ᴅᴜᴀ ᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴜᴀ

Jakarta, satu tahun yang lalu.

Airlangga memiliki segala hal yang semua anak impikan di dunia. Orang tua yang baik, masa depan yang terjamin, materi yang tidak berbatas adalah segelintir yang diberikan oleh orang tuanya.

Bahkan Airlangga lupa kapan terakhir kali ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Betapa mudah hidupnya ketika dibungkus kebahagiaan saat mendengar tawa renyah Ayunda ketika ia mendapat prestasi, atau ucapan pongah Abikara ketika laki-laki itu berhasil belajar sesuatu.

Namun, sekarang apa? Rumah besar yang ia pijaki kini terasa seperti hutan belantara; sepi, mencekam, menyesakkan. Ia tidak mengenal bangunan putih dengan dua pilar besar dengan banyak rangakaian bunga bertuliskan kata duka cita di depannya. Ini, seperti terasa bukan rumahnya.

"Makan dulu, Mas Airlangga?"

Ia menggeleng lemah, tatapannya masih pada foto kebersamaannya dengan kedua orang tua yang penuh dengan tawa.

"Mas Elang belum makan dari kemarin, Mas." Seorang wanita tua menghampiri Airlangga dengan sepiring nasi dengan lauk ikan fillet saus asam manis kesukaan Airlangga. Setetes air mata jatuh di pipinya melihat anak asuhannya terlihat murung.

"Aku nggak lapar, Bi."

Airlangga menjawab dengan suara parau, diletakkannya figura di genggaman pada meja kaca di samping sofa yang ia duduki kemudian berjalan menaiki tangga melingkar, mengabaikan tatapan prihatin para sanak saudara yang sama-sama baru kembali dari pemakaman Ayunda.

"Lang."

Airlangga yang tengah berdiri menatap keluar jendela besar kamarnya menunduk ketika nama kecilnya disebut oleh seseorang. Pria berusia 54 tahun itu berdiri di samping Airlangga, tatapannya mengkristal ketika menatap putera satu-satunya kehilangan senyum.

Abikara memeluk Airlangga, menyalurkan rasa rindu yang selama dua tahun ini ia pupuk dengan rasa sakit. Tangisnya pecah ketika mendengar isakkan bernada pilu dari anak semata wayangnya, rasa bersalah menyekap dada Abikara ketika melihat kondisi Airlangga. Ia tidak pernah menyangka bahwa Airlangga akan sebegini tersiksanya.

****

"Bibi sedang apa?" tanya Airlangga ketika mendapati asisten yang biasa membantu Ayunda mengurus rumah tengah memasukkan barang ke dalam kardus besar.

Seminggu setelah kepergian Ayunda, Airlangga mulai berdamai dengan situasi meski rasanya sulit menerima bahwa rumah itu akan kosong tanpa celotehan Ayunda.

"Beresin buku-buku ibu, Mas. Sudah lama ditinggalkan, lebih baik dirapikan agar nggak berantakan."

Jawaban itu membuat Airlangga mendekat, ia duduk di samping kardus cokelat besar dan melihat beberapa isinya. Ada banyak tulisan-tulisan Ayunda yang sering dibacakan semasa Airlangga kecil, meski sibuk, Ayunda gemar membaca dan menulis, ia beralasan agar Airlangga tumbuh menjadi pribadi yang positif jika dikenalkan dengan kalimat positif.

Tangan besarnya meraih sebuah buku berwarna cokelat dengan sampul kulit tebal yang biasa Ayunda bawa. Senyumnya terukir tipis kemudian membuka laman demi laman, halaman depan berisikan celotehan Airlangga ketika kecil, Airlangga tertawa meski air mata mengalir ketika membaca tulisan yang seolah ia bisa dengar suaranya itu.

Tidak tahan dengan kenangan yang menerobos dinding hatinya, Airlangga membalik buku di beberapa halaman terakhir.

Apa kamu tahu Airlangga? Jika mama bertahan hingga sekarang adalah karena untuk kebahagiaanmu. Tidak ada alasan lain, karena sejak enam tahun ini kebahagiaan yang mama alami hanyalah sebuah kepalsuan.

Airlangga mengerutkan keningnya. Apa maksudnya Ayunda menulis seperti itu? Dan untuk mengisi rasa penasarannya, Airlangga membuka halaman terakhir di buku yang ia genggam.

Jalani hidupmu dengan baik, Airlangga. Jangan biarkan pengkhianatan ini menghancurkan usaha yang kita bangun.

Pengkhianatan? Apa maksudnya? Siapa yang berkhianat?

Kepala Airlangga dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang alasan Ayunda menulis tentang hal itu. Apa ini sebuah pesan untuknya?

Airlangga menutup buku yang ada di genggamannya tepat ketika asisten rumah tangganya memasukkan berkas-berkas rumah sakit. Lagi-lagi keningnya berkerut, ketika mendapati setumpuk berkas yang dimasukkan.

"Ini apa, Bi?" tanyanya sekali lagi kemudian mengambil asal salah satu catatan yang ia tidak mengerti isinya dari dalam kardus.

"Bi, memang sejak kapan mama sakit? Kenapa Airlangga nggak pernah tahu kalau mama sakit?"

Sang asisten rumah tangga berlalu gugup mendengar pertanyaan Airlangga. Sejak enam tahun lalu Abikara selalu berpesan agar merahasiakan kondisi Ayunda dari Airlangga. Kondisi itu dipermudah ketika laki-laki itu memutuskan untuk memperdalam ilmu memasaknya di luar negeri.

"Kenapa Bibi diam?"

"Anu, Mas. Bapak bilang jangan bilang Mas Elang kalau ibu sakit selama Mas Elang kuliah." Ia menunduk takut.

"Kenapa?"

"Nggak tahu Bibi, Mas."

Airlangga menggeleng dan membawa pergi buku cokelat yang ada di genggamannya menuju ruang kerja pribadi Abikara untuk mencari kejelasan tentang sakit Ayunda. Dengan santai ia masuk dan membuka laci tanpa kunci dan mencari apa yang bisa ia temukan.

Namun, bukannya mendapat kejelasan tentang informasi sakit Ayunda, Airlangga justru menemukan catatan rekening koran Abikara dan mendapati satu nama yang mendapatkan transfer setiap bulan selain dirinya dari Abikara. Retnowinarum.

Jadi sebetulnya Airlangga itu nggak galak kok, cuma judes aja *ehh nggak! Maksudnya ya gitu deh, cuma sakit hati aja.
Semoga nanti kegalakannya ilang kalau sakit hatinya ilang juga :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top