24 - Mengapa Begitu Sulit?
Ost. for this chapter:
Kim E-Z - For You
✨
Dering ponsel menggema ke seluruh sudut ruangan. Sang empunya tempat tinggal sibuk berjalan ke sana kemari seraya menggenggam penyedot debu. Ketika Eunhee ingin menuju ruangan lain, perempuan itu lebih dulu mematikan mesin benda tersebut. Tungkainya melangkah, mendekat pada sofa depan televisi.
"Aku nyaris mengira kalau di apartemenku ada patung besar," ujar Eunhee, kemudian berkacak pinggang. "Sudah berhari-hari, kau tetap begini saja?"
Lawan bicaranya tidak menoleh, masih memusatkan pandangan pada layar berukuran 32 inci. "Begini yang bagaimana?"
Eunhee lebih dulu menghela napas. "Bangun tidur, mandi, makan, menonton televisi, dan terus berulang. Apa kau tidak ingin pulang?"
Dengan satu kalimat terakhir yang Eunhee ucapkan, Nayoung kontan menoleh dengan mata membelalak. Posisi duduknya menegak, tidak lagi bersandar pada punggung sofa. "Kau mengusirku? Padahal aku tidak banyak berkomentar walau kau sering menginap di apartemenku, tapi lihat kau ...."
Lawan bicaranya mengerucutkan bibir, kemudian menunjuk ke arah meja dan lantai. "Kalau begitu, setidaknya kau membantuku untuk menjaga ruangan ini tetap bersih. Bungkus cokelat ada di mana-mana dan keripik jatuh berserakan, ini sama sekali bukan seperti dirimu."
Mendengar pernyataan Eunhee, perempuan dengan rambut messy bun yang tidak juga beralih dari depan televisi itu kembali menyandarkan kepala pada sofa. "Aku tidak ingin membahasnya. Hei, kau punya camilan lain lagi?"
"Kau ...." Tidak sanggup berkata-kata tentang sahabatnya dan hanya mengusap tengkuk, perhatian Eunhee akhirnya terganggu sebab bunyi bel bergema. Baik Eunhee maupun Nayoung menoleh ke arah pintu. "Diam saja di sini, biar aku yang memeriksanya."
Nayoung mengangguk, tidak banyak menduga tentang siapa yang datang pagi-pagi ke apartemen sang sahabat. Sementara itu, Eunhee yang tidak memiliki janji dengan siapa pun lekas melangkah supaya seseorang yang tengah berdiri di depan unitnya tidak menunggu lama.
"Siapa—"
Dengan mata membeliak, Eunhee kontan keluar dan menutup pintu unitnya sedikit supaya Nayoung tidak dapat mengawasi. Perempuan yang masih menjaga pintu dengan kedua tangan di belakang punggung itu segera bertanya dengan nada membisik, "Aku sudah bilang padamu untuk tidak datang ke sini dulu, bukan?"
Terlihat dari raut wajahnya, lelaki yang menjadi lawan bicara Eunhee begitu khawatir. "Aku tahu. Nayoung masih tidak ingin bertemu denganku, aku bisa menghargai dan memberinya waktu, tapi aku hanya ingin tahu kabarnya. Dia baik-baik saja, 'kan?"
"Sangat. Dia bahkan menghabiskan waktunya dengan makan." Sang perempuan bersedekap, air mukanya sudah lebih tenang. "Kang Daejoon, aku mengabarimu tentang keberadaan Nayoung bukan supaya kau datang ke tempat ini setiap saat, tapi demi mengurangi kekhawatiranmu. Bagaimana kalau Nayoung tahu dan dia marah padaku?"
"Maaf, tapi aku benar-benar tidak tenang jika tidak melihatnya sendiri. Kau tahu, kan, Nayoung pernah hampir membahayakan dirinya karena ingatan tentang Jihyun," kilah Daejoon. "Sedang apa dia sekarang?"
Tidak menanggapi dengan kata, Eunhee hanya menoleh ke belakang seraya membuka pintunya sejenak. Dilihatnya kedua sudut bibir Daejoon terangkat begitu mata lelaki itu mendapati sosok perempuan yang memenuhi pikirannya.
