15 - Perasaanku, Perasaannya

Ost. for this chapter:
Sondia - This is Love

Dua perempuan yang tengah bersantai di atas ranjang—Nayoung bersandar pada dinding belakang tempat tidur, sementara Eunhee duduk bersila di bagian tengah kasur—sibuk memainkan ponsel masing-masing. Malam ini juga, Eunhee berkunjung ke apartemen Nayoung lagi. Perempuan itu benar-benar tidak betah bila hidup sendiri tanpa ada orang lain yang bisa diajaknya berbincang.

"Luar biasa!" pekik Eunhee tiba-tiba seraya melepaskan ponsel.

Suara sahabatnya yang begitu kencang terdengar seisi ruangan dan membuat Nayoung tersentak. "Kenapa? Kau berhasil dapatkan wawancara eksklusif dengan violis itu?"

Mata Nayoung ikut berbinar, tidak mengalihkan fokus sedikit pun sebab penasaran juga. Eunhee menunjukkan potret seorang perempuan dan laki-laki yang Nayoung yakini adalah sepasang kekasih jika dilihat dari posenya.

"Ini rekan kerjaku. Keduanya resmi berpacaran hari ini, kau tahu karena siapa?" Dari nada bicaranya, Eunhee terdengar sangat bersemangat. Perempuan itu menegakkan tubuh dan menepuk-nepuk dada pelan. "Aku yang mendekatkan mereka. Aku memang berbakat dalam hal menyatukan dua insan."

Sia-sia saja Nayoung menyita waktu untuk penasaran akan Eunhee. Perempuan itu menghela napas kemudian kembali menyandarkan punggung. "Segitu bangganya?"

Eunhee tertawa kala melihat raut wajah Nayoung yang berbeda jauh dengannya. "Melihat orang senang juga bisa membahagiakan kita. Artinya memang di dunia ini tidak ada yang sia-sia, yang tidak mungkin terjadi sekalipun bisa saja terjadi."

Nayoung mengangguk, hendak kembali fokus pada ponsel. Namun, Eunhee lebih dulu mencuri atensi dengan menggenggam lengan Nayoung, seakan tidak ingin diabaikan. "Kalau kau bagaimana? Kencan yang terakhir kali kurencanakan dengan Kak Yunhwan, kau belum cerita padaku."

Perempuan yang baru mengajukan pertanyaan tersebut segera meletakkan kedua siku di atas paha, menopang dagu seraya memperhatikan wajah Nayoung antusias. Kedua alisnya naik dan turun.

Ponsel yang ada di genggaman tangan pun Nayoung letakkan di sisi. "Kami makan bersama kemudian mengobrol seperti biasa. Dia memperhatikanku dengan sangat baik, tapi aku lebih merasa seperti perhatian seorang kakak pada adiknya. Itu saja, tidak lebih."

Eunhee menggumam kemudian menjentikkan jari. "Bagus kau tidak menaruh sedikit pun rasa padanya. Kak Yunhwan memang bersikap sangat baik pada semua perempuan, tidak baik untukmu. Kalau Daejoon? Terakhir bertemu dengannya ketika di rumah sakit, dia mengurusmu dengan baik setelahnya, 'kan?"

Begitu nama lelaki itu disebut, Nayoung refleks mengerutkan kening. Matanya mengerjap kemudian mengalihkan pandangan ke arah berbeda. Diamnya Nayoung berhasil mencuri perhatian Eunhee.

"Apa ini? Kau bisa menjawab pertanyaan tentang Kak Yunhwan cepat, tapi tidak dengan Daejoon." Eunhee mendekatkan wajah pada sang sahabat, melayangkan tatapan penuh curiga. "Sesuatu terjadi antara kau dan Daejoon, bukan?"

"Tidak, tuh." Perempuan yang merasa sedang diinterogasi itu segera beranjak dari ranjang. Menjauh dari Eunhee adalah pilihan yang tepat sekarang. Namun, layaknya kamera pengawas, mata Eunhee terus mengikuti ke mana arah Nayoung pergi.

"Ah, benar-benar ada sesuatu. Tidak sia-sia aku meninggalkan kau berdua dengan Daejoon saja." Tawa Eunhee seketika memenuhi ruangan, serta-merta menghentikan langkah kaki Nayoung yang hendak keluar kamar.

