dua puluh tiga
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Airlangga mengusap peluh di dahinya ketika berhasil terbangun dari mimpi. Bukan! Itu bukan mimpi, itu kenyataan terburuk yang pernah ia alami dalam hidupnya. Airlangga berjalan lunglai, energinya habis terkuras karena ingatan satu tahun lalu itu selalu saja menerobos masuk. Seolah, tidak ada ingatan lain yang bisa dia ingat.
"Semakin cepat menemukan perempuan sialan itu, semakin cepat aku pergi dari sini." Airlangga berbicara sendiri dalam remang kamar yang tidak memilik warna lain selain putih, hitam, abu-abu. Detik berikutnya, tanpa mengecek jam menunjukkan pukul berapa, ia mengambil catatan kecil yang ia simpan di belakang case ponselnya.
Sebuah alamat tanpa nama tertera di sana, ia mengambil ponsel dan mencari alamat tersebut melalui aplikasi Google Maps. Terdapat sebuah pantai yang tidak ia kenali, Airlangga menduga masih dalam satu kawasan dengan daerah Parangtritis.
Airlangga menggulirkan ponsel, mencari nama Adriana dan menghubunginya tanpa peduli jika jam tengah menunjukkan pukul dua pagi.
"Adriana, apa kamu sudah tidur?" tanyanya ketika Adriana menjawab teleponnya.
"Lebih tepatnya saya bangun karena Chef Air menelepon." Itu sebuah sindiran sebetulnya, tetapi Airlangga yang tidak begitu peka justru memuji Adriana.
"Bagus! Karena saya butuh bantuan kamu."
Yang di seberang telepon melebarkan matanya, mengubah posisi menjadi duduk dengan tumpukan selimut di kepala. Ia menatap jam weker bermotif panda dan hampir saja menghardik laki-laki yang menjadi atasannya itu. "Jam dua pagi? Serius, Chef?"
"Kamu bisa datang ke rumah saya sekarang? Atau saya yang ke tempat kamu?"
Adriana membuka mulut mendengar pilihan yang ditawarkan Airlangga. Sepertinya Airlangga menulikan telinga atas protes yang dilayangkan Adriana. Perempuan itu berpikir sejenak, sebuah pertanyaan menyembul tentang mau apa Airlangga di jam segini? Buru-buru ia menggeleng kepala, mengenyahkan pikiran kotor yang tanpa sengaja hinggap.
"Bagaimana, Adriana?"
"Sa-saya, takut keluar sendirian, Chef." Adriana memberikan alasan untuk menolak.
"Kalau begitu kamu siap-siap, tidak sampai lima menit saya tunggu kamu di depan kos."
Setelah itu sambungan telepon mati begitu saja tanpa Adriana mengeluarkan protes. Ia mengacak-acak rambutnya sebelum berlari ke arah lemari kemudian mengganti celana tidurnya serta menambah satu jaket kebesaran untuk menutupi kaos oversize yang biasa ia kenakan untuk tidur.
Airlangga tidak waras. Mungkin itu yang di benak Adriana, dan Adriana lebih tidak waras karena menuruti laki-laki yang kini menunggunya di depan gang sempit yang tidak bisa dilalui mobil. Ia jalan mengendap-endap, serupa maling yang takut ketawan akan melarikan diri dari pemilik rumah.
"Ada apa, sih, Chef?!" Adriana protes. Masker yang digunakannya membuat perempuan itu harus bicara lebih kencang.
"Ikut saya."
Airlangga tidak banyak bicara. ia membukakan pintu mobil dan meminta Adriana masuk dengan mendorong tas yang disampirkan asal oleh perempuan itu.
Mereka menuju rumah yang disewa Airlangga untuk satu tahun, tampaknya laki-laki itu tidak peduli sama sekali dengan apa yang ditanyakan Adriana.
Adriana meletakkan tasnya di atas meja kaca sembari menatap sekeliling. Rumah satu lantai dengan atap tinggi itu di bangun mezanin untuk menciptakan kamar di lantai dua sebelah sisi. Di bawahnya ada dapur dengan meja makan minimalis serta kamar mandi yang kini tertutup. Sementara ruang tamunya hanya berisikan sofa panjang dengan menghadap televisi besar yang menempel pada dinding. Rumah serba putih itu terlihat menggemaskan di mata Adriana.
"Rumahnya bagus, Chef," komentar Adriana ketika Airlangga duduk dan membuka laptopnya.
"Ini, Adriana." Airlangga menunjukkan layar empat belas inchi itu pada perempuan yang kini duduk di sampingnya.
"Apa teman kamu sudah ada kabar tentang alamat yang saya kirimkan?"
"Ohh! Sudah, Chef. Rumah itu pemiliknya seorang wanita tua, dia menempati rumah itu enam tahun lalu tapi."
Adriana menjawab seraya menutup mulutnya karena menguap. Tadi malam, ia baru pulang pukul dua belas malam dan Airlangga menelponnya ketika ia baru satu setengah jam memejamkan mata. Jelas saja rasa kantuk masih menguasai karena ia butuh istirahat.
"Apa tidak ada kerabat atau kenalan yang tahu pemilik rumah yang lama pergi?"
"Kalau soal itu Chef Air harus memastikannya sendiri, bukan? Supaya lebih puas." Rasa kantuk sudah tidak bisa ditahan lagi, Adriana menjatuhkan kepalanya pada pundak Airlangga tanpa membuka matanya lagi.
Airlangga yang merasakan pundaknya lebih berat akhirnya menoleh. Dari jarak pandangnya, ia dapat melihat bulu mata lentik yang bergerak samar. Sedikit rasa sesal timbul kala melihat wajah Adriana, seharusnya mungkin ia tidak melibatkan Adriana, tetapi tidak ada lagi yang bisa ia percaya.
Airlangga bergerak pelan, memeluk Adriana dan membaringkan perempuan itu di sofa abu-abu panjang kemudian mengambil selimut. Jiwa kelakian Airlangga mengakui, perempuan di depannya ini terlihat manis saat tertidur.
Airlangga bahkan tidak tahu, apa yang tengah merasukinya ketika tiba-tiba mengecup kening perempuan yang mungkin tengah bermimpi itu. Ada rasa hangat yang timbul, meski Airlangga tidak tahu itu apa.
"Ini semua hanya sebentar, Adriana. Kemudian saya akan pergi dari hidup kamu, mungkin untuk selamanya."
Airlangga aku nggak suka ya kalau kamu jadi manis gini 😠😠
Happy weekend buat semuanya!!
Nggak bosan aku bilang makasih buat kalian yang sudah stay baca dan dukung cerita ini. Bikin aku semangat gitu terus nulis dan nulis :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top