16 - Semua Perilaku Akan Berbalik

Ost. for this chapter:
Kim Feel - With You

"Kenapa kau menyuruhku datang ke sini?" Lelaki yang mengenakan mantel panjang berwarna abu-abu tua segera menarik kursi begitu tiba. Gerakannya begitu terburu-buru, netranya sibuk menatap ponsel sehingga tidak sempat melihat wajah lawan bicara. "Bukankah seharusnya kau ada di agensimu sekarang? Sudah kubilang jangan terlalu sering kabur dari latihan. Kau mau dimarahi lagi seperti pertama kali aku bertemu denganmu?"

"Apa kau harus mengatakan itu sekarang?" Suara Jihyun terlampau pelan dan tertahan. Setelahnya, ia melirik ke arah seorang perempuan yang juga ikut menunggu kedatangan Daejoon bersamanya. "Kau membuatku terlihat buruk di hadapan kekasihku."

"Apa?" Mendengar ucapan Jihyun, Daejoon lekas menjauhkan tatapan dari benda tipis di tangan dan menghadap depan. Perempuan berambut panjang yang dilihat oleh Daejoon itu pun merekahkan senyum.

"Aku ingin memperkenalkannya padamu," tambah Jihyun kemudian menautkan jemari dengan milik sang kekasih di atas meja. "Ini kekasihku. Go Nayoung."

Tidak ada tanggapan apa pun, Daejoon dibuat terperangah oleh Jihyun. Ia memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan sekilas. "Kau mengambil sepuluh menit waktu istirahatku hanya untuk ini? Kau benar-benar ...."

"Perhitungan sekali," protes Jihyun seraya menyilangkan tangan. Raut wajahnya seketika berubah dengan bibir mengerucut. "Bukan itu saja. Baiklah, aku akan mengatakannya langsung."

Jihyun mendekat dengan meja dan menopang dagu, sementara dua orang yang bersamanya masih tetap bungkam. "Aku ingin kau merekrut Nayoung menjadi penulismu."

"Kau bilang apa?" Kali ini, perempuan yang namanya kerap disebut sejak tadi akhirnya angkat bicara.

"Tidak mau." Penolakan yang terlalu cepat, tidak sampai lima detik dari Jihyun mengucapkan permintaannya, membuat Jihyun dan Nayoung refleks menoleh. "Semua penulis yang kutangani harus melalui proses seleksi. Kau tidak bisa mengambil jalan pintas begini."

"Benar, kau bicara apa? Kau membuatku terdengar menyedihkan sampai harus memakai cara seperti ini. Ah, memalukan." Nayoung mengernyit kemudian menunduk sembari menutupi wajah dengan salah satu tangan.

Lelaki berambut hitam yang menyampaikan ide pertama kali itu bergantian memperhatikan wajah Nayoung dan Daejoon kemudian mengembuskan napas pelan. Ia memutar bola mata sejemang. "Bukan seperti itu maksudku. Aku ingin kau membaca naskah Nayoung dulu, akan kukirimkan lewat surel untukmu. Sekali kau membacanya, pasti tidak ingin berhenti."

Raut Nayoung terlihat kalang kabut. Ia menggoyangkan telapak tangan di udara dan beralih menggenggam tangan Jihyun supaya lelaki itu berhenti bicara. "Maaf, kau tidak perlu mendengarkannya. Aku sama sekali tidak tahu kalau Jihyun mengajakku datang untuk ini. Masih banyak yang harus kukembangkan, aku akan—"

"Baiklah, kutunggu kirimanmu." Samar, Nayoung melihat ujung bibir Daejoon sedikit terangkat. "Bicaramu sangat meyakinkan, aku jadi penasaran."

Kala itu Daejoon tidak tahu jika rasa penasaran yang ia timbulkan sendiri justru membawa pengaruh dalam kehidupannya. Seharusnya jika seseorang sudah menyampaikan penolakan, ia perlu sedikit egois hingga tidak membiarkan keinginannya menjadi sebuah perkara.