"Apa?" Kedua mata Nayoung membelalak.

"Ekspresimu benar-benar menjawab semuanya," goda Eunhee lagi.

Mengembuskan napas kasar, perempuan yang menjadi objek ledekan segera membalik tubuh. Benar-benar meninggalkan Eunhee sendiri di kamarnya sebab sudah terlampau jengkel. Berbanding terbalik, sang pembuat ulah justru terlihat bahagia. Ia melangkah guna mengitari kamar Nayoung dan menghentikan gerakan kaki begitu menemukan sekotak penuh makarun stroberi tergeletak di atas meja bersama dengan sepucuk surat.

"Ya! Ini makarunmu, 'kan? Biarkan aku mencicipinya, ya!" teriak Eunhee seraya melongok ke arah luar kemudian memasukkan satu gigitan makarun. Raut wajahnya seketika berubah, kening mengernyit dan mulut mengerucut. "Tetap terlalu manis, padahal dari luar kelihatan enak. Ternyata—"

Notifikasi yang berbunyi singkat dari atas nakas seketika mengusik atensi Eunhee hingga ia melihat pop-up yang muncul di layar ponsel Nayoung. Perempuan itu bersuara kembali. "Daejoon ada di depan apartemenmu."

"Apa katamu?" Nayoung yang masih berada di dapur sedikit meningkatkan volume suara. "Kau hanya memancingku supaya cepat kembali ke sana dan kau bisa menggodaku lagi, 'kan?"

"Tidak, bahkan sekarang dia meneleponmu," tanggap Eunhee seraya melipat kedua tangan di depan dada dan memperhatikan layar yang terus menyala.

Samar-samar, Nayoung juga mendengar nada deringnya menggema semakin kencang. Ia pun melangkahkan kaki cepat dan menggeser tubuh Eunhee yang masih bergeming di tempatnya. Ponsel tersebut sudah berpindah ke tangannya, tapi Nayoung juga tidak lekas menjawab sampai sambungan itu berhenti dengan sendirinya.

Alih-alih segera menghampiri lelaki yang sudah menunggu di luar, Nayoung justru duduk di sisi ranjang sembari mengetukkan jemari di atas ponsel.

"Daejoon seperti itu lagi?" tanya Eunhee pelan kemudian merendahkan tubuh di hadapan sahabatnya.

"Bagaimana kau tahu?"

"Kau memang selalu seperti ini ketika Daejoon berusaha mendekatkan diri lebih dari biasanya. Terlihat gelisah dan cenderung menutup diri sampai kau merasa semua sudah baik-baik saja. Apa kau bisa terus hidup dengan seperti itu? Kenapa tidak coba membuka hatimu? Daejoon juga bukan orang asing yang jahat, kau jelas sudah lama mengenalnya. Kau bilang ingin bisa mengalihkan perasaan dan pikiran tentang Jihyun. Kau tidak akan rugi jika menerima Daejoon menjadi kekasihmu, kalian sama-sama diuntungkan. Siapa yang tahu ternyata Daejoon adalah jawaban untuk lepas dari kekhawatiranmu selama ini."

"Perasaan bukan hal yang bisa diperhitungkan untung dan ruginya. Selama ini aku membatasi diriku sendiri karena tidak ingin memberi harapan lebih pada orang lain. Meski begitu, nyatanya memang Daejoon yang terus kembali."

Eunhee mengangguk. "Karena dia sudah sangat jatuh cinta padamu. Kau pikir ada orang yang mudah menyerah tanpa berusaha lebih? Dan kau ... apa tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman dan rekan kerja?"

Kembali berdiri, Eunhee menepuk bahu Nayoung. "Temui saja. Aku hanya mau kau mempertimbangkannya."

***

"Daejoon."

Suara yang memanggil pelan itu serta-merta membuat Daejoon berbalik. Ia yang masih menautkan jemari di belakang punggung berjalan mendekat. "Maaf, aku pasti mengganggu waktu malammu. Kau tidak apa-apa? Aku menghubungimu sejak tadi, tapi tidak juga mendapat jawaban."

