25 - Ketika Seseorang Ada

Ost. for this chapter:
Paul Kim - Empty

"Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Perempuan yang ditanya justru menjauhkan ponsel, membawanya ke samping tubuh hingga hanya dinding berwarna putih yang terlihat di layar lawan bicara. Nayoung menarik napas panjang dan mengembuskannya, berulang kali sampai ia merasa sedikit lebih tenang. Hanya sedikit saja karena kenyataannya kembali setelah lama memutuskan untuk bersembunyi malah lebih mengkhawatirkan.

Dari luar, riuh derap langkah kaki mulai terdengar ramai, pun suara para wartawan yang saling bertemu sapa juga menyapa rungu Nayoung meski ia tidak dapat mendengar jelas. Perempuan itu membuka pintu ruang tunggunya sedikit guna mengecek keadaan aula. Netranya bisa melihat satu meja panjang dengan beberapa kursi ada di area terdepan. Pemandangan yang sedikit banyak membawanya bernostalgia.

Ponsel di genggaman tangan Nayoung kembali ia hadapkan pada wajahnya. "Aku berharap kau ada di sini."

"Aku juga," ujar Eunhee disertai gumaman. "Konferensimu berlangsung ketika aku ada jadwal wawancara dengan artis lain. Bagaimana lagi? Jadi, Jaehyuk yang ditugaskan ke sana. Kau sudah bertemu anak itu?"

Seraya melihat wajah Eunhee melalui panggilan video tersebut, Nayoung mengangguk. "Tadi aku sempat berbicara dengannya sebentar. Melihat reaksinya bertemu denganku, setidaknya membuatku lebih tenang."

"Sudah kubilang. Kau tidak perlu khawatir. Jujur saja, aku berterima kasih padamu atas keputusan ini. Aku tahu seberapa jatuhnya dirimu selepas Jihyun meninggal, ditambah dengan omongan tidak baik dari para penggemarnya. Aku juga tahu kau tidak ingin menjadi sorotan publik, tapi sekarang memilih untuk melawan ketakutanmu dan bangkit menjadi Nayoung yang lebih baik lagi. Kau berhak untuk hidup bebas tanpa perlu peduli dengan ucapan orang lain yang tidak benar."

"Aku tahu. Sampai sekarang pun aku masih tidak percaya dengan keputusan yang kubuat, tapi aku tidak menyesal," ujar Nayoung yakin. Secercah senyuman terlukis di wajahnya, kontan membawa Eunhee ikut menoreh senyum.

"Akan kuucapkan lebih dulu. Selamat datang kembali, Penulis Go!" Sesaat senyuman di wajah Eunhee semakin mengembang. Namun, ada satu pertanyaan yang ia simpan sejak awal panggilan mereka berlangsung. Ia menggigit bibir bawahnya, kemudian mendekat pada layar. "Tapi kau yakin tidak apa-apa bertemu dengan Daejoon, 'kan?"

"Aku sudah bertekad untuk bersikap profesional. Kau jangan banyak khawatir."

Setidaknya, jawaban Nayoung membuat hati sahabatnya lega.

"Nayoung, sebentar lagi acaranya akan dimulai. Kau sudah siap?" Suara Hyejin menyela di antara pembicaraan dua sahabat yang tengah berlangsung. Perempuan yang diajak bicara refleks menoleh ke arahnya.

"Iya, Kak Hyejin." Nayoung menanggapi sekilas sebelum akhirnya kembali bicara pada Eunhee. "Eunhee, aku harus siap-siap sekarang. Semangat untuk liputanmu, ya."

Sang lawan bicara mengangguk dan melambaikan tangan. "Kau juga."

Begitu panggilan terputus, Nayoung mengecek jam yang tertera di layar ponsel. Satu menit sebelum acara dimulai. Kini, degup jantungnya benar-benar memburu hebat. Ia meletakkan telapak tangannya di depan dada.

"Bukan kali pertamamu, 'kan? Santai saja."

Suara dari belakang sontak membuat Nayoung terperangah. Ia lekas membalikkan tubuh dan mendapati seorang laki-laki berkemeja biru tua—dengan lengan tergulung—menatapnya.

"Iya."

Tanggapan yang teramat singkat, pun Nayoung mengangguk dan tidak membicarakan hal lain. Suasana seketika menjadi begitu canggung. Ini kali pertama Daejoon bertemu dengan Nayoung usai kejadian lalu. Lelaki itu melangkah ke depan, mendahului Nayoung, dan membuka kenop pintu. Dengan gerakan kepala, Daejoon mengisyaratkan supaya sang bintang acara hari ini lekas masuk ke dalam aula.

"Anggap saja hari ini aku adalah Ketua Kang, editor naskahmu, dan bukan Daejoon yang biasa kau kenal."

Gerakan kaki Nayoung terhenti sesaat kala ia berada tepat di sebelah Daejoon. "Memang begitu seharusnya."

***

Seluruh kamera dan atensi refleks memusat ke arah pintu masuk aula begitu perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam—pakaian rajut lengan panjang serta rok selutut berbahan kulit—melangkah masuk. Sesekali Nayoung menoleh, tapi lekas menurunkan pandangannya. Perempuan itu mengatur napas guna menenangkan diri. Untuk pertama kalinya, ia berani memunculkan diri di hadapan media. Tak luput dari rasa gugup, jemari Nayoung terus mengetuk pahanya di balik meja setelah duduk di belakang meja. Rasa tidak percaya dirinya kontan bertambah begitu Hyejin, sang moderator konferensi, mulai membuka suara dan memulai acara.

"Seperti yang diketahui, Penerbit Chaegoo mengundang kalian secara khusus untuk menyampaikan kabar gembira di dunia literasi. Mulai hari ini, Chaegoo kembali datang bersama Penulis Go Nayoung. Kami harap semua bisa kembali menyambut penulis kebanggaan kami dengan penuh suka cita."

Hyejin menoreh senyum usai mendengar ujaran Direktur Nam, kemudian mengembalikan pandangan ke audiens. "Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan, dipersilakan."

Salah seorang reporter berkacamata mengangkat tangan dan mulai membuka suara. "Setelah sukses dengan cerita sebelumnya, para penggemar karya Penulis Go pasti merasa terluka ketika berita Anda mundur dari dunia literasi muncul ke permukaan. Selama hampir dua tahun, apa yang membuat Anda memutuskan untuk kembali?"

Nayoung meraih mikrofon dari atas meja. Sejenak, ia mengedarkan tatapan pada seluruh mata yang tertuju padanya. Sebagian tengah siap dengan jari di atas papan ketik laptopnya, sebagian pula menyalakan perekam suara dan kamera guna mengabadikan.

"Ketakutan ada untuk dihadapi. Sejujurnya, sampai sekarang pun ini bukan keputusan mudah. Naluriku selalu berkata untuk kembali, tapi aku selalu menolak. Orang-orang terdekatlah yang membuatku sadar jika tidak selamanya aku harus sembunyi. Dari situ, aku mulai membuka diri dan rupanya benar ... aku rindu. Tidak ada alasan lain untuk kembali, hanya hati kecil yang mendorongku."

Usai satu pertanyaan berhasil Nayoung jawab, perasaannya menjadi jauh lebih tenang. Di bagian kiri aula, seorang perempuan berkucir satu mengangkat tangan dan Hyejin lekas memintanya berbicara.

"Untuk buku perdana Anda setelah hiatus, bisa berikan bocoran sedikit tentang kisah yang tertuang di dalamnya?" tanya perempuan dengan blazer hitam tersebut.

Senyuman di wajah Nayoung mengembang. Ia sedikit menunduk sebelum akhirnya menjawab, "Aku baru ingin mulai menuliskannya, tapi jika diminta untuk memberi tahu secara garis besar ... itu tentang sulitnya merelakan kepergian seseorang."

"Apa kali ini akan memuat kisah nyata?" Rupanya perempuan tersebut belum puas dengan jawaban singkat Nayoung. "Tentang Anda dan Aktor Seo Jihyun?"

"Benar. Masih banyak hal yang abu-abu tentang hubungan kalian."

"Kenapa berita kencan kalian muncul bersamaan dengan meninggalnya Aktor Seo Jihyun? Bahkan, nama Anda semakin melambung usai berita tersebut muncul."

