23 - Mengikuti Kata Hati atau Tidak?

"Astaga," keluh Hyejin seraya menutup hidung, kemudian mengibaskan tangan di depan wajah. "Mobil ini benar-benar beraroma alkohol."

Perempuan yang semula duduk mendekat dengan kursi depan itu segera merapatkan diri dengan jendela mobil. Hyejin menempelkan punggung pada sandaran kursi. "Seberapa banyak yang kau minum, sih?"

"Ini perayaan tahunan Chaegoo, tentu saja aku harus menikmati malam seakan tidak ada hari esok!" tanggap Suhwan setengah memekik. Lelaki itu melirik seseorang di kursi sebelah sembari mengukir senyum lebar. "Benar begitu, 'kan?"

"Menepilah," ujar Daejoon, alih-alih menanggapi pertanyaan Suhwan. "Aku yang akan mengemudi."

Lelaki yang diajak bicara itu menggumam seraya menggelengkan kepala. "Kenapa? Aku tidak mabuk. Kau lihat sendiri. Santai saja, Ketua Kang. Berkat semua pembelajaran yang kau tunjukkan padaku, akhirnya tahun ini buku-buku editanku masuk peringkat sepuluh teratas. Aku harus berterima kasih untuk itu."

Dari kursi belakang, Hyejin tertawa kecil. "Kau membimbingnya dengan sangat baik, Daejoon."

Seseorang yang baru disebutkan namanya itu menghela napas. Ia sibuk menggerakkan jemari, memerintahkan Suhwan sekali lagi untuk membawa kendaraannya ke tepi. "Aku bersikap baik, tapi tidak cukup gila membiarkanmu mengemudi saat hujan salju seperti sekarang."

"Dia tidak akan berhenti sebelum kau mengiakan. Sudahlah, Suhwan."

Suhwan memperhatikan tatapan mata Daejoon sebelum akhirnya menoleh ke belakang. "Baiklah, baiklah. Ah, Ketua Kim, kau tidak ingin pulang begitu saja setelah ini, 'kan? Bagaimana jika ronde kedua?"

"Aku mengkhawatirkanmu." Kedua alis Hyejin menaut, ia menggeleng. Sempat diam beberapa detik, perempuan itu mengembangkan sudut bibir. "Tapi aku juga tidak bisa menolak. Ayo!"

"Sudah kuduga. Memang Ketua Kim yang terbaik," tanggap Suhwan seraya mengacungkan ibu jari dan turut membalas senyuman. "Kalau begi—"

"Oh!"

Atensi Suhwan seketika teralih begitu pekikan Daejoon terdengar kencang, pun kemudi diambil alih oleh lelaki di sebelahnya secara paksa. Cahaya yang teramat terang menghalangi seluruh pandangan hingga kedua matanya menyipit. Tungkai Suhwan lekas menginjak pedal rem dan Daejoon membelokkan setir, sementara tubuh Hyejin terguncang akibat gerakan tiba-tiba. Suara klakson yang tidak berujung menggema melintasi rungu. Namun, refleks Daejoon dan Suhwan justru berimbas menjadi bencana. Kendaraan yang mereka tumpangi tidak sanggup membelok sepenuhnya lantaran arena yang licin. Usai decitan panjang, bunyi hantaman keras menjadi akhir dari suara bising di tengah gelapnya malam.

Roda-roda brankar terus berputar, beradu suara dengan derap sepatu yang berlari cepat. Di antara petugas berpakaian medis, seorang laki-laki yang tidak bisa menyembunyikan getaran di jemarinya itu terus mendampingi hingga pintu unit gawat darurat tertutup.

"Pasien akan kami tangani dan sebaiknya Anda ikut saya. Pertama, saya obati luka Anda dulu," ujar suster yang sengaja menghentikan langkah sebelum masuk ruangan. Perempuan itu meluruskan lengan, mengarahkan Daejoon supaya pergi bersamanya.

Lelaki yang masih belum terlepas dari kejutnya itu refleks menyentuh dahi dan mendapati darah di ujung jari telunjuknya. "Oh? Sejak kapan ini ... tidak. Aku baik-baik saja. Tolong bantu tangani Jihyun saja."

Begitu suster yang diajaknya bicara menyanggupi dan meninggalkan Daejoon sendiri, lelaki itu menunduk. Jantungnya masih berdegup kencang, pun air mata menggenang di pelupuk dan enggan mengalir setetes pun. Jemari Daejoon meremas helaian rambut sebelum akhirnya ia sibakkan ke belakang guna melepas gelisah.

