17 - Apa Makna Sebenarnya Cinta?

Laki-laki berkemeja putih yang dipadukan dengan celana bahan berwarna khaki tengah bersandar pada bagian depan mobil. Masih ada waktu satu setengah jam sebelum acara yang hendak dihadirinya mulai. Daejoon sengaja menghampiri kediaman Nayoung yang tidak begitu jauh dengan lokasi acara.

"Kau harusnya menghubungiku dulu sebelum datang," keluh perempuan yang sudah siap dengan blus merah bata serta rok putih motif bunga. Setelah menjejaki anak tangga terakhir, Nayoung merendahkan tubuh guna memperbaiki tali belakang sandal tingginya. "Sebenanya kau ingin mengajakku ke mana?"

"Sudah izin dengan Bibi Jung?" tanya Daejoon seraya berjalan menuju pintu mobil di sisi kanan kemudian membukanya.

Perempuan yang ditanya mengangguk sebelum masuk ke dalam kendaraan silver. Namun, Daejoon tidak juga menjawab pertanyaan Nayoung hingga perempuan kucir tengah itu melihat sendiri gedung yang berdiri megah di hadapan. Bangunan yang menjadi saksi atas karier yang dibangunnya selama tiga tahun.

Netra Nayoung membaca satu per satu kata yang tertulis pada spanduk, pun melihat wajah wanita berusia awal 40-an yang begitu ia kagumi. Banyaknya orang yang bergantian masuk ke dalam gedung membuktikan bila eksistensi sang penulis masih sangat diakui oleh pecinta literasi. Senyum Nayoung refleks mengembang, tapi setelahnya sadar akan di mana ia berada.

Tungkai perempuan itu mendadak melangkah mundur. Namun, lengan Daejoon berhasil menghentikan Nayoung. "Ayo masuk!"

"Bagaimana jika ada yang menyadari keberadaanku?" Nayoung justru menggenggam erat lengan Daejoon, menunjukkan sebuah penolakan.

Seraya tidak melepaskan genggaman, Daejoon berdiri menghadap Nayoung. "Tentu saja ada. Sudah terlalu lama kau bersembunyi, bukankah bertemu dengan mereka lagi akan menyenangkan? Tenang saja, kau datang sebagai tamu dan bukan seorang penulis. Kupastikan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh mempertanyakan alasanmu cuti atau lainnya."

"Aku terlalu malu untuk muncul di hadapan mereka karena sudah bersikap tidak profesional."

Daejoon menghela napas kemudian mendaratkan tangan pada kedua bahu Nayoung. "Aku ingin kau mengalihkan perasaan mulai dari ini. Lagi pula, tidak biasanya kau melewatkan pembacaan naskah Park Ji Young, panutanmu."

Meyakinkan dengan sepenuh hati melalui lengkungan bibirnya, Daejoon melangkah lebih dulu supaya sang perempuan mengikuti. Belum sampai jauh bergerak, perempuan yang sejak tadi masih bergeming pun akhirnya berjalan cepat hingga menyamakan posisi mereka. Nayoung meraih tangan Daejoon dan menautkan jemari.

"Hanya sampai pintu masuk saja supaya yakinku tidak berubah."

Melihat bagaimana Nayoung menggenggam tangannya untuk pertama kali, pun wajah yang sengaja dialihkan segera kala Daejoon menatap ke arahnya, semua itu membuat Daejoon tersipu sejemang.

***

"Penulis Park Ji Young, kau selalu sukses setiap menerbitkan sebuah novel. Apa boleh kau menceritakan sedikit saja tentang buku kali ini sebelum kita fokus pada acara inti?" Suara milik pembawa acara seketika memenuhi ruangan yang hening.

Seluruh pengunjung tengah menaruh atensi tanpa sedikit pun menyela dengan suara bising, tidak terkecuali Nayoung yang sejak tadi terdiam penuh kagum. Daejoon yang duduk di sebelahnya juga memperhatikan dengan saksama meski terkadang matanya teralih ke arah Nayoung, memperhatikan apa perempuan itu baik-baik saja.

Sebelum menanggapi, Ji Young lebih dulu melempar senyum pada seluruh tamu yang datang. "Masih seperti novel sebelumnya, cerita ini juga bergenre romansa. Tentang sepasang insan yang bertemu kembali setelah sekian lama di waktu yang tidak tepat. Keduanya ...."