"Tolong berikan jawaban Anda. Kami sudah menunggu selama dua tahun."

Seketika aula menjadi sangat bising dengan suara yang saling bersahutan satu sama lain, serta-merta membuat Nayoung merasakan sakit di kepalanya, juga hatinya. Di sisi kanan Nayoung, Daejoon yang mendapati perubahan raut wajah perempuan yang menjadi pusat atensi itu sontak menggerakkan tangannya, menangkup punggung tangan perempuan itu. Merasa ada hangat yang menjalar di kulitnya, pemilik nama depan Go itu menoleh. Rasa kecewanya pada Daejoon masih tersisa hingga perempuan itu enggan menerima perlakuan manis dari Daejoon. Namun, ketika tangan Nayoung hendak dijauhkan dari milik Daejoon, lelaki itu justru mempererat genggamannya dan menggeleng pelan.

"Kau tidak perlu menanggapinya," bisik Daejoon, kemudian kembali menghadapkan kepala pada audiens di depan selagi masih menangkup tangan Nayoung.

Perempuan yang diajaknya bicara memandang wajah Daejoon cukup lama, lalu mengembuskan napas berat.

Mengalihkan perhatian para reporter, Hyejin yang tidak menyangka keadaannya akan menjadi ricuh lekas mengetukkan jemari pada mikrofon. "Mohon maaf, tapi kami hanya menerima pertanyaan yang bersangkutan dengan peluncuran buku terbaru Penulis Go, bukan ke—"

"Benar." Suara tegas Nayoung seketika menggema di aula, menghentikan Hyejin yang mencoba menenangkan suasana. "Setiap manusia mempunyai kenangan masing-masing, baik indah maupun buruk. Ada yang mudah melupakan, pun sulit mengabaikan. Ada pelajaran yang ingin kubagikan pada mereka yang ingin melepas, tapi lebih memilih untuk menahannya, terlepas tentang siapa kisah ini dibuat."

Begitu pernyataan Nayoung usai diutarakan, genggaman tangan Daejoon melonggar hingga akhirnya menjauh. Senyuman tipis terlukis di wajah lelaki itu.

***

"Lihat sahabatku ini." Mata Eunhee terus berpusat pada ponsel. Jemarinya menggulir layar benda tipisnya seraya tangan lain meletakkan tas milik Nayoung di atas sofa. "Sepertinya kau harus bersiap untuk kembali ke masa kejayaanmu."

Nayoung yang kembali dari lemari es guna mengambil minuman dingin itu ikut bergabung dengan Eunhee, kemudian mengikuti arah pandang sahabatnya. Menyadari Nayoung tengah berdiri di sebelahnya, Eunhee menggeser ponsel hingga perempuan yang dibicarakannya dapat melihat dengan jelas.

Nama Go Nayoung memenuhi kolom pencarian usai artikel tentang kembalinya ke dunia literasi naik. Satu per satu, Nayoung dan Eunhee membaca hasil kerja para reporter. Lengkungan bahagia terukir di wajah keduanya kala membaca keseluruhan artikel, pun melihat beberapa komentar dari pengunjung laman yang begitu antusias menantikan kehadiran Nayoung kembali. Perempuan berambut panjang yang masih menggenggam gelas itu akhirnya bisa bernapas lega setelah bergelut dengan rasa takut yang terus menghantui.

"Aku tidak bisa diam saja," ujar Eunhee sembari menjentikkan jari dan menjauhkan ponsel hingga Nayoung refleks menatap sang pemilik ponsel. "Di mana aku harus mereservasi restoran, ya? Kita harus merayakannya! Bagaimanapun juga, ini adalah langkah awal yang baik."

Alih-alih menanggapi dengan serius, Nayoung justru terkekeh. "Ini bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Merayakan apanya? Aku bahkan baru akan memulai."

"Justru itu! Perayaan ini juga sebagai ujud doa supaya ke depannya semua berjalan lancar." Eunhee merekahkan senyum lebar, lalu sibuk menggulir layar ponselnya kembali. "Serahkan saja padaku."

