ᴇɴᴀᴍ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Kamu baik-baik saja, An?"
Baru sepersekian detik, suara Arial menginterupsi pertanyaan yang kini bersarang di kepala Adriana. Laki-laki itu sudah siap dengan apronnya, dan meminta Aji Saka mengambil pel untuk membersihkan semangkuk capcay yang ditumpahkan Airlangga.
"Aku sudah bilang. Jangan dekat-dekat dengan Chef Air. Dia bukan tipikal yang suka beramah-tamah." Arial memperingatkan. Suaranya halus dengan aksen jawa ringan.
"Asal kamu tahu saja. Sudah tiga orang yang resign karena nggak tahan dengan sikapnya. Kamu beruntung dia sedang tidak ingin cari pengganti, tapi mungkin itu nggak lama."
Hanya senyum serta anggukan pelan tanpa bahasa verbal yang menjadi jawaban Adriana.
"Sudah, biar aku saja yang beresin. Kamu mulai sif kamu aja." Adriana mengalihkan pandangan pada Aji Saka dan meminta alat pembersih ketika Arial ingin menerimanya.
Perempuan kelahiran Jogja, 22 tahun lalu itu menggulung lengan seragam hingga ke siku dan berjongkok untuk mengambil pecahan mangkuk.
"Kenapa kalian masih di sini? D’Amore tidak membayar kalian untuk melihat seseorang membersihkan kesalahannya, bukan?"
Airlangga kembali. Kini, wajahnya terlihat lebih segar dengan helaian rambut yang basah. Adriana menduga bahwa laki-laki itu baru saja mencuci muka untuk menutupi jejak air mata.
"Tapi, Chef."
"Apa yang lebih penting dari dapur bagi seorang chef?" Pertanyaan telak yang dilemparkan Airlangga membuat Arial bungkam. Ia menunduk kemudian berbalik arah seraya meninggalkan ruangan yang kini tersisa Airlangga dan Adriana.
Hanya keterdiaman yang menjadi teman mereka hingga Adriana selesai dengan pecahan mangkuk dan sayuran yang tidak bisa lagi dimakan. Sejujurnya, Adriana tidak tahu di mana persis posisi Airlangga. Sedari tadi ia menunduk, menghindari tatapan tajam yang dihunuskan atasannya itu.
Perempuan itu mengumpulkan pecahan di tangannya. Terlihat siap berdiri untuk mengambil kardus kecil agar selanjutnya dibuang ke pembuangan sampah. Namun, ketika ia berbalik tiba-tiba saja Airlangga berada tepat dibelakangnya.
Sebelum sempat memproses kejadian itu, pecahan mangkuk kembali terlempar dari tangan Adriana dan mengenai pakaian Airlangga.
"Ma-Maaf, Chef. Sa-Saya nggak tahu kalau Chef ada di belakang saya." Adriana meracau. Bersiap untuk jongkok kembali dan memungut pecahan kaca di bawah kaki Airlangga.
"Tunggu!"
Dengan cepat tangan Airlangga mencekal tangan Adriana. Adriana tercenung, melihat Airlangga berdecak kemudian mengangkat tangannya, memberi aba-aba agar perempuan itu untuk berdiri.
"Untuk apa dibawain sapu dan kain pel kalau kamu ambil itu pakai tangan? Gunakan otak kamu sedikit ketika bekerja." Airlangga mengambil sapu, membersihkan sisa sampah yang kembali berserakan. "Belajar jangan menyusahkan orang lain bisa tidak?"
Adriana meringis. Sebelum benar-benar mundur dari pergerakan Airlangga, ia teringat akan sesuatu.
"Nana nggak bisa Kak Elaaang." Perempuan dengan potongan rambut pendek sedikit ikal itu mengerek ketika terhitung keempat kalinya jatuh dari sepeda.
"Bisa, Nana. Elang pegangin."
Yang dituju menjawab tenang. Kembali mendirikan sepeda roda dua untuk kesekian kalinya.
"Nana nggak mau bisa naik sepeda. Nanti Nana dibonceng sama Kak Elang aja." Gadis itu kembali merengek.
"Iya. Tapi Elang nggak akan selalu bisa boncengin Nana. Nana nggak boleh nyusahin orang lain. Nana cuma boleh nyusahin Elang." Laki-laki yang lebih tua enam tahun itu meyakinkan sebelum menepuk jok sepeda dengan pelan.
"Adria!"
"Iya, Lang!"
Refleks Adriana membuat Airlangga mengerutkan keningnya. Pupil mata laki-laki itu sempat melebar beberapa saat sebelum menggeleng pelan dan mengambil kotak kecil berisi P3, membuka satu plester dan menempelkan pada telapak tangan Adriana yang tergores.
"Kamu panggil saya apa?" Airlangga mendengkus seraya tersenyum mengejek.
"Ma-Maaf, Chef." Adriana kembali menunduk, lebih sepeti tidak memiliki keberanian untuk menatap Airlangga.
"Kamu boleh pulang."
Hanya itu yang diucapkan Airlangga sebelum kembali menyimpan kotak P3 ke dalam laci dan keluar dari ruangan yang dindingnya dipenuhi catatan menu serta bahan-bahan pokok.
Dalam sebuah jawaban yang Adriana berusaha cari, hatinya sedikit mencelos ketika mengetahui bahwa Airlangga sama sekali tidak terpengaruh dengan panggilan kecil yang Adriana sebutkan untuknya.
Dulu.
Tumben banget aku absen malam. Biasanya aku punya tabungan, ini sekarang nggak punya. Jadi nulisnya dadakan :(
Komen kalau kalian nemu typo atau salah penulisan, yaaa ...
Thank you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top