Penjabaran Ji Young masih terdengar sangat jelas di telinga Nayoung, tapi pikiran perempuan itu telah melayang jauh menembus waktu hingga tiba pada dua tahun lalu. Nayoung juga pernah mengalami hal serupa, menampakkan wajah pada publik dengan senyum merekah demi memperkenalkan kisah-kisah menarik hasil imajinasinya. Kenangan tersebut masih membekas dalam ingatannya. Bagaimana orang-orang bersorak dan bertepuk tangan untuknya, bersabar mengantre guna mendapatkan tanda tangan pada halaman depan buku, juga berinteraksi seraya saling melempar kalimat penyemangat.

Kala itu, Nayoung pernah merasa menjadi seorang yang berarti bagi orang lain. Dulu, Nayoung juga pernah merasa keberadaannya selalu dipenuhi dengan cinta.

"Menjadi seseorang yang sangat berhasil seperti sekarang, Go Nayoung pasti juga punya orang-orang yang selalu memberikan dukungan dan menjadikanmu semangat. Selain para penggemar tentunya, apa ada orang yang seperti itu?"

Nayoung mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Dilihatnya seluruh pengunjung—yang datang ke acara bedah bukunya—terlihat fokus dengan sorot mata menanti.

Tanpa perlu berpikir lebih panjang, perempuan yang sedang menjadi pusat perhatian itu mengangguk. "Ada. Seseorang yang hafal segala baik dan burukku, selalu menjadi bagian dari perjuanganku hingga saat ini."

Sang pembawa acara mendesis. "Karena kau menyebutnya seperti itu, semua orang di sini pasti jadi sangat penasaran dengan sosok di balik kesuksesan novelmu."

Suasana di aula kantor Penerbit Chaegoo mendadak ramai. Suara-suara yang mengiakan omongan pembawa acara kontan membuat Nayoung tertawa. Perempuan itu lekas meraih buku hasil karyanya dan membuka halaman guna mengalihkan perhatian. "Halaman 95, 'kan? Siapa yang tadi meminta halaman ini untuk dibacakan? Aku akan membacakannya sekarang."

Dulu. Masa itu pernah indah.

Riuh tepuk tangan seketika menggema begitu Ji Young menyelesaikan sesi pembacaan naskah. Beberapa di antara pengunjung berdiri untuk menunjukkan apresiasi lebih. Nayoung segera tersadar dari lamunan, tapi pipinya terasa basah. Salah satu tangan menyentuh pipinya pelan kemudian menyeka air mata yang mengalir hingga tidak tersisa.

"Eoh? Ada apa denganku?"

Daejoon yang ikut beranjak seraya mengimbangi tepuk tangan pengunjung lain kontan melirik ke arah Nayoung, mencari tahu bagaimana reaksinya usai acara inti berakhir. Namun, lelaki itu langsung duduk kembali begitu melihat sang perempuan mengusap wajah.

"Kau menangis?" tanya Daejoon dengan nada panik.

"Tidak," tanggap Nayoung kemudian tersenyum. "Indah. Aku terharu karena terlalu indah."

Nayoung hanya sedang rindu.

***

"Penulis Go?"

Nayoung yang telah berdiri di dekat pintu keluar segera menoleh ke belakang begitu ada suara yang memanggil namanya.

"Benar, 'kan? Astaga, Penulis Go!" Perempuan kucir satu dengan kemeja hitam segera menghampiri, diikuti dengan dua staf lain dan seseorang yang baru-baru ini Nayoung temui.

Sang perempuan yang sudah mendekat itu merengkuh tubuh Nayoung lantaran telah lama tidak bersua. Meski awalnya terkejut, Nayoung tidak ingin mengacaukan suasana yang sedang mereka bangun.

Membalas rindu yang dipendam bertahun-tahun, Nayoung mengusap punggung Kyung Ah. "Bagaimana kabarmu, Choi Kyung Ah?"

"Kukira kau sudah melupakan namaku karena tidak pernah bertemu," balas Kyung Ah seraya menekuk wajah sebelum kembali memeluk erat. "Seharusnya aku yang bertanya padamu dulu. Kak Nayoung, kau baik-baik saja, 'kan?"

Perempuan yang ditanya itu mengangguk. "Bagaimana aku bisa melupakanmu? Kau bahkan sudah kuanggap seperti adikku sendiri."

Choi Kyung Ah adalah editor termuda—semasa Nayoung mengikat kontrak—di Penerbit Chaegoo. Perbedaan umur yang tidak terlalu jauh, hanya selisih tiga tahun, serta kemampuan beradaptasi keduanya membuat Nayoung dan Kyung Ah dekat.

