20 - Sepasang Mata Penuh Hangat

Ost. for this chapter:
Ha Sungwoon - Fall in You

Langkah Nayoung bergerak cepat, semakin terburu-buru kala gedung bertuliskan "Penerbit Chaegoo" itu sudah terlihat jelas. Mengembuskan napasnya yang tersengal-sengal sebab tidak berhenti berlari sejak tiba di halte, Nayoung pun menghentikan gerakan kaki. Usai memperhatikan lingkungan sekitar, tidak ada satu pun pegawai yang berada di luar, ia memutuskan untuk masuk ke dalam gedung.

Seorang perempuan berambut pendek sebahu segera berdiri ketika melihat Nayoung masuk. Ia membungkuk sopan dan menanyakan perihal keperluan Nayoung.

"Aku ingin bertemu dengan Kang Daejoon, ketua redaksi Chaegoo," ujar perempuan yang baru tiba itu. Kedua tangannya melipat di atas meja, pun hembusan napasnya yang sedikit tidak teratur dapat terdengar.

Sang perempuan yang diajaknya bicara lantas meminta Nayoung untuk menunggu di sofa lobi. Namun, perasaan gelisah yang tengah memenuhi hati Nayoung membuatnya tidak tenang. Ia hanya mundur beberapa langkah, tidak berniat untuk mengistirahatkan diri. Salah satu lengannya berkacak pinggang, sementara lengan satunya mengepal dan menutupi bibir.

"Ketua Kang tidak datang ke kantor hari ini," sebut perempuan yang sedang mengembalikkan gagang telepon ke tempat semula, serta-merta membuat Nayoung membalikkan tubuh.

Perempuan bernama depan Go itu lekas mendekat seraya mengerutkan kening. Ia menggeleng seraya berkata, "Tidak datang? Apa ada kabar mengapa ia sampai tidak hadir?"

Terlihat mengingat, yang ditanyanya juga tidak bisa memberikan jawaban. "Tidak ada kabar. Sejak pagi, Ketua Kang juga tidak terlihat sama sekali di sini. Ah, ada yang ingin kau sampaikan? Kalau Ketua Kang datang nanti, biar aku sampaikan padanya."

"Kalau begitu, tolong katakan padanya jika," Nayoung menjeda bicaranya, seketika menggeleng dan melemparkan senyum tipis, "tidak jadi. Aku akan coba menghubunginya lagi saja. Terima kasih."

Nayoung pamit undur diri dan melangkah ke luar. Begitu pintu kaca telah tertutup kembali, perempuan itu masih berdiri di depannya. Ia meraih ponsel dari dalam saku jaket, membuka kontak bertuliskan nama lelaki yang dicarinya. Namun, tidak langsung menghubungi. Bukannya Nayoung tidak ingin, tapi hal itu sudah dilakukannya sejak tadi. Sepuluh panggilan yang perempuan itu buat tidak juga memperoleh hasil. Ponsel Daejoon tidak aktif.

Jika seseorang yang sangat berambisi dalam pekerjaan saja sampai meninggalkan tugasnya, berarti kekecewaan yang ia rasakan sudah sangat besar. Sekali pun, Nayoung tidak pernah melihat lelaki itu mau meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ketua. Pekerjaan nomor satu, perihal dirinya sendiri nomor dua.

Tidak menemukan Daejoon dalam pencarian pertamanya, Nayoung mencoba keberuntungan dengan menuju lokasi kedua. Sejujurnya, ia tidak punya banyak dugaan dan hanya mengikuti intuisinya. Karena tempat tujuannya tidak terlampau jauh, Nayoung memutuskan untuk berjalan. Siapa tahu dirinya justru akan bertemu Daejoon tanpa sengaja di sepanjang jalan.

Gerakan tungkai Nayoung memelan, air mukanya terlihat ragu. "Aku yakin ada di sekitar sini, tapi kenapa lingkungannya begitu berbeda, ya?"

