limapuluh delapan
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
"Kamu nggak main di luar, Yas?" tanya Amira ketika mendapati putra sulungnya masuk ke dalam kamar dan mengambil buku bergambar dan merebahkan diri di kasur.
"Nggak, Bu," jawabnya singkat.
"Kenapa?"
"Kalau ada Airlangga, semua orang maunya main sama Elang, Bu. Nggak ada yang mau main sama Trias. Kan enak main terus dibeliin jajan sama Lik Abi." Trias menjawab sembari meletakkan kepalanya pada buku yang terbuka.
"Kalau ada Airlangga, Nana juga sibuk main sama Airlangga. Enak ya, Bu, jadi Airlangga, dia punya ayah, jadi Airlangga disayang semuanya. Eyang, Lik Abi, Lik Ayu, Paman Aryo, sampe Nana juga. Coba saja Airlangga mau berbagi sama Trias."
Kilasan masa kecil Trias itu begitu membekas di benak Airlangga. Sejak Airlangga tanpa sengaja mendengar ucapan Trias itu, ia memutuskan untuk tidak pernah lagi ikut ke Jogja dengan berbagai alasan, Airlangga tidak ingin jika Trias merasa tidak memiliki siapapun.
Airlangga sudah merelakan Adriana untuk Trias sejak delapan tahun lalu.
Kini keadaannya berbeda, Airlangga punya perasaan yang jauh lebih dalam pada Adriana, Airlangga ingin Adriana selalu ada di dekatnya. Namun, semua itu harus ia telan ketika mengingat tatapan Trias pada Adriana. Ia tahu, bahwa Trias juga punya perasaan yang sama dengannya pada Adriana.
Apakah Airlangga akan menghancurkan perasaan Trias kembali? Bahkan ketika ia tahu, dosanya sudah terlalu banyak pada Adriana. Trias lebih pantas mendapatkan hati Adriana.
"Papa perhatikan kamu sekarang lebih banyak melamun, Lang."
Suara itu menginterupsi Airlangga, ia berbalik, menatap Abikara yang datang membawa dua gelas cokelat panas di tangannya.
"Makasih, Pa." Airlangga menerima gelas cokelat dari Abikara dan menyesapnya pelan. Sejak mengetahui semuanya, Airlangga jadi lebih suka melamun memandangi jendela.
Setelah pulang dari rumah Arum, Airlangga memutuskan untuk kembali ke rumah yang ia sewa bersama Abikara, mungkin mereka akan lebih dekat jika tinggal berdua saja di sana.
"Rumah kamu bagus, Lang. Rapi." Itu komentar pertama Abikara ketika memasuki rumah yang disewa Airlangga.
"Ada hal yang mengganggu kamu?" tanya Abikara ketika laki-laki paruh baya itu duduk pada kasur berbalut sprei abu-abu. "Kamu tahu kamu bisa cerita apa pun pada Papa."
"Nggak ada apa-apa, Pa." Airlangga mencoba berbohong.
"Kamu tahu kamu nggak akan bisa bohong sama Papa, 'kan? Come on, Son!" Abikara sedikit mendesak, sudah lama ia tidak berbagi cerita pada anak semata wayangnya itu.
"Perusahaan bagaimana, Pa?" Airlangga mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baik, berjalan dengan lancar. Tenang saja, Papa pastikan kamu akan mendapat banyak kekayaan dari warisan yang Papa tinggalkan nanti." Abikara mencoba bercanda.
"Berarti seharusnya aku nggak perlu bekerja lagi, 'kan? Papa kumpulkan lagi saja uang lebih banyak." Airlangga membalas, Abikara hampir saja tersedak cokelat panas ketika putranya justru menyuruhnya mencari lebih banyak uang, alih-alih menyuruhnya beristirahat dan akan menggantikan posisi Abikara.
"Seriously?" tanya Abikara tidak percaya dengan respons yang diberikan Airlangga.
