The Tale of Mr. Kim by BieruLiu


Pemuda itu berjalan menuruni bukit, kakinya sekali lagi melangkah menuju ibu kota, yang sudah berkali-kali dia lakukan untuk mengubah hidupnya. Dirinya yang berusia sembilan belas tahun, sudah mengikuti Ujian Pemerintahan untuk kesekian-kalinya. Sebenarnya pemuda itu tidak ingin menjadi pegawai pemerintah, tetapi ibunya begitu mendambakannya—sebagai sang putra satu-satunya—bisa menjadi seorang bangsawan dan tinggal di ibu kota.

Terlahir dari keluarga petani pas-pasan, Kim Seong-Bok Kecil atau yang lebih dikenal sebagai Tuan Muda Kim, sudah harus kehilangan ayahnya karena sebuah penyakit. Ibunya yang sudah menjanda berusaha membesarkannya seorang diri, dengan bekerja keras menyekolahkannya dengan baik agar kelak bisa menjadi pegawai pemerintah kemudian naik tingkat menjadi bangsawan dan menikahi putri aristokrat jelita, tetapi kenyataannya; putranya selalu gagal.

Sebenarnya Tuan Muda Kim bukan pemuda bodoh, ia sangat pintar dan mudah menangkap pelajaran, tetapi perhatiannya selalu teralihkan oleh lukisan-lukisan indah di ibu kota—bukan karena gadis-gadis mudanya. Dua tahun lalu ia gagal lulus ujian karena terlalu asyik memandang pameran lukisan yang baru datang dari Ming. Tahun inidirinya bertekad, setelah menunggu dua tahun lamanya, bahwa ia tak akan mengecewakan ibunya lagi yang sudah mulai sakit-sakitan—ia berniat menjadi pegawai pemerintah.

"Aku harus berusaha. Tahun ini aku harus bekerja keras!" Tuan Muda Kim mengumpulkan tekadnya dan melangkah menuruni gunung terakhir menuju ibu kota. Namun, di tengah perjalanan terdengar rintihan dari balik rimbun semak. Dirinya terdiam sejenak,memfokuskan pendengaran karena suara itu tiba-tiba menghilang dan tak terdengar lagi. "Ah...mungkin suara angin," pikirnya. Pemuda itu kembali melangkah, tetapi rintihan itu terdengar lagi dan–

"AKKHH!" Teriakan menggema keras, menerbangkan burung-burung yang bertengger di dahan-dahan pohon., mengejutkan pemuda itu hingga terperosok ke tanah.

Tuan Muda Kim berusaha bangkit, tetapi mata kakinya terasa nyeri. "Aiigguu, sepertinya terkilir," gumamnya dan diurutnya sebentar bagian nyeri itu. Sial sekali dirinya hari ini. Ia yang seharus bergegas, kakinya malah terluka. Tidak! Dia tak boleh menyerah! Pemuda itu pun berusaha berdiri dengan ranting kayu yang ditemukan lalu diikutinya suara rintihan yang mengganggunya itu, dikarenakan rasa kesal sekaligus penasaran.

Dengan sok berani bercampur takut, diikutinya arah sumber suara. Dari balik semak, tiba-tiba terlihat bulu putih perak menyembul, membuat matanya terbelalak terkejut. Hewan apa itu? Kini rasa penasarannya meningkat seratus persen. Dengan tangan gemetar, Tuan Muda Kim menyibak semak dengan tongkat kayu yang dipegang dan betapa terkejutnya dia saat melihat seorang gadis bersimpuh di tanah. Seorang gadis? Bukan seekor hewan?

Pemuda itu mengucek-ngucek mata, memastikan bahwa dirinya tidak sedang berhalusinasi ataupun berfatamorgana akibat dehidrasi sekarang ini. Sekeras apa pun dirinya mengosok mata, yang dilihatnya adalah seorang perempuan. Dirinya mulai mengamati gadis tersebut, Apakah hantu? Ataukah siluman? batinnya.