"Lihat bicaramu." Eunhee tertawa kecil sembari menggeleng. "Kau tidak pintar membuat alasan. Sudah, 'kan? Sekarang kau pulang saja."
"Baek Eunhee!" Begitu teriakan Nayoung terdengar, tatapan Daejoon teralih, pun Eunhee yang terkesiap segera mendorong tubuh lelaki yang sejak tadi berbicara dengannya. "Siapa yang datang? Kenapa kau lama sekali, sih?"
Merasa tidak ditanggapi, Nayoung beranjak—hendak menghampiri Eunhee—dan samar-samar melihat bahwa sahabatnya itu berbicara dengan seorang laki-laki.
"Kau pulang sekarang," suruh Eunhee sembari terus mendorong tubuh Daejoon menjauh dari unitnya, "sebelum Nayoung melihatmu."
Daejoon mengatur tungkainya sendiri guna menghentikan dorongan Eunhee. Lelaki itu mengangguk dan membalikkan tubuh. "Baiklah, aku mengerti. Sebelum aku pergi, ini untuk kalian. Nikmati saja."
"Sekarang apa lagi? Kau sudah mengantarkan makanan setiap hari untuk aku dan Nayoung."
"Terima saja." Daejoon cepat-cepat memindahkan dua kotak piza berukuran medium ke tangan Eunhee. "Aku pamit. Tolong jaga Nayoung dan beri kabar jika terjadi sesuatu dengannya, ya."
Usai mendapat anggukan dari Eunhee, Daejoon lekas pergi menjauh.
"Oh? Tidak ada orang," ujar Nayoung begitu keluar dari unit apartemen Eunhee. Perempuan itu menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak menemukan seorang pun. "Piza? Yang tadi itu pengantar makanan? Kau memang sangat pengertian padaku."
"Iya." Mengalihkan pandangan dari arah lift, Eunhee mengamati gurat bahagia di wajah Nayoung. "Ayo, masuk saja dan makan sebelum dingin."
***
Daejoon segera menyalakan mesin tepat setelah masuk ke dalam mobil. Namun, dering ponsel yang terdengar kencang menghalangi niatnya untuk pergi. Lelaki itu merogoh benda dari saku celana, kemudian mengecek nama yang tertera pada layar. Bukan orang yang sering menghubungi, bahkan bertemu pun sudah tidak seintens dulu, lantas untuk apa Bonghyun tiba-tiba meneleponnya?
"Eoh. Ada apa?" Baru Daejoon akan menggerakkan persneling, gerakan tangannya refleks mematung ketika mendengar apa yang ditanyakan oleh Bonghyun.
"Kau bertengkar lagi dengan Kak Hyejin?"
"Dia menceritakannya padamu?" Lengan Daejoon diletakkan di atas kemudi. Ia menghela napas sebelum kembali berbicara. "Kali ini apa yang dilakukan oleh Kak Hyejin tidak bisa kutoleransi sama sekali. Kau juga ada ketika dia berjanji tidak akan membicarakan kecelakaan Jihyun pada siapa pun, 'kan? Janji itu ibarat utang dan harus ditepati."
Suara di ujung sambungan terdengar tidak langsung menanggapi dan hanya mendeham. Sejak dulu, sifat Daejoon tidak pernah berubah. Lelaki itu terlampau serius hingga segala ketidaksukaannya akan langsung ditunjukkan. Namun, seberapa sering Daejoon berdebat dengan Hyejin, kedua sahabat Bonghyun itu tidak pernah saling mendiamkan diri lebih dari setengah hari. Daejoon menyadari keberadaannya untuk Hyejin, begitu pula sebaliknya. Jika masalah ini terus berlangsung bahkan selama satu hari lebih, Bonghyun rasa ia harus ikut turun tangan.
"Kang Daejoon, kau sudah dewasa, begitu pun Kak Hyejin. Aku tahu mungkin rahasia itu sepele bagi Kak Hyejin sampai bisa dengan mudahnya mengatakan pada Nayoung, tapi coba kau pikir lagi. Kalau bukan sekarang, sampai kapan kau mau menyembunyikannya? Kau menjalani hari dengan diikuti rasa bersalah karena Taera dan Jihyun, apa itu tidak cukup menyiksamu? Aku bukan sedang bicara sebagai psikiatermu, tapi sebagai orang terdekatmu. Menyimpannya terlalu lama justru membuat Nayoung membencimu. Hei, aku juga tidak ingin persahabatan kita renggang karena masalah ini."
