22 - Telinga Menolak untuk Mendengar
"Eoh, Ibu," tanggap Nayoung seraya melangkah ke luar restoran dengan ponsel di telinga. "Apa Ibu dan Ayah baik-baik saja di Changwon?"
"Tentu. Anak ibu juga, 'kan? Ibu dengar kau akan kembali menulis, ya?"
Suara yang terdengar itu seketika membuat Nayoung menunduk. Ia memainkan kakinya asal, pun perlahan menarik sudut bibir. Salah satu tangan ia masukkan ke dalam saku apron. "Kok Ibu bisa tahu? Bibi yang mengatakan, ya? Padahal aku ingin menyampaikan kejutan ini sendiri."
Diselimuti rasa bahagia sebab ia bisa memberanikan diri dan memilih tidak terjebak selamanya, Nayoung lanjut bicara selagi Heekyo belum menanggapi. "Menurut Ibu bagaimana?"
Wanita yang sedang berbicara dengan Nayoung melalui gawai itu sepertinya membagi fokus dengan kegiatan rumah sebab Nayoung dapat mendengar suara air yang bergelegak. "Jika dibilang khawatir, ibu jelas khawatir. Ya ... ketika sudah memutuskan, itu tandanya kau yakin dan ibu akan memegang keyakinanmu. Bagaimana pun, ibu juga ikut senang karena Nayoungnya ibu sudah kembali."
"Sejujurnya, untuk memulai kembali dari awal, aku juga takut, Bu." Nayoung menghela napas panjangnya, kemudian menyandarkan tubuh dan mencuri pandangan pada angkasa. "Apa aku bisa menjadi Nayoung yang disenangi banyak orang lagi? Apa langkah yang kupilih ini tidak membuatku menyesal di kemudian hari? Tapi kurasa akan lebih menyesal jika tidak melakukannya."
"Kalau begitu, lakukanlah. Ceritakan pada ibu kalau kau merasa sulit."
Senyum Nayoung mengembang. Berbicara dengan sang ibu memang selalu menenangkan rasa gelisahnya. Tepat ketika ia ingin merespons lebih banyak, bunyi ketukan dari belakang mengusik. Melalui batas kaca, dilihatnya sosok Yoomin yang berbicara melalui gerakan mata dan tangannya. Lantas, Nayoung menyudahi percakapan singkatnya dengan Heekyo dan beralih masuk ke restoran.
"Bibi jadi mengganggu waktu bicara dengan ibumu, ya?" tanya Yoomin seraya melangkah bersebelahan dengan Nayoung, sedikit merasa bersalah.
Perempuan yang ditanya itu mengibaskan tangan. "Sama sekali tidak. Lagi pula, aku ini sedang bekerja dan bosku mengawasi. Bagaimana aku bisa bersantai seenaknya?"
Yoomin sontak menoleh dan mendesis, terlebih kala mendapati wajah meledek Nayoung. Wanita yang berusia 19 tahun lebih tua itu merangkul Nayoung dari samping. "Astaga, keponakan kesayangan bibi sudah pintar bicara lagi. Rasanya restoran akan sepi tanpa ada kau."
Sampai di meja pesanan, Nayoung lekas meletakkan dua piring makanan di atas nampan, sementara Yoomin menuju meja kasir ketika salah satu pelanggan telah menyelesaikan makan siangnya. Sebelum benar-benar meninggalkan bibinya sebab harus mengantarkan milik pengunjung, Nayoung menebar senyum seraya mengatakan, "Aku, kan, bukannya akan pindah tempat tinggal. Tentu saja aku tetap sering-sering datang ke sini. Jika tidak sempat sekalipun, aku akan membuatnya sempat."
Sudut bibir Yoomin kontan mempertahankan lengkungannya. Wanita itu mengangguk, kemudian mengisyaratkan Nayoung agar segera pergi dan mengantar pesanan.
"Go Nayoung!"