Gadis itu menatap dengan mata sayu memelas,kakinya berdarah banyak sehingga membuat baju putihnya pun ikut menjadi warna merah.

PLAKKK!

Tuan Muda Kim menampar keras pipi sendiri untuk sadar kembali, dengan ragu ia mendekati gadis itu lalu menanyakan keadaannya. "Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanyanya khawatir.

Gadis itu menjawab dengan anggukan lemah. "Kakiku sakit. Aku terluka saat hendak menuruni gunung. Bisakah Anda membantu saya, Tuan?" Nada suara perempuan muda itu begitu lemah gemulai dan terdengar menggoda.

Tuan Muda Kim terdiam sejenak, terlintas nasihat sang ibu yang tua renta dalam otaknya. 'Jika di gunung ada seorang wanita yang mengganggumu...bisa jadi wanita itu adalah siluman. Kumiho, siluman rubah...lari saja dan abaikan. Bisa juga itu hantu gunung yang berkeliaran untuk mencelakakan orang lain. Abaikan saja, alihkan matamu pada buku yang kau bawa. Ibu kota menunggumu.' "Nona, apa kau seorang siluman?" tanyanya dengan lugu.

Gadis yang terluka itu pun termangu mendengar pertanyaan tersebut.

"Atau mungkin hantu gunung?" lanjut pemuda itu lagi.

Gadisitu masih terdiam menatap pria muda polos itu.

"Bukan?" ujar Tuan Muda Kim sambil menggelengkan kepala sedikit, tak dapat memastikan identitas sang gadis di hadapannya. "Nona, maafkan aku. Aku harus segera pergi ke ibu kota. Jika kau hanya ingin mengganggu perjalananku karena kau siluman ataupun hantu gunung...kau bisa memakanku setelah ujianku selesai. Kalau begitu, geurom," katanya lagi sambil membungkuk sedikit dan pamit.

Saat Tuan Muda Kim berbalik, tiba-tiba terdengar kikihan gadis itu yang sudah menintikkan air mata. "Tuan, apa aku terlihat seperti hantu ataupun siluman di matamu? Aku hanya seorang gadis lemah yang terluka. Lihat ini...," katanya sambil menyibak rok untuk memperlihatkan luka sayatan panjang. "Jika aku siluman ataupun hantu, bagaimana bisa terluka seperti ini?" Ekspresinya berubah memelas lalu berkata, "Tolong aku, nenek-ku pasti mencemaskanku. Rumahku tak jauh dari sini."

"Hufftt." Pemuda itu menghela napasnya. Apa boleh buat, ia tak bisa meninggalkan seorang gadis sendirian di tengah hutan apalagi hari akan segera gelap.

Beberapa saat kemudian terlihat ekspresi cemberut dari gadis tadi karena pemuda itu tidak membawanya ke rumah di ujung hutan malah mengajaknya turun gunung menuju desa. Tiba-tiba satu buntut ekor menyembul keluar dari dalam Chima yang dikenakan gadis itu. Dengan cepat ditarik dan dimasukkannya kembali oleh sang pemilikTernyata, praduga Tuan Muda Kim memang benar bahwa gadis itu sebenarnya adalah seekor siluman rubah atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Jeoseon sebagai Kumiho—seekor siluman berumur ratusan tahun yang membunuh para laki-laki untuk dimakan hatinya.

Umumnya, Kumiho diketahui sebagai siluman rubah betina berumur seribu tahun yang terkena kutukan, dan kalau memakan seratus hati manusia, siluman itu pun bisa menjadi seorang manusia. Siluman yang biasanya berkedok sebagai seorang wanita cantik untuk menggoda lelaki. Namun, adapula rumor yang menyebar bahwa Kumiho sebenarnya adalah siluman yang cengeng dan lemah, yang berusaha lepas dari cengkeraman siluman yang suka bertaruh. Banyak rumor yang beredar tentang siluman berekor sembilan itu, tetapi cerita-cerita tersebut belum jelas kebenarannya, sampai mereka bertemu sendiri dengan siluman itu.