Satu per satu kata yang diucapkan oleh Bonghyun dipertimbangkan oleh Daejoon. Dari mobil yang masih terparkir di basemen, laki-laki berjaket cokelat tua itu mendongak ke arah atas walau yang ada di penglihatannya hanya dinding. Pandangannya berpaling pada laci dashboard. Tanpa perlu ia kendalikan, tangannya segera membuka tempat tersebut dan meraih selembar kertas yang terapit oleh buku-buku kecilnya. Memperhatikan sosok yang ada di foto—seorang perempuan yang berada di tengah merangkul dua lelaki—Daejoon mengusap dagu. Ketika lelaki itu menoleh ke arah kursi di sebelahnya, sebuah ingatan akan kejadian lalu tiba-tiba terputar.
"Aku letakkan di sini dan tidak boleh kau keluarkan. Tidak boleh berkomentar juga karena aku juga sudah melakukannya pada mobil Bonghyun." Hyejin memperingatkan Daejoon usai meletakkan foto mereka bertiga di dalam laci dashboard.
"Aku baru saja merapikan isi laci itu, kenapa kau isi seenakmu?" Decakan Daejoon terdengar layaknya seseorang yang terganggu, tapi kala Hyejin memandangi wajah sahabatnya itu, Hyejin tahu jika Daejoon tidak benar-benar kesal.
Satu helaan napas Hyejin embuskan, kemudian ia sengaja menyondongkan tubuh ke arah kirinya. "Ini hanya satu lembar foto yang ukurannya tidak besar, tidak akan memenuhi lacimu. Lagi pula, nanti jika ada saatnya kau melihat foto kita, kau akan ingat kalau aku dan Bonghyun pernah menemani hari-harimu yang membosankan. Berjaga-jaga saja, siapa tahu kau tiba-tiba melupakanku."
Bayangan akan masa lalu perlahan memudar, tapi Daejoon masih tetap tinggal di dalam diamnya. Suara dari ujung sambungan terdengar samar memenuhi indra pendengaran lelaki itu. Namun, tidak juga segera ia tanggapi.
"Jangan bersikap kekanakan. Meluruskan kesalahpahaman tidak ada salahnya, kok. Tidak ada yang perlu merasa gengsi jika kenyataannya tidak sama seperti yang diduga. Terakhir mendengar suara Kak Hyejin saat bicara denganku, dia seperti tidak ada semangat. Bahkan untuk bertemu denganku saja, dia tidak mau. Aku benar-ben—"
"Aku mengerti maksudmu," sela Daejoon. Tangannya mengembalikan lembaran potret ke tempat semula. "Ketika hubunganku dengan Nayoung sudah kembali, aku akan bicara dengannya."
***
Tidak ada cahaya lampu yang menerangi ruangan meski malam mulai datang. Perempuan berambut sebahu hanya membiarkan jendela kamarnya terbuka, berharap angin yang berembus juga mampu menyejukkan hatinya. Hyejin duduk di pinggir ranjangnya, menyatukan jemari dan mengusapnya asal.
Sebagai seseorang yang telah mengenal Daejoon lama, selayaknya ia tahu jika lelaki itu tidak suka dengan ingkar. Sebagian rasa bersalah menyelimuti perasaannya, tapi ada pula rasa tenang sebab rahasia yang ia simpan rapat-rapat demi sang sahabat tidak lagi menjadi beban. Namun, sekarang ia justru takut. Takut bila lelaki itu tidak ingin mengenalnya, mengajaknya bicara, atau bahkan menatapnya.
Pikiran Hyejin sama sekali tidak bisa tenang. Tangannya meraih ponsel, kemudian membuka daftar riwayat panggilan. Nama Bonghyun berada paling atas, sementara Daejoon ada di baris kedua. Menyadari bila kedua sahabat lelakinya kerap menempati posisi teratas di riwayat panggilannya, Hyejin semakin merasa terluka. Ibu jarinya hendak menekan kontak atas nama Daejoon, tapi ia urungkan dengan segala pertimbangan.