Airlangga hanya tertawa sebelum dihadiahi decakan lidah oleh Abikara yang jengkel karena balasannya.
"Oke. Ganti topik. How about ... Adriana?"
Senyum yang Airlangga tampilkan seketika memudar kala mendengar nama itu, seraut wajahnya menjadi sukar untuk dijabarkan dan Abikara dapat menangkap itu.
"Kenapa? Papa pikir kalian sudah berdamai, dai cantik, dan Papa setuju jika akhirnya kalian menikah."
Airlangga menggeleng meski tidak memberikan jawaban lewat bahasa verbal. Abikara mengerutkan kening, seingatnya, ia datang ke Jogja karena Airlangga memutuskan untuk menikah dengan Adriana tanpa restunya.
"Menurut Papa, apa aku pantas bersanding dengan Adriana?"
"Maksud kamu? Perihal pantas atau tidak pantas bukan kita yang mengatur, Lang."
"Papa tahu, 'kan, aku punya banyak kesalahan pada Adriana. Apa itu akan menjadi masalah dikemudian hari yang akhirnya kami akan saling menyakiti? Sementara di luar aku tahu ada orang yang lebih baik dari aku untuk Adriana." Airlangga menjelaskan, ia berpindah yang semula duduk di bangku dekat jendela ke kasur dan bersandar pada sandaran spring bed sembari mengisi daya ponselnya.
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?"
"Nggak tahu. Aku hanya berpikir kalau itu sebaiknya dihindari." Airlangga menatap gelas cokelat panasnya.
"Kalau begitu berarti kamu egois. Kamu berpikir itu untuk kebaikan kalian, tanpa pernah bertanya apa pendapatnya tentang kegelisahan kamu itu. Setiap orang punya pendapatnya masing-masing bukan?" Abikara memutar arah badan menjadi berhadapan dengan Airlangga.
"Papa pikir seharusnya kamu bertanya. Dan soal menyerahkan, kamu tahu hati yang kita bicarakan bukan organ vital yang bisa dijual dengan harga ratusan juta rupiah. Ini tentang perasaan, sebuah rasa yang kadang membuat kita jadi bodoh karena tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya."
Airlangga mendengarkan cermat setiap kata yang keluar dari mulut Abikara.
"Menurut Papa kamu harus punya keberanian bertanya lebih dulu, baru setelah itu kalian putuskan bersama mau bagaimana nantinya. Jangan kamu putuskan sepihak."
"Tapi bagaimana jika kebersamaan kami menyakiti orang lain? Aku sudah terlalu banyak menyakiti orang, Pa. Aku nggak akan sanggup kalau harus menyakiti orang lain lagi."
"Setiap manusia nggak pernah luput dari masalah, Lang. Tergantung bagaimana kita menyikapi masalah itu sendiri, Airlangga. Kamu mau lari atau kamu mau menyelesaikannya." Abikara beranjak dari kasur dan meletakkan gelas yang masih sisa setengah pada nakas, menepuk pundak putranya pelan untuk menyemangati.
Airlangga tersenyum, meletakkan gelas yang ada di genggaman kemudian mengambil ponsel yang sempat ia sambungkan pada charger. Ia mencari kontak Adriana dan menelponnya.
Maaf, Mas. Kalau soal Adriana gue nggak bisa berbagi. Mungkin gue punya sesuatu yang bisa gue bagi dan gue harap itu lebih baik dari Adriana.
Airlangga berucap dalam hati ketika melihat ayahnya menyalakan televisi. "Bagaimana?"
"Nggak diangkat," jawab Adriana.
"Bagus. Karena aneh jika Adriana masih mengangkat panggilan kamu di jam satu pagi seperti ini." Abikara mengambil posisi di samping Airlangga, menyingkap selimut dan membungkus dirinya dengan bed cover abu-abu yang terasa dingin karena pendingin udara.
