18 - Kebahagiaan Sepihak
Ost. for this chapter:
Heize - Can You See My Heart
✨
"Selamat pagi!"
Suara Daejoon seketika memenuhi ruangan yang telah dipenuhi oleh pegawai yang datang lebih cepat. Lelaki bermantel hitam itu segera meletakkan tas selempang di atas meja kemudian mengistirahatkan tubuh. Tidak sampai satu menit, Daejoon menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi dan menoleh ke arah Kyung Ah.
"Kyung Ah," panggil Daejoon sembari mendekatkan tubuh dengan meja, "naskah Minji sudah ada perkembangan?"
Perempuan yang sedang memusatkan pandangan pada komputer di hadapan itu sengaja menjeda kegiatannya. "Aku sudah memberikan catatan tentang apa yang harus diperbaiki mengenai alur dan penguatan karakternya. Ini kerja sama pertama kita dengan Minji, tapi kurasa anak itu memang punya potensi."
Sedikit teralih, Kyung Ah memperhatikan beberapa angka yang tertera pada kalender kemudian mencocokkan pada buku catatannya. "Sejauh ini tidak ada kendala, semua berjalan sesuai jadwal yang kita susun. Sebagian naskah yang terbit bulan ini sudah diberikan ke tim percetakan, sebagiannya sedang peninjauan akhir. Oh, iya, hari ini aku ada pertemuan dengan Moon setelah makan siang dan tidak kembali ke kantor lagi. Tidak apa-apa, 'kan?"
"Tentu saja tidak masalah," tanggap Daejoon segera, pun mengukir senyum lebar seraya menyebar pandang ke seluruh stafnya. "Kerja bagus, Kyung Ah. Kalian juga."
Kalimat yang disampaikan Daejoon adalah pujian, tapi wajah Kyung Ah tidak menunjukkan kesenangan dan justru sebaliknya. "Begitu saja? Ketua Kang tidak mencegahku hari ini?"
Lelaki yang masih mempertahankan gurat bahagia itu kembali bersandar pada kursi. Tidak lama, Hyejin berjalan ke arahnya setelah mengambil minum dari pantry. Meja timnya memang berada tepat di sebelah tim redaksi. Awalnya Hyejin hanya ingin melintas tanpa membicarakan berita baik yang sengaja disimpannya untuk dibicarakan kelak, tapi akhirnya perempuan itu memilih untuk menyampaikan lebih dulu.
"Hei, kau tahu?" Hyejin meletakkan gelasnya di atas meja Daejoon. Sorot mata perempuan itu terlihat bersemangat. "Karena acara kemarin berjalan sangat lancar, minat terhadap buku Park Ji Young terus meningkat. Aku akan memantau penjualan selama satu minggu ini. Kalau terus begini, bukankah sebaiknya kita mempersiapkan cetakan lagi? Memang benar, penulis yang sudah lama vakum selalu mendapat respons luar biasa dari pembaca yang rindu karyanya. Naskah yang kau tangani kali ini berhasil lagi, bukankah kau senang?"
"Apa kau masih perlu bertanya? Tentu sangat menyenangkan. Tentang cetakan selanjutnya, kita perlu membahas dengan Direktur Nam nanti." Daejoon mendongak sehingga dapat melihat wajah Hyejin dan menebar senyum.
Tingkah Daejoon yang tidak seperti biasa—tidak banyak berkomentar, bahkan pada berita baik, dan terus tersenyum—mencuri perhatian Hyejin. Lantas, perempuan yang tengah mengenal lama dan hafal dengan sifat lelaki itu merendahkan tubuh dan meletakkan siku pada atas meja. "Ada sesuatu yang terjadi, ya? Kau kelihatan bahagia."
Alih-alih mendapat jawaban dari Daejoon, pertanyaan tersebut justru ditanggapi oleh Kyung Ah. Ia menjentikkan jari. "Benar! Ternyata bukan hanya aku saja yang berpikir seperti itu. Sejak tadi aku sudah menduga kalau ada yang aneh dari Ketua Kang."
