limapuluh tujuh
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Setelah menelepon Arial dan menanyakan perihal pekerjaan yang ia tinggali karena harus mendapat perawatan rumah sakit, Airlangga kembali melamun.
"Kamu sudah enakan, Lang?"
Sebuah suara mengembalikan Airlangga dari lamunan. Ia menaikkan sudut bibir sekilas seraya mengangguk samar sebelum kembali menekuri jendela yang tertutup tirai putih, mengabaikan Trias yang membawakan pakaian ganti serta makan malam, sepertinya laki-laki itu tahu bahwa Airlangga tidak pernah suka makanan rumah sakit.
"Aku minta maaf karena nggak jujur dari awal, Lang," ucap Trias, tangannya terulur menepuk pundak Airlangga sebelum meletakkan tas berisi makanan di atas meja.
"Nggak ada yang harus gue maafin, Mas. Kalau ada yang harus disalahkan, itu harusnya gue. Gue memang brengsek banget." Airlangga tertawa hambar, matanya masih setia menatap jendela.
Hening sesaat.
"Gue mau ketemu sama Ibu Arum, Mas."
"Lang, menurutku kamu ...."
"Gue tahu kalau kesalahan gue nggak pantas dapat sebuah kata maaf, tapi untuk saat ini cuma itu yang gue bisa dan kalau dia mau gue kembalikan mata suaminya, gue nggak akan keberatan." Airlangga menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ini salah satu alasan Papa sembunyikan kenyataan ini, Lang." Tiba-tiba saja suara Abikara menginterupsi. "Papa nggak mau kamu hidup berdampingan dengan penyesalan. Papa, Mama, kami ingin kamu hidup baik-baik saja tanpa kekurangan satu apa pun."
"Tapi itu nggak akan menghilangkan kenyataan kalau aku ini ...."
"Stop, Lang. Papa mohon, jangan siksa Papa dengan sikap yang seperti ini. Papa nggak masalah kalau kamu benci Papa asalkan kamu bisa kembali seperti dulu, Nak."
Airlangga bergerak turun dari ranjang, berdiri di hadapan Abikara sebelum ia menjatuhkan lututnya di depan sang ayah. "Maaf kalau selama ini Airlangga terlalu sombong menganggap semua akan baik-baik saja tanpa Papa."
Tangisan Airlangga sama persis dengan yang pernah Abikara dengar ketika selesai pemakaman Ayunda. Kini Abikara tahu, bahwa putranya akan kembali menjadi sosok Airlangga yang dulu ia kenali. "Baik. Kalau kamu mau ketemu sama Ibu Arum, papa izinkan, tapi dengan syarat kamu nggak boleh bilang kalau kamu mau kembalikan mata itu. Please, Airlangga. Percaya sama papa, kalau Arum dan Adriana sudah ikhlas tentang itu semua."
Adriana.
Ahh ... Airlangga jadi ingat betapa jahatnya ia pada perempuan yang sejak dulu menemani masa kecilnya itu. Cerita Abikara tentang kecelakaan Aryo, membawa Airlangga pada memori yang beberapa tahun ini dia lupakan. Tentang gadis kecil yang kerap memanggilnya Elang, tentang janji cerita Ibu Kota di masa liburan, tentang toko kue berwarna biru muda dengan hiasan cream putih, kini Airlangga ingat gadis kecil itu bernama Adriana yang kerap ia sapa Nana.
Jika ia yakin dengan Arum, apakah Airlangga juga dapat meyakinkan dirinya untuk dapat meminta maaf pada Adriana? Dari mana ia harus memulai meminta maaf pada perempuan itu? Apakah perihal janji yang tidak pernah ia tepati? Atau perihal Aryo? Atau perihal semua sikap kurang ajar yang selama ini ia berikan?
Sepertinya, jika Adriana menjabarkan kesalahan Airlangga, akan memakan waktu seharian hanya untuk menyebutkannya saja. Airlangga mengembuskan napasnya berat, mencoba tersenyum pada Abikara untuk mengatakan bahwa ia siap untuk meminta maaf pada Arum , meski tidak siap bahkan hanya untuk berhadapan dengan Adriana.
"Kamu tolong kabari Arum besok Paman dan Airlangga akan ke sana, ya." Abikara meminta Trias menyampaikan pesan yang dibalas anggukan oleh sang empunya.
Dua hari ini memang Trias lebih sering datang ke rumah Arum untuk melihat pekerjaan tukang yang memperbaiki bagian depan rumah Arum. Untung saja, tadi sore pekerjaan itu sudah diselesaikan sore tadi, jadi Airlangga tidak akan kembali merasa bersalah ketika mengingat ia hampir menghancurkan rumah tersebut.
Beberapa tetangga bertanya khawatir, perihal apakah anak Pak Abikara baik-baik saja itu jelas dijawab Anggukan oleh Trias, dan dari sana Trias tahu bahwa Arum menutupi kejadian yang sebenarnya.
****
"Pesanan terakhir sudah siap, Chef!"
Adriana menyodorkan piring besar berisi order terakhir yang keluar dari kitchen display system. Taufik mengecek, kemudian memberikan kode agar pelayan segera mengantarkan pesanan.
Ketika hendak berbalik, Adriana tanpa sengaja berpapasan dengan Arial yang baru saja akan bertukar posisi dengan Taufik. "Ada info yang mau aku kasih ke kamu." Arial berbisik pada Adriana.
"Haaa ... bosan! Chef Airlangga kapan masuknya, Chef? Aku nggak betah di kapten karo Mas Taufik, lembek, nggak ada gairahnya." Gama mengeluhkan absennya Airlangga beberapa hari ini.
"Kamu mau Chef Airlangga cepat masuk kerja meski keadaannya belum pulih benar? Nggak kasihan kamu?" Arial balik menantang keluhan Gama, sementara Taufik sudah menatap juniornya itu dengan roman kejengkelan.
Adriana mengulas senyum tipis mendengar keluhan Gama, diam-diam hatinya juga disusupi rindu pada sosok yang kerap mengganggu tidurnya itu. Dua hari belakangan bahkan Adriana datang ke rumah sakit, mengintip dari celah paling kecil hanya untuk mencari tahu apakah Airlangga baik-baik saja.
Namun, gagal. Melihat Airlangga dari jauh tidak akan pernah cukup bagi Adriana. Ia terlalu merindukan Airlangga berada di dekatnya.
"Kamu mau pulang duluan, An?" tanya Arial ketika melihat Adriana melamun di tengah perselisihan Taufik dengan Gama yang berdebat soal tingkat kematangan dan suara Taufik yang dinilai kurang keras ketika menyebutkan menu.
"Eh? Nggak kok, Ial." Adriana memasang senyum palsu, sejak perpisahannya dengan Airlangga sulit sekali bagi Adriana menampilkan senyum lebar nan jenaka yang biasa ia tampilkan.
"Aku ragu kamu akan menolak tawaran aku, karena di bawah Mas Trias sudah tunggu kamu, katanya hari ini Chef Airlangga akan datang ke rumah kamu."
Arial berucap amat pelan, tetapi sukses membuat Adriana bereaksi berlebihan. Ia tersentak kaget kemudian menutup mulutnya saat sadar keterkejutannya itu membuat seisi kitchen d'Amore menatap ke arahnya.
"Ono opo, An?" tanya Aji Saka.
"Nggak ada." Adriana menggeleng.
Tanpa memedulikan tatapan aneh yang dilayangkan kepadanya, Adriana berlari kecil pada lokernya, mengambil baju ganti dan bergegas mengganti seragamnya dengan pakaian yang lebih santai. Ia menelepon Trias, meminta laki-laki itu menunggu sementara ia berlari ke luar.
