21 - Semua Bergantung pada Bagaimana Kau Melihat
Ost. for this chapter:
Seo In Guk - Seasons of the Heart
✨
"Keputusan yang baik karena kau kembali bergabung dengan kami," puji Direktur Nam seraya bertepuk tangan. Wajah lelaki itu tidak berhenti menunjukkan kebahagiaan sejak pertemuan dimulai, pun Daejoon yang juga berada dalam ruangan sama.
Nayoung membalas senyuman yang diberikan untuknya. "Terima kasih sudah menerimaku kembali."
"Sudah sejauh mana proyek kita sebelum berhenti?" Direktur Nam menautkan jemari di atas meja, kemudian menoleh ke arah Daejoon. "Kau membawa catatannya, 'kan?"
"Tentu," tanggap Daejoon segera. Tangannya sibuk membuka buku catatan, tapi Nayoung lebih dulu mengusik.
Dengan nada yang diselimuti ragu, perempuan berambut panjang yang menjadi tamu itu mengatakan, "Apa aku boleh mengganti tema cerita yang ingin kutulis? Bukan berarti aku menelantarkan proyek sebelumnya, hanya menunda sesaat. Setelah lama mengambil cuti, waktuku untuk memperhatikan sekitar jadi lebih banyak dan kurasa ini dapat menjadi penyemangat bagi banyak orang."
Usai mendengar permintaan Nayoung, Daejoon dan Direktur Nam lekas beradu pandang. Seolah keduanya berbicara melalui sorot mata, Daejoon kembali menutup bukunya dan melipat tangan di atas benda tersebut. "Oke. Mari kita dengar dulu."
"Tentang sulitnya merelakan kepergian karena telah berteman dengan duka." Nayoung menatap kedua lawan bicaranya dengan serius. "Sebenarnya, aku ingin menulis ini juga sebagai wujud mengenang Seo Jihyun. Terlepas dari banyak pengagum yang merindukannya, aku ingin berbagi kisah manis berselimutkan pedih. Tentu saja, seluruh nama yang terlibat akan kusamarkan."
"Jadi," Direktur Nam mengambil kesimpulan, sedikit mengangguk, "kali ini kau akan menulis kisah nyata? Kau harus meminta izin pada orang terdekat atau setidaknya agensi yang menaungi Seo Jihyun dulu, bukan?"
"Aku mengenal keluarga Jihyun secara pribadi dan untuk agensi ... aku juga akan mengusahakannya," jawab Nayoung segera. Segala persiapan dan risiko yang harus Nayoung tanggung ketika memutuskan untuk menulis kisah tersebut sudah ia pikirkan matang-matang sebelumnya.
Direktur Nam mengetukkan jemari di atas meja, kemudian beberapa detik setelahnya, ia menjentikkkan jari seraya menunjuk Daejoon. "Kau pernah bertemu dengan CEO Shine Entertainment saat menangani proyek kerja sama kita bertahun-tahun lalu, 'kan? Kau coba bantu Nayoung, ya."
Lelaki beriris hitam yang tengah memusatkan fokus itu lekas mengangguk. "Siap, Direktur Nam! Kau bisa mempercayakannya padaku. Nayoung, tema yang kau angkat itu menarik."
Sempat ragu bila keinginannya justru mendapat penolakan tegas, perempuan satu-satunya di ruangan rapat itu pun mengulas senyum.
"Baiklah. Kalau begitu, buku selanjutnya Go Nayoung sudah ditetapkan. Selanjutnya, kuserahkan padamu, Ketua Kang." Direktur Nam lantas beranjak lantaran diskusi telah mencapai titik terang. "Oh, tolong katakan pada Hyejin untuk datang ke ruanganku. Kita akan membocorkan proyek terbaru ini pada media dan lihat bagaimana antusiasnya."
Mengiringi Direktur Nam, Daejoon dan Nayoung yang masih berada di tempatnya itu ikut beranjak dan membungkuk. Nayoung meraih tas dan mantel yang sengaja ia sampirkan pada kursi, kemudian hendak keluar karena jadwalnya di Chaegoo sudah selesai. Lagi pula, ia harus segera kembali ke restoran Bibi Yoomin.