Mata Nayoung sempat membelalak kemudian tawanya terdengar sesaat. "Kenapa kau begitu khawatir? Aku bukan anak kecil dan bisa menjaga diri. Eunhee juga sedang bermalam, tidak akan terjadi apa-apa."

"Kau benar. Kenapa akhir-akhir ini aku mudah merasa cemas?" Lelaki itu mengusap tengkuknya. "Ah, kau sudah menerimanya? Paket makanan yang kukirimkan."

"Makarun itu?" tanya Nayoung kemudian mengangguk. "Tapi kenapa tiba-tiba?"

"Kau selalu makan makanan manis tiap kali merasa gelisah. Aku hanya merasa kau mungkin terbebani dengan ucapan terakhirku. Itu akan membuatmu lebih baik."

Nayoung memperhatikan kedua iris hitam Daejoon semakin dalam. Beberapa detik setelahnya, ia mengalihkan tatapan dan menunduk. Salah satu sudut bibirnya terangkat. "Kau ingat bahkan sampai hal-hal kecil. Perkataan dia memang benar."

"Dia? Kau sedang membicarakan siapa?" Daejoon sengaja menundukkan kepala sedikit, hanya sampai ia mampu melihat wajah Nayoung di balik rambut yang menjuntai ke bawah.

Perempuan yang tengah dipandanginya itu lekas mengangkat kepala. Kali ini, sorot matanya lebih serius. "Kenapa aku? Dari sekian banyak perempuan di luar sana, kenapa kau jatuh cinta padaku?"

Mendapati pertanyaan yang tidak terduga sama sekali, mata Daejoon kontan membeliak. "Karena kau selalu bisa menjadi diri sendiri. Perempuan tangguh yang tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Perempuan ceria yang kehadirannya selalu membawa kebahagiaan. Karena ... itu kau."

"Kau menyukai kepribadianku. Mungkin saja itu bukan cinta, tapi hanya kagum."

Sekali lagi, Daejoon dibuat tidak percaya dengan perkataan yang baru lolos dari bibir Nayoung. Lantas, lelaki yang sejak tadi memandang penuh heran itu melepas gelak. Tawanya terdengar kencang hingga Nayoung ikut bertanya-tanya.

"Sekarang kau punya cara baru untuk menolakku, ya?"

"B-bukan begitu ...."

Daejoon melipat tangan di depan dada kemudian memangkas jarak antara mereka. Ia membungkuk, mendekatkan wajahnya dengan milik Nayoung. "Aku bisa menerima bila dulu kau menolakku karena Jihyun. Waktu itu aku benar-benar tidak tahu malu sampai hadir di antara kalian, tapi sekarang ... apa aku harus mengalah karenanya lagi? Walau raganya bahkan sudah tidak ada? Aku bisa menjadi lelaki sabar sampai akhir, tapi bukan berarti selamanya terus mengalah.

"Aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Hatimu masih terikat dengannya sampai tidak ingin memikirkan tentang cinta yang lain. Aku juga seperti itu dulu. Terus menanti hal yang tidak pasti, kesedihan yang ada justru menyiksaku hingga hanya ingin menutup diri dari dunia luar. Dan ketika waktunya tiba, kau akan sadar bahwa ada seseorang yang bisa membuat duniamu tidak seburuk itu. Sesulit apa pun melepaskan, mereka yang sudah pergi lebih dulu tidak mungkin kembali."

"Memang benar," Nayoung mengangguk samar, pun suaranya terdengar sangat pelan seakan keraguan masih mengambil ruang besar dalam hatinya, "tapi kau dan aku ...."

Daejoon mendecak seraya kembali menegakkan tubuh. "Yang jelas, aku tidak ingin menyerah lagi. Tidak ada batu besar yang menghalangi, lalu kenapa aku harus mundur begitu saja seperti orang bodoh?"

Karena aku tahu kau satu-satunya orang yang tidak akan membiarkanku seorang diri.

***

"Hei, lihat ke sini sekali lagi," pinta Hyejin yang masih mengangkat ponsel, yang mengaktifkan kamera depan, tinggi.

Bonghyun yang ada di sebelahnya sudah siap dengan senyum mengembang, sementara Daejoon menoleh ke arah lain seakan tidak tertarik untuk mengabadikan momen lebih banyak lagi.

