ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Perempuan itu menggulirkan laman Instagram-nya. Bibirnya merekah senyum ketika melihat satu buah postingan instastory dari seseorang yang sudah empat tahun ini ia ikuti.

"Bu, lihat. Mas Airlangga! Ganteng, ya, Bu."

Adriana memperlihatkan benda pipih pada wanita setengah baya yang tengah mengaduk cairan kental berwarna cokelat. Wanita setengah baya itu mendongak, menajamkan mata melihat sosok yang terpampang pada layar ponsel.

"Ya terus kenapa toh, Nduk?"

"Ibu baca caption-nya dong, Bu. Mas Airlangga mau ke Jogja! Mau kerja di D'Amore Hotel! Ana udah bilang kalau Mas Elang akan balik ke Jogja, 'kan, Bu!"

Ekspresi Adriana berlebihan, setidaknya menurut Arum—ibunya. Bagaimanapun, Airlangga tidak pernah lagi muncul di hadapan mereka setelah masuk sekolah tingkat pertama. Arum tidak yakin bahwa Airlangga masih mengingat Adriana sebagai orang spesial.

Dan tampaknya, ketidakyakinan Arum terbukti ketika Adriana menunggu selama satu minggu tanpa kepastian akan Airlangga tiba-tiba datang mengetuk pintu, hingga satu minggu berubah menjadi satu bulan, dan satu bulan berubah menjadi tiga bulan.

Airlangga tidak pernah datang. Tidak akan pernah.

"Adriana, kamu baik-baik saja?"

Tepukan pada bahu rupanya menjadi cara paling halus untuk menyadarkan Adriana dari lamunannya ketika pertama kali mengetahui Airlangga akan bertolak ke Yogyakarta.

"Aku akan bilang sama Chef Air kalau kamu nggak sengaja lakuin itu semua."

Entah siapa yang memberitahu Arial. Akan tetapi, laki-laki itu datang lebih cepat dari jam sifnya dan mendapati Adriana yang menangis tanpa suara di depan loker.

Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa, bahkan sekadar menyuarakan kesetujuannya pada usul Arial. Hatinya sakit, mendapati seseorang yang ia harap akan menyambutnya hangat justru tidak lagi mengingatnya barang sedikit pun.

Sementara Arial kini berdiri, dengan langkah mantap menghampiri Airlangga yang tengah memilih bahan pokok untuk menu makan malam.

"Chef. Ada hal yang mau saya bicarakan."

Airlangga masih bungkam, sudut bibir sebelah kanannya terangkat samar mendengar bawahan langsungnya itu. Pasalnya, selama ini Arial diam ketika melihat Airlangga membuat karyawan menangis bahkan mengundurkan diri. Kenapa sekarang ia begitu peduli?

"Kalau kamu datang hanya ingin ikut campur urusan yang bukan urusan kamu, lebih baik kamu pergi." Airlangga menatap Kitchen Display System yang menurutnya lebih menarik ketimbang mendengarkan omong kosong Arial.

"Ini tentang Adriana, Chef!" Arial tersulut emosi. Ia mengepalkan tangan di samping badan, menahan agar bogeman mentah tidak melayang ke wajah Airlangga.

Airlangga mendelik tajam, kemudian menggebrak pan ukuran 20CM ke meja berbahan stainless stell.

"Dengar saya! Bukan karena saya diam saja, kemudian kamu menganggap kalau saya tidak tahu apa-apa. Akan ada banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang lulusan sekolah pastries bisa bekerja kerja di hot kitchen bukan?"

Arial bungkam. Ia tentu tidak tahu apa alasan Adriana lebih memilih hot kitchen dibanding bagian bakery.

"Dari awal. Ini bukan tempatnya."

Airlangga mengulas senyum kemenangan melihat Arial kalah. Sementara yang lain hanya diam. Tidak berani mengeluarkan suara barang sedikit pun.

"Tolong beri saya kesempatan satu kali lagi, Chef." Suara Adriana terdengar sumbang, matanya merah karena menahan tangis.

"Saya sudah beri kamu kesempatan dan kamu gagal. Apa itu akan jadi salah saya?" Airlangga membuang muka. Melihat kemana saja asal bukan wajah Adriana.

Mungkin bisa dibilang Airlangga tidak profesional. Namun, entah kenapa Airlangga tidak suka dengan wajah Adriana. Seolah mengingatkannya pada sesuatu yang ia sendiri tidak tahu itu apa.

"Kita butuh Ana, Chef. Lusa akan ada tamu rombongan. Kita masih kekurangan orang, Chef." Aji Saka mengeluarkan suara. Ia mengambil risiko untuk menyelamatkan Nindya dan Adriana.

"Kami semua akan membantu Ana untuk lebih baik, Chef." Suara Nindya bergetar. Rasa bersalah merayap di dadanya karena tahu, seharusnya dialah yang ada di posisi Adriana saat ini.

"Iya, Chef. Kami butuh Ana, Chef." Taufik ikut menyahuti. Setidaknya banyak suara memungkinkan Airlangga mengubah keputusan.

"Apa kata Pak Satria jika kita terus bongkar pasang personel, Chef? Lagi pula, bukankah sebaik-baiknya atasan adalah atasan yang dapat meng-coaching bawahannya, Chef? Bukan hanya mendelegasi bawahan."

Perkataan Arial membuat Airlangga tersenyum mengejek. Berani-beraninya sous chef itu mengatakan bahwa Airlangga tidak dapat melatih bawahan.

"Baik. Kalian menang."

Hanya itu yang diucapkan Airlangga sebelum masuk ke dalam ruang pribadinya. Sementara para senior sudah mengerubungi Adriana dan memeluknya.

"Maaf, ya, Adriana." Nindya menangis di pelukan Adriana.

Adriana mungkin senang karena tidak dipecat dari sini. Namun, bukan hanya itu yang membuatnya menangis. Ia mulai berpikir, apakah satu hal yang sia-sia berada di dekat Airlangga yang sudah berbeda 180 derajat itu? Tapi hatinya mengatakan bahwa ia tidak ingin jauh dari laki-laki yang dulu menghiasi masa kecilnya itu.


ᴘʟɪssʟᴀʜ ᴀᴅʀɪᴀɴᴀ, ᴘᴇɴᴛɪɴɢɪɴ ᴋᴇʀᴊᴀᴀɴ ᴅᴜʟᴜ...
ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ɢᴀʟᴀᴋ, ʙᴜᴀɴɢ ᴀᴊᴀ ᴋᴇ ʟᴀᴜᴛ :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top