Beberapa bangunan telah meninggi, pun ramai dikunjungi orang. Dulu, jalan yang kini tengah disusurinya terasa sepi. Berada di antara mereka yang sibuk berlalu-lalang, Nayoung jadi merasa seperti seseorang yang tidak tahu arah. Bermodalkan ingatan minim, perempuan itu memang nekat mencari kediaman Daejoon. Ia baru tiga kali mendatangi rumah tersebut, itu pun ketika dirinya menemani Jihyun yang mengantar kepulangan Daejoon usai berkumpul, hanya di depan gerbang rumah.

Ketika netra Nayoung mendapati bangunan berwarna cokelat susu dengan pepohonan rindang memenuhi halaman, perempuan itu segera mendekat. Diperhatikannya bangunan tingkat dua tersebut dengan teliti. Satu yang Nayoung ingat adalah luasnya pekarangan rumah Daejoon dan sepertinya, ia tidak keliru.

Jemarinya ingin menekan bel, tapi terus diurungkan. Nayoung melirik jam yang tertera pada layar ponselnya sejenak. "Apa aku terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah orang?"

Perempuan itu mendesis kemudian membalikkan tubuh, menjauh dari gerbang rumah usai mempertimbangkan kedatangannya. Namun, tidak sampai satu detik, ia kembali. "Tapi aku benar-benar harus bertemu Daejoon."

Baru saja tombol tersebut ingin ditekan, suara dari dalam interkom segera terdengar. Perempuan itu mengangkat kedua alis dan sedikit memundurkan tubuh lantaran terkejut. Rupanya segala gerak-gerik Nayoung tengah diamati oleh sang pemilik rumah. "Sedang apa kau di sana?"

Bukan suara Daejoon, melainkan milik seorang wanita. Dari suara yang terdengar tegas, Nayoung menduga jika itu adalah ibu lelaki yang sedang dicarinya. Dengan segera, Nayoung membungkuk dan menghadap kotak kecil di dinding yang baru mengeluarkan bunyi. "Selamat pagi, Bibi, aku temannya Daejoon. Apa Daejoon sedang ada di rumah?"

Hening menjalar. Pertanyaan Nayoung tidak kunjung mendapat tanggapan, hingga dugaan tentang kedatangan di waktu yang tidak tepat menjadi pemicu kacaunya pikiran perempuan itu.

"Tunggu sebentar." Suara wanita itu akhirnya terdengar lagi, menjadi akhir dari obrolan mereka.

Pintu gerbang seketika membuka, menampilkan sosok wanita yang mengenakan terusan berwarna putih. Kala tidak ada pembatas antara dirinya dan Nayoung untuk saling memandang, Sora memperhatikan tamu tidak terduga itu dari atas hingga bawah sebelum akhirnya bersuara.

"Masuklah," ajak Sora singkat, kemudian berbalik dan berjalan lebih dulu guna menuntun Nayoung.

Melangkahkan kaki pelan, Nayoung yang tengah merekatkan jaketnya itu masuk seraya mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruangan. Mengambil warna putih sebagai dominan di mayoritas ruangan, kediaman Daejoon terlihat luas. Namun, untuk bangunan yang begitu besar, terasa sekali jika hanya ada satu penghuni sebab ia tidak mendengar suara lain, baik milik Daejoon maupun adiknya.

Sora, yang sudah lebih dulu duduk di sofa, lekas menyilangkan kaki kirinya. Salah satu tangan ia letakkan pada lengan sofa untuk memangku dagu. Nayoung dipersilakan duduk, tapi perempuan itu jelas merasakan tatapan serius dari sorot mata Sora, seperti hendak mengintimidasi.

Mengalihkan perhatian, Nayoung sengaja menoleh ke arah dalam rumah itu. Namun, suara Sora lagi-lagi mengusik. "Daejoon tidak ada di rumah. Dia pergi sejak semalam dan belum kembali."

Kedua mata Nayoung kontan membeliak. "Lalu ... ada apa Bibi mengajakku masuk?"