Tuan Muda Kim mempercepat langkah karena hari sudah menjelang malam. Ia merasa harus segera tiba di desa kemudian langsung melanjutkan perjalanan menuju ibu kota sebelum pagi datang. Waktunya semakin sedikit jika ia gagal lagi tahun ini karena tahun depan tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Dia berencana membawa gadis itu menemui tabib desa untuk memeriksa lukanya, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari rumah tabib yang ditunjukkan oleh seorang wanita di dekat kedai tadi.

Gadis itu memperhatikanpemuda tersebut yang terlihat tergesa dengan kaki terpincang, tetapi tetap menjaga dirinya di punggung tanpa menurunkannya sama sekali. Pemuda yang terlihat tulus membantunya—padahal, kemungkinkan besar ia akan memangsa pria itu."Tuan, mengapa Anda menolong saya?" tanyanya seraya mendekap ekornya yang terus menyembul dari balik Chima.

"Karena kau terluka," jawab Tuan Muda Kim masih seraya mencari-cari rumah sang tabib.

"Tapi, Tuan tidak mengenal saya. Kenapa Anda tidak mengantar saya ke rumah saja? Tapi malah mengendong saya sampai ke desa untuk mencari tabib?"

"Itu? Haruskah aku menjawabnya sekarang? Aku sedang terburu-buru, harus menuju ibu kota saat ini. Lagipula, jika saya mengantar Nona pulang dalam keadaan terluka, betapa sedih orang tua Anda nantinya."

"Apa Tuan tak curiga sama sekali? Bagaimana jika ternyata saya adalah seorang siluman?"

Tiba-tiba pemuda itu berhenti melangkah, membuat napas terengahnya terdengar jelas, terlihat keringat mulai mengucur dari keningnya. "Jika kau siluman maka kau akan memakanku dan aku pun akan mati, tapi...bisakah kau melakukannya setelah aku menempuh ujianku? Ibuku sangat berharap aku bisa menjadi pegawai pemerintahan."

Gadis itu terdiam karena tak merasakan aura ketakutan dalam diri pemuda tersebut saat menjawabnya, yang membuatnya merasa bahwa pria itu sepertinya tulus menolongnya yang terluka. "Tuan, tolong turunkan saya... kaki Anda juga terluka."

"Nona, aku baik-baik saja. Sebagai anak seorang petani, aku terbiasa membawa jerami berat dipunggung," ucap Tuan Muda Kim diiringi tawa di akhir kalimat.

"Je-Jerami?" Wajah gadis itu langsung terlihat kesal saat mendengar ucapan tersebut. Bagaimana bisa pemuda itu menyamakannya dengan jerami? Apakah ia lebih baik memakan hati pria itu meskipun telah berbaik hati menolongnya?

Tengah malam, Tuan Muda Kim duduk diluar rumah tabib sambil memandang langit malam penuh bintang.Hufff, embusan napas beratnya terdengar menyedihkan.

Gadis itu terus memperhatikannya dari dalam rumah melalui jendela, matanya tertuju pada perut kanan bagian atas tubuh pria itu, lidahnya pun terlihat mengecap seperti orang kelaparan.

"Nona, bagaimana Anda bisa mendapatkan luka yang begitu besar di kaki seperti ini?" tanya sang tabib.

"Ahh, seekor harimau tua gila mau menerkamku," jawab gadis itu yang kehalusan ucapannya kini berubah menjadi kasar—tanpa mengalihkan pandangan dari pemuda itu.

Tabib tua tersebut terdiam mendengar jawaban frontal keluar dari mulut gadis itu yang langsung menutup jendela ketika melihat pemuda tersebut beranjak dari duduknya.