"Mau kuantar?" tawar Daejoon yang kini telah berada di sebelah Nayoung.
"Tidak perlu." Nayoung menggeleng usai menoleh. "Siapa editor yang begitu spesial memperlakukan penulisnya sampai seperti itu? Kau ingin menunjukkan pada mereka jika punya hubungan khusus denganku?"
Keduanya berjalan beriringan hingga sampai di depan pintu kaca, Daejoon sedikit mempercepat langkah dan membuka kenop. Sembari memandang Nayoung yang keluar melintasi dirinya, lelaki itu membuat penawaran lain. "Sampai lobi saja?"
Sang perempuan yang ditanya tetap pada pendiriannya. Lantas, Daejoon menjeda bicaranya sejenak, tapi masih mempertahankan gerakan kaki hingga mengikuti setiap langkah Nayoung.
"Oke. Kalau sampai depan lift?"
Pertanyaan yang baru Daejoon sampaikan serta-merta menghentikan langkah kaki Nayoung. Perempuan itu menghadapkan tubuhnya pada Daejoon, memperhatikan air muka lelaki yang sejak tadi mengikuti. Ia tidak habis pikir sehingga hanya tawa yang lolos dari bibirnya. "Terserah kau saja."
Akhirnya, Daejoon bisa memunculkan gurat bahagia di wajahnya, bahkan langkah lelaki itu tidak terusik sedikit pun kala melewati meja timnya. Terlalu fokus pada perempuan yang ada di sisi, sementara seseorang dari meja tim pemasaran mengawasi tingkah keduanya mulai dari keluar ruang rapat hingga hilang di balik dinding.
***
Bunyi ketukan mencuri atensi seorang perempuan berambut sebahu. Daejoon meletakkan lengan di atas pembatas bilik kemudian mengintip sang empunya meja. Perempuan yang tengah disibukkan dengan beberapa lembar kertas di tangan pun menoleh.
"Direktur Nam ingin bertemu denganmu untuk membahas kembalinya Nayoung." Kalimat yang diucapkan Daejoon terdengar bersemangat.
"Oh? Baiklah," tanggap Hyejin seraya mengukir senyum. Perempuan itu merapikan dokumen yang ada di atas meja, kemudian beranjak. "Akhirnya saat ini datang juga."
"Kau benar." Daejoon membalik tubuh dan ikut melangkah bersama Hyejin, hendak kembali ke meja kerjanya. Namun, perempuan yang berjalan di sebelahnya itu mencegat.
"Sebentar saja," Hyejin memperhatikan raut wajah Daejoon yang penuh dengan tanda tanya, "aku ingin bicara denganmu."
"Bicaralah."
Perempuan yang masih menggenggam lengan Daejoon itu menggeleng. "Tidak di sini. Aku tidak mau ada yang mendengar."
Tanpa mengucap lebih banyak, Hyejin membawa tubuh lawan bicaranya menjauh dari ramainya pegawai hingga tiba di tangga darurat. Satu-satunya tempat sunyi yang tidak banyak dikunjungi siapa pun.
Daejoon melihat gerak-gerik senior sekaligus sahabatnya tanpa melayangkan protes. Dilihatnya perempuan itu mengeluarkan secarik kertas terlipat dari dalam saku roknya. Tidak ada suara yang memecah keheningan sampai Hyejin menyodorkan benda itu padanya.
"Kertas harapan yang harusnya kuberikan padamu di tepi Sungai Han," ujar Hyejin seraya menggerakkan lembar putih tersebut supaya segera ditanggapi oleh sang lawan bicara.
Lelaki itu memandang kertas dan Hyejin secara bergantian sebelum akhirnya menerima pemberian tersebut. Kedua netranya sempat membulat, pun keningnya mengernyit.
Dari sahabat menjadi kekasih.
"Yang kau maksud di sini ap—"
"Aku menyukaimu." Pernyataan cinta itu terlontar dari bibir Hyejin tanpa perlu banyak berpikir. Pandangannya sama sekali tidak dialihkan dari Daejoon, justru menatap iris hitam sang lelaki dengan yakin.