"Kau Nayoung, benar?" tanya Sora. Wanita itu sedikit memajukan tubuh, menjauhkan punggung dari sandaran. Dilihatnya sang pemilik nama kebingungan.

"Benar, Bibi," tanggap Nayoung segera walau masih diliputi heran. "Bagaimana Bibi bisa mengenalku?"

"Apa bibi bisa berpura-pura tidak tahu tentangmu bila hanya kau yang dibicarakan oleh Daejoon setiap hari?" Sora menghela napas, kemudian menoleh ke sembarang arah. "Kau tidak perlu mencarinya jika tidak pernah berniat membuka hati. Jangan dekati anak bibi lagi."

Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Sora, tapi Nayoung dibuat bingung dengan tuturan kata yang baru terlontar. Sang perempuan yang tengah diajak bicara itu menunduk sebab merasa bersalah. Namun, satu kalimat peringatan yang disampaikan oleh Sora mendadak terasa seperti bambu yang tajam menghunus jantung.

"Maafkan aku, Bibi. Bukan seperti itu ...."

"Kau menyukai Daejoon atau tidak?"

Mendapatkan pertanyaan mendadak dari Sora, Nayoung justru bungkam. Wanita itu tengah melayangkan tatapan serius, tidak mengalihkannya sama sekali supaya dapat mengamati gerak-gerik Nayoung. Segala jawaban yang seharusnya diutarakan seolah tertahan. Bukan karena tidak ingin kehidupan pribadinya diusik, melainkan Nayoung juga masih bertanya pada hatinya. Sebenarnya, ia menganggap Daejoon seperti apa?

"Bibi membesarkan Daejoon bukan untuk disakiti. Cukup hatinya merasakan luka ketika orang-orang yang disayanginya meninggal ... ayahnya, mantan kekasihnya, dan sahabatnya. Selepas itu, biar bibi menanggung semua hal buruk yang akan dihadapi anak-anak bibi. Jika kau tahu Daejoon pernah memiliki kenangan buruk, apa masih pantas kau bersikap tidak peduli dan menyakiti perasaannya lagi? Sebenarnya, jika bibi tidak mendesaknya, Daejoon tidak mungkin bergerak cepat untuk berusaha mendapatkanmu. Bibi yang merasa tidak tega. Berjuang seorang diri tidak pernah membuatmu merasa baik-baik saja."

Mendengar penjelasan panjang dari Sora semakin membuat perasaan Nayoung teriris. "Bibi ... aku tidak ing—"

"Pergi dan jangan dekati Daejoon lagi jika kau tidak pernah bisa membuka hati untuknya."

***

Seluruh lokasi yang pernah dikunjunginya bersama Daejoon sudah Nayoung kunjungi. Hanya ada satu tempat tersisa yang melintas dalam pikiran Nayoung. Berhubung langit mulai menggelap, perempuan itu akan menghentikan pencariannya bila tidak juga menemukan Daejoon.

Perempuan yang menyusuri jalanan kecil di tepian Sungai Han itu memandang ponselnya sekali lagi, berharap Daejoon memberi kabar atau setidaknya, panggilan yang dialihkan karena ponsel sang pemilik tidak aktif seketika dapat berubah. Kakinya sudah lelah melangkah jauh, pun perkataan Sora terakhir kali membuat perasaannya tidak tenang.

Pikiran Nayoung kacau. Kakinya terus melangkah meski tatapannya kosong. Terus menggerakkan kaki hingga tanpa sadar seorang pengendara sepeda—yang juga tengah asyik memandangi keindahan Sungai Han—menabrak Nayoung. Keduanya terperanjat walau ban sepeda hanya mengenai jemari kaki Nayoung. Beruntung, refleks sang pengendara sangat baik karena langsung menghentikan laju sepeda.

"Astaga, maafkan aku," sesal lelaki yang umurnya tampak tidak berbeda jauh dengan Nayoung. Ia segera turun dari sepedanya untuk memastikan keadaan Nayoung.

Perempuan yang diamatinya itu menggeleng, kemudian berbicara seraya membungkuk berulang kali. "Tidak, aku yang tidak memperhatikan jalan. Sekali lagi, maafkan aku karena mengejutkanmu."