Perempuan berambut sebahu lekas mendecak, pun menarik lengan pakaian Daejoon. "Mengumpulkan kalian saja sudah susah, setidaknya kau harus bisa memanfaatkan waktu ini."

Hyejin melebarkan senyum seraya menggerakkan jarinya ke arah luar berulang kali—meminta lelaki yang menjadi lawan bicaranya supaya ikut tersenyum—dan menunjuk ke arah kamera.

"Kau sudah melakukannya hampir sepuluh kali. Sampai matahari terbenam sekalipun, kau tidak mungkin berhenti. Aku datang untuk menikmati pemandangan di sini juga. Aku pergi—"

Desisan kontan terdengar lolos dari bibir Hyejin. Ia meraih lengan Daejoon sekali lagi. "Kau jangan terlalu serius jika hanya ada aku dan Bonghyun. Sekali lagi. Tersenyumlah."

"Tidak mau."

"Tiga, dua ...."

Suara Bonghyun yang tiba-tiba terdengar langsung mengusik fokus kedua sahabatnya. Daejoon dan Hyejin refleks menoleh ke arah ponsel dengan mata membulat. Menyudahi perdebatan—yang kelihatannya tidak ada ujung—Bonghyun sengaja menekan tombol bagian tengah hingga hitungan mundur terlihat di layar.

Begitu foto berhasil diambil, Hyejin menarik telepon genggamnya dan merutuk pada Bonghyun yang asyik tertawa. Sementara, Daejoon hanya memperhatikan tingkah kekanakan dua sahabatnya. Bonghyun sibuk lari dari hadapan Hyejin, menghindar sejauh yang ia bisa, sedang perempuan satu-satunya di antara mereka itu terus mengejar seraya mengangkat kepalan tangannya tinggi. Tidak lupa dengan teriakan penuh kesal lantaran tidak terima dengan ekspresi yang diabadikan.

Tidak ingin ikut campur, Daejoon melangkahkan kakinya ke depan pelan kemudian duduk di tepi Sungai Han. Membiarkan sinar matahari menerpa wajah, lelaki itu sengaja memandang lurus ke titik terjauh. Sesekali ia menengok sahabatnya dan tersenyum tipis begitu mendapati Hyejin berhasil mengunci pergerakan Bonghyun di bawah lengan yang merangkul. Sampai akhirnya Bonghyun menyerah sendiri, kedua manusia itu berjalan beriringan menuju tempat Daejoon.

Jari telunjuk Bonghyun mengarah ke laki-laki yang sedang duduk seorang diri kemudian menepuk bagian bahu yang terasa sakit. "Kau seharusnya membantuku. Astaga, bagaimana bisa seorang perempuan bertingkah seperti itu?"

"Kau yang memulai," bela Hyejin kemudian ikut duduk di sisi kiri Daejoon. Ia menghela napas, membiarkan udara sejuk memenuhi indra penciumannya. "Tidak terasa delapan tahun terlewat begitu saja, ya. Terakhir datang ke sini setelah acara kelulusanku. Kadang kalau aku sedang lelah dengan pekerjaan, aku ingin kembali ke masa-masa itu. Membolos klub jurnalistik tanpa berpikir akan dimarahi lalu datang ke Sungai Han hanya untuk bersepeda sambil menikmati matahari terbenam bersama kalian."

"Benar. Kalau dipikir, hanya kau satu-satunya yang membuatku pergi tanpa izin, Kak," tanggap Daejoon, tidak memalingkan wajah sedikit pun.

"Kau menyesalinya?" Hyejin menoleh kemudian tertawa kecil. "Hei, kalau bukan waktu itu, kapan lagi kau bisa merasakan serunya membolos? Pokoknya, aku benar-benar rindu dan senang ada di sini setelah berulang kali sulit mencocokkan jadwal kalian berdua."

"Kalau mengenang masa itu, belum lengkap tanpa ini." Bonghyun sengaja memajukan tubuh untuk berbicara kemudian meraih beberapa lembar kertas dan pena dari dalam tas kecil. "Aku datang ke sini juga dengan persiapan. Ini masing-masing satu."

Ketika Bonghyun membagikan lembaran tersebut, kedua sahabatnya kontan membelalak dan mendecak. Daejoon berkomentar lebih dulu, "Kau serius? Sekarang juga masih harus seperti ini?"

