ʟɪᴍᴀᴘᴜʟᴜʜ ʟɪᴍᴀ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Adriana yang sejak setengah jam lalu tidak sengaja tertidur di bangku depan teras seketika bangun saat mendengar suara mobil yang begitu ia kenali mendekati rumah. Perempuan itu berdiri, meremat tali tas, menghampiri Airlangga yang baru saja keluar dari mobilnya.
"Wajah kamu kenapa, Lang?" tanya Adriana ketika mendapati wajah Airlangga yang penuh dengan luka pukulan.
Baru saja Adriana ingin menyentuh wajahnya, lebih dulu Airlangga menyentak kuat Adriana agar menjauh darinya. "Untuk apa kamu datang lagi ke sini?"
"A--Aku ...." Adriana jadi gagap, ia tidak menyangka bahwa Airlangga akan merespons seperti itu.
"Aku apa? Mau ngetawain saya karena sudah berhasil kamu kalian bohongi?" Airlangga tertawa remeh, ia kembali ke mobilnya untuk mengambil kunci rumah yang tertinggal.
"Kamu, ibu kamu, dan selingkuhannya itu sama saja! Munafik!"
"Itu ibu aku, Lang!" Adriana tidak terima kemudian menguatkan suaranya.
"Lantas?"
"Kamu nggak bisa bicara begitu tentang orang yang sama sekali kamu nggak kenal." Mata Adriana memerah menahan tangis. Otaknya mulai berpikir bahwa Airlangga sepertinya sudah tahu kenyataan yang selama ini ia takutkan. "Kamu harus minta maaf sama ibu aku!"
"Minta maaf?" Airlangga tertawa remeh. "Kamu ngaca! Siapa yang harus minta maaf pada siapa?"
Adriana mengepalkan tangannya, dengan kuat ia melayangkan tinju kepada wajah penuh luka Airlangga. Ia mengambil langkah mundur, takut-takut Airlangga akan membalas perbuatannya. Namun, laki-laki itu justru tertawa garing seraya menggelengkan kepala.
"Aku nyesal kenal sama manusia kayak kamu, Lang. Seharusnya kamu dengar dulu semua penjelasannya! Jangan menghakimi orang seenaknya!"
Penjelasan? Airlangga bahkan menunggu di depan Arum dan Abikara seperti orang bodoh yang berharap kenyataan itu adalah sebuah kesalahpahaman, tetapi mereka bungkam dan memilih mengusir Airlangga dari sana.
"Ya ... lebih baik mungkin kita nggak saling mengenal. Karena melihat kamu sekarang saja membuat saya mual. Lebih baik kamu pergi dari sini, saya sudah bilang, 'kan, jangan pernah injakkan kaki kamu di tempat ini lagi."
Airlangga seolah tidak peduli dengan kemarahan Adriana padanya, ia memutar kunci kemudian masuk dan menggebrak pintu rumahnya dengan amat keras agar Adriana tahu bahwa ia tidak ingin Adriana tetap mematung di sana.
Akan tetapi, bukan Adriana namanya jika mudah diatasi bukan? Perempuan itu justru jongkok di depan pintu rumah Airlangga dan menangis keras hingga Airlangga kembali membuka pintu rumahnya.
"Kenapa kamu malah nangis di sini? Kamu mau saya dianggap melecehkan kamu sama orang-orang sekitar? Belum puas kamu merusak seluruh hidup saya?!"
"Nggak, Lang." Adriana menggeleng. "Dengar dulu penjelasan aku. Kamu akan jujur sejujur-jujurnya sama kamu."
Airlangga menghela napas kemudian bertolak pinggang sebelum meraih tangan Adriana dan menariknya agar menjauh dari rumah tersebut. Adriana memberontak, mendorong keras Airlangga hingga tersungkur ke tanah. Ternyata Adriana punya tenaga yang lumayan kuat untuk menjatuhkannya.
"Kamu nggak apa, Lang?"
"Lepas!"
"Nggak."
"Lep ...." Perkataan Airlangga terhenti ketika merasakan nyeri di kepalanya.
"Lang, kamu nggak apa-apa?"
Airlangga menatap Adriana dengan tatapan pias. "Apa belum cukup semuanya? Pergi dari sini. Pergi!" Airlangga bangkit kemudian masuk ke dalam rumah dan menguncinya.
Hari ini cukup untuk semua kekacauan. Sekujur badannya merasakan sakit dan lelah secara bersamaan. Ia menaiki tangga, duduk pada kasur empuk, napasnya semakin lama semakin pendek, ada sesak yang timbul ketika melakukan tindakan kasar pada Adriana.
Sial! Airlangga harus mengakui, bagaimanapun caranya ia menyangkal, kenyataannya kini Adriana sudah menguasai hati dan jiwanya.
****
Hari-hari berikut Airlangga mulai membiasakan diri dengan kondisinya. Ia harus profesional, bagaimanapun, seorang chef adalah kapten dari kapal bernama dapur yang bertanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan pekerjaan.