"Tidak," bantah lelaki yang menjadi pusat pembicaraan, secepat kilat mengubah air mukanya. "Kalian hanya berlebihan menilaiku. Jam berapa sekarang? Aku harus menyerahkan dokumen pada Direktur Nam sebelum tenggat."
Hanya dengan kalimat itu, Daejoon beralih pergi dari hadapan Hyejin dan Kyung Ah.
Menyilangkan tangan, Hyejin memperhatikan kepergian Daejoon dengan penuh curiga. "Dia benar-benar menyembunyikan sesuatu jika menghindar."
Ada satu alasan sederhana bagi bahagia Daejoon yang datangnya dari Nayoung. Usai membuka kiriman yang diberikan oleh Kyung Ah, Nayoung terus membungkam mulut sepanjang jalan. Jika tidak memperhatikan suasana di luar mobil, perempuan itu hanya menunduk dan membiarkan musik—yang menjadi satu-satunya sumber suara—memenuhi seisi telinga. Melihat hal tersebut, Daejoon teringat perihal Nayoung yang sama diamnya ketika kehilangan Jihyun dulu. Khawatir bila pikiran perempuan itu terus terpaku hingga membahayakan kesehatan seperti yang sudah terjadi, Daejoon tidak ingin hanya tinggal diam.
"Lupakan saja tentang foto-foto itu. Kau percaya padaku, 'kan?"
"Eung. Aku selalu percaya padamu."
Kalimat yang diucapkan oleh Nayoung seketika menenangkan perasaan Daejoon. Perempuan itu rupanya sungguh-sungguh menyisakan ruang untuk keberadaan Daejoon. Kali ini, biar lelaki pemilik senyum manis itu menganggapnya sebagai awal yang baik bagi hubungan mereka.
Namun, mendengar perkataan Nayoung bukan berarti melenyapkan kecemasan Daejoon sepenuhnya. Malam kejadian itu, ketika diam lebih banyak memenuhi diri Nayoung, Daejoon sengaja membuka suara sebelum benar-benar meninggalkan kediaman perempuan itu.
"Jika pikiranmu terus terganggu ... jika kau merasa sulit tidur, hubungi saja aku."
Sekadar berucap supaya perempuan yang dicintainya tidak menyimpan kegelisahan seorang diri tanpa berharap lebih, tapi nyatanya malam itu berlalu dengan perbincangan keduanya melalui telepon. Ada nada penuh canggung yang Daejoon tangkap pertama kali sebelum akhirnya pembicaraan berlangsung begitu saja hingga pagi datang.
Sejak hari itu, intensitas bertemu Daejoon dan Nayoung menjadi lebih sering dibandingkan sebelumnya. Pagi dan sore, lelaki pemilik nama depan Kang itu kerap memunculkan batang hidungnya di restoran Bibi Jung guna mengantar dan menjemput Nayoung usai bekerja. Bila memiliki waktu kosong, Daejoon juga menghubungi atau mengirimkan pesan untuk bertanya tentang hari Nayoung. Apakah perempuan itu merasa lebih baik? Apakah hari-harinya berjalan lancar? Segala pertanyaan demi memastikan Nayoung perlahan lupa akan surat ancaman yang pernah diterima.
"Aku akan berangkat sebentar lagi, tidak apa-apa?" tanya Daejoon pada seseorang di ujung sambungan telepon. Ia melirik ke arah jam dinding. "Kau pasti sudah menunggu lama. Maaf karena aku terlambat keluar dari kantor."
Daejoon meraih mantel cokelat bermotif kotak-kotak dari dalam lemari kemudian menghimpit ponsel pada salah satu bahu. Seraya mengenakan pakaian tersebut, suara Nayoung lebih dulu menanggapi.
"Tidak perlu sampai meminta maaf. Seharusnya kau tidak perlu memaksakan untuk pergi hari ini, tapi mengingat ini dirimu ... kurasa kau tetap akan bersikeras."
Mengukir senyum sekilas, lelaki yang sudah menghabiskan sepuluh menitnya di kamar itu pun keluar. "Kau tahu rupanya."
Kediaman Daejoon sunyi meski seluruh anggota keluarganya berada di rumah. Itu sebabnya suara dan tawa ringan lelaki yang sudah berpakaian rapi mampu terdengar jelas hingga mengundang atensi Haeun yang sejak tadi sibuk mempelajari lembar musik.
Perempuan yang lebih muda 10 tahun itu sengaja beranjak dan mendekat pada dinding—yang membatasi ruang tengah dengan area kamar—kemudian memperhatikan air muka sang kakak. Hingga ponsel tersebut menjauh dari telinga, Daejoon tidak sedikit pun menghilangkan senyum di wajah.
"Kak Daejoon benar-benar sedang dekat dengan perempuan, 'kan? Siapa itu?"
Suara Haeun serta-merta membuat Daejoon terperangah. Lelaki itu refleks menyimpan ponsel di balik punggung. Sebuah tanggapan yang turut menghadirkan senyum jahil Haeun.
"Kau jarang tersenyum kalau menjawab panggilan. Oh, bukan. Biasanya kau hanya senyum sebentar saja." Haeun melipat salah satu tangan di depan dada, sedang yang lainnya ia bawa mengusap dagu. Langkahnya mendekat pada Daejoon usai netra Haeun sibuk menyelisik. "Kakakku tampan sekali."
"Ada apa kau memujiku?"
Alih-alih menjawab, Haeun justru menyandarkan kepala di atas bahu kakaknya kemudian menoleh dengan senyuman. "Siapa dia, Kak? Ajak aku bertemu dengannya juga. Ya?"
Nada bicara sang adik berubah menjadi manja, pun kedua tangannya melingkar pada lengan Daejoon seraya merengek dengan kedua alis menurun. "Bersama Kak Daejoon saja tidak menyenangkan, pasti berbeda kalau ada sesama perempuan. Kami bisa melakukan banyak hal bersama. Ayolah, Kak."
"Apa kau itu benar adikku?" Mulut Daejoon membulat, bertingkah seakan kecewa atas ucapan yang baru didengar. Mendekatkan wajah dengan Haeun, lelaki itu berbisik. "Tidak boleh. Kau juga sudah pernah bertemu dengannya."
"Yang benar?" Genggaman tangan si bungsu seketika terlepas.
"Nayoung," sebut Daejoon kemudian lekas pergi dari hadapan Haeun, meninggalkan perempuan yang masih mencerna pengakuan Daejoon.
Putra sulung keluarga Kang sudah berjalan jauh hingga sampai di depan pintu, sedang Haeun masih bergeming di tempat. Hingga perempuan itu tersadar, ia kontan menutup mulut dan mengerjap. Mengiringi langkah Daejoon, Haeun berteriak, "Nayoung yang aku kenal? Sungguh?"
Namun, Daejoon tidak menanggapi pertanyaan Haeun dan hanya melambaikan telapak tangan di udara—sebagai bentuk pamit—tanpa berbalik sedikit pun. Sora yang tengah menyibukkan diri di dapur hanya memperhatikan tingkah kedua anaknya sembari tersenyum tipis.
***
"Kita masih belum terlambat." Seraya masih menggenggam tangan Nayoung, Daejoon melangkah lebih dulu guna menuju meja yang sudah ia reservasi sebelumnya.
Nayoung memperhatikan keadaan sekitar. Tempat di mana ia berada sekarang lebih banyak dikunjungi oleh pasangan kekasih. Sesungguhnya, sejak pertama menginjakkan kaki, perempuan yang memilih gaun merah marun selutut sebagai pemercantik penampilannya itu sudah dibuat takjub oleh desain bangunan yang berada di Jembatan Dongjak. Jendela yang membatasi bangunan dengan lingkungan luar dibuat mengeliling, pun sebelum mencapai lantai teratas, Nayoung telah melalui lantai-lantai sebelumnya yang tidak kalah menarik. Kafe, minimarket, perpustakaan, serta book cafe menjadi satu. Sungai Han yang memanjang jauh juga terlihat begitu jelas melalui lokasi yang telah Daejoon pilih guna menghabiskan waktu malam bersama.
Masih sibuk mengedarkan pandangan, perhatian Nayoung mendadak terusik kala semburat jingga menyapa wajah. Melalui bangunan berlantai lima, perempuan bernama depan Go itu lekas meletakkan fokus seraya memangku dagu. Ia ingin ikut menjadi pengagum indahnya langit senja, memperhatikan bias sinar jingga yang perlahan menghilang dari Sungai Han. Dilihatnya Daejoon yang duduk di sisi sudah lebih dulu menikmati terbenamnya sang baskara.
Ketika langit mulai menggelap, lampu-lampu kecil berwarna kuning yang mengelilingi tepian meja seketika menyala, menjadikannya kontras dengan angkasa. Alunan nada yang mengayun lembut perlahan memenuhi area melalui pengeras suara. Suasana di dalam ruangan terasa lebih hangat dibandingkan sebelumnya, terlebih kala Nayoung mampu mengamati kerlip lampu kota dari atas.
"Aku jadi mengerti kenapa kau rela datang jauh-jauh ke tempat ini," ujar Nayoung memecah sunyi di antara keduanya kemudian menoleh. "Tidak ada yang lebih indah daripada menyaksikan matahari terbenam di Sungai Han."
Lelaki yang diajaknya bicara itu mengangguk. Sembari masih melipat tangan di atas meja, Daejoon turut mengalihkan tatapan dari langit dan mempertemukan matanya dengan Nayoung. "Itu sebabnya aku suka datang ke Sungai Han. Entah datang bersama Kak Hyejin dan Bonghyun, atau ketika butuh waktu menyendiri, tidak ada tempat lain yang kutuju. Rasanya selalu bisa membuatku lebih tenang."
"Kau benar. Sekali datang ke tempat ini saja, aku bisa merasakannya. Melihat Sungai Han dari sisi berbeda."
Kedua sudut bibir Daejoon kontan mengangkat ke atas. "Kau percaya tidak, jika menariknya suatu tempat itu tergantung dengan siapa kita bersama?"
Kening Nayoung mengernyit, pun pandangannya sedikit menjauh dari wajah lelaki di hadapan. Namun, setelahnya ia menanggapi dengan santai. "Tentu karena aku juga pernah membuktikannya."
Usai mendengar tanggapan perempuan itu, Daejoon meraih ponsel dari dalam saku mantel. Jemarinya sibuk menggulir layar hingga benda tipis berwarna hitam tersebut diarahkan mendekat pada Nayoung. "Lihat."
"Cantik," tanggap Nayoung refleks begitu melihat potret seorang perempuan berwajah mungil tengah tersenyum manis hingga kedua matanya membentuk sabit. "Ini ... aku pernah melihatnya dalam artikel. Tujuh tahun lalu perempuan ini meng—"
"Namanya Jung Taera. Seseorang yang pernah eksis di media sosial sebagai content creator. Seseorang yang menjadikan tempat ini istimewa."
Daejoon yang masih memusatkan atensi pada potret seketika mengukir senyum. Nayoung juga menangkap raut wajah lelaki itu, sorot mata penuh bahagia dan sarat akan luka dalam waktu bersamaan.