"Suhwan. Aku juga harus mengetahui kondisinya, bukan?" Daejoon mendecak dengan kening mengerut. Pikiran lelaki itu kacau. "Hyejin sudah menemaninya. Sampai dokter mengabari kondisi Jihyun, aku akan tetap di sini. Tidak mungkin aku membiarkannya sendiri tanpa seorang wali."

Daejoon melipat tangan di depan dada, salah satu telapaknya menutupi mulut. Ia memejamkan mata sejemang. "Mengapa kejadiannya seperti ini?"

Seakan rentetan peristiwa yang telah terjadi menjadi beban berat yang tidak sanggup lagi Daejoon pikul, tubuh lelaki itu kontan merendah. Bersandar pada dinding, Daejoon membiarkan perasaan buncah memenuhi relung hatinya. Ia perlu menenangkan diri. Sampai ketika bunyi langkah kaki mendekat, lelaki itu menengadahkan kepala.

"Manajer Han?"

Sosok berpakaian biru muda melangkah ke luar ruangan tepat kala lelaki berkacamata itu tiba. Lantas, Daejoon dan Manajer Han segera menegakkan tubuh. Tidak ada yang bersuara lebih dulu, keduanya hanya ingin mendengar perkataan yang hendak disampaikan oleh petugas medis. Rasa takut dalam diri Daejoon mulai menggerogoti ketika tersadar ada jeda yang cukup lama untuk berbicara setelah penanganan selesai.

"Seo Jihyun," ujar sang dokter seraya mengamati wajah keduanya sejenak, "dinyatakan meninggal dunia."

Sorot mata Daejoon kosong. Tubuh lelaki itu bergetar, kakinya bergerak mundur—tidak percaya dengan tuturan yang baru didengar—hingga terantuk pada dinding. Ia mengusap wajahnya kasar, kemudian satu teriakan lantang lolos dari bibir Daejoon.

***

Dengan napas yang masih memburu, langkah cepat Nayoung perlahan melambat ketika sampai di bangunan bertingkat sepuluh. Bahu perempuan itu naik turun seiring dengan kepala yang menunduk. Netranya yang telah berkaca-kaca tidak lagi sanggup menyembunyikan linangan air mata.

Begitu kunci pintu di hadapannya membuka dan menampilkan sosok perempuan yang sudah dikenal baik, Nayoung mengangkat kepala. Bibirnya bergetar, pun sorot matanya menyiratkan luka. Tubuh Nayoung segera menghambur pada Eunhee yang masih memandang penuh heran. Samar-samar, suara tangis menghalau sunyi yang tercipta di antara mereka.

"Hei, kau kenapa?" tanya Eunhee seraya memeluk dan menepuk punggung perempuan itu pelan. Namun, pertanyaan Eunhee tidak kunjung mendapat tanggapan dari sang lawan bicara.

Hingga keadaan membaik dan Nayoung merasa lebih tenang, keduanya duduk berhadapan di ruang tengah dalam diam. Sejak kedatangan Nayoung, Eunhee tidak melepaskan pandangan dari sahabatnya. Merasa tidak betah karena sunyi justru terasa menyudutkan, sang empunya apartemen itu lekas beranjak dan menuju dapur. Ia sibuk menciptakan bising akibat denting, meninggalkan Nayoung yang masih enggan berbicara.

"Cokelat panas untukmu," ujar Eunhee sekembalinya dari dapur. Segelas penuh minuman itu diletakannya di meja dekat Nayoung, serta-merta membuat perempuan bernama depan Go itu menoleh. Tatapannya tidak teralihkan bahkan ketika Eunhee mengambil ruang kosong di sebelah kursi Nayoung.

"Tenangkan dirimu dulu," lanjut Eunhee, kemudian mengukir senyum tipis. "Aku sengaja menyimpan beberapa saset minuman instan kalau-kalau kau datang. Aku memang yang terbaik, bukan?"

Perkataan Eunhee sangat sederhana, tapi mampu meluruhkan kalut yang menguasai pikiran Nayoung. Perempuan itu lantas mengangguk dan menunjukkan senyum. Tangan Nayoung melingkari cangkir guna menjalarkan panas pada buku-buku jari. Ia menyesapnya sedikit sebelum akhirnya membuka suara.

"Selama ini Daejoon menyimpan rahasia besar dariku."

Raut tenang Nayoung, yang sempat terlihat, kembali lenyap begitu satu nama laki-laki disebut. Perempuan berambut panjang itu mengangkat salah satu sudut bibir, tersenyum getir. Nayoung menghela napas dalam, kemudian menceritakan satu per satu informasi yang baru diterimanya. Bagaimana kisah di balik kejadian dua tahun lalu itu berhubungan dengan Kang Daejoon, tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang Hyejin katakan.