Semangat Eunhee yang begitu menggebu justru membuat Nayoung tidak kuasa menahan tawanya. Sudah berapa lama Nayoung kehilangan bahagianya? Rasanya, menyenangkan bisa membuat orang terdekat melepas rasa khawatir pada dirinya. Setelah banyak hal tidak terduga yang terus-menerus mengganggu kehidupan Nayoung, akhirnya ia dapat merasa sedikit lebih tenang.

"Kalau begitu, apa aku harus mengosongkan jadwalku malam ini?" tanggap Nayoung seraya mengukir senyum dan menyodorkan gelas untuk Eunhee. "Ini, minumlah dulu. Kau sudah repot mengantarku pagi-pagi ke sini."

"Oh, thank you." Baru ingin menyesap minumannya, bunyi notifikasi ponsel yang tiada henti mengganggu Eunhee yang sedang mencari restoran, pun pop up pesan yang terus bermunculan di layar atas. "Apa, sih, ini?"

Ditekannya pop up pesan yang terakhir kali muncul, mengarahkan Eunhee pada ruang obrolan yang sudah begitu lama tidak ia singgahi. Netra Eunhee semakin membeliak kala membaca satu per satu pesan yang tidak berhenti bertambah. Keningnya mengerut heran, sama sekali tidak memahami apa maksud dari semua pesan yang ia terima. Demi melepas rasa penasaran, perempuan itu segera menggulir layar dan mencari pesan pertama yang membuat ruang obrolan tersebut gaduh. Begitu menemukan sebuah tautan artikel dengan dua potret wajah yang begitu dikenalinya, Eunhee cepat-cepat mencari tahu.

"Apa maksudnya semua ini?!"

"Kenapa?" Nayoung yang terusik akibat nada tinggi suara Eunhee akhirnya kembali ke tempat semula, sebelum ia pergi menuju dapur. "Kau dapat kerjaan yang menyulitkanmu lagi? Sejak tadi ponselmu terus berbunyi, rupanya kau sangat sibuk y—"

Mengambil posisi di sebelah Eunhee, Nayoung ikut mencari tahu apa yang sedang sahabatnya baca. Begitu melihat namanya tertulis di sana, ia menaikkan salah satu alisnya. Gemuruh hebat di dadanya muncul kembali, pun pupil mata Nayoung bergetar. Semakin membaca artikel yang tertulis lebih lanjut, semakin gelisah pula hati Nayoung. Fokusnya sudah tidak ada bersama Nayoung saat ini, pikirannya sudah melayang jauh, membawa kembali segala ketakutan dalam benaknya.

Melihat kalimat terakhir yang disampaikan dalam artikel tersebut, Nayoung refleks melepas gelas dalam genggamannya hingga bunyi denting kaca menggema kencang dalam ruangan, mengalihkan perhatian Eunhee yang sama sekali tidak menyadari keberadaan Nayoung di sisinya.

"Se-sejak kapan kau di sini?" tanya Eunhee terbata, kemudian menyembunyikan ponsel ke belakang punggungnya.

Namun, belum sempat pertanyaan Eunhee mendapat jawaban, perempuan yang ditanyanya itu segera melangkah pergi. Tanpa bicara satu patah kata pun, tanpa membalas tatapan khawatir yang disorotkan oleh Eunhee. Gerakan kaki Nayoung begitu cepat dan gusar.

"Go Nayoung! Kau mau pergi ke mana?" pekik Eunhee panik, sementara sang empunya nama telah menghilang dari balik pintu. "Aish!"

Baru ingin mengejar sahabatnya, ibu jari kaki Eunhee tidak sengaja menginjak pecahan gelas kaca yang Nayoung jatuhkan. Perempuan itu meringis perih seraya memperhatikan luka dan darah yang mengalir sedikit.

"Yang benar saja." Eunhee memejamkan matanya sejenak, kemudian tanpa memedulikan rasa sakit yang masih menjalar, ia kembali beranjak dan bergegas pergi guna menghampiri Nayoung sebelum terlalu jauh pergi. Ponsel yang ada di tangannya ia lempar ke atas sofa.

Terungkap! Kedekatan Penulis Go Nayoung dan Aktor Seo Jihyun Hanya Demi Menaikkan Nama. Mendiang Aktor Seo Jihyun Dikhianati Selama Hidupnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top