"Dulu pernah ada bahagia sebelum duka bernama maut memisahkan. Taera yang memperkenalkan tempat ini padaku dan sekarang aku membawamu. Kau tahu bagaimana aku bisa kehilangan Taera?" Lelaki yang tengah bersua dengan masa lalu itu justru bercerita lebih banyak alih-alih berhenti, sedang Nayoung tetap memperhatikan. "Taera selalu bahagia mendapat komentar baik tentang dirinya setiap kali mengunggah foto. Sebanyak apa pun, dia selalu membaca walau kadang tidak sempat membalas. Itu wajah paling bahagianya."
Sedetik saja, Daejoon tertawa kecil seraya menunduk. Sejauh Nayoung mengenal Daejoon, lelaki itu tidak pernah bercerita tentang dirinya sedikit pun.
"Tapi terlalu bahagia justru sangat menyakitkan bila jatuh. Ketika komentar negatif tentangnya tiba-tiba ramai, Taera mulai kehilangan semangat. Dia yakin mereka yang pernah mendukungnya akan kembali, membelanya di hadapan orang banyak, hingga setiap hari Taera selalu memantau. Siapa mengira orang yang dinantinya ternyata ikut menjatuhkan. Aku bahkan tidak pernah menduga jika hal seperti itu membuat mentalnya terganggu. Sampai suatu ketika Taera memintaku datang ke rumahnya, dia tidak banyak bicara dan hanya bersandar padaku.
"Wajahnya pucat, air mata juga masih membekas di pipinya. Kalimat yang pertama kali diucapnya adalah 'Aku ingin makan bersamamu.' Tanpa berpikir panjang, aku mengiakan dan ingin melangkah pergi, tapi genggaman tangan Taera terasa berat melepaskan. Matanya berkaca-kaca walau senyum tipis terpatri di wajahnya. Senyum terakhir Taera karena aku terlambat mencegah niatnya untuk mengakhiri hidup. Dia bukan ingin makan denganku, tapi menghabiskan waktu terakhirnya denganku. Andai aku menyadari kejanggalan kala itu, andai aku tidak pergi dan tetap di sampingnya, aku bisa melihat Taera sampai sekarang."
Nayoung masih tetap bungkam ketika Daejoon telah mengakhiri tuturannya. Perempuan itu mematung, apa yang diceritakan oleh Daejoon serta-merta mengingatkan perihal sungkawanya.
"Itu sebabnya," bibir Nayoung mulai bergerak meski tatapan tetap mengarah lurus ke depan, "kau bilang padaku untuk tidak memikirkan kalimat ancaman dari foto itu?"
Samar-samar, Daejoon mendeham. "Aku pernah gagal menjaga Taera, aku juga sudah kehilangan Jihyun. Mana mungkin aku membiarkanmu bernasib sama seperti mereka?"
Sunyi tiba-tiba menyelimuti keduanya. Lelaki yang bersuara sejak tadi pun mengangkat kepala, mengamati langit luar. Jemari Nayoung mengetuk meja pelan, mengiringi gelisah yang menjalar akibat kekhawatiran yang selama ini Daejoon simpan.
Menghela napas dalam, Nayoung akhirnya menanggapi, "Terima kasih sudah melakukannya untukku. Maaf karena aku bahkan butuh waktu berpikir selama ini."
Daejoon menjauhkan lengan dari atas meja, beralih menyandarkan punggung dan menyelami iris hitam sang perempuan. Memandangi air muka Nayoung, yang sarat akan penyesalan, kontan membuat lelaki itu tersenyum. Kekehan kecil pun lolos dari bibir Daejoon, diikuti dengan gelengan kepala.
"Aku tidak menceritakan ini untuk membuatmu merasa bersalah. Hanya saja, menunjukkan kalau setiap orang pernah kehilangan dan kau tidak sendiri. Kau pun sama berartinya dengan masa lalu yang susah payah kulepas," jelas Daejoon seraya kembali memangku dagu dengan salah satu tangan, mengukir senyuman lebar kala tidak melepaskan pandang dari Nayoung.
