14 - Menghindar Bukan Pilihan Terbaik
Sebuah gambar penuh warna telah terpampang di layar benda persegi panjang. Melalui foto yang sedang dipresentasikan, terlihat jelas salah satu judul novel yang akan diterbitkan Chaegoo. Tiga orang yang tengah berada di dalam ruangan kini meletakkan atensi pada satu titik.
"Bagaimana menurutmu warna-warna yang kupilih? Sudah sesuai dengan isi ceritanya, 'kan? Aku berusaha membuat sampul yang sederhana, tapi tetap memiliki sisi misterius dan menarik," tanya Shinjoon, ilustrator yang menangani sampul buku terbaru Yoonbyul—salah satu penulis yang sedang eksis dari Chaegoo.
"Apa ada hal yang tidak bisa kau lakukan dengan hebat?" Yoonbyul yang masih memperhatikan gambar tersebut mengacungkan ibu jari. "Buku-bukuku masuk ke daftar terlaris bulan ini dan aku dipertemukan orang-orang hebat seperti kalian. Aku menikmati hidupku sekarang setelah Kak Nayoung pergi. Sangat menyenangkan. Dulu aku harus bersaing terus-menerus dengannya."
Lelaki yang masih memperhatikan hasil karya Shinjoon di layar kini melipat kedua tangan di depan dada. "Kepergian seseorang pun sekarang bisa dianggap hal menyenangkan."
Perempuan satu-satunya di ruangan itu—yang sedang tersenyum bahagia—mendadak menoleh ke arah Daejoon. "Apa?"
Mengalihkan pandangan, laki-laki yang duduk di seberang Yoonbyul melirik seraya menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Sorot mata Daejoon tajam, pun tidak menghias wajah dengan senyuman. "Akan menyenangkan kalau buku barumu juga laris seperti sebelumnya."
"Tentu saja. Aku punya firasat baik untuk ini," tanggap Yoonbyul cepat kemudian beralih pada Shinjoon. "Kak Shinjoon, aku menyukai desainnya. Bagaimana denganmu, Kak Daejoon?"
"Aku juga." Daejoon mengecek jam tangannya. Ia mulai menumpuk beberapa dokumen yang tersebar di atas meja menjadi satu.
"Ah!" Yoonbyul sedikit berseru, semakin melebarkan senyum, dan mendekatkan tubuh pada meja. "Aku sudah lama ingin melakukannya, tapi tidak pernah sempat bicara. Keberhasilanku sekarang adalah berkat kalian. Jadi, aku ingin kita makan bersama untuk merayakan dan mempererat hubungan. Bagaimana?"
"Semua sudah sepakat untuk sampul buku baru Yoonbyul, pertemuannya kita akhiri sampai sini saja." Daejoon beranjak kemudian menunduk ke arah dua orang lain yang masih berada di tempatnya. "Terima kasih untuk hari ini."
Shinