limapuluh enam
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Airlangga, kamu nggak apa-apa?" tanya Trias dengan nada roman khawatir.
Amira—Ibu Trias—datang membawakan sebaskom air, alkohol, juga handuk bersih untuk membersihkan luka yang ada di pelipis Airlangga.
Hadi kembali dari luar, dada orang tua itu naik turun menatap Airlangga yang kini balas menatapnya dengan aura permusuhan. Tanpa tedeng aling-aling, pria berambut putih tersebut menghantamkan tongkat dengan tiga kaki pada Airlangga dan membuat kursi yang diduduki Airlangga terjungkal.
"Bapak! Istighfar, Pak." Amira mencoba menenangkan.
"Sabar! Nanti aku pergi dari sini!" Bukannya menampilkan ekspresi penyesalan, Airlangga justru menyentak, ia bangun dari kursi yang sempat terjungkal dan kembali menatap sengit Hadi.
"Dasar manusia nggak tahu diuntung! Seharusnya saya tidak mempercayakan kamu pada Abikara."
"Eyang, sudah." Trias mencoba melerai.
Hadi tidak mendengarkan, ia sudah terlanjur malu dengan omongan orang tentang kelakuan Airlangga barusan. Ia kembali melayangkan tongkatnya pada kepala Airlangga dan kini tepat mengenai bagian kanan di mana luka itu baru saja Trias bersihkan.
Airlangga berusaha menghindar, tetapi lemas di badannya membuat ia kalah dan berakhir menjadi bulan-bulanan Hadi. Trias mencoba menjauhkan Hadi, ia merebut tongkat berbahan stainless tersebut secara kasar dan melemparnya ke sembarang arah.
"Sini kamu!" Hadi menarik kasar lengan Airlangga, menyeretnya hingga lantai dua dan memasuki kamar yang dulunya milik Ayunda.
Trias menyusul, setelah meminta Amira untuk menelepon Abikara.
"Lihat ini!"
Hadi melemparkan berkas persetujuan pendonor mata, berita kecelakaan, juga satu lembar fotocopy catatan kematian orang beridentitas Aryo pada Airlangga. "Baca dan cermati itu semua! Apa pantas kamu memaki orang-orang yang sudah merelakan hidupnya untuk kamu?!"
Airlangga memeriksa berkas itu satu persatu, dan sebuah kernyitan samar tercetak jelas di keningnya ketika mendapati satu nama, Aryo.
"Kecelakaan yang kamu sebabkan delapan tahun lalu, membuat Arum kehilangan suaminya, dan untuk menyelamatkan hidup kamu, Abikara meminta mata suami Arum agar kamu bisa melihat."
Airlangga masih bungkam, matanya dengan cermat mentransfer informasi yang ia lihat ke dalam otaknya.
"Semua itu dilakukan untuk kamu! Hanya untuk kamu! Dan kamu bilang Abikara yang bersalah? Bukan. Itu semua dia lakukan hanya untuk kamu." Hadi menjeda ucapannya.
"Jika ada orang yang harus disalahkan atas kematian Ayunda, itu seharusnya kamu!" Setelahnya Hadi keluar dari kamar, meninggalkan Airlangga dengan semua fakta yang selama ini ingin sekali ia bagikan pada Airlangga.
Airlangga tidak membuka suara sampai tiba-tiba sepasang tangan menutup telinganya. Laki-laki itu menatap ke depan, melihat ke dalam mata Trias yang memerah. "Kamu jangan dengar ucapan Eyang, please, itu semua bohong. Kamu bukan seorang pembunuh, oke?"
Airlangga tidak merespons, tatapannya kosong ketika berhadapan dengan Trias dengan tangan yang masih setia menggenggam kertas-kertas di depannya.
"A-Aryo siapa, Mas?"
Trias menggeleng, dari tatapan mata itu, Trias tahu adik sepupunya itu tidak baik-baik saja. "Bukan siapa-siapa, kamu jangan dengar omongan Eyang, Airlangga."
"Mas, aku tanya sekali lagi Aryo siapa?!"
"Aku nggak tahu, Lang."
"Jadi ini semua kebohongan? Atau bagaimana? Aku nggak ngerti." Airlangga mengerutkan kening, memiringkan wajahnya, mencari celah kebohongan yang ada di hadapannya. Ia tahu, Trias tengah membohonginya kali ini.
"Aku yang bunuh mama? Begitukah?" Airlangga menunjuk dirinya sendiri, dan suara tawa yang keluar dari bibirnya terdengar sumbang.
Sejujurnya saat ini Trias takut berhadapan dengan Airlangga. Ia tidak tahu Airlangga akan merespons seperti apa dan bagaimana tentang fakta yang selama ini disembunyikan. Tangannya bergetar, dengan detak jantung yang mengencang, Trias berharap Abikara segera sampai untuk menjelaskan semuanya pada Airlangga.
"Aku akan jelaskan semuanya sama kamu. Tapi tolong kamu tenang dulu, ada hal yang harus aku bicarakan sama Eyang, oke?"
"Aryo siapa, Mas?" Airlangga jelas tidak mendengarkan permintaan Trias. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang masih ada di genggamannya.
"Nanti, Lang. Nanti aku ceritakan semuanya."
"Memang bedanya sekarang atau nanti itu apa?" Airlangga berdiri, menghampiri Trias yang hendak keluar dari kamar tersebut.
"Aku nggak punya hak untuk ceritain semuanya, Lang. Maaf, tapi tolong tunggu dulu di sini." Trias masih mencoba membujuk Airlangga agar tidak kembali tersulut emosi. "Aku akan panggil ibu untuk bantu kamu bersihkan luka, ya?"
Trias keluar dari kamar, laki-laki itu menghampiri sang kakek yang duduk pada kursi tua yang menghadap dinding dengan hiasan pigura foto keluarga. Pigura yang ditatap Hadi jelas menampilkan senyum Ayunda, Abikara juga Airlangga yang digendong oleh Hadi.
"Anak itu terlalu dimanja. Dia jadi pembangkang seperti itu," ucap Hadi tanpa melihat wajah Trias.
"Apa itu jadi salahnya? Apa seorang anak yang membela ibunya bisa jadi salah? Airlangga nggak salah dalam kasus ini, Eyang." Trias mencoba membela Airlangga. Baginya kata-kata Hadisudah keterlaluan dan dapat berakibat buruk pada Airlangga.
"Kamu itu tahu apa?"
"Aku tahu! Aku tahu rasanya disalahkan disaat aku nggak tahu jika aku salah itu sakit. Aku tahu rasanya menjadi penyebab kehancuran hidup seseorang itu sesak. Aku tahu rasanya menyesal seumur hidup tanpa bisa memperbaikinya itu terasa lebih sakit dari kematian."
Tanpa sadar Trias meluapkan apa yang selama ini dia rasakan. "Aku sudah terbiasa hidup seperti itu, jadi nggak masalah buat aku yang terlahir sebagai anak haram, 'kan? Anak hasil hubungan terlarang dan tidak jelas siapa ayahnya ini. Tapi Airlangga?"
Hadi memilih bungkam.
"Seharusnya Eyang mencari cara agar Airlangga dapat menerima semuanya dengan baik-baik saja, bukan malah menghakimi dia saat dia sendiri meyakini tindakannya itu benar." Trias berbalik, hendak menaiki anak tangga ketika pintu utama rumah itu dibuka oleh Abikara.
Abikara berlari menyusul Trias, seraut air mukanya menunjukkan rasa khawatir yang begitu kentara pada anak semata wayangnya. "Airlangga kecelakaan? Bagaimana keadaannya?"
"Airlangga ada di atas, Lik."
Tanpa menjawab Abikara berlari menaiki anak tangga dan mendapati Airlangga yang masih mematung menatap kertas-kertas di genggamannya dengan tatapan kosong.
"Airlangga kamu kenapa?" Abikara mencoba mencari arah pandang Airlangga.