"Nona...Nona...." Suara Tuan Muda Kim terdengar memanggil dari luar dan dengan cepat gadis itu kembali membuka jendela. Entah kenapa, saat melihat wajah gadis itu di jendela dengan sinar bulan yang meneranginya, membuat dada pemuda tersebut berdegup kencang.

"Ya, Tuan?"

"Ahh–ah...itu...," kata Tuan Muda Kim yang menjadi gagap seketika kemudian berusaha mengontrol emosinya sejenak. "Nona, aku harus meneruskan perjalananku sekarang. Jika tidak, aku tak akan sampai di ibu kota tepat waktu. Apa tak masalah jika saya meninggalkan Anda seorang diri? Atau, apakah ada yang bisa saya temui untuk menjemput Anda di sini?"

"Hah? Ah–aahh...itu," balas gadis itu sedikit tercengang saat mendengar kata-kata tersebut yang terdengar perhatian. "Aah–tidak apa-apa, saya akan menunggu pagi dan pulang ke rumah. Lagi pula, setiap pagi kakak saya akan turun ke desa untuk menjual hasil kebun."

"Ahh–baiklah, jika seperti itu saya bisa tenang. Kalau begitu...sampai jumpa," ujar Tuan Muda Kim membungkukkan badan lalu berbalik hendak pergi.

"Tapi hari masih gelap," ujar gadis itu yang membuat Tuan Muda Kim berhenti melangkah, berbalik menatapnya lagi. "Anda harus melewati jalan yang panjang. Kenapa tak menunggu matahari terbit saja?" tanya gadis itu berusaha menahan kepergian pria tersebut. "Melanjutkan perjalanan saat pagi datang, akan lebih aman untuk Anda, Tuan." Gadis siluman itu berpikir bila pemuda itu adalah orang yang benar-benar baik, pasti hatinya akan terasa sangat lezat.

Tuan Muda Kim terlihat terdiam melihat senyum manis gadis tersebut, entah kenapa hatinya semakin kencang berdebar sekarang. "N-nona, si-siapa namamu?" tanyanya terlihat salah tingkah.

"Heh?" Gadis itu bingung saat ditanya seperti itu, tak tahu harus menjawab bagaimana karena sebenarnya ia tidak memiliki nama. Hmm, dia lalu teringat bahwa selama ini orang-orang desa menjulukinya—"Mi-Ho, namaku Mi-Ho."

"Mi-Ho," gumamTuan Muda Kim memandangnya sambil tersenyum. "Seong-Bok, namaku Kim Seong-Bok. Sayang sekali, aku harus melanjutkan perjalananku malam ini, tidak bisa menunggu pagi datang karena perjalanan menuju ibu kota membutuhkan waktu yang panjang. Aku tak ingin mengambil risiko yang bisa membuatku terlambat dan gagal ujian tahun ini. Sampai jumpa Nona Mi-Ho." Tuan Muda Kim membungkukkan badannya sekali lagi kemudian berbalik pergi.

Gadis itu pun tersenyum dengan licik karena dirinya sekarang sudah tahu siapa nama pemuda itu. Hanya dengan nama itu saja, ia dapat dengan mudah menemukan pemuda tersebut untuk disantap hatinya. "Orang yangbaik biasanya hatinya terasa manis. Hati yang ke-seratus dan aku  pun akan menjadi manusia," gumamnya. Dibelakangnya, sang tabib tua terlihat ketakutan. Bagaimana tidak? Ada sembilan ekor buntut berwarna putih yang menyembul keluar dari balik Chima yang ia kenakan. Gadis siluman itu pun melihat pemuda tersebut berangkat dengan semangat yang membara.