Baru perempuan berkucir satu itu meletakkan dua piring di atas meja nomor 15, atensinya sudah diusik oleh suara yang begitu keras memanggil. Nayoung menoleh ke sumber suara dan mendapati Hyejin melambaikan tangan padanya, disusul oleh sosok Daejoon yang baru tiba di belakang perempuan dengan kartu identitas serupa. Keduanya menghampiri Nayoung yang tengah mendekap nampan di depan dada.
"Aku dengar kau bekerja di sini. Benar rupanya." Hyejin melambaikan tangan sekali lagi, kemudian beralih menarik kursi yang tersedia.
Mengikuti dua orang yang sudah ada di kursinya masing-masing itu, Nayoung pun ikut mengistirahatkan diri sejemang guna menyambut dan membicarakan hal lebih banyak dengan mereka. "Kak Hyejin, ada apa? Kau sampai datang ke sini, padahal pertemuan kita masih tiga hari lagi."
Nayoung melirik ke arah Daejoon yang masih enggan membuka suara sejak pertama tiba. Lelaki yang dilihatnya itu hanya mengangkat bahu. "Dia hanya terus bertanya tentangmu dan aku mengajaknya ke sini."
Mendekatkan tubuh, Hyejin memangku wajah dan menatap Nayoung seraya mengukir senyum. "Aku hanya tidak sabar ingin membawamu naik ke permukaan lagi. Chaegoo akan mengadakan konferensi pers atas bergabungnya kau kembali. Tentu, seperti yang Direktur Nam katakan, kita perlu melihat antusias masyarakat. Jadi, kenapa tidak sekalian saja? Kau tidak masalah, 'kan? Lagi pula artikel tentangmu juga akan terbit dalam waktu dekat."
Perempuan yang diajak bicara seketika diam. Pandangan matanya gusar, pun hal itu disadari oleh Daejoon.
"Kenapa? Kau merasa tidak yakin?" tanya Daejoon, memusatkan tatapan pada perempuan di hadapan. "Kau tidak perlu melakukannya jika tidak ingin. Tim kita akan mengubah rencana lagi."
Tuturan Daejoon serta-merta mendapat lirikan tajam oleh Hyejin. Perempuan yang tengah menanti jawaban dari Nayoung itu memutar bola mata sekilas dan menghela napas. Pembicaraannya dengan sang penulis tidak lagi menjadi topik menarik. Apa dia harus menunjukkannya dengan jelas di depan mataku?
"Aku tidak masalah. Menyenangkan bisa hadir di hadapan orang banyak lagi," tanggap Nayoung kemudian. Perempuan itu menaikkan sudut bibir dan memandang dua manusia yang mengunjunginya secara bergantian.
"Benarkah?" Air muka Hyejin berubah, kembali menunjukkan semangatnya. "Aku akan memberi tahu waktunya padamu nanti, ya."
Tidak menghalangi ingin Nayoung meski Daejoon sempat menaruh khawatir, lelaki itu justru menyandarkan punggung dan mengalihkan obrolan. Ia mengusap perut seraya mencebik. "Ah, aku lapar."
Kedua netra Nayoung membulat, ia refleks beranjak. "Ya ampun, aku benar-benar lupa. Tunggu sebentar, biar aku ambilkan makanan untuk kalian."
Mereka yang masih duduk melingkari meja itu mengangguk. Kala hendak menghampiri sang bibi, Nayoung kontan melihat ke arah pintu masuk begitu derit pintu terdengar. Tanpa menyapa lebih dulu, seorang perempuan dengan tas di punggung sontak memeluk Nayoung. Tidak sempat menjaga keseimbangan sepenuhnya, tubuh perempuan itu terdorong ke belakang. Namun, begitu badannya telah menegak kembali, Nayoung mengukir senyum sembari menepuk punggung seseorang yang tiba.
"Perkuliahan sangat menyita waktuku," ujar Minyoung begitu telah melepaskan rangkulan. Dengan wajah berseri, perempuan itu ikut melukiskan lengkung bahagia di wajahnya. "Kak Nayoung pasti merindukanku juga karena sudah lama tidak datang ke sini, 'kan?"