"Oh!" Alih-alih menanggapi perkataan Nayoung, lelaki itu justru menunjuk ke arah kaki. "Jarimu terluka. Biar aku belikan obat dan plester luka untukmu sebagai bentuk tanggung jawabku."

"Tidak. Kau tidak perlu mem—"

Belum selesai Nayoung menolak, tapi lelaki itu sudah mengayuhkan sepedanya dengan cepat menuju minimarket terdekat. Sementara itu, Nayoung memperhatikan jemari seraya menggerakkannya sedikit. Hanya luka kecil, pun perih yang dirasakannya juga tidak begitu buruk. Ia merendahkan tubuh dan melipat kedua lutut, mengusap ibu jarinya yang terluka.

"Kau tidak apa-apa?"

Tiba-tiba suara yang terdengar familier menyapa rungu Nayoung. Perempuan itu pun kontan menengadahkan kepala. Tatapannya mematung, tidak mengerjap sedikit pun atau membalas pertanyaan yang diajukan.

"Kau terluka. Mengapa hanya diam saja? Ayo, ikut aku supaya bisa diobati."

Sekalipun seseorang di hadapannya berbicara lagi dan mengulurkan tangan, Nayoung masih bergeming.

"Kenapa kau begitu ceroboh sampai terluka seperti ini?"

"Daejoon?" ujar Nayoung seraya masih memusatkan netra pada iris hitam milik sang lelaki. Lengannya perlahan mengangkat, mencoba meraih uluran tangan lawan bicara. "Benar-benar kau?"

Ketika pertanyaan terakhir itu lolos dari bibir Nayoung, bayang-bayang Daejoon menghilang. Tangan Nayoung yang membuka di udara pun ia katupkan perlahan disertai embusan napas dalam. Perempuan berambut kucir satu itu memperhatikan sekeliling, terpaku pada seorang laki-laki yang baru tiba dan memberikan satu bungkus es krim pada perempuan yang bersamanya. Ingatan Nayoung tentang perilaku Daejoon satu per satu mendadak berkeliaran di dalam kepala. Terakhir kali, lelaki itu juga memberikan makarun supaya perasaannya membaik.

Kala sepasang insan lain yang melintas, dengan iringan senyum, di dekat tempatnya terdiam juga mengingatkannya lagi pada Daejoon. Saat-saat di mana ia dan sang lelaki melangkah beriringan menyusuri tepi jalan dengan penuh canda, pun waktu yang bergulir rasanya melambat tiap kali bersama Daejoon. Jika Nayoung memikirkannya sekarang, rasanya ia mensyukuri kebersamaan yang mereka ciptakan.

Daejoon yang selalu menjaganya, menguatkan jika perasaan kian memburuk, dan menemani di waktu bahagia atau pun duka. Setelah begitu banyak afeksi yang ditunjukkan oleh Daejoon, mengapa Nayoung baru menyadari?

Netra Nayoung kembali menyusuri tiap titik yang ada di sekitar Sungai Han, lalu berhenti mencari ketika seseorang bermantel cokelat mencuri perhatiannya. Lelaki yang tengah berdiri di dekat pagar pembatas itu segera Nayoung hampiri, tidak peduli lagi dengan luka di jari kakinya atau bahkan sang pengendara sepeda yang mungkin akan mencari keberadaannya setelah kembali.

Begitu sampai, Nayoung memperhatikan lelaki itu sejenak. Ia mungkin mabuk semalam, tapi ingatan tentang hari kemarin tidak mungkin salah. Pakaiannya masih sama dengan apa yang ia lihat kemarin. Lantas, ia menepuk pundak lelaki yang sedang memusatkan atensi pada Sungai Han.

"Daejoon, kau—"

Bicara Nayoung refleks terhenti ketika menyadari bahwa orang yang diduganya bukanlah Daejoon. Lelaki yang sama bingungnya dengan Nayoung itu segera menyingkir, pergi dan menghampiri teman-temannya yang baru meneriaki namanya.