—Tahun 1409, masa pemerintahan Raja Taejong—

Gwageo atau Ujian Nasional Kerajaan bertujuan memilih pejabat-pejabat pemerintahan berkualitas. Dahulu, sebelum Raja Taejong berkuasa, gwageo hanya bisa diikuti oleh para bangsawan kelas tinggi. Namun sekarang, pemilihan didasarkan pada kecakapan, bakat, dan pengetahuan siswa—tanpa ada campur tangan politik di dalamnya. Sistem ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 958 di masa Dinasti Goryeo, yang mengikuti sistem ujian nasional kekaisaran yang diterapkan pada Dinasti Sui dan Dinasti Tang di Cina.

Tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak pelajar yang mengikuti ujian—termasuk Tuan Muda Kim yang sudah mencobanya sebanyak tiga kali. Kali ini, tuan muda yang sebenarnya lebih menyukai seni itu, bertekad untuk berhasil menjadi pegawai pemerintahan. Dirinya mengantri bersama beberapa pemuda lainnya untuk mendaftar dan mengambil nomor urut. Namun, entah kenapa tiba-tiba ia terbayang sosok Mi-Ho yang terluka. "Aiiguuu, apa Nona itu baik-baik saja?"

Ujian dimulai pada tengah hari, Tuan Muda Kim sudah duduk bersila menunggu panitia membuka soal. Ia menarik napas panjang berharap semuanya berjalan dengan lancar. Dipandanginya langit dan matahari bersinar terik siang itu.

"MULAI!" Hakim berseru, kertas putih pun dibuka dan sebuah pertanyaan muncul dari baliknya. Tuan Muda Kim membaca pertanyaan sejenak kemudian mengambil kuas di samping dan mulai menulis di kertas kosongnya.


Nun jauh di gunung dekat desa, Mi-Hosedang duduk bertengger di dahan pohon besar. Dipandanginya benteng ibu kota yang terlihat samar jauh depan sana. Diayun-ayunkannya kaki dan dikunyahnya apel yang digigitnya tadi.

"Kau sedang menunggu seseorang?" Suara mungil seorang gadis menyapanya.

"Ya, aku sedang menunggu hati yang manis karena dia berjanji akan kembali...ahh-tidak...setelah ujiannya selesai di ibu kota, baru dia akan kembali dan melewati gunung ini lagi," jawab Mi-Ho kembali mengigit apelnya lagi.

"Hati yang manis?" tanya gadis itu penasaran. "Aku juga ingin hati manis."

TUKK!

Mi-Ho melempar apel yang digigitnya tepat mengenai kepala gadis kecil tersebut sehingga membuat anak itu mengaduh dan memandangnya kesal. "Sakit!"

"Tak bisa, hati manis itu hanya untukku. Setelah aku memakannya, aku akan menjadi manusia untuk menemui suamiku. Jika aku sudah menjadi manusia maka Tuan Yeon tak akan takut lagi padaku," ucap Mi-Ho yang ekspresinya berubah sedih ketika menyebut nama pria itu. Ya, dirinya memang seorang siluman, yang berlarian di gunung, memakan hati hewan, dan memangsa ternak orang desa.

Dirinya mengingat masa lalunya sewaktu turun gunung pertama kali. Mi-Ho tertarik melihat rombongan orang berkabung dan seorang pemuda ternyata menyita minatnya. Tanpa sadar ia mengikuti pemuda itu sampai ke desa tetangga untuk diperhatikannya, yang lama-lama malah membuatnya jatuh hati kepada tuan muda tersebut—membuatnya ingin bertemu dan berbicara langsung.

Mereka akhirnya bertemu kemudian hari pun terus berganti dan pertemuan tersebut membuahkan benih cinta. Pemuda itu atau yang dipanggil Tuan Muda Yeon akhirnya menikahi Mi-Ho meski ditentang keluarga pria tersebut. Pernikahan mereka berjalan dengan bahagia, hingga hari itu tiba, di mana mertua wanita Mi-Ho memergoki gadis itu sedang memakan anjing peliharaan mereka. Mi-Ho pun akhirnya mengancam sang ibu untuk tidak mengatakan apa pun kepada suaminya tentang apa yang terjadi. Namun, kecurigaan tentang sikap ibunya yang tiba-tiba berubah, membuat kakak tertua Tuan Muda Yeon curiga. Setelah wanita paruh baya itu bercerita, sang kakak akhirnya kemudian memanggil seorang dukun yang bisa memperlihatkan wujud asli adik iparnya.