Tidak hanya Kyung Ah, keberadaan Nayoung juga disambut baik oleh Hyejin yang sejak tadi turut melukiskan senyum. Perempuan yang menjadi penanggung jawab utama acara hari ini berdiri tepat di sebelah Kyung Ah. Begitu Nayoung mempertemukan mata mereka, Hyejin mulai angkat suara.

"Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini. Aku sama sekali tidak menduga. Senang bisa bertemu denganmu seperti sekarang."

"Aku juga bahagia bisa bertemu Kak Hyejin, Kyung Ah, dan ...." Netra Nayoung jelas mengarah pada dua staf—satu laki-laki dan satu perempuan—yang masih bergeming sejak tadi. Ia tidak mengenali wajahnya.

"Oh, mereka anak magang. Ketua Kang sengaja meminta mereka datang ke sini juga untuk mempelajari banyak hal. Kau mengerti bagaimana dia, 'kan?" timpal Kyung Ah segera.

"Ada apa denganku? Kau mulai membicarakanku di belakang?"

Suara yang begitu tiba-tiba kontan membuat Kyung Ah mundur kemudian menggaruk pelipis. Perempuan itu menggeleng dengan tegas. "Nope! Oh, aku hampir lupa. Ada sesuatu untukmu, Kak Nayoung."

Tangan Kyung Ah bergerak cepat mencari sebuah benda yang disimpan dalam tas selempang. "Ini dia. Seseorang pernah mengirimkannya ke kantor setelah kau cuti. Sejak itu, aku selalu membawanya ke mana pun dengan harapan bisa bertemu denganmu suatu saat dan memberikannya langsung."

Tanpa bertanya lebih lanjut, Nayoung lekas menerima pemberian Kyung Ah dan memperhatikan nama pengirim yang tertulis. Kala fokus Nayoung terpaku pada benda yang baru diterimanya, Daejoon mengalihkan pandang ke aula yang masih ramai.

"Kyung Ah, kau bisa bantu mengurus sisanya, 'kan? Aku harus mengantar Nayoung pulang dulu dan kembali sebelum jadwal makan malam bersama Penulis Park Ji Young," ujar Daejoon kemudian menoleh ke arah Hyejin. "Aku pergi dulu. Hari ini sukses, selamat untukmu, Kak Hyejin!"

"Secepat itu? Padahal aku masih ingin berbicara banyak dengan Kak Nayoung," keluh Kyung Ah, tapi segera mengubah raut kecewanya dan melambaikan tangan. "Kita harus sering bertemu mulai sekarang, ya? Sampai jumpa lagi, Kak."

Mengiringi kepergian Daejoon dan Nayoung, Kyung Ah tersenyum lebar seraya masih mempertahankan lambaian hingga keduanya benar-benar menghilang dari balik pintu. Namun, berbeda dengan sorot mata Hyejin yang penuh pengawasan.

***

"Kau senang hari ini?"

Di antara lagu yang mengalun lembut dari pemutar musik mobil, suara Daejoon ikut menyapa rungu Nayoung. Jemari yang mengusap sampul buku milik Park Ji Young—dan beralih pada halaman awal yang telah ditanda tangan—segera berhenti bergerak. Perempuan berambut hitam itu menoleh ke sumber suara dan mengangguk.

Melihat sekilas, Daejoon kembali membawa tatapannya fokus pada jalan. "Syukurlah, kupikir keputusanku justru memperburuk."

"Setengah bahagia, setengah sedih." Nayoung sengaja berpikir demi melanjutkan kalimatnya. "Bahagia karena bisa merasakan euforia yang dulu ada walau samar, tapi nyatanya aku terlalu banyak mengukir kenangan bersama Jihyun, ya. Segalanya mengingatkanku pada Jihyun lagi."

Sejenak menghela napas, lelaki yang masih menggenggam kemudi mengangguk pelan. "Selalu bersama denganmu selama empat tahun, bagaimana bisa tidak menciptakan banyak kenangan?"

"Benar." Tawa pelan lolos dari bibir Nayoung. Atensinya teralih pada sebuah amplop yang sengaja disisipkan antara halaman buku.

"Buka saja. Dari tadi memang sudah penasaran, bukan?" Daejoon masih sibuk mengendarai mobilnya, tapi bukan berarti sepenuhnya tidak memperhatikan.

