sini :)
Udah itu aja, udah nggak lagi.
Bye!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top