Mengistirahatkan diri sejemang, Nayoung akhirnya menyandarkan punggung pada pagar pembatas dan memejamkan mata. Wajahnya ia tengadahkan supaya angin yang berembus mampu menyejukkan. Namun, ponselnya berdering singkat satu kali. Nayoung tidak mengindahkan, menduga bila itu pasti pesan lain dari Eunhee. Sejak pergi dari apartemen, Eunhee memang tidak berhenti mengirimkan pesan dan bertanya seputar di mana keberadaannya sekarang.

Satu nada dering terdengar lagi, membuat Nayoung membuka pejamannya pelan. Meraih ponsel dengan malas, perempuan itu sontak menegakkan tubuh begitu membuka dua pesan baru.

Kang Daejoon:

Maaf. Kau menghubungiku? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?

Ponselku kehabisan daya. Di mana kau sekarang?

Nayoung segera mengetikkan balasan dengan cepat. Namun, belum sampai menekan tombol kirim, ponselnya berbunyi kembali. Nama Daejoon sudah muncul pada pop-up panggilan masuk.

"Di mana kau sekarang?" Begitu Nayoung menerima panggilan, pertanyaan tersebut langsung terlontar dari lelaki di ujung sambungan. Samar-samar, perempuan itu juga mendengar bunyi gemuruh mesin.

"Taman Yeouido Hangang. Seharusnya aku yang bertanya, kau pergi ke mana saja?" Diselimuti rasa kesal dan bahagia sekaligus—lantaran lelaki yang dicemasinya menghubungi lebih dulu—Nayoung justru balik bertanya.

"Tetap di situ. Aku akan ke sana."

Sudah hampir satu jam Nayoung menanti usai perbincangan singkat mereka di telepon berakhir. Ia tengah duduk di pijakan tangga area taman tersebut seraya mengamati setiap manusia yang melintas, sesekali juga menoleh ke belakang.

Matahari sudah ingin kembali ke peraduannya dan sekitar Sungai Han sudah mulai ramai dengan pengunjung yang datang menantikan pemandangan sunset di sungai terpanjang keempat di Korea Selatan itu. Tidak terkecuali Nayoung, yang kini justru mencuri waktu untuk memperhatikan bias jingga indah yang memenuhi pandangannya, teringat hari kemarin kala bersama dengan Daejoon.

Namun, fokus Nayoung luput begitu sosok yang tengah berlari seraya menoleh—mencari keberadaan seseorang—pun wajahnya tertutup oleh terik cahaya matahari. Butuh waktu beberapa saat hingga perempuan itu benar-benar yakin bahwa lelaki itu adalah seseorang yang dinantinya. Nayoung refleks melukiskan lengkungan bahagia di wajahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa sampai pergi sejauh ini sendiri?"

Belum puas memandangi wajah Daejoon, bahkan ketika lelaki itu sudah mendekat sekalipun, Nayoung tidak segera menanggapi dan justru terpaku. Daejoon lantas merendahkan tubuh sehingga sejajar dengan perempuan yang ada di hadapannya. Kedua lengannya ia lipat di atas paha.

Seraya masih menyelami iris hitam Daejoon, Nayoung menanggapi, "Mencarimu."

"Kenapa—"

"Aku ingin minta maaf padamu karena telah mengatakan yang seharusnya tidak kuucapkan semalam." Memotong ucapan Daejoon, Nayoung tidak ingin kehilangan waktu untuk menyampaikan penyesalannya. "Benar, semuanya tidak adil untukmu. Karena itu, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu untuk menebusnya."

"Kau ... mendengarnya?"

Perempuan yang ditanya itu mengangguk. "Beruntung karena aku mengingatnya, tapi kenapa kau justru pergi setelah mengatakan itu dan membuatku khawatir? Kupikir kau marah dan tidak mau bertemu denganku lagi karena sudah lelah. Aku memang keterlaluan, aku tahu."