Sementara Airlangga memutar bola matanya, malas melihat kelakuan ayahnya. Kenapa juga sang ayah tidak mengingatkan jika ini sudah terlalu malam untuk ia menelpon?
****
Urusan patah hati sebenarnya bukanlah hal luar biasa di telinga. Sejak duduk di bangku SMA, Adriana kerap menjadi pendengar teman-temannya yang menangis karena patah hati. Bahkan, ia sendiri sering merasakan patah ketika membuka aplikasi Instagram, ketika mendapati direct message yang ia kirimkan pada Airlangga tidak pernah disambut jawab.
Namun, kali ini berbeda. Sejak ia tahu Airlangga sudah mengingatnya sebagai teman kecil, Adriana merasakan sakit yang tidak dapat ia jelaskan. Mimpi Adriana terlalu tinggi, ia selalu bermimpi bahwa jika Airlangga mengingatnya sebagai Nana, laki-laki itu akan memiliki perasaan yang sama seperti yang ia rasakan.
Akan tetapi, kenyataan tidak berpihak padanya. Airlangga sama sekali tidak menganggap semua itu berarti. Tentang masa lalu mereka, hanya Adriana yang menganggapnya sebagai hal spesial.
Sejak dulu Adriana kerap bersemangat mengejar cita-citanya, berharap ia akan menjadi perempuan yang pantas bersanding dengan seorang Airlangga. Kini, cita-cita itu pupus tak bersisa, jadi ke mana tujuan Adriana nantinya? Ia sendiri tidak tahu jawabannya.
"Ana, kamu sudah makan belum?" seruan Arum yang mengetuk pintu kamar Adriana tidak dihiraukan. Sejak kepulangan Airlangga dan Abikara, Adriana masuk ke kamar dan mengunci pintu dengan alasan mengantuk pada Arum.
Ia tidak bersuara, tetapi air matanya tidak berhenti mengalir sejak dua jam lalu. Tangannya setia memeluk selembar kaus putih dan menghirup aroma yang ditinggalkan sang empunya. Ia terisak, kala mengingat hal-hal indah yang pernah ia lalui bersama Airlangga.
Airlangga terlalu jauh masuk ke dalam hatinya dan malam itu, Adriana tidur tanpa sempat mengisi perutnya dengan sedikit pun makanan sedari pagi.
Arum kembali mengetuk pintu kamar saat jam menunjukkan pukul enam pagi. Hari ini Adriana seharusnya masih terjadwal sif pagi, tetapi belum ada tanda-tanda Adriana akan keluar dari kamarnya. Arum mengeraskan ketukannya, raut wajah cemas mulai ia perlihatkan ketika Adriana tidak juga merespons panggilannya.
ia keluar rumah, mendapati Bima yang baru akan ke rumah Hadimulyo untuk menjemput Trias karena motor laki-laki itu mogok.
"Bima tolong nanti kamu panggil Trias ke sini, ya?" Arum meminta, di saat seperti ini hanya Trias yang ada di benaknya untuk meminta tolong.
Bima mengangguk, kemudian bergegas menuju rumah Hadimulyo.
Tidak sampai sepuluh menit, Trias sampai dengan tergesa-gesa, laki-laki itu bahkan lupa mengetuk pintu atau sekadar memberi salam ketika masuk ke dalam rumah Arum.
"Ada apa, Budhe?"
"Adriana dari malam nggak keluar-keluar, Budhe takut dia kenapa-kenapa. Kemarin wajahnya berubah aneh ketika habis bicara sama Airlangga." Arum menceritakan kronologi.
"Airlangga?" Trias memastikan. Ia mengetuk pintu kamar Adriana lebih keras hingga pintu itu terbuka.
"Ada apa, sih, Bu? Ana masih ngantuk."