Perempuan yang masih menikmati tiupan angin itu menyibakkan rambutnya perlahan ke belakang seraya menunduk. Namun, tiba-tiba bunyi nyaring dari luar terdengar. Hyejin sontak beranjak, membuka pintu kamarnya, dan berlari menuju dapur.
Langkah kakinya terhenti begitu melihat pecahan gelas kaca yang berserakan di lantai serta Misun, sang ibu, yang terduduk di dekat benda tersebut seraya memegangi tangannya.
"Ibu!" seru Hyejin seraya bergegas menuju ke samping Misun. Diraihnya tangan wanita paruh baya yang terkulai lemas. "Biar kulihat. Apa Ibu terluka?"
"Hyejin," panggil Misun pelan. Ia menoleh dengan mata berlinang. "Sudah berhari-hari ayahmu tidak pulang, 'kan?"
Mendengar pertanyaan yang sama berulang kali, Hyejin menghela napas dalam. Ia memegang bahu sang ibu dan menanggapi, "Ibu ... Ayah tidak akan pernah datang ke sini lagi. Ayah sudah tidak bersama kita."
Misun mendadak diam. Netranya melihat ke arah lain, sorot pandangnya pun jauh. Wanita itu menggeleng seraya berkata, "Kemarin-kemarin ayahmu ada di sini. Bagaimana sudah tidak bersama kita lagi?"
"Ibu, lihat aku. Coba lihat anakmu," perintah Hyejin. Pikirannya yang sudah penat memikirkan kejadian Daejoon seolah semakin penuh dengan emosi yang mampu meledak kapan saja. "Kemarin yang Ibu maksud itu kapan? Sampai kapan Ibu terus terjebak di masa-masa indah yang selalu Ibu bayangkan bersama Ayah? Ayah sudah meninggalkan aku dan Ibu, kenapa Ibu masih terus mengharapkan kedatangannya?"
"Bicara yang sopan tentang ayahmu, Hyejin!" Netra Misun serta-merta membelalak, tapi Hyejin juga bisa melihat jemari dan bahu ibunya yang sedikit bergetar. "Biar ibu buktikan kalau perkataanmu keliru. Tunggu di sini dan ibu akan membawa ayahmu pulang."
Wanita yang bersikeras itu beranjak, mengabaikan sang anak yang masih memandangi.
"Ibu!" pekik Hyejin seraya menahan salah satu lengan Misun. Sedikit mendongak, ia memaksakan diri untuk bicara kala perasaan di dalam hatinya semakin sakit untuk ditahan. "Lalu kalau Ibu juga pergi mencari Ayah, Ibu tidak ingin kembali lagi? Aku dibiarkan sendiri di sini? Pernah, tidak, Ibu memikirkan tentangku? Apa Ibu pikir hanya Ibu yang merasa terluka karena ditinggal oleh Ayah?"
Ada jeda di sela pembicaraan Hyejin, memberi waktu untuk menatap kedua netra sang ibu lekat. Misun refleks menjadi tenang, tidak bersikeras seperti sebelumnya. Tubuhnya perlahan merendah, menyamakan posisi dengan sang anak.
"Karena Ayah, aku selalu khawatir jika orang-orang terdekat bisa dengan mudahnya meninggalkanku, Bu. Aku bersikap ramah di luar, berusaha menjadi pribadi yang menyenangkan di depan orang lain, semata-mata supaya aku lupa kalau punya kisah yang kelam. Aku mau menguburnya dalam-dalam. Apa Ibu tidak pernah mengkhawatirkanku?"
Sorot mata Misun berubah menjadi penuh simpati. Tanpa menanggapi apa pun, ia merengkuh tubuh Hyejin dan mendekapnya. Tangannya perlahan mengusap punggung sang anak.
"Bahkan sekarang Daejoon juga menjauhkanku, Bu. Itu yang kutakutkan. Aku tidak mau ditinggal lagi."
Mendengar perkataan Hyejin, Misun semakin mengeratkan pelukannya. Satu bulir air mata menetes tanpa ia sadari. "Maafkan ibu, Nak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top