Mendapati kecemasan dari sorot mata Nayoung, Daejoon meraih salah satu tangan perempuan itu, kemudian menangkupnya. Ia lebih dulu mengulas senyum sebelum berbicara, "Hari ini peringatan kematian Taera dan aku menyempatkan diri untuk menyapanya. Perasaanku sejak malam itu tidak karuan dan berlari sejauh mungkin, menghindar dari banyak orang, adalah hal yang selalu kulakukan untuk melupakan masalah. Aku kecewa, tapi tidak bisa benar-benar marah. Aku ini lelaki pengecut, kau tahu?"

Tangan Nayoung yang masih berada dalam tangkupan Daejoon berbalik, beralih menautkan jemari mereka. "Berlari seorang diri tidak akan membuatmu tenang. Larilah bersamaku supaya lelahnya bisa kita bagi bersama."

Sudut bibir Daejoon serta-merta mengembang, pun ia merengkuh tubuh Nayoung ke dalam dekapannya. Lelaki itu mengangguk.

"Jangan menghilang tanpa kabar lagi," lirih Nayoung sembari menyandarkan kepala pada bahu Daejoon.

"Eung. Tidak akan." Daejoon mengusap puncak kepala Nayoung, kemudian beralih ke punggungnya. "Tapi kau benar-benar sekhawatir itu padaku? Takut bila tidak bisa melihatku lagi?"

Melalui nada bicara yang terdengar, Nayoung tahu jika lelaki itu sedang menggodanya. Walau raut wajahnya tidak bisa Nayoung lihat, tapi ia sudah bisa membayangkan. Perempuan itu mencebik. "Tidak juga, tuh."

"Benarkah?" Daejoon sengaja melonggarkan dekapan. "Katakan lagi sambil melihatku."

Alih-alih berucap, Nayoung justru lekas beranjak dan berbalik. "Mencarimu ke mana-mana sangat melelahkan. Aku ingin pulang."

Memperhatikan tingkah sang perempuan, Daejoon turut melebarkan senyum yang telah terlukis.

***

Hyejin menyudahi gerakan jemarinya di atas papan ketik dan menutup laptop yang sudah menyala lebih dari dua jam. Usai menyusun strategi pemasaran buku baru yang hendak terbit, perempuan itu menyandarkan tubuh. Dilihatnya sebuah kertas terlipat yang sengaja ia letakkan di atas meja sejak berhari-hari lalu. Ia meraih lembaran tersebut dan membaca sekali lagi. Namun, apa yang didengarnya tanpa sengaja tentang perasaan Daejoon di tepi Sungai Han kala itu, terus membuat Hyejin mengurungkan niat.

Perempuan itu menghela napas dalam. Pilihannya ada dua: Mengatakan yang sebenarnya atau pura-pura tidak tahu dan berhenti mengharap secara diam-diam. Akibatnya hanya satu, hatinya jelas akan sama-sama terluka.

Namun, melepas lelaki yang bertahun-tahun tersimpan di hatinya bukan hal mudah. Bagaimana seseorang dapat merelakan tanpa harus berjuang lebih dulu? Setidaknya, Hyejin perlu berusaha dan mengandalkan hasil untuk menentukan bagaimana kisah cintanya berujung.

Tiba-tiba ingatan Hyejin dibawa kembali pada kejadian yang sudah lama berlalu, perihal hujan salju, bising suara klakson mobil yang saling bersahutan, serta kilauan lampu yang begitu terang hingga memenuhi seluruh area pandang. Perempuan yang baru tersadar itu membuka pejaman matanya seraya menahan perih akibat darah yang mengalir dari siku. Dengan tangan bergetar, ia membuka handel pintu. Meski dengan langkah berat, Hyejin berusaha mencari tahu keadaan setelah peristiwa. Dilihatnya seorang lelaki—yang sejak tadi bersama—tengah berteriak tanpa henti. Tepat setelahnya, sirene ambulans berbunyi nyaring dan petugas medis segera menghampiri. Barulah Hyejin tahu siapa sosok yang menjadi korban.

"Haruskah?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top