Sejak pertama menerima pemberian Kyung Ah, Nayoung memang sudah menduga-duga apa yang tersembunyi di dalamnya. Sekadar menggoyang-goyangkan benda tersebut atau meraba rupanya tidak memberi jawaban pasti.

Nayoung merobek salah satu ujung amplop perlahan dan segera membawa beberapa lembaran kertas ke luar. Ia memperhatikan satu per satu potret yang menumpuk. Wajahnya yang tengah tersenyum terlihat jelas dari dua foto yang ia lihat. Namun, kening perempuan itu kontan mengernyit kala menemukan sosok lain. Fotonya bersama Jihyun mengisi lembaran yang tersisa, pun dengan ekspresi bahagia keduanya.

Gerakan tangan Nayoung semakin dipercepat seiring dengan banyaknya potret yang ditangkap oleh indra penglihatannya. Netra perempuan itu menyelisik setiap titik yang terlihat, mulai dari pakaian yang ia kenakan hingga lokasi foto tersebut diambil. Semuanya terasa tidak asing. Hamparan luas, jaket hitam tebal milik Jihyun ... Nayoung tahu.

"Apa mungkin ...." Pandangannya beralih lurus ke depan seraya mengumpulkan kepingan waktu yang telah lalu. Hanya ada satu orang yang Nayoung curigai, yang tidak sengaja ia temui di lokasi syuting Jihyun satu setengah tahun lalu. Perempuan yang membawa kamera dan buku catatan itu. "Tapi apa maksudnya mengirim ini? Semua sudah tahu tentang hubunganku dan Jihyun."

Mau dipikir berapa kali pun, sekeras apa pun, Nayoung tidak bisa menduga alasannya karena sang pengirim tidak meninggalkan petunjuk. Membiarkan hal tersebut menjadi teka-teki yang Nayoung simpan dalam pikirannya sendiri, perempuan kucir tengah itu memasukkan foto-fotonya kembali ke dalam amplop. Namun, ketika ia ingin merapikan posisi lembaran yang berantakan, ada goresan tinta hitam yang mencuri perhatian. Hanya ada satu potret dengan catatan di bagian belakang.

Kebahagiaan Kak Jihyun adalah kebahagiaanku dan kau telah merebutnya.

Aku tidak pernah tinggal diam.

Nayoung yang terperanjat begitu membaca kalimat tertulis refleks menjatuhkan amplop beserta lembaran fotonya. Pandangan perempuan itu kosong, pun tangan yang memegang benda tersebut masih mematung.

"Kenapa? Kau—hei, apa yang terjadi?"

Ketika melihat perempuan yang duduk di sebelahnya tidak merespons, Daejoon serta-merta mengalihkan kemudi dan menginjak pedal rem hingga kendaraan silver-nya menepi. Ia meraih bahu Nayoung kemudian menepuknya guna menyadarkan perempuan itu dari lamunan.

"Ada apa? Apa isi dari amplop yang diberikan Kyung Ah?" tanya Daejoon seraya masih memusatkan atensi pada Nayoung yang tengah merendahkan tubuh, meraih kembali lembaran yang berserakan di bawah. "Biar aku lihat."

"Tidak." Nayoung segera membawa tangannya bersembunyi di balik punggung. Menatap iris hitam Daejoon yang enggan menjauh darinya, Nayoung akhirnya melepas rasa ego yang ingin disembunyikan. Ia pun memberikan benda tersebut pada sang lawan bicara.

Selagi Daejoon memperhatikan satu per satu foto yang membuat Nayoung begitu terkejut, perempuan yang bersamanya memecah keheningan. "Kau tahu mengapa aku sangat ingin menutupi hubunganku dengan Jihyun dulu, 'kan? Aku tidak ingin ada orang yang berbicara buruk atau bahkan membenci Jihyun akibat adanya fakta tersebut. Biasanya aku selalu khawatir untuk orang lain, tapi kali ini aku baru tahu bagaimana rasanya cemas untuk diri sendiri."

"Apa maksudnya dia mengirimkan ini untukmu?" Daejoon menggoyang-goyangkan tangannya seraya melihat Nayoung dengan dahi bekernyit.

"Memang benar aku belum bisa melanjutkan karier menulis karena ingatan tentang Jihyun, tapi," Nayoung menghela napas dalam kemudian menunduk, "alasan terbesar yang sebenarnya adalah ketakutanku pada mereka yang melontarkan cacian. Bagaimana aku bisa bertahan di lingkungan seperti sekarang? Bagaimana bisa mengubah kebencian? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terlintas di benakku."

Kekhawatiran yang dipendam Nayoung seolah tersirat jelas dari sorot mata perempuan itu. Membaca nama pengirim yang tertulis di bagian ujung amplop sekilas, Daejoon akhirnya memberikan atensi penuh pada Nayoung.

"Ji_rang2992. Dia menuliskan identitasnya terang-terangan. Katakan padaku, sejauh apa kau mendapat hal semacam ini? Awal ketakutanmu pasti karena dia sering berkata buruk padamu, 'kan? Astaga, memangnya dia siapa sampai berhak mengancammu?" Helaan napas Daejoon terdengar kasar, pun lelaki itu segera menempelkan punggung pada sandaran kursi dan memijit keningnya. "Sudahlah, kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Foto ini dikirim satu setengah tahun lalu sebagai bentuk kecewa atas meninggalnya Jihyun, sekarang pasti sudah tidak apa-apa. Kau jangan takut. Aku, Eunhee, Kak Hyejin, dan banyak orang ada di pihakmu."

Nayoung mengusap punggung tangannya pelan. "Menurutmu begitu? Baiklah."

Nyatanya kata-kata yang terlontar dari mulut Nayoung hanyalah penghalau risau karena gemuruh masih memenuhi isi hati. Tanpa sepengetahuan Daejoon, perempuan yang tengah dilanda ketakutan itu membuka media sosialnya. Ia membuka halaman obrolan teratas di kotak masuk—pesan yang dikirim oleh pemilik akun Ji_rang2992—kemudian menggulirnya.

Satu setengah tahun tidak memberi banyak perubahan. Nayoung masih sering mendapat pesan serupa. Namun, hanya ia dan Eunhee yang tahu.

***

Buku tebal sengaja diletakkan tepat di depan lampu meja belajar, ditumpuk bersama kumpulan buku seputar perkuliahan yang lain. Di balik kegelapan, sang pemilik kamar melangkah menuju saklar hingga ruangan berukuran 3x3 tersebut diselimuti terang dan menampakkan jelas beberapa poster yang memenuhi dinding.

Potret Jihyun ketika konferensi pers drama pertamanya, juga dengan drama-drama berikutnya. Wajah bahagia Jihyun kala menerima penghargaan yang diberikan dalam beberapa kategori. Beberapa foto resmi yang diunggah oleh media—yang menjadikan Jihyun modelnya—juga turut serta menghiasi kamar perempuan berusia 22 tahun.

Sang perempuan duduk di kursi dekat meja belajar dan membuka laci pertama. Rupanya masih banyak potret wajah Jihyun yang sempat ia abadikan secara pribadi, mulai dari lokasi yang sering aktor lelaki itu kunjungi hingga tempat tersembunyi yang hanya diketahui orang terdekat. Ia menjajarkan beberapa foto tersebut di atas meja kemudian memangku wajah. Sebelum meraih salah satunya, kertas putih bertinta hitam yang ada di dekat perempuan itu berhasil mencuri perhatian. Sebuah tanda tangan yang hampir memenuhi ukuran kertas disertai dengan nama yang ditujukan oleh sang pemilik tanda tangan, tertulis Shin Minyoung.

Sedikit menarik sudut bibirnya ke atas, Minyoung mulai berbicara pada salah satu foto yang telah ada di genggaman. "Kak Jihyun, apa kabar? Masih ingat aku? Dulu kau dan aku sering bertemu dan berbicara empat mata. Aku juga masih ingat bagaimana Kak Jihyun selalu tersenyum waktu melihat keberadaanku. Memang dunia terlalu kejam untukmu yang baik, Kak. Banyak orang iri sampai membuatmu celaka. Aku pernah bilang kalau akan menjaga dan ada di sisimu selamanya, bukan? Kak Jihyun juga tahu seberapa besar rasa cinta dan sayangku padamu, 'kan?"

Minyoung menyandarkan tubuh pada kursi dan menengadahkan kepala guna memandangi langit-langit. "Dia sama sekali tidak baik untuk Kak Jihyun. Perempuan yang hanya bisa menyebabkanmu pergi karena keegoisannya sama sekali tidak baik. Kak Jihyun tenang saja, aku akan menunjukkan pada publik tentang seperti apa dia sebenarnya."

Beralih dari benda yang sejak tadi menjadi pusat atensinya, Minyoung mengambil ponsel dan membuka kotak pesan. Ia memperhatikan keterangan yang tertulis di bawah pesan terakhirnya.

"Jadi, dia membaca pesanku lagi tanpa membalas."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top