"Siapa Aryo?" Masih kata itu yang keluar dari bibir Airlangga.
Abikara mendekatinya, menyeka cairan merah kental yang mengalir di pelipis putranya dan merebut paksa kertas-kertas dari tangan Airlangga.
"Siapa Aryo? Kenapa susah sekali untuk kalian jujur siapa Aryo?!" Airlangga berteriak, berlutut, mencoba menggapai kertas-kertas yang sempat Abikara buang secara brutal sebelum lengan Abikara menghentikan pergerakan dan memeluknya.
"Papa janji akan ceritakan semuanya sama kamu tapi kamu tenang dulu." Melihat Airlangga yang tidak juga tenang, seolah mengembalikan Abikara pada peristiwa delapan tahun lalu.
Trias mencoba membantu Abikara memegangi kaki Airlangga agar tidak menendang ke sembarang arah, sebelum laki-laki itu kehilangan kesadarannya.
****
Hal pertama yang Airlangga rasakan ketika membuka matanya adalah sempit, ternyata Abikara memeluknya dengan posisi pria paruh baya itu duduk di kursi sebelah kanan ranjang tempat Airlangga tidur.
Pergerakan Airlangga membuat Abikara terbangun, ia segera mengubah posisinya, menahan, dan bergerak waspada, kemudian menatap ke arah mata Airlangga. "Ada yang kamu butuhkan, Airlangga?"
Airlangga hanya menggeleng.
"Kamu lapar? Mau makan sesuatu? Atau ada terasa sakit?"
Airlangga memilih opsi diam.
"Tolong jangan hukum Papa seperti ini, Lang." Abikara mengiba. Ia mencium punggung tangan Airlangga yang masih belum berniat membuka suaranya.
"Apa aku seorang pembunuh?"
"Bukan, Lang. Kamu bukan pembunuh. Papa akan ceritakan semuanya pada kamu, tapi kamu harus janji jangan pernah berpikir negatif tentang diri kamu."
Airlangga mengangguk saja, itu cara paling tepat agar Abikara menceritakan semua padanya. Hingga Abikara selesai bercerita, tentang dirinya, Aryo, Arum, penyakit yang diderita Ayunda, bahkan mimpi Adriana tentang kembali bertemu dengan sosok Elang.
Tidak ada yang dapat mendefinisikan perasaan Airlangga saat ini, rasa bersalah, malu, marah pada diri sendiri, malu, dan lebih banyak lagi rasa bersalah berkumpul semua di dadanya. Kilasan masa lalu tentang ia memaki Adriana bahkan menyembul dan membuatnya kelimpungan mengatur napas.
Airlangga mencoba menahan tangis. Namun, gagal. di depan Abikara ia selalu gagal mengenakan topeng ketegarannya. Abikara memeluknya, tangis pria paruh baya itu pun tidak lagi ia tutupi, sudah lama ia merindukan momen seperti ini.
"Maaf karena Papa terlalu takut untuk jujur sama kamu, maaf karena papa selalu berpikir Papa bisa melindungi kamu, maaf karena papa nggak pernah berani mengakui bahwa kamu sudah dewasa, Lang."
"Seharusnya aku yang minta maaf. Maaf karena sudah berburuk sangka," jawab Airlangga di sela isakkannya.
"No! Kamu nggak salah, Lang. Dari awal Papa yang egois. Kita mulai sama-sama, ya? Kita berdua."
Hanya kalimat-kalimat penyesalan yang menemani mereka saat ini, Meski belum sepenuhnya tuntas, Abikara berjanji akan menceritakan seluruh ceritanya jika kondisi Airlangga sudah lebih baik. begitu pula Airlangga, mungkin Jogja akan menjadi saksi di mana sebuah pencarian akan berakhir pada sebuah penyesalan, ketika bertemu Adriana.
Tadinya tuh aku mau buat cerita Abikara dalam bentuk dialog, tapi karena waktunya nggak cukup dan itu pasti panjang, jadi mari kita sudahi bab ini dengan ucapan selamat hampir tahun baru :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top