"Aku tidak tahu apa yang kau sukai, Ketua Kang. Jadi, aku membelikan roti lapis ini untukmu. Makanlah. Sekarang sudah waktunya makan siang, bukan?"

Perempuan yang sempat Daejoon perlakukan kurang baik kini bertingkah lebih santai, tidak merasa canggung seperti saat pertama. Usai Nayoung menandatangani kontrak secara resmi untuk bergabung dalam Penerbit Chaegoo, agaknya Daejoon merasa terganggu. Terkadang perempuan itu berusaha keras mendekatkan diri dengan Daejoon, menunjukkan perhatian dalam bentuk makanan dan minuman, pun sering menemuinya di luar jadwal.

Tidak. Daejoon tidak menyukai segala bentuk perhatian yang Nayoung berikan. Sejak kehilangan bahagia bernama Jung Taera, lelaki itu tidak percaya lagi dengan perilaku banyak orang. Mereka penuh dengan kepalsuan, tidak tahu kapan akan bersikap sungguh-sungguh atau pura-pura. Kenyataannya, orang yang terlalu menaruh rasa percaya akan menjadi korban, sama seperti yang terjadi pada Taera. Namun, Daejoon tidak bisa menghindar sekalipun mencoba.

"Selamat siang, Ketua Kang," ujar dua perempuan dengan kartu identitas menggantung di leher seraya menebar senyum walau lelaki yang disapanya hanya mengangguk sekilas. Gurat bahagia yang pernah ditunjukkan hanya bertahan sampai keduanya berjalan melewati Daejoon. "Kau lihat reaksinya? Itu sebabnya mereka bilang jangan terlalu baik pada Ketua Kang karena tidak akan dapat balasan setimpal."

Apa yang masuk ke dalam rungu Daejoon sudah terlampau sering ia dengar hingga rasanya tidak perlu peduli. Mau bersikap seperti apa pun, mereka tidak akan pernah mengambil sedikit bagian dalam hidup Daejoon. Selamanya ia akan menyendiri sebagai buah atas perilaku yang sengaja dipilih. Hanya ada satu orang yang terus berusaha menembus batas yang jelas-jelas telah lelaki itu bangun.

"Kau menyendiri lagi." Nayoung yang membawa dua gelas kopi di tangannya segera mengisi kursi kosong di sebelah Daejoon. Ia menyodorkan benda tersebut pada lelaki di sebelahnya. "Kau tidak boleh bersikap terlalu dingin, Ketua Kang, atau tidak akan ada orang yang ingin dekat denganmu."

"Aku tidak peduli. Aku suka hidup seperti ini saja." Daejoon menatap lurus ke depan seraya melingkarkan jemari pada dinding gelas. "Kau sendiri kenapa terus mendekatiku?"

Hening seketika menyelimuti keduanya. Nayoung menyeruput minuman panas sejenak kemudian menggumam. "Kau sahabat Jihyun dan memberiku kesempatan untuk menjadi penulis hebat seperti apa yang selalu kuimpikan. Tidak ada alasan untukku menjauh, justru sebaliknya. Aku ingin dekat denganmu, aku ingin bersikap baik padamu."

"Karena urusan pekerjaan? Kau tidak perlu berusaha lebih."

Nayoung menggeleng kemudian menarik sudut bibirnya ke atas. Perempuan itu menoleh seraya berkata, "Aku hanya tidak suka lihat orang menyendiri. Ada apa, Ketua Kang? Kau kesulitan berbaur dengan orang lain? Kalau begitu, biar aku membantumu. Atau ada masalah lain yang terlalu sulit?

"Tidak apa-apa, setiap masalah selalu punya penyelesaian. Kalau merasa terlalu berat menanggungnya seorang diri, itu berarti kau butuh peran orang lain. Itu juga tidak apa-apa karena rasa gengsi tidak akan membantumu menyelesaikan masalah. Bagaimana kalau kau coba membuka diri dulu? Jujur saja, sejak pertama melihatmu, aku yakin kau adalah orang baik dan menyenangkan."

Perempuan yang selesai berucap panjang itu semakin melebarkan senyum. Setelah Daejoon melewati waktu belakangan dengan penuh penyesalan, perempuan asing yang baru ditemuinya beberapa kali justru melunturkan tiap sesalnya dengan mudah. Ia mengatakan jika Daejoon adalah orang baik, yang bahkan tidak bisa lelaki itu akui setelah apa yang diperbuatnya pada Taera. Anehnya, semua yang disampaikan terdengar menenangkan hingga pintu yang Daejoon tutup rapat perlahan membuka.

"Kalau begitu," Daejoon menoleh begitu Nayoung bersiap untuk pergi, "kau mau menjadi temanku?"

Lelaki itu pikir pilihannya sudah tepat sebab Nayoung berhasil kembali membawa bahagianya yang pernah menghilang jauh. Namun, merasa teramat dekat hingga tidak menyadari batas tipis yang selayaknya tidak pernah Daejoon lewati, kalimat berupa ungkapan rasa menjadi awal kekacauan hubungan keduanya.

***

"Ini untuk meja nomor lima dan tujuh belas," sebut Yoomin sembari mengarahkan telunjuk pada beberapa mangkuk keramik panas di hadapannya. Begitu keponakannya mengangguk setuju, ia kembali ke ruang masak karena tersisa banyak pesanan yang perlu diurus.

Nayoung membawa salah satu nampan yang terletak di sana kemudian melangkah dengan sedikit tergesa, terlebih kala beberapa pelanggan lain memanggil. Hari ini, ia hanya bekerja bersama Yoomin, sementara sang paman sedang mengurus hal lain di luar kota.

"Aku akan segera ke sana," tanggap perempuan kucir satu seraya memindahkan mangkuk ke atas meja pelanggan. Ia lekas berbalik dengan lengan mendekap nampan di depan dada, sedang tangan satunya sigap meraih buku catatan kecil dari dalam saku apron.

Di waktu bersamaan, derit pintu terpaksa mencuri atensi Nayoung. Perempuan yang sudah tiba di meja pemesan itu berbicara sebelum akhirnya menoleh. "Maaf, saat ini restoran sedang penuh dan sementara hanya bisa take away. Tidak apa—kenapa kau di sini?"

Lelaki berambut cokelat yang baru tiba itu mengedarkan pandang ke sekitar. Memang benar bila tidak ada satu kursi pun tersisa. "Tadinya aku ingin makan siang, tapi bagaimana lagi?"

"Begitukah?" Nayoung tidak segera melanjutkan bicaranya. Ketika kedua mata mereka bertemu, ia mengalihkan tatapan dengan cepat. "Tunggu sebentar lagi saja. K-kau bisa duduk di sana."

Daejoon memperhatikan kursi panjang yang terletak di dekat pintu masuk kemudian melukis senyum. "Baiklah kalau begitu."

"Permisi," salah seorang yang menempati meja di hadapan Nayoung mendongak, "kami ingin pesan."

Terlalu fokus dengan eksistensi Daejoon, Nayoung hampir melupakan tugas-tugasnya. Jemari perempuan itu serta-merta menari di atas kertas seiring dengan menu yang disebutkan sang pelanggan. Ia tidak punya banyak waktu luang untuk bersantai, terlebih ketika satu per satu dari mereka yang datang bersuara keras memanggil. Bel dari arah dapur juga telah berbunyi dua kali, tanda pesanan sudah siap untuk diantar.

"Kami ingin satu botol soju lagi!" Pria bermantel abu-abu tua mengangkat tangan supaya keberadaannya disadari.

Permintaan tersebut segera ditanggapi oleh Nayoung. Hendak melangkah menuju dapur, gerakan kaki Nayoung terhenti begitu suara laki-laki yang dikenalnya terdengar.

"Biar aku saja," ujar Daejoon yang kini sudah berdiri di depannya. "Ada di sana, 'kan?"

"Kau mau apa? Tidak, kau diam di sana saja."

Lelaki yang diajaknya bicara itu mendecak. "Tidak bisa hanya diam dan membiarkanmu kesulitan sendiri. Begini saja, siapkan satu gukbap untukku setelah ini sebagai gantinya. Aku lapar."

Mau bagaimana pun Nayoung menolak, Daejoon tetap tidak mengindahkan. Melihat lelaki itu bergerak dengan cekatan ke sana dan kemari demi memenuhi permintaan pengunjung, Nayoung tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Diperhatikannya Daejoon mampu beradaptasi dengan baik, tidak merasa kebingungan meski ini kali pertamanya membantu di restoran. Apa karena lelaki yang sudah dikenalnya hampir lima tahun itu selalu serius dalam bekerja?

Nayoung akui jika bantuan yang ditawarkan Daejoon benar-benar meringankan pekerjaannya. Bahkan sampai hal yang tidak disangka perempuan itu, Daejoon ikut mengantar dua orang wanita seusia ibunya sampai pintu keluar dengan senyum mengembang. Mereka kelihatan asyik berbincang, pun salah satu wanita itu mengusap lengan Daejoon sebelum akhirnya pergi.

"Dalam waktu singkat pun kau bisa disukai oleh orang lain dengan mudah. Benar, aku juga meyakini itu sejak pertama bertemu denganmu."

Netra hitam Nayoung masih mengikuti ke mana Daejoon melangkah, mengawasi dari jarak jauh. "Kenapa aku mengatakan itu?"

Perempuan yang tengah menyandarkan tubuh pada dinding dekat ruang masak itu membeliak seolah terbangun dari alam bawah sadarnya. Meski begitu, tatapan Nayoung masih melekat pada Daejoon yang juga melihat dari tempatnya berdiri. Layaknya kaset yang terputar otomatis, kalimat-kalimat yang belum lama ia dengar kembali terngiang.

"Yang jelas, aku tidak ingin menyerah lagi."

"Kau yang menolak Daejoon, tapi kau juga yang tidak ingin menjauh darinya. Kau pikir, alasan apa yang paling logis untuk itu?"

Ucapan Eunhee tempo hari benar-benar menambah beban pikiran Nayoung. Perempuan yang masih terjebak dalam lamunan itu menghela napas.

"Lima belas menit berlalu. Apa sudah selama itu?"

"Eoh?" Nayoung mengerjap. "Eoh. Ah, tunggu di sini sebentar, biar aku siapkan gukbap untukmu."

Teringat akan ucapan Daejoon beberapa waktu lalu, Nayoung sudah ingin pergi menghampiri sang bibi. Namun, dering ponsel milik lelaki yang tengah bersamanya lebih dulu menghentikan gerakan Nayoung. Sang pemilik segera memastikan siapa yang menghubungi, rupanya dari salah satu pegawai penerbitan.

Daejoon menggoyang-goyangkan ponsel di sebelah wajahnya kemudian menunjuk ke arah luar. Tombol hijau pada layar tersebut digesernya hingga nada dering berhenti. Sebelum benar-benar meninggalkan Nayoung, lelaki itu berbisik, "Aku hanya bercanda. Kau tidak perlu repot-repot."

"Iya, Wonbin? Jadi, lokasi untuk pembacaan naskahnya sudah beres?"

Pembicaraan Daejoon terdengar sekilas sebelum lelaki itu melangkah ke luar dan berdiri tepat di sebelah pintu masuk. Nayoung masih mampu melihat jelas dari dinding kaca restoran bibinya.

"Kekasihmu datang dan kau malah membuatnya melakukan semua pekerjaan di sini?"

Suara dari belakang kontan membuat Nayoung menoleh. Yoomin yang sedang senggang lantaran jumlah pengunjung sudah jauh berkurang itu ikut memperhatikan keberadaan Daejoon.

"Bibi!" Kaki Nayoung sedikit menghentak, pun ia memutar tubuh hingga air mukanya yang merengut terlihat jelas oleh Yoomin. "Dia bukan kekasihku. Ah, ada apa dengan kalian? Apa aku ini target ledekan yang mudah?"

Nayoung melepas ikatan apronnya kemudian meletakkan benda tersebut di atas meja kasir. "Aku ingin ambil minum dulu."

