ᴇᴍᴘᴀᴛ

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •


"Chef Air belum datang?"

Adriana bertanya ketika tangannya memasang topi panjang di atas kepala. Kini, perempuan berusia 22 tahun itu tengah berjalan dari loker menuju hot kitchen, mengikuti langkah Aji Saka, seorang butcher yang hendak memulai sif bersamanya.

Aji Saka menoleh, ia menepuk pundak Adriana seraya tertawa pelan. "Mana mungkin Chef Air belum datang? Dia bahkan bisa ada di station sebelum ayam bangun dari tidurnya."

Ternyata sikap tegas yang digadangkan Airlangga terbukti benar adanya. Ketika langkahnya sampai pada station, sosok 178 CM dengan pakaian serba putih tengah memeriksa bahan pokok.

Adriana membawa langkah melihat sekeliling. Meraba sebuah cooker hood dan mengetukkan jarinya.

"Kalau mau berwisata, kamu masuk ke tempat yang salah. Lebih baik ke Candi Prambanan, banyak hal bagus di sana."

Suara berat yang disusul gebrakan pada meja stainless mengagetkan Adriana. Buru-buru ia memutar posisi yang semula menghadap cooker hood menjadi menghadap meja utama.

"Maaf, Chef."

Airlangga tidak menjawab, sorot matanya tajam menatap ke arah karyawan lain yang terburu-buru masuk ke dalam station.

Saat briefing pagi. Mata Adriana tidak pernah lepas dari sosok yang ada di depannya. Senyumnya terkembang apik melihat sosok Airlangga dari dekat secara langsung. Biasanya, Adriana hanya melihat sosok Airlangga dari media sosial, ketika ia lulus dari sekolah kuliner atau saat ia mendapat penghargaan.

"Adria!"

Sentakan itu membuat Adriana lagi-lagi kaget. Demi apa pun, Adriana sempat berpikir jika Airlangga selama ini bukan tinggal di kota besar, melainkan di hutan. Kenapa laki-laki itu suka sekali berteriak?

"Ana, Chef." Adriana mengoreksi.

"Kamu dengar apa yang tadi saya ucapkan?"

"Dengar, Chef. Kita hanya punya waktu 20 sampai 45 menit untuk masing-masing station, dan pastikan pastikan semua makanan sudah tersedia sebelum para tamu dat ...." Ucapan Adriana terpotong oleh Airlangga.

"Kalian bisa menempati posisi masing-masing."

"Yes, Chef!"

****

"Ana, tolong ambil container!" Itu Nindya, perempuan yang tengah sibuk dengan saus di atas frypan.

Adriana baru akan berlari ke arah penyimpanan untuk mengambil container berukuran 20 CM sebelum sebuah suara menggaungkan namanya kembali.

"Adria, Tray!"

"Baik, Chef!" Adriana berlari.

Langkahnya dengan cepat mengambil peralatan yang dibutuhkan dan memberikannya pada orang yang dituju. Airlangga melotot, ketika sebuah container stainless disodorkan Adriana.

Laki-laki itu merebut Tray dari tangan kiri Adriana seraya mengabaikan tangan kanan yang menggantung menyodorkan sebuah container stainless.

Adriana menampilkan senyum jenaka yang dibalas sorot mata tajam oleh sang atasan.

"Ana tolong ambilkan tepung." Aji saka menginterupsi.

Buru-buru Adriana mengambil tepung yang dimaksud oleh Aji Saka untuk digunakan sebagai bahan pengolah ayam tepung.

"Makasih, Ana. Bisa tolong handuk?" Aji Saka meminta sopan.

Adriana memberikan handuk pada Aji Saka yang hampir saja meneteskan keringat pada wajan berisi ayam. Jika saja Airlangga sampai tahu, bisa dipastikan mereka akan mengucapkan selamat tinggal pada Hotel D'Amore.

"Kamu bantu juga Cher Air. Dari tadi chef ada di station panas juga, 'kan?"

Adriana menelan ludah susah payah. Sepatu putih yang dikenakannya melangkah ragu mendekati Airlangga.

Beberapa karyawan yang ia bantu sepertinya baik-baik saja. Kenapa Adriana ragu mendekati Airlangga? Laki-laki itu jelas bukan seorang kanibalisme, tetapi jantung Adriana berdegup kencang ketika membayangkan bahwa ia akan menyentuh wajah Airlangga.

Tangannya bergetar, ketika menyodorkan handuk bersih ke arah Airlangga. Adriana memperhatikan, garis wajahnya tegas dengan rahang kokoh, matanya runcing di bagian ujung, dibingkai alis yang menukik tajam, dan bagian yang paling Adriana suka adalah bibirnya, bibir penuh yang senantiasa terkatup itu memiliki daya tarik sendiri bagi Adriana.

"Saya bukan arca yang harus kamu pandangi terus menerus seperti itu."

Baru sepersekian detik. Sialnya Adriana tertangkap basah jika tengah memandang Airlangga. Laki-laki itu merebut handuk dari tangan Adriana dan mengelap wajahnya sendiri, dan entah dorongan dari mana, Airlangga melebarkan handuk yang ia gunakan dan menutupi wajah Adriana sebelum melangkah meletakkan hidangan ayam yang ia buat di atas tray.

Mungkin Airlangga pikir, Adriana adalah jemuran handuk kotornya, begitu?

Airlangga itu sebetulnya nggak galak. Cuma suka nggak sabar aja jadi orang wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top