Sepanjang Nayoung berbicara, Eunhee terus mengangguk dan tidak menggusarkan atensi. Segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Seo Jihyun selalu membuat perasaan Nayoung tergores lagi. Eunhee sangat tahu. Bahkan jika ada satu hal yang bisa ia hilangkan dari muka bumi, Eunhee ingin menghapus Jihyun dari hidup Nayoung. Kehilangan idola tidak akan semenyakitkan kehilangan tawa bahagia sahabat.

"Sekarang pun dia tidak berkata jujur padaku. Jadi, kalau aku tidak tahu dari orang lain, selamanya dia akan terus berbohong, 'kan?" Nayoung mengambil kesimpulan sendiri atas perilaku Daejoon. Ia menyandarkan tubuh pada sofa dan menyilangkan tangan di depan dada.

"Biar aku perjelas satu hal di sini," cela Eunhee seraya memperbaiki posisi duduk. "Kau hanya mendengar cerita dari sudut pandang Ketua Kim, benar?"

Tanpa banyak berpikir, Nayoung mengangguk cepat. "Bukannya sudah jelas? Daejoon saja menghindar. Artinya memang dia sengaja menyembunyikan."

Sebuah decakan lolos dari bibir Eunhee. Perempuan itu menggaruk kening. "Kau harus tahu cerita dari dua arah untuk menghindari kesalahpahaman. Kenapa. Itu yang harus kau cari tahu dari Daejoon. Kau datang ke sini dan hanya berdiam diri, memangnya bisa mendatangkan jawaban?"

Usai mengatakan kalimat tersebut, Eunhee memutar bola mata dan membuang tatapan ke arah lain. Sementara itu, seolah dipengaruhi oleh pertanyaan yang terakhir diajukan sang sahabat, Nayoung menoleh. "Yang seharusnya kesal itu aku, 'kan? Bukannya kau."

Secepat kilat, Eunhee mengubah air mukanya. Kedua ujung bibir ia tarik ke atas hingga matanya ikut menyipit. Tangan perempuan itu menangkup wajah Nayoung sehingga mau tidak mau, perempuan yang selesai bercerita itu mendekatkan tubuh dengan Eunhee.

"Coba ingat-ingat lagi bagaimana ketika kau susah payah mencari keberadaan Daejoon karena merasa bersalah. Sekarang pun kau bersikap seperti ini hanya karena kecewa. Aku sudah bilang, kau tidak mau kehilangannya."

Tidak menghindar dari tangkupan tangan Eunhee, Nayoung justru mengembuskan napas berat. Perempuan itu kontan menggeleng. "Aku tidak mau mengatakan kau benar atau salah. Untuk saat ini, aku tidak mau bertemu dengannya sampai benar-benar yakin atau aku tidak bisa mengendalikan perasaanku."

***

Lelaki bermantel cokelat terlihat bergegas menghampiri seseorang yang tidak juga berpindah tempat sejak terakhir mereka berpisah. Hyejin refleks membalikkan tubuh begitu mendengar derap langkah mendekat. Dengan napas terengah, Daejoon berkacak pinggang.

"Apa yang kalian bicarakan tanpa aku?" tanya Daejoon langsung pada intinya.

Laki-laki yang tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa itu terus memandangi gerak-gerik Hyejin. Sayangnya, ia kehilangan jejak Nayoung meski selisih kepergian mereka tidak begitu jauh. Hanya perempuan di hadapannya yang mempunyai jawaban atas rasa penasaran Daejoon.

"Itu karena aku benar-benar tidak tahan melihat kalian," tanggap Hyejin sembari mendecak, kemudian memejamkan matanya sesaat. "Aku mengatakan yang sebenarnya terjadi di hari kecelakaan Jihyun. Maafkan aku."

"Kau ...." Netra Daejoon membelalak, pun telunjuknya ia arahkan tepat ke depan wajah Hyejin. "Kau juga tahu kenapa aku masih bertahan menyimpan kenyataan itu dari Nayoung."

Melihat sorot penuh amarah dari mata Daejoon, Hyejin meraih lengan lelaki itu dengan kedua tangannya. Sudut alis sang perempuan menurun. "Karena itu, aku minta maaf padamu."

"Tadinya aku tidak berniat mengatakan ini padamu." Daejoon bergantian memandangi wajah Hyejin dengan tangan yang melingkari lengannya. Namun, belum sampai melanjutkan perkataan tersebut, ia menurunkan genggaman tangan Hyejin perlahan. "Kak Hyejin tahu? Kau tidak hanya melukai hati satu orang. Bagaimana bisa seseorang yang sangat kupercaya bahkan mengkhianatiku seperti ini? Sekarang aku sadar jika keputusanku tidak menerima perasaanmu adalah hal tepat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top