Saat itu terjadi, Tuan Muda Yeon—sang suami—benar-benar terkejut dan ketakutan yang membuat Mi-Ho pun menangis karena hatinya hancur. Mi-Ho lalu pergi meninggalkan pria itu dan bertekad untuk menjadi manusia agar dapat bersama suaminya lagi. Ia lalu bertapa selama ratusan tahun karena seorang siluman tua memberitahunya; jika ingin menjadi manusia maka ia harus menyantap seratus hati manusia—terutama laki-laki.

Korban pertama Mi-Ho adalah dukun yang telah memisahkannya dengan suaminya yang tercinta. Ia mencabik tubuh dukun perempuan tersebut, mengambil hatinya kemudian dimakannya.

Dan kini, dirinya telah memakan sekitar sembilan puluh sembilan hati manusia—yang kadang terasa pahit, tetapi kadang juga manis jika orang tersebut adalah orang yang baik hati. Mengingat korban terakhirnya yang ke-seratus adalah Tuan Muda Kim, Mi-Ho tak sabar ingin menjadi manusia dan hidup bahagia dengan suaminya.

Hujan deras mendera malam itu, Tuan Muda Kim yang masih berada di ibu kota terlihat berteduh di sebuah kedai. Sebenarnya, ia berencana kembali ke desa malam itu juga, tetapi hujan menghalanginya. Ia ingin cepat kembali dan bertemu ibunya, tetapi tiba-tiba paras Mi-Ho terlintas. Ah–ia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis tersebut.

"Kenapa kau tidak tinggal di ibu kota saja? Aku bisa menjamumu di rumahku," ujar seorang teman yang baru ia temui, yang menawarkannya tempat tinggal.

"Ah-tidak...aku harus kembali. Ibuku di rumah sendiri. Lagi pula benih-benih padi harus segera ditanam, ibuku akan sangat kerepotan nantinya," tolaknya.

"Di mana pelayanmu? Harusnya mereka membantu bertanam, bukan?" kata temannya lagi seraya menuangkan arak ke dalam cawan milik Tuan Muda Kim.

"Tidak menarik rasanya jika kau tak bisa ikut bertanam, lagi pula–"balas pemuda itu sambil menundukkan kepala sejenak kemudian menatap keluar jendela untuk melihat tetesan hujan. Bila dia berjalan pulang sekarang, bukankah dia akan melewati tempat itu lagi? Di mana saat kaki gadis itu terluka. "Aku ingin bertemu lagi dengan seorang gadis yang baru pertama kali kujumpai."

"Gadis? Apa dia cantik? Yaaa! Gadis desa bukanlah tandingan bagi gadis-gadis kota. Aku bisa mengenalkanmu kepada para gadis di ibu kota jika kau mau."

Tuan Muda Kim tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Dia–kurasa dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat selama ini. Aku ingin bertemu dengannya lagi karena dia sedang terluka," lanjutnya sambil memandangi bungkusan obat herbal yang dibelinya di ibu kota.

Pemuda itu sepertinya benar-benar tertarik pada gadis siluman tersebut. Dirinya tidak tahu bahwa gadis itu hanya mengincar hatinya saja untuk dimakan. Tuan Muda Kim tak menyadari bahwa kematiannya akan sangat dekat apabila Mi-Ho sudah mendapatkan hatinya.

Di atas gunung, seorang gadis kecil bermantel jerami sebagai pelindung hujan, berdiri di bawah pohon rindang dan mulai berseru, "Unnie kau masih menunggunya?"