"Kamu nggak apa-apa, An?" Trias bertanya khawatir. Laki-laki berusia 27 tahun itu meneliti wajah Adriana yang terlihat lebih pucat dari biasanya dan menempelkan punggung tangan pada kening Adriana. "Kamu demam, An."
Belum sempat Trias menyelesaikan ucapannya, Adriana limbung di depannya, Trias sigap memeluk dan menggendong Adriana kembali ke kamar. "Bima, kamu panggil istri Pak Haris yang bidan itu."
"Enggeh, Mas." Bima berlari ketika selesai menjawab titah Trias.
Trias menelpon Airlangga untuk menanyakan apa yang ia katakan pada Adriana hingga menyebabkan kondisi Adriana seperti ini, Trias menduga ini ada hubungannya dengan Airlangga.
"Kamu kenapa lama banget angkat telponnya?" Trias mengomel ketika teleponnya tersambung.
"Gue habis mandi. Kenapa?" Suara Airlangga terdengar dari seberang telepon.
"Kenapa, kenapa? Kamu bicara apa sama Adriana kemarin?"
"Gue ...."
"Aku sudah tahu ini pasti ulah kamu! Adriana sakit sekarang, itu setelah kamu bicara sama dia kemain malam. Sekarang kamu ke sini. Cepat!" Trias memutuskan sambungan telepon ketika bidan yang dipanggil Bima selesai memeriksa Adriana.
"Dia kekurangan cairan, dan sepertinya perutnya kosong. Minumkan obat pereda nyeri lambung lebih dulu sebelum makan, ya. Obatnya bisa dibeli di apotek, ini resepnya."
Trias mengucapkan kalimat terima kasih sebelum mengantar tetangganya itu keluar rumah Arum. memberikan resep obat pada Bima, Trias meminta Bima agar cepat kembali.
"Kamu itu kenapa, An?" tanya Arum dengan suara yang bergetar akibat rasa khawatir yang berlebihan.
Adriana tidak menjawab, ia justru menutupi wajahnya dengan kaus Airlangga yang sejak semalam menemaninya.
Airlangga baru datang setelah satu jam berkendara. Ia masuk setelah ditarik paksa oleh Trias untuk melihat keadaan Adriana dan kembali menyeretnya keluar untuk bicara empat mata.
"Kamu itu kenapa, Lang?" tanya Trias setengah berbisik.
"Mas suka, 'kan, sama Adriana? Aku cuma mencoba untuk merelakan Adriana untuk Mas Trias." Airlangga menunduk.
"Lalu?"
"Maksudnya?" Airlangga tidak mengerti dengan respons yang diberikan Trias.
"Kalau aku suka sama Adriana kenapa? Dia sukanya sama kamu, jadi masalah? Aku nggak ada niat memaksakan rasa cinta aku padanya." Trias menatap Airlangga dengan alis yang dinaikkan. "Jangan memperumit keadaan, Lang. Kamu cinta sama Adriana, Adriana cinta sama kamu, semudah itu. Jangan pikirkan orang lain, mereka akan bahagia dengan caranya masing-masing."
"Tapi, Mas."
"Aku nggak mau dengar apa pun dari kamu, sekarang waktunya kamu jujur saja. Kamu bisa kehilangan Adriana?"
Airlangga menggeleng.
"Kalau begitu masuk dan katakan semuanya. Aku menjaganya untuk kamu, Lang. Sejak dulu, aku tahu aku akan kalah, jadi aku sudah bisa mengatasinya."
Airlangga mengangguk kaku, ia memeluk Trias dan mengucapkan terima kasih sebelum masuk kembali. Namun, Adriana ada di sana, berdiri tepat di hadapannya ketika ia melewati bibir pintu.
"Adriana, aku ...."
Tanpa diduga, Adriana justru memukulkan nampan bekas ibunya membawa gelas teh untuk Abikara ke wajah Airlangga.
Siapa yang malam tahun barunya nggak kemana-mana, yaudah ditemenin Adriana sama Airlangga aja, ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top