Ia menjadi lebih dekat dengan Arial yang kerap berbagi cerita saat pergantian sif, bahkan tidak jarang mereka saling bertukar saran atau opini terhadap masalah yang mereka hadapi. begitu pula dengan Taufik, Airlangga bahkan mengajarkan lebih banyak hal padanya karena melihat potensi besar di diri Taufik, sesekali Taufik menggantikan posisi Airlangga sebagai kapten guna mempersiapkan segala kemungkinan.
Beberapa kali mereka pergi keluar, mencari tempat makan yang baru buka, dan mengulas makanan di sana agar dapat mencari ide menu masakan mereka sendiri-sendiri.
"Seandainya punya modal, mungkin enak kalau kita bisa buka usaha restoran sendiri, ya."
Airlangga tertawa mendengar usulan Gama saat itu, tetapi tidak merespons. Hatinya masih cukup kacau dengan keberadaan Adriana di sekitarnya. Ego dalam kepalanya memberontak ingin membalaskan dendam pada Arum, tetapi hatinya mengatakan jangan menyakiti Adriana lebih dari ini.
Ini malam kelima Airlangga terjaga sejak peristiwa semuanya terbongkar. Abikara terus menghubunginya, menjegatnya di depan rumah atau menelponnya secara berulang-ulang. Namun, Airlangga tetap tidak merespons. Begitu pula dengan Trias.
Airlangga merasakan kehilangan lebih banyak dari biasanya.
Sebuah denting notifikasi membuyarkan lamunan laki-laki berusia 28 tahun itu, ia mengambil ponsel, mengecek e-mail yang sudah ia tunggu-tunggu.
Mungkin memang pergi dari sini adalah jalan terbaik. Airlangga memutuskan.
Jam menunjukkan pukul dua pagi, ia bangun dari kasur bersprei putih tersebut dan berjalan mengambil koper hitam yang ia letakkan pada sudut lemari. Mengecek masa berlaku paspor dan menatap sebuah selebaran dengan gambar sebuah kapal pesiar.
Ini adalah rencana yang Airlangga susun sebelum hatinya jatuh pada Adriana, tetapi kenapa kini rencana itu begitu berat ia lakukan? Sebuah pertanyaan akankah ia bisa kembali seperti dulu lagi menjadi bayang yang menakutkan. Kini ia sudah kehilangan semuanya.
Kamu jangan sombong, Lang. Kamu nggak akan bisa mendapatkan itu semua kalau bukan karena ayahmu!
Tanpa nama Sangaji kamu bukan siapa-siapa.
Perkataan itu terus terngiang di telinga Airlangga. Mungkin, sebaiknya ia mengembalikan semua yang ia miliki dari Abikara sebelum memutuskan untuk pergi selamanya dan untuk merealisasikan rencananya itu, ia harus datang ke rumah kakeknya, menemui Trias dan Abikara untuk mengembalikan semuanya.
****
Jika bukan karena Abikara yang meminta Trias untuk menjaga Airlangga juga Adriana, mungkin Trias tidak akan mendapat fakta yang begitu mengejutkan seperti ini. Seminggu terakhir, Airlangga sudah cukup membuatnya pusing karena laki-laki itu sulit sekali dihubungi. Untung saja ada Arial yang dapat ia mintai kabar perihal Airlangga, jadi Trias bisa sedikit lebih lega karena tahu Airlangga baik-baik saja.
Baru saja Trias membuka aplikasi pesanan online restoran, ponselnya bergetar, menampilkan nama sang ibu. Trias buru-buru menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih itu pada telinga kanannya.
"Ada apa, Bu?"
"Kamu bisa pulang nggak? Airlangga berantem sama kakekmu."
Trias segera bangkit dari duduknya dan menyambar kunci motor tanpa menjawab saran ibunya. Sempat menitipkan restoran dan toko oleh-oleh, laki-laki itu menstater motor kemudian memacunya dengan kecepatan penuh.
Benar saja, saat Trias sampai di rumah keluarga besar Hadimulyo, teriakan Hadimulyo menyapa saat Trias masuk ke dalam rumah.
"Eyang!" Trias berseru ketika Hadi berniat memukul kepala Airlangga dengan tongkat stainless yang biasa membantunya berjalan, laki-laki berusia 27 tahun itu menghalangi tongkat berkaki tiga mendarat di kepala Airlangga dan berakhir di punggungnya.
"Kenapa kamu bela dia? Anak nggak tahu diuntung! Kamu tahu, saya tidak pernah menyesal menikahkan anak saya dengan Abikara, tapi sekarang saya menyesal karena punya cucu seperti kamu!"
"Eyang!" Trias berteriak.
Airlangga melepaskan pelukan Trias dan berdiri menjulang di depan Hadimulyo. "Eyang terus saja bela dia! Asal Eyang tahu, aku juga menyesal punya ayah brengsek seperti dia!"
"Lang, sudah, Lang."
"Ya sudah, lebih baik kamu pergi dari sini dan jangan lagi datang ke rumah ini! Kamu sudah saya tidak anggap sebagai cucu saya lagi! Pergi kamu!"
Airlangga berjalan ke luar dan menggebrak pintu rumah kakeknya dengan keras.