Trias hanya tertawa saat Adriana menutup sambungan teleponnya. Bahkan tidak sampai sepuluh menit perempuan itu sudah ada di depan Trias dengan napas yang terengah-engah.
"Kamu habis marathon?"
Adriana mengangguk saja, kemudian naik ke motor Trias sembari merapikan rambutnya. "Ayo jalan, Mas."
"Sabar, An." Trias menstater motornya kemudian tertawa pelan saat motor yang dikendarainya melintasi ramp.
"Ehh ... Mas, lupa sesuatu. Hari ini Paman Abi mau ke rumah, 'kan? beli kue dulu, di rumah nggak ada apa-apa yang mesti disuguhkan untuk paman."
"Untuk Paman Abi apa untuk Airlangga?" Trias meledek.
Untung saja Adriana di belakang, jadi Trias tidak dapat melihat wajahnya yang memerah akibat candaan yang dilemparkan Trias. "Ya buat Paman Abi dong. Kalau sama Mas Elang, 'kan, aku sudah putus."
"Kalau begitu nggak usah, Paman Abi, 'kan, nggak begitu suka makanan manis." Trias mencoba meledek agar Adriana mengakui.
"Ya tapi tetap saja! sudah berhenti dulu, aku nggak mau tahu."
Mau tidak mau Trias menuruti permintaan Adriana, membeli sekotak kue lapis juga kue cokelat dengan selai blueberry kesukaan Airlangga.
Jantungnya berdegup dengan kencang, Adriana bahkan tidak dapat menyembunyikan senyum ketika melihat mobil Abikara terparkir di depan rumahnya. Airlangga ada di rumahnya.
"Mas Trias masuk juga?"
"Nggak, aku ada banyak orderan katering hari ini," jawab Trias saat turun dari motornya dan mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya. "Ini, aku temuin ini waktu Elang datang ke sini, mungkin waktu itu dia berniat mau melamar kamu sebelum dia salah paham."
Adriana menerima kotak pemberian Trias, membukanya, kemudian memeluk Trias erat. "Makasih untuk semuanya, ya, Mas."
Trias mengangguk. "Kamu itu sudah aku anggap seperti adik aku sendiri, An. Sabar-sabar sama kelakuan Elang, ya, dia itu sebelas dua belas kok sama kamu."
Sekali lagi Adriana memeluk Trias sebelum laki-laki itu kembali ke motornya dan Adriana berlari masuk ke dalam rumahnya.
"Paman Abi sudah sampai?" Adriana menyalami Abikara yang duduk berhadapan dengan ibunya. Matanya mengabsen setiap sudut ruangan, tetapi tidak menemukan sosok Airlangga sama sekali.
"Paman Abi sendiri?" tanyanya kemudian.
"Nggak. Sama Airlangga. Dia di mobil, katanya ada yang ketinggalan."
Adriana mengangguk saja, kemudian berpamitan untuk mengganti baju dan menyiapkan makanan yang ia bawa. Jujur saja, Adriana belum dapat menetralkan detak jantungnya ketika mengetahui ia akan segera bertemu dengan Airlangga.
Apa Adriana berlebihan? Padahal sebelum ini ia sudah biasa bertemu dengan Airlangga. Kenapa kali ini rasanya berbeda? Ahh ... Adriana jadi tidak sabar menatap sorot mata kelam Airlangga yang dibingkai alis tebal itu.
Adriana kembali bergabung, dan benar saja, Airlangga sudah duduk di samping Abikara sembari menundukkan kepalanya. Arum memperhatikan, kemudian bergerak mengusap kepala Airlangga agar mau menatapnya.
"Kenapa Ibu nggak marah sama saya? Seharusnya Ibu marah, memaki, atau bahkan ada keinginan untuk membunuh saya juga." Airlangga masih tidak berani menatap wajah Arum. Air matanya menetes ke punggung tangannya yang masih membekas memar.