"Emm, dia akan datang sebentar lagi. Tak akan lama lagi aku akan menjadi manusia setelah memakan hatinya."

"Ahh...ini merepotkan, kenapa tidak mencari orang lain saja? Kenapa kau harus menunggu untuk satu hati itu?"

"Karena hatinya akan terasa sangat manis," ucap Mi-Ho dari atas dahan sambil tersenyum memandang ke bawah.Ya, dirinya memang masih menunggu pemuda itu—menunggu Tuan Muda Kim dari ibu kota. Bagaimanapun juga ia ingin memakan hati pemuda tersebut karena hati ke-seratus yang dimakannya untuk menjadi seorang manusia haruslah yang terasa manis—untuk terakhir kalinya. "Hati yang manis, rasanya akan dapat membuatku berubah menjadi manusia yang baik nantinya," gumamnya mengira-ngira.

Mi-Ho merasa sudah cukup lama menunggu, tetapi pemuda itu tak kunjung muncul, hingga membuatnya pun berpikir, 'apakah tuan muda itu malah melewati sungai? Ataukah tinggal di ibu kota setelah lulus ujian? "Oohh!" Tiba-tiba ia berdiri dari duduknya saat melihat—dengan ketajaman mata silumannya yang bisa melihat dari jarak jauh—seorang pemuda berjalan dari arah jalan ujung desa, dia pun tersenyum. "Dia datang, dia datang. Yoo-Bin-ah...!" Mi-Ho berteriak memanggil saudara kecilnya itu.

Dengan segera dan tergesa, Mi-Ho pergi ke desa itu dengan saudari kecilnya sambil membawa keranjang berisi rebung yang pura-pura dijualnya.

"Manusia membuatku sakit kepala. Kenapa kakak menarikku ke desa ini?" tanya gadis kecil itu mulai protes.

"Aku akan membelikanmu manisan," ucap Mi-Ho sambil menarik tangan anak itu yang terus meronta.

"Baiklah," jawab gadis kecil itu akhirnya menyerah.

Tuan Muda Kim berjalan menuju pondok tabib yang didatanginya malam itu bersama Mi-Ho. Ia pun bertanya kepada sang tabib tentang keberadaan gadis tersebut, tetapi tabib itu malah terlihat pucat dan ketakutan ketika dia menyebut nama gadis tersebut. "Aku tak tahu, Tuan Muda. Jika kau masih ingin berumur panjang, jangan berurusan dengannya," suara tabib itu bergetar ketika menjawab pertanyaan lalu ditutupnya pintu rumah dengan kasar.

"Ahh, ada apa dengan Paman Tabib? Di mana aku harus mencarinya kini?" Ditatapnya sebungkus obat herbal yang dibawa dari ibu kota. Baru saja ingin berbalik hendak pergi, tiba-tiba saja dilihatnya gadis itu melintas. "Ooh–itu dia." Dia pun segera mengejar gadis muda tersebut. "Mi-Ho! Ahh–tidak...Nona Mi-Ho, Nona!" panggilnya.

Mi-Ho tersenyum dan berhenti berjalan kemudian berbalik menatap pemuda itu yang terengah mengejarnya. "Datanglah," gumamnya pelan.

"Apa dia adalah si Tuan Muda Berhati Manis yang Kakak ceritakan?" tanya gadis kecil di sebelahnya.

Mi-Ho mengangguk. "Bukankah dia terlihat lezat?"

"Hmm–dia kelihatan bodoh," komentar si kecil Yoo-Bi.

Tuan Muda Kim akhirnya berdiri di depan mereka, terlihat mengatur napasnya sejenak sebelum berbicara.

"Anda?" tanya Mi-Ho berpura-pura lupa.

"Menikahlah denganku," pinta pria itu tiba-tiba dengan enggahan napas yang masih terdengar samar.

***

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cerpen