Memandangi wajah Minyoung yang begitu antusias, Nayoung lekas mengangguk. Namun, perhatian Minyoung kontan beralih ketika merasa dirinya tengah diperhatikan oleh orang lain yang letaknya tidak jauh dari mereka. Mengikuti gerakan mata Minyoung, Nayoung mendapati Daejoon dan Hyejin sedang memperhatikan tingkah mereka dengan penuh tanda tanya.
"Perkenalkan, ini teman-temanku," ujar Nayoung seraya membawa tubuh Minyoung mendekat, pun Daejoon dan Hyejin segera beranjak. "Kang Daejoon dan Kim Hyejin."
Hyejin sudah mengangkat telapak tangannya-memberi salam kepada sang perempuan-sementara Daejoon hanya mengangguk kecil. Lelaki berambut hitam itu sudah ingin mengulurkan tangan, tapi tatapan yang diberikan oleh Minyoung justru mengurungkan niatnya. Ia tahu ada yang berbeda dari cara perempuan kenalan Nayoung itu menatap dirinya bila dibandingkan dengan Hyejin.
"Kau bergabunglah dengan mereka dulu. Aku akan segera kembali."
Ketika Nayoung menjauh dari ketiganya, suasana seketika berubah hening. Minyoung menempati kursi tepat di sebelah Hyejin seraya tidak melepaskan pandangan dari Daejoon. Satu pun di antara mereka tidak ada yang ingin membuka suara sampai Hyejin akhirnya memecah sunyi.
"Kau sering datang ke sini, ya?" tanya Hyejin, kemudian memperhatikan beberapa buku yang sedang Minyoung keluarkan dari dalam tas.
Sang penerima pertanyaan itu mengangguk dan memandang Hyejin kala buku-bukunya telah tertumpuk rapi di atas meja. "Cukup sering. Daripada menghabiskan waktu belajar di perpustakaan, aku lebih senang melakukannya di sini setelah bertemu dengan Kak Nayoung."
"Bagaimana kau bisa dekat dengannya, padahal usia kalian terpaut jauh?" Kali ini, Daejoon yang bicara. Lelaki itu menyilangkan tangan, terlihat fokus memperhatikan setiap gerak-gerik Minyoung sejak tadi.
Minyoung lekas mendeham. "Karena aku seseorang yang mudah berbaur? Entah. Aku juga tidak tahu kapan mulai merasa dekat dan nyaman dengan Kak Nayoung."
"Kalian lebih cepat akrab daripada dugaanku." Suara perempuan yang kian mendekat kontan mengalihkan perhatian. Nayoung lekas mengambil kursi kosong yang tersisa, tepat di sebelah Daejoon.
Begitu Nayoung mengedarkan senyum di antara mereka, lelaki yang ada di sisinya enggan menanggapi pernyataan Minyoung. Hanya Hyejin yang terlihat begitu semangat. "Kami bahkan belum bicara terlalu banyak. Ah, lalu bagaimana dengan persiapan bukumu, Nayoung? Kau sudah dapat persetujuan?"
"Tentang itu kau-"
"Sebentar." Belum sempat mendengar keseluruhan kata yang ingin Nayoung ucapkan, Daejoon lebih dulu menyela. Lelaki itu memicingkan mata ke arah Minyoung sejemang sebelum akhirnya kembali berbicara. "Kau akan membicarakan hal ini di depan orang lain?"
Seluruh pasang mata serentak mengarah pada Minyoung. Perempuan yang tengah memangku wajah dengan lengan di atas tumpukan buku itu refleks menegakkan tubuh dengan sorot mata heran. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk pelan seakan mengerti situasi yang berlangsung.
"Oh? Baiklah, aku akan pura-pura tidak mendengar." Minyoung sibuk membuka satu per satu halaman buku dan menggerakkan pena di atasnya.
"Aku tidak masalah. Lagi pula, Minyoung mungkin jadi salah satu orang yang bahagia begitu tahu aku akan menerbitkan buku baru," ujar Nayoung tanpa perlu menutupi apa pun, yang tentu saja ditanggapi dengan seruan kecil Minyoung.
Netra perempuan yang disebutkan namanya itu membulat, pun mulutnya yang tidak bisa menyembunyikan rasa. "Wah, Kak Nayoung! Perkataanku benar, 'kan? Sekarang kau bisa menikmati masa-masa suksesmu seperti dulu."
"Terlalu dini untukku merasa terlalu bahagia," tanggap Nayoung seraya mengalihkan tatapan pada Hyejin. "Aku sudah dapat izin dari keluarga Jihyun. Begitu juga sudah cukup, bukan?"
"Aku juga," tambah Daejoon, terlihat tidak memedulikan keberadaan Minyoung lagi, "sudah mengantongi persetujuan dari agensinya. Kalau begitu, proyek ini bisa kita lanjutkan saja seperti biasa. Waktunya tidak banyak, kau yakin bisa menyelesaikannya?"
"Tentu. Karena sudah lama tidak menulis, aku sangat bersemangat begitu ingin melakukannya." Perempuan berambut panjang itu lekas menoleh ke lelaki di samping dan melukis senyum, begitu pula Daejoon yang tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya samar.
Minyoung-yang memusatkan atensi pada pembicaraan-melihat keduanya tengah berbagi rasa bahagia. Namun, satu hal yang perempuan itu sadari setelah turut menjadi bagian dalam perbincangan mereka. "Jihyun? Maksudmu buku ini akan ada kaitannya dengan Seo Jihyun?"
Belum sempat pertanyaan ditanggapi, Minyoung sudah dihalangi oleh Hyejin-yang duduk di sebelah-dengan telapak tangan membuka di depan wajahnya. Hyejin menggerakkan jari telunjuknya, kemudian mendecak. "Tidak ada bocoran lebih lanjut lagi. Kau harus menunggu waktunya, Nona."
Mendengar ucapan Hyejin, Minyoung kontan mengerucutkan bibir dan menoleh ke arah Nayoung dengan pandangan penuh harap. Namun, perempuan yang menjadi harapan satu-satunya itu juga menggeleng.
Bersamaan dengan itu, bunyi denting yang menggema dari arah dapur berhasil mengalihkan perhatian Nayoung. Yoomin pasti telah menyelesaikan hidangan pesanannya. Dengan segera, perempuan yang masih mengenakan apron itu beranjak, tapi lengannya lebih dulu diraih Daejoon. Lelaki itu menarik tubuh Nayoung hingga kembali duduk, digantikan dengan dirinya yang lekas melangkah usai mendapat anggukan kepala dari sang perempuan.
Namun, akibat gerakan Daejoon yang teramat tiba-tiba, lelaki itu menyenggol salah satu buku Minyoung yang terbuka hingga jatuh, diikuti dengan beberapa benda serupa dalam tumpukan. Sebagai bentuk refleks, Daejoon merendahkan tubuh guna mengumpulkan satu per satu benda yang terjatuh. Matanya menangkap goresan tinta hitam yang tidak asing di salah satu buku dan hendak menuntaskan rasa penasaran jika saja Minyoung tidak cepat-cepat menutupinya dengan tangan dan mengambil alih semua benda yang ada dalam genggaman Daejoon.
"Membaca milik orang lain tanpa izin itu tidak baik," ujar Minyoung seraya melayangkan sorot mata sinis.
Tidak menanggapi apa pun, Daejoon hanya membalas tatapan Minyoung. Lelaki itu tahu ada yang aneh dari Minyoung sejak pertama kali mereka berjumpa.
***
"Aku akan mengantar mereka sampai depan. Kau boleh tunggu di sini saja jika mau," kata Nayoung memberi tahu Minyoung yang kelihatannya belum ingin beranjak. Perempuan yang diajak bicara itu mengacungkan ibu jari.
"Bibi Yoomin ada di dalam, 'kan?" tanya Daejoon sebelum benar-benar pergi dari restoran. "Aku ingin menyapa sekaligus membayarkan makanan ini."
Anggukan kepala Nayoung menjawab pertanyaan lelaki itu, pun ia segera memisahkan diri dan menyisakan Nayoung bersama Hyejin. Kedua perempuan tersebut melangkah menuju luar sembari terus menceritakan banyak hal satu sama lain.
"Kelihatannya kau dan Daejoon sudah lebih dekat dibandingkan dengan proyek terakhir."
Kalimat yang dituturkan oleh Hyejin serta-merta membuat Nayoung mengangguk dan menggores senyum tipis. "Sepertinya."
"Meski membutuhkan waktu lama untuk mengenal," Hyejin melipat kedua tangannya, kemudian memandang lurus ke depan, "semua juga akan nyaman dengan Daejoon pada akhirnya."
"Aku sudah bertahun-tahun mengenal lelaki itu, bahkan sampai hal kecil sekalipun. Daejoon punya dua sisi berbeda, kau juga pasti mengerti. Dia bisa begitu abai dengan orang-orang baru yang tidak menarik perhatiannya, tapi sangat perhatian dengan mereka yang dikenalnya baik." Hyejin menoleh. "Waktu kuliah dulu, Daejoon bahkan rela menggendongku sampai halte karena aku sudah terlalu lelah berjalan. Setiap minggu juga selalu ada hari di mana kita menghabiskan waktu untuk berkunjung ke tempat baru."
Mendengar setiap kalimat yang lolos dari bibir Hyejin, Nayoung mengangguk seraya tertawa canggung. "Aku baru tahu kalau kau sangat dekat dengannya."
"Bisa dibilang kami mengukir masa remaja bersama." Ada gurat penuh rasa bangga yang terpancar dari air muka Hyejin. "Tapi kalau dia bersahabat dengan Jihyun, kau tentu tahu, bukan? Seberapa jauh kau memahami keduanya?"
"Mereka saling bergantung satu sama lain. Tidak ada Jihyun tanpa Daejoon dan sebaliknya."
"Tepat, tapi apa kau pernah berpikir jika mereka mungkin menyimpan rahasia yang tidak ingin diketahui satu sama lain?"
Semakin lama, topik pembicaraan Hyejin semakin mengerucut dan Nayoung merasa jika perempuan itu memojokkannya. Kedua netra Nayoung membuka lebih lebar, pun ia menggigit bibirnya. Bila Hyejin tengah membicarakan perasaan yang Daejoon sembunyikan dari Jihyun, Nayoung jelas tidak habis pikir bagaimana perempuan itu bisa mengetahui. Kedekatan Hyejin dan Daejoon bukan hal biasa hingga tidak ada dinding pembatas perihal privasi.
Nayoung mengusap hidungnya yang tidak terasa gatal, kemudian menanggapi, "Tidak mungkin."
"Biar kuberi tahu padamu karena aku sangat menghargai hubunganmu dengan Jihyun," ujar Hyejin seraya mendekatkan wajah pada telinga Nayoung. "Pelaku yang diberitakan saat meninggalnya Jihyun bukan satu-satunya orang yang ada di dalam mobil. Daejoon juga ada di sana."
Perempuan yang mendengar pernyataan itu sontak mematung. Nayoung begitu terperangah sampai tidak ada yang bisa ia lakukan selain terdiam. Pikirannya kosong, pergi entah ke mana.
Kala Nayoung masih sibuk mencerna tuturan itu, Hyejin justru kembali menambahkan, "Melihat reaksimu, sepertinya kau juga baru tahu jika Daejoon sempat terlibat dalam kecelakaan yang menjadi sorotan banyak orang dua tahun lalu. Siapa orang yang pertama kali kau lihat begitu tiba di rumah sakit?"
Tepat setelah Hyejin menyelesaikan penjelasan panjangnya, derit pintu dari belakang terdengar. Lelaki yang menjadi pokok perbincangan mereka melangkah seraya masih mengukir senyum sebab bahagia usai bertegur sapa dengan Yoomin.
"Sudah selesai. Ah, jam berapa ini?" Daejoon melirik jarum yang terus bergerak di arlojinya. "Jam makan siang sudah berakhir sepuluh menit lalu. Akan jadi masalah besar jika aku dan Kak Hyejin tidak kembali dalam waktu dekat. Nayoung, terima ka-"
Satu langkah kaki Daejoon gerakkan ke depan hingga sejajar dengan kedua perempuan yang sudah menunggu. Bicaranya terusik begitu melihat Nayoung tidak menanggapi, menoleh sedikit pun tidak dan hanya memandang lurus dengan tatapan yang sulit Daejoon artikan.
"Ada a-pa?"
Barulah ketika Daejoon berbicara untuk kedua kali, Nayoung menoleh. "Kau ada di mana saat kecelakaan Jihyun terjadi?"
Terlihat dari air mukanya, Daejoon tidak menduga pertanyaan yang dilontarkan oleh Nayoung. Jantungnya sudah berdetak lebih cepat, tapi lelaki itu tidak ingin menunjukkan gelagat mencurigakan sama sekali. "Di rumah. Tidak lama, aku langsung pergi ke rumah sakit setelah mendapat telepon. Kenapa kau tiba-tiba membahas kejadian ini?"
"Bohong."
Satu kata yang terlontar pelan dari bibir Nayoung menjadi akhir dari obrolan yang bahkan baru dimulai. Perempuan itu segera melepas ikatan apron dari tubuh dan meletakkan benda itu di atas meja yang dekat dengan pintu masuk. Gerakan tangannya amat tergesa, pun dengan kaki yang langsung melangkah jauh tanpa mengungkapkan apa-apa.
Daejoon yang tidak memahami kondisi yang tengah terjadi hanya terus meneriaki nama Nayoung, seiring dengan punggung perempuan itu yang semakin hilang dari area pandangnya. Lelaki itu melirik pada Hyejin, menangkap sorot matanya yang terlalu tenang dalam suasana seperti sekarang. Lantas, menyudahi dugaan yang tidak kunjung menemukan akhir, Daejoon pun menyusul kepergian Nayoung dan meninggalkan rekan kerja sekaligus sahabatnya itu.
Mengamati tingkah dua insan yang kian menjauh, Hyejin menyilangkan kedua tangan. Satu helaan napas ia buang seraya berkata, "Sepertinya aku harus pergi sendiri dari sini."
Namun, belum sampai menggerakkan tungkai, gerakan Hyejin lebih dulu dihentikan oleh seseorang yang tiba-tiba mendekat. "Kelihatannya kau memang sudah berencana untuk membuat hubungan mereka kacau. Apa dugaanku benar?"
Hyejin kontan membalikkan tubuh dan mengamati siapa sosok yang tengah berbicara dengannya. Minyoung sedikit memajukan badan guna mengintai keberadaan Nayoung dan Daejoon, tapi nyatanya mereka sudah pergi jauh. Ia memangku wajah dengan salah satu tangan, kemudian memiringkan kepala dan mengukir senyum. "Aku melihat semuanya. Bagaimana? Mau kubantu?"
Perempuan yang diajak bicara itu masih membungkam mulut. Matanya memperhatikan Minyoung dari atas hingga bawah, kemudian Hyejin menggeleng dan menebar gelak. "Apa kau pantas mengatakan itu pada orang yang baru kau kenal dua jam lalu?"
"Katakan saja. Aku bisa membantumu, tapi kau juga harus melakukan hal serupa untukku. Ada jalan tengah yang sama menguntungkannya untuk kita," tambah Minyoung sembari mengulurkan tangan.
Kedua alis Hyejin bertaut. Ia bergantian melihat uluran tangan dan wajah perempuan muda di hadapannya. "Siapa kau ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top