"Tetap saja ...." Nayoung serta-merta mengalihkan tatapan agar tidak bertemu dengan netra lawan bicaranya. Sedikit mencuri waktu untuk berpikir, lantas perempuan berambut hitam itu memutuskan untuk menyampaikan kabar. "Aku ingin melawan rasa takutku dan kembali menulis seperti dulu."
"Kau sungguhan?" Daejoon membulatkan mata begitu mendengar keputusan Nayoung. Lelaki itu segera meraih segelas cocktail yang sudah dipesannya dan mengangkat gelas tersebut tinggi. "Kita harus merayakannya. Lupakan tentang apa yang kukatakan, kita datang ke tempat ini untuk bersenang-senang."
Tidak kunjung mendapat balasan dari Nayoung, Daejoon mengangkat salah satu alis kemudian menggoyangkan gelasnya pelan. Ikut melukiskan senyum, akhirnya Nayoung turut menyulangkan minumannya.
***
"Eoh? Di mana kita?" Nayoung berusaha membuka matanya yang terasa berat. Jari perempuan itu di bawa ke depan wajah, menunjuk dari satu tempat ke tempat lain. "Kelap-kelip. Satu, dua, ti ... ada banyak. Cantik, seperti yang kau tunjukkan padaku tadi. Aku mau ke sa—"
Nayoung yang melangkahkan kaki dengan tawanya segera dicegat oleh Daejoon. Lelaki yang tengah menyampirkan tali tas milik Nayoung pada bahunya itu meraih lengan sang perempuan sebab Nayoung hendak menuju ke jalan raya. Ia bersikeras menghampiri lampu-lampu kendaraan di tengah gelapnya malam yang terlihat secantik lampu kota.
"Kita pulang. Kau terlalu banyak minum sampai seperti ini."
Daejoon merangkul perempuan yang ada di sisinya, memapah tubuh Nayoung hingga tiba di lokasi kendaraannya terparkir. Dilihatnya wajah Nayoung mencebik lantaran keinginannya tidak terpenuhi. Lekas membuka kunci mobil, Daejoon mendudukkan perempuan tersebut di sebelah kursi kemudi.
Sebelum menginjak pedal gas, Daejoon lebih dulu memperhatikan wajah Nayoung yang tengah lelap tertidur begitu bersandar pada kursi. Waktu sudah semakin malam, terlebih karena mereka menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan kembali, sang pengemudi kemudian menjalankan kendaraan silver tersebut menuju kawasan Jung.
Jalanan selalu dipenuhi kendaraan beroda empat kala akhir pekan. Mengisi kekosongan, Daejoon yang melipat kedua lengan di atas kemudi lantas menyandarkan kepala di atasnya. Netra lelaki itu dengan tenang mengamati paras Nayoung. Perempuan yang dicintai sejak bertahun-tahun lalu kini telah bersamanya. Bahkan ketika tubuh Nayoung perlahan bergerak guna memperbaiki posisi duduk yang dirasa kurang nyaman, Daejoon tidak kerap mengalihkan pandangan dari perempuan itu.
"Keinginanku untuk melihat indahnya Seoul di malam hari sudah terpenuhi. Terima kasih," ujar Nayoung melantur.
Senyum di wajah Daejoon kian terlihat jelas. Salah satu tangannya mendekat pada wajah Nayoung, hendak membelai pucuk kepalanya.
"Jihyun-ie."
Namun, satu kata yang tanpa sadar terlontar dari bibir Nayoung seketika menghentikan gerakan tangan Daejoon.
"Aku senang bersamamu, jangan pergi lagi."
Dahi lelaki yang masih memandangi Nayoung itu mengernyit. Sedetik kemudian, Daejoon tertawa getir, pun menjauhkan jemari seraya membanting tubuh pada sandaran kursi. Ia menyugar rambut lalu menengadahkan kepala usai mengembuskan napas kasar.
"Aku yang berjuang demi membahagiakanmu, tapi yang kau ingat tetap saja Jihyun. Aku juga ingin menjadi alasanmu tertawa. Apa ini adil untukku?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top