"Sebetulnya ada apa, Eyang? Airlangga itu cucu kesayangan Eyang sendiri!" Trias mengucap wajahnya, tidak habis pikir apa yang sudah membuat Hadimulyo begitu marah pada Airlangga.
"Kamu bayangkan saja, dia mau menghapus nama Sangaji di belakang namanya dan pergi tanpa berpamitan dengan Abikara. Dia bahkan memaki ayahnya sendiri dengan kata-kata kurang ajar seperti tadi!"
Trias tidak menjawab, ia justru lebih khawatir dengan kondisi Airlangga yang berkendara dengan emosi yang meledak-ledak.
"Trias! Kamu susul Airlangga, dia tadi tanya di mana rumah Arum, Ibu takut dia ke sana lagi."
"Aishh!" Trias mengacak-acak rambutnya sebelum berlari ke rumah Arum.
Trias sampai lebih dulu karena menggunakan motor, terlebih jalan utama memang memiliki jarak lebih jauh. Namun, belum sempat Trias menghentikan Airlangga, laki-laki itu justru mempercepat laju mobilnya dan menabrak pilar dengan keramik yang menjadi pondasi paling depan rumah Arum.
Beberapa warga berkumpul menyaksikan kejadian tersebut, bertanya-tanya apakah laki-laki yang mengendarai mobil itu sedang mabuk? Atau mengalami rem blong? Sama sekali tidak terpikir bahwa itu adalah satu kesengajaan.
Kepala Airlangga terhantuk cukup keras, cairan merah kental mengalir di keningnya saat keluar dari mobil yang sudah rusak parah di bagian depannya.
"Airlangga!" Trias bergerak menghampiri sepupunya yang sudah susah berjalan.
Arum keluar, mendekati Airlangga yang kini menatapnya dengan penuh kebencian meski kesadaran sudah diambang batas laki-laki itu. "Airlangga baik-baik saja, Trias?"
"Sepertinya benturannya cukup parah." Trias menopang tubuh Airlangga yang sudah tidak mampu berdiri.
"Lepas!" Airlangga rupanya masih keras kepala. Ia menatap Arum dengan mata yang memerah. "Sudah puas kamu merebut semua kebahagiaan saya? Ambil semuanya. Ambil. Tapi tolong kembalikan ibu saya."
Airlangga tersungkur di tanah dan terisak, tangannya menyodorkan kunci mobil yang selama ini menjadi miliknya. "Saya akan berikan semuanya yang Abikara berikan pada saya, tapi kembalikan ibu saya!"
Arum tidak bisa menahan tangis. Ia bisa merasakan jelas bagaimana Airlangga mencintai Ayunda—sahabatnya—dan itu membuatnya merasakan sakit, karena tahu Ayunda juga akan merasakan sakit yang Airlangga rasakan.
Begitu besar cintanya pada kamu, Ayunda.
"Kamu bawa dia pulang, Trias. Pastikan dia tidak menyakiti dirinya lagi, atau saya akan ungkap semuanya. Ini jauh lebih menyakitkan ketika saya melihat Airlangga dulu, Trias."
Trias mengangguk, kemudian membawa Airlangga dengan dibantu beberapa orang sekitar ke rumah Hadimulyo.
"Enek opo, Arum?" tanya salah seorang tetangga yang menyaksikan mobil Airlangga menabrak rumah Arum, tetapi tidak berani mendekat.
"Enggak popo, kae mobile rem e dol." Arum berbohong.
(Nggak ada apa-apa, itu mobilnya mengalami rem blong.)
"Aku gak nyongko anake Pak Abikara koyok ngunu, koyone dekne mendem, ya?" Satu lagi membuat dugaan.
(Aku nggak sangka anak Pak Abikara seperti itu, sepertinya dia mabuk, ya?)
"Nggak, dia lagi sakit tadi, mungkin panik karena remnya blong dan menabrak rumah saya." Arum mencoba melindungi Airlangga dari omongan warga sekitar. "Sudah, ya, saya masuk dulu."
"Jangan lupa kabari Pak Abikara, Arum. Dia harus ganti rugi dengan apa yang anaknya perbuat."
Beberapa tetangga tidak percaya dengan kerusakan yang Airlangga ciptakan, pilar kokoh dengan semen itu hancur dan menyebabkan plafon depan rumah runtuh hingga bersisa setengah saja. Arum tidak begitu memedulikan, ia mengambil ponsel dan mengabari Abikara tentang kondisi anaknya. Mungkin, Airlangga harus mendapat perawatan intensif setelah ini.
ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴋᴀᴍᴜ ɴɢᴀᴍᴜᴋ sᴇʀᴀᴍ ʙᴀɴɢᴇᴛ, ʀᴜᴍᴀʜ ᴏʀᴀɴɢ ᴅɪʀᴏʙᴏʜɪɴ :(
ʟᴀɴᴊᴜᴛ ʏᴜᴋ, ʙᴀʙ sᴇʟᴀɴᴊᴜᴛɴʏᴀ ʙɪᴀʀ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴛᴀʜᴜ sᴇᴍᴜᴀɴʏᴀ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top