"Saya melihat jelas kemarahan di mata kamu saat kita bertemu, Airlangga. Kemarahan itu disebabkan karena kamu terlalu mencintai sahabat saya, Ayunda. Bagaimana saya bisa marah akan hal itu?" Arum ikut terisak, melihat Airlangga membuatnya mengingat kembali masa-masa bahagianya bersama Ayunda. "Kamu itu adalah fotocopy Ayunda. Kamu sadar kalau kamu mirip sekali dengannya?"
Airlangga mengangguk menjawab pertanyaan Arum.
"Angkat kepala kamu, Airlangga. Saya nggak pernah sekalipun menyimpan dendam, apalagi pada kebanggaan sahabat saya sendiri. Kamu adalah kebangggan Ayunda, Airlangga." Arum memeluk Airlangga, menepuk punggungnya pelan seperti yang biasa Ayunda lakukan dulu.
Adriana ikut mengulas senyum ketika melihat Airlangga dan Arum berpelukan, perempuan itu bahkan meneteskan air mata melihat adegan di depannya. Baginya, tidak ada yang paling membahagiakan atas berakhirnya kesalahpahaman ini.
Setelahnya Airlangga menatap Adriana, dan ditatap sebegitu intens oleh laki-laki yang selama ini ia rindukan adalah hal yang mungkin akan membuat Adriana kehilangan kesadaran sebentar lagi.
"Adriana bisa kita bicara di luar?" tanya Airlangga.
"Bisa." Adriana segera bangkit, bahkan mendahului Airlangga yang mengajaknya dan itu membuat ia salah tingkah di depan Abikara juga Arum yang tertawa melihat tingkah bodohnya.
Di luar, Adriana mengaitkan kedua tangannya, mencoba menyembunyikan senyum dengan menundukkan kepala di depan Airlangga yang kini duduk menatap pohon tua.
"Dulu kita sering main di bawah pohon, aku, kamu, dan Mas Trias." Airlangga membuka suara.
"Kamu sudah ingat?" tanya Adriana antusias.
Ia menatap wajah Airlangga yang minim ekspresi. Laki-laki itu mengangguk, kemudian melepaskan tawa pelan sebelum menatap Adriana. "Sepertinya aku nggak mampu untuk minta maaf sama kamu."
Adriana mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Kesalahan aku terlalu banyak sama kamu, Adria."
Adria, Adria, Adria. Apa tidak ada panggilan lain yang mau kamu sebutkan, Lang?
Pertanyaan itu jelas hanya disuarakan Adriana dalam hati.
"Selain kata maaf, aku nggak tahu harus mengucapkan kata apa lagi. Tapi aku harap kamu bisa memaafkan aku, dan kita kembali menjadi teman seperti dulu bagaimana?" Airlangga menatap Adriana dengan senyum yang ia paksakan.
Cerita Abikara membawanya pada memori di mana ia berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah menemui Adriana. Lima belas tahun lalu, Airlangga sudah memutuskan untuk melepaskan Adriana, kenapa sekarang rasanya begitu sulit?
Adriana meneteskan air matanya, entah ekspektasinya yang terlalu tinggi, atau memang Airlangga yang terlalu brengsek mempermainkan hati Adriana. Yang jelas, perkataan Airlangga diartikan bahwa Airlangga tidak ingin merajut kembali hubungan asmara yang sempat mereka jalin.
Apa ada hal lain yang lebih menyakitkan bagi Adriana?
Hooooaaaa ... Akhirnya mereka damai, damai ya damai, nggak balikan.
Padahal hari ini harusnya tamat :(
Tapi semoga aku bisa ngejar tamat sampe nanti malam.
Btw, kalian nggak ada gitu yang ucapin selamat ulang tahun buat aku? Aku ulang tahun loh hari ini ehehehee ...
Yaudah kalo nggak, tapi jangan lupa divote yaa :)
Selamat tahun barunya nanti malem aja, pas tamat 😤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top