Berbeda dengan Daejoon, Hyejin justru menarik kedua sudut bibirnya ke atas kemudian menggoreskan tinta pada kertas tersebut. "Tidak bisa dipercaya. Ini yang kunantikan darimu."

"Nah. Tulis keinginan masing-masing dan saling tukar satu sama lain. Si penerima harus mengingatkan si pemohon kalau bertingkah jauh dari keinginannya. Kita selalu melakukannya tiap berkumpul di sini dan setiap impian selalu berhasil diwujudkan."

Sempat tidak ingin mengikuti kemauan Bonghyun, Daejoon menyerah kala melihat dua manusia yang ada di kanan dan kirinya begitu antusias. Semua cita-cita lelaki itu telah terwujud, bahkan dalam pekerjaan pun sudah mendapat posisi yang begitu diinginkan sebagai ketua editor. Satu-satunya keinginan Daejoon saat ini adalah dapat diterima Nayoung, lebih dari sekadar teman. Ia memutar pena tersebut dengan jemari, menimbang-nimbang sebelum akhirnya menulis.

"Tukar dari arah Kak Hyejin ke kanan," perintah Bonghyun ketika kertas yang ada di tangannya telah terlipat menjadi kecil.

"Apa?" Perempuan yang baru menerima kertas milik Bonghyun itu membelalak.

Daejoon dan Bonghyun langsung mengarahkan pandangan pada Hyejin. Tidak lama, lelaki pemilik ide itu terusik begitu membaca kalimat yang dituliskan oleh Daejoon. "Menjadi editor hebat. Apa ini? Kau sudah mendapatkannya, kategori hebat seperti apa lagi yang kau inginkan? Ah, tidak seru. Kak Hyejin, apa keinginanmu? Ayo berikan pada Daejoon."

"Oh?" Sang pemilik nama cepat-cepat berdiri. "Aku lapar. Siapa mau makan sosis juga? Biar aku pesankan sekaligus."

"Kau masih perlu bertanya? Tentu aku ikut. Pesankan saja untukku dan Daejoon juga."

"Oke, kalian tunggu saja di sini," tanggap Hyejin seraya menyimpan lipatan kertas miliknya ke dalam saku dengan tergesa.

Ketika perempuan itu sudah menjauh, Daejoon yang sejak tadi lebih banyak diam pun membuka suara. "Aku sudah mengungkapkannya."

"Mengungkapkan apa? Nayoung?" tebak Bonghyun. "Aku tahu. Kau sudah beberapa kali melakukannya."

"Dan bilang kalau aku tidak akan mundur lagi kali ini."

Kalimat lanjutan yang dituturkan Daejoon serta-merta membuat Bonghyun menoleh dengan mata membulat. "Ya! Itu bagus! Ini baru Daejoon yang bersikap tegas. Aku sudah menemani perjalanan cintamu dari paling manis sampai pahit, aku lega mendengarnya karena kau tidak lagi membuang waktu. Begini ... apa aku perlu memberikan kiat-kiat untuk menarik hati perempuan?"

Lelaki yang diajaknya bicara itu terkekeh. "Untuk apa? Aku tidak mengatakannya tanpa berpikir panjang, aku punya cara sendiri."

"Yang benar? Kau sudah lama menyendiri, bukannya sulit untuk memulai lagi?" Bonghyun mulai menggoda Daejoon lagi. "Apa aku harus bertemu dengan Nayoung dan mengatakan hal-hal baik tentangmu di depannya?"

Mulut Daejoon membuka lebar. "Kau gila? Itu memalukan."

"Ah, kenapa, sih? Kau menyukainya, aku juga harus membantu."

Tidak ada habisnya Bonghyun ketika sudah meledek sahabatnya, sementara Daejoon hanya pura-pura tidak mendengar. Keduanya terlalu asyik berbincang dan bercanda hingga tidak sadar jika Hyejin telah kembali. Perempuan yang menggenggam tiga tusuk sosis dan satu plastik berisi minuman kontan menurunkan lengannya lemas kala mendengar nama Nayoung disebut-sebut. Bukan lagi sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan, melainkan sebagai sosok yang disukai oleh Daejoon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top