sᴇᴘᴜʟᴜʜ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Airlangga kalau sudah besar mau jadi apa?"
Ayunda, yang duduk di depan Airlangga menyodorkan satu potongan jeruk yang sudah bersih dari arinya, menyuapkan pada mulut kecil Airlangga. Sambil tersenyum, Ayunda mencubit pelan pipi merah anaknya dengan gemas.
"Memang Elang harus jadi apa? Nggak bisa jadi Elang aja?" tanya Airlangga yang sibuk dengan kunyahan.
"Bisa dong! Elang bisa jadi apa aja yang Elang suka kalau sudah besar. Hidup Elang adalah milik Elang sendiri."
Abikara ikut menyahut, ia mendekati Airlangga dan memindahkan duduknya yang semula di bangku seorang diri, menjadi di pangkuannya kemudian menciumnya secara brutal. "Anak papa, 'kok, asam sekali?"
"Padahal jeruknya manis." Jawaban yang diberikan Airlangga membuat kedua orang tuanya menderai tawa.
Abikara Sangaji tertawa lebih kencang. Rasa lelah karena bekerja seharian hilang ketika melihat sang putra yang kini menjadi dunianya.
"Maksudnya cita-cita, Sayang." Ayunda kembali bertanya. Baginya, masa depan Airlangga harus dipersiapkan sedini mungkin.
Bocah itu kembali berpikir. Bola mata bulatnya menatap kemeja sang ayah dengan bangga.
"Kalau gede, Airlangga mau jadi kondektur!"
Kedua orang tuanya saling tatap. Bagaimana Airlangga bisa berpikir menjadi seorang kondektur? Sementara mereka yakin betul Airlangga belum pernah melihat profesi itu sama sekali.
"Kondektur?" Abikara memastikan.
"Iya! Kayak Papa. Nyuruh-nyuruh orang, pake tali di leher setiap hari, trus bisa nyuruh orang lain masak cepat-cepat-cepat!"
Airlangga mempraktikan gaya sang ayah ketika berada di ruang lingkup pekerjaan. Dan itu sukses membuat Abikara dan Ayunda tergelak.
"Bukan kondektur, Sayang. Tapi Di-rek-tur." Ayunda membenarkan.
"Kalau disuruh pilih. Airlangga mau jadi direktur, atau tukang masak?" tanya Abikara.
Abikara adalah seorang Chef dari kapal pesiar yang memutuskan berhenti dan melanjutkan usaha di Jakarta. Sementara Ayunda, adalah wirausahawan asal Jogja yang menetap di Jakarta setelah menikah dengan Abikara.
Airlangga berpikir, sejak kecil ia terbiasa ikut sang ibu ke dapur, mengolah bahan makanan untuk dinikmati orang lain. Pun tidak jarang pula Abikara mengajaknya membagikan makanan pada orang-orang yang membutuhkan. Ia menyukainya, melihat orang lain tersenyum atas hasil tangan ibu dan ayahnya.
Sejak saat pertanyaan itu keluar dari Abikara, sejak itu pula Airlangga menyukai dunia memasak. Dengan pesan ayah yang mengatakan, bahwa makanan yang lezat akan membuat siapapun bahagia.
Itulah yang ingin Airlangga capai. Yaaa ... membuat semua orang bahagia dengan masakannya.
****
Seharusnya ini adalah hal yang spesial bagi Airlangga. Kontrak kerjanya habis ketika kapal berlabuh di perairan Barcelona. Ia memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang kontrak karena usaha sang ayah menunggu untuk diurus.
Ia tersenyum, langkah membawanya melewati pintu fasad kaca besar Bandara Soekarno-Hatta. Airlangga mengerutkan kening ketika berhasil menyalakan ponsel. Ada dua puluh panggilan tak terjawab dari Abikara. Ini aneh, pasalnya, Airlangga sudah berpesan agar Abikara tidak menjemputnya. Kenapa Abikara justru menelpon sedemikian banyak?
Buru-buru laki-laki berusia 27 tahun itu menelpon kembali. Rasa cemas tiba-tiba membalut hatinya, ia melambaikan tangan pada taksi yang berjejer kemudian dengan cepat membuka bagasi ketika salah satu mendekat.
"Surprise! Aku sudah sampai di Cengkareng, Dad! Nggak perlu dijemput, karena aku sudah ada di dalam taksi sekarang. Mungkin kalau nggak macet aku sampai sekitar dua jam lagi." Airlangga melirik arloji di tangannya. Berbicara panjang lebar guna menghilangkan rasa aneh di hati yang ia pikir sebuah kegugupan lantaran akan bertemu kedua orang tuanya.
"Mama mana?" tanya Airlangga.
"Mama sakit, Nak. Dan sekarang sudah nggak bisa bertahan. Bisakah kamu mengikhlaskan Mama untuk pergi?"
Air mata lolos dari kedua mata Airlangga. Ia tersenyum kaku, menganggap sang ayah tengah bercanda. Namun, Abikara mengirimkan gambar, Ayunda terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak peralatan di dekatnya.
Seluruh udara di sekeliling Airlangga mendadak lenyap. Dunianya runtuh ketika melihat orang yang ia sayangi terbaring lemah.
"Ikhlaskan mama, Nak. Biar Mama pergi dengan tenang." Suara Abikara parau. Menatap Ayunda yang sudah tidak kuat menahan sakit.
"Nggak! Bilang sama mama. Kalau mama sampai pergi sebelum Airlangga sampai. Demi Tuhan Airlangga nggak akan ikhlas!"
Katakanlah Airlangga egois. Akan tetapi, sudah dua tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sangat ia cintai dan saat mereka akan bertemu, Airlangga hanya bertemu dengan mayatnya begitu? Airlangga tidak akan bisa terima.
Memang hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Namun, seolah Tuhan mendengarkan permintaan terakhir Ayunda. Napasnya bisa menunggu hingga dua jam dan melihat putranya sebelum menutup mata di depan wajah Airlangga untuk selamanya.
Airlangga terbangun dari mimpi. Bulir keringat merembes dari pori-pori pelipisnya meski pendingin ruangan berfungsi dengan baik. Remang cahaya menghiasi ruangan tanpa sekat. Ia bangkit dari ranjang, menyingkap selimut dan berjalan ke depan dinding kaca yang dilapisi tirai hitam.
Mengintip dari balik tirai, fajar belum datang di langit Yogyakarta. Akan tetapi kantuk sudah hilang sepenuhnya dari mata Airlangga. Saatnya bersiap, memulai kesibukan lebih dahulu adalah satu cara pengalihan paling ampuh atas kehilangan yang menghantui.
Airlangga mimpi aja sampe satu bab penuh, dan kalian pernah ada di posisi Airlangga? Menurut kalian Airlangga egois nggak nahan Ayunda sampe dia datang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top