Berbanding terbalik, Daejoon justru terperangah. Ia mengerjapkan mata berulang kali dan memilih untuk bungkam.
Melihat respons yang diberikan, Hyejin justru tertawa kecil. "Kau lambat sekali. Bahkan setelah segala perbuatan yang kulakukan padamu, kau tidak pernah menyadarinya."
"Tapi aku menyukai orang lain," balas lelaki yang juga memusatkan tatapan pada Hyejin.
Padahal Hyejin mengerti jika cepat atau lambat, pengakuan itu akan keluar juga dari mulut Daejoon. Namun, sebagian hatinya tetap teriris hingga menyisakan pedih. Perempuan itu mengangguk, kemudian menaikkan kedua sudut bibirnya sedikit. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Maksudmu Go Nayoung? Aku tahu."
"Bagaimana kau ta—ah, pasti Bonghyun. Benar, aku menyukainya." Daejoon menunduk, mengambil sejenak waktu untuk berpikir seraya melipat kembali kertas milik Hyejin. Satu helaan napas, ia embuskan pelan. "Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini padamu, tapi kurasa kau perlu tahu sebagai sahabat yang mengerti diriku bertahun-tahun. Selepas kepergian Taera, aku bersyukur karena kau dan Bonghyun selalu ada. Hingga Nayoung muncul, tanpa sadar dia mengisi ruang berbeda. Saat ini juga, aku dan Nayoung sedang mencoba untuk saling menerima dan mengerti."
Memandangi wajah Daejoon, Hyejin menepuk pundak lelaki itu pelan. "Terima kasih sudah mengatakannya. Kalau aku tidak menyampaikannya padamu, aku merasa payah karena menyerah sebelum bergerak. Ya ... setidaknya dengan pengakuan dari mulutmu sendiri, aku jadi punya alasan untuk melupakanmu."
"Kau orang yang menyenangkan, Kak." Daejoon meraih telapak tangan Hyejin dari bahunya kemudian meletakkan kertas harapan tersebut. "Apa yang terjadi hari ini, kita anggap sama-sama tahu saja. Setelahnya, mari jalani hari seperti biasa. Jangan ada yang merasa canggung atau justru menjauh."
***
Segelas soju diletakkan di atas meja kembali. Sedikit lebih keras sehingga bunyi yang beradu dengan meja terdengar nyaring ke seluruh sudut ruangan. Hyejin melirik arlojinya, kemudian beralih pada pintu masuk tepat ketika lelaki setinggi 185 cm melambaikan tangan ke arahnya. Menyapa dengan sebuah senyuman, Lee Jaehyuk—reporter yang bekerja sama dengan Chaegoo—melepaskan kartu identitas dari lehernya dan menyimpan benda tersebut sebelum duduk.
"Soju sebagai pembukaan. Tidak masalah, bukan?" tanya Hyejin seraya menggeser soda dingin ke arah Jaehyuk.
"Santai saja." Jaehyuk yang telah meletakkan barang bawaannya itu lekas bertanya, "Ada apa kau ingin bertemu denganku malam ini?"
Hyejin menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan sekeliling sebelum menanggapi. Jari telunjuknya sengaja ia gerakkan, mengisyaratkan supaya Jaehyuk mendekat. "Go Nayoung kembali dan aku ingin memberikan berita eksklusif ini padamu."
"Setelah sekian lama, perempuan itu akhirnya kembali?" Jaehyuk membelalakkan mata, tapi setelahnya memandang sinis. "Pandangan beberapa masyarakat pada Nayoung sempat buruk karena berita kencannya dengan Jihyun. Memangnya kau punya berita seperti apa yang bisa menarik antusias mereka kembali?"
Seharusnya Hyejin tahu dengan siapa ia sedang berbicara. Perempuan itu mendecak dan membeliak. "Astaga, Lee Jaehyuk. Kau benar-benar bisa menempatkan diri dalam pekerjaanmu dengan baik."