Masih memperhatikan sang keponakan, Yoomin refleks tertawa pelan akibat gerak-gerik Nayoung. "Dia, kan, tidak perlu marah sampai seperti itu."

***

"Sudah berapa kuota terpenuhi? Mencapai lima puluh persen, 'kan?" tanya Daejoon melalui sambungan telepon. Lelaki itu mengangguk begitu suara di ujung sana menanggapi. "Kalau begitu, kita bahas lagi setelah aku tiba di kantor."

Lelaki yang sudah selesai berbicara itu menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Terlampau lama meninggalkan kantor di jam istirahatnya, Daejoon memutuskan untuk kembali setelah berpamitan dengan Nayoung. Namun, sebelum niatnya terlaksana, perempuan yang dicarinya lebih dulu menghampiri.

"Minumlah." Sekaleng soda telah perempuan itu sodorkan. "Terima kasih sudah membantuku hari ini. Kalau dipikir, kau memang selalu ada saat aku kesulitan."

"Aku baru saja ingin menemuimu karena sudah waktunya kembali ke kantor," ujar Daejoon kemudian membuka kaleng hingga desisan soda yang begitu khas terdengar. "Terima kasih juga untuk ini."

"Tapi," Nayoung bersuara lagi—diikuti nada menggantung di akhir katanya—dengan jemari mengetuk dinding kaleng, "aku sudah memikirkannya."

"Tentang apa?"

Perempuan yang masih memusatkan pandangan pada sekaleng soda di genggaman itu membuang napas pelan. "Mari kita coba lakukan saja."

Daejoon mengerutkan kening usai meneguk minumannya. Ia hanya menoleh tanpa menanggapi apa pun. Melalui sorot mata yang terpancar, lelaki itu ingin tahu lebih banyak tentang apa yang Nayoung bicarakan. Sangat pelan, Daejoon mendengar gumaman dari bibir perempuan itu.

"Aku akan melakukannya denganmu. Terus cintai aku sampai perasaanku benar-benar teralih." Ucapan Nayoung terdengar sangat yakin, tapi tidak sedikit pun melihat netra lawan bicaranya. "Aku juga perlu memastikan satu hal."

"Seperti?"

Berhenti menyembunyikan wajah di balik tunduknya, Nayoung menoleh dan mempertemukan matanya dengan milik Daejoon. "Perasaanku."

Sudut bibir Daejoon serta-merta merekah begitu mendengar ucapan sang perempuan. Kalimat yang begitu sederhana, tapi berhasil mencuri bahagia hingga lelaki itu tidak ingin menyembunyikan raut wajahnya.

"Kau jangan tertawa." Menyadari respons Daejoon, Nayoung mendorong lengan lelaki itu dengan kaleng sodanya. Namun, peringatan yang ia berikan sama sekali tidak dianggap serius oleh Daejoon.

Lelaki berambut cokelat itu justru menggodanya dengan menggerakkan jemari pada bibir yang mengatup, dari salah satu ujung ke ujung lain. "Aku akan diam."

"Jangan menggodaku juga."

Dengan mulut yang masih membungkam, Daejoon menggeleng dan membulatkan mata. Jika semakin lama dibiarkan, Nayoung bisa tenggelam dalam rasa malunya. Lantas, perempuan itu mendorong tubuh Daejoon dari belakang menuju mobil yang terparkir di seberang.

"Kau bilang sudah harus kembali ke kantor, tapi kenapa masih terus bersantai di sini?"

"Aku mengerti, aku mengerti," tanggap Daejoon dengan tawa tergelak. "Aku pergi dulu."

"Eung."

Canda yang tengah melambung di antara keduanya ternyata menjadi objek pantau seorang wanita dari balik kaca mobil. Wanita dengan rambut sebahu yang masih memegangi kacamata hitam itu lekas berucap dalam keingintahuannya, "Jadi, kau orangnya. Apa yang anakku sukai darimu? Sampai ia menghabiskan bertahun-tahunnya demi orang sepertimu?"

Begitu melihat mobil Daejoon melaju, Sora mengenakan kacamatanya kembali. Ia menoleh ke arah kursi kemudi. "Kita bisa pergi sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top