Lantas, sang ketua tim pemasaran Penerbit Chaegoo itu menceritakan rencana yang didengarnya dari Direktur Nam. Tentang kesepakatan yang mereka tawarkan, pun proyek terbaru Chaegoo bersama Nayoung—yang ingin mereka angkat ke media—demi mengenang kematian Seo Jihyun. Tidak lupa, keuntungan apa saja yang akan Jaehyuk dapatkan jika setuju bekerja sama.
Usai mempertimbangkan, Jaehyuk akhirnya mengangguk seraya mengusap dagu. "Aku belum bisa memprediksi tanggapan mereka. Fifty-fifty, tapi ini juga bukan berita yang buruk, terlebih belum ada media yang tahu. Baiklah, aku setuju."
Mengembangkan senyum, Hyejin menjentikkan jari dan mengulurkan tangan pada lawan bicara. "Kau memang pintar melihat peluang. Senang bekerja sama denganmu."
Jaehyuk menyambut uluran tangan Hyejin dengan segera. Keduanya saling menyulangkan segelas soju dan dengan sekali teguk, minuman yang mengisi penuh gelas Hyejin langsung habis. Jaehyuk yang memperhatikannya segera menyandarkan tubuh pada kursi dan menunjuk sang perempuan dengan gelas yang masih ada di genggaman.
"Kau sedang ada masalah apa?" tanya Jaehyuk.
Hyejin mengusap bibirnya usai menghabiskan soju. Perempuan itu menggeleng sembari mengambil botol hijau minumannya dan menuangkan kembali. Ia tidak melirik Jaehyuk sedikit pun kala diajak bicara.
Lelaki di hadapannya itu mendekatkan tubuh pada meja. "Tidak perlu berpura-pura karena kalau kau sudah banyak minum seperti ini, artinya ada yang mengganggu pikiranmu. Kau pikir siapa yang selalu menemanimu minum ketika sahabatmu terlalu sibuk? Aku."
Berawal dari pertemuan kerja sama yang sering berlangsung, Hyejin dan Jaehyuk menemukan banyak kesamaan—termasuk kegemarannya mengonsumsi minuman beralkohol—hingga hubungan yang terjalin tidak sebatas rekan kerja. Hyejin begitu senang bertemu orang baru dan banyak bicara, begitu pula Jaehyuk. Tidak butuh waktu lama, keduanya menjadi lebih dekat.
"Memang percuma saja aku menutupinya darimu." Hyejin tertawa getir. Ia mengangkat gelas dan salah satu alisnya. "Aku butuh teman minum malam ini. Jadi, bagaimana?"
"Bagaimana lagi? Call!" Jaehyuk menyulangkan sojunya sekali lagi, kemudian menegakkan tubuh dan berteriak, "Bibi, tolong satu botol soju lagi dan samgyeopsal, ya!"
***
Lelaki bermantel hitam sudah tiba di dalam restoran. Netranya mengedar ke seluruh penjuru guna menemukan seseorang yang dicari. Begitu indra penglihatannya menangkap sosok laki-laki dan perempuan yang ia kenal, kakinya cepat-cepat melangkah dan menghampiri.
"Apa yang terjadi?" tanya Daejoon seraya menepuk pundak sang lelaki yang tengah duduk terdiam.
"Ketua Kang," panggil Jaehyuk, kemudian beranjak. "Beruntung kau datang. Ketua Kim mabuk dan tidak bangun meski sudah kucoba berkali-kali. Aku tidak tahu alamat rumahnya dan satu-satunya orang yang kukenal dekat dengannya adalah kau. Maaf karena aku menghubungimu selarut ini."
Mengerti maksud perkataan Jaehyuk, Daejoon pun beralih mendekati Hyejin yang tengah tertidur lelap di atas meja. Tangannya menggoyang-goyangkan tubuh perempuan itu terus-menerus sembari mengatakan, "Kenapa kau mabuk sampai seperti ini? Ya, Kim Hyejin, bangunlah."
Perempuan yang dipanggil namanya itu bergumam. Ia membuka pejaman mata sekilas, pun Daejoon langsung membantunya beranjak. "Oh! Daejoon di sini."
"Aku akan mengantar Hyejin pulang. Terima kasih sudah memberi tahuku, Reporter Lee." Seraya memapah tubuh Hyejin, Daejoon berpamitan dengan Jaehyuk. "Kau bisa pulang sendiri? Atau biar kuantar saja juga?"
Lelaki yang ditawari itu menggeleng. "Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Hati-hati di perjalanan, Ketua Kang!"
Sebelum mereka benar-benar berpisah, Hyejin yang ada dalam rangkulan Daejoon itu justru maju beberapa langkah dan mendekati Jaehyuk. Perempuan itu mengembangkan senyum lebar dan meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Sstt ... jangan beri tahu siapa pun tentang tadi. Ini rahasia antara aku dan kau. Oke?"
Begitu selesai menyampaikan kalimat tersebut, Hyejin memejamkan matanya kembali dan menyandarkan kepala pada bahu Daejoon.
***
Bunyi alarm yang menggema serta-merta membangunkan sang pemilik yang tengah tertidur nyenyak. Perempuan itu tidak banyak bergerak, hanya tangannya yang sibuk mencari ponsel di balik selimut. Kala benda pipih tersebut sudah berada di genggaman dan bunyi yang sejak tadi memenuhi ruangan telah berhenti, Hyejin beralih duduk di atas ranjang. Ia mengacak rambut sembari menguap lantaran waktu tidurnya dirasa belum juga cukup.
Hyejin mencoba mengingat kejadian semalam, bagaimana ia bisa sampai di rumah, padahal terakhir kali sedang bersama Jaehyuk. Ingatan perempuan itu terpaku pada sosok Daejoon yang datang menghampiri dan mengantarnya pulang. Namun, Hyejin ragu bila itu hanya mimpi sesaatnya. Menghabiskan tiga botol soju bersama Jaehyuk, ia akhirnya jatuh dan terlelap. Sampai sekarang, pusingnya pun masih terasa.
Menanggapi ponsel yang berdering singkat, Hyejin lekas membuka pesan baru dari Jaehyuk.
Lee Jaehyuk:
Kau selamat sampai rumah semalam, 'kan?
Alih-alih membalas pesan tersebut, Hyejin justru menekan tombol panggil demi memecahkan rasa ingin tahunya.
"Lee Jaehyuk, apa semalam Daejoon menjemputku?" tanya Hyejin penasaran.
"Tentu saja. Karena kau tidak sadarkan diri, aku tidak punya pilihan lain selain menghubunginya."
"Dan dia langsung datang begitu kau meminta?"
"Iya. Memangnya kenapa?"
Mendengar jawaban Jaehyuk bila ingatannya tidak keliru, Hyejin mendadak diam. Setelah mengetahui bahwa Daejoon masih tetap menaruh perhatian padanya—terlepas dari keinginan Daejoon supaya mereka bertingkah seperti biasa saja—Hyejin merasa bersyukur. Namun, ia juga masih tidak terima atas perasaannya yang tidak berbalas. Mengingat bagaimana Daejoon dan Nayoung tertawa begitu lepas kala berada di kantor, sangat menyakitkan hatinya. Mengapa orang lain bisa bahagia, sementara ia hanya disisakan luka?
"Kak Hyejin, kau baik-baik saja? Kok diam? Jangan-jangan kau tertidur lagi karena belum sepenuhnya sadar, ya?"
Suara Jaehyuk dari ujung sambungan menyadarkan Hyejin dari lamunan. "Tidak. Oh, iya, Jaehyuk. Kau sendiri yang akan mewawancarai Nayoung nanti, 'kan?"
Lawan bicaranya mendeham. Seluruh kata yang hendak diucapkan Hyejin sudah ada di ujung lidah, tapi rasanya sulit disuarakan. "Aku ingin minta tolong padamu ... kau bisa melakukannya untukku, 'kan?"
✨
Call!: Ungkapan singkat yang menandakan bahwa orang yang mengatakan itu setuju.
Samgyeopsal: Masakan Korea berupa daging perut babi berlemak dan tebal yang dipanggang sendiri dan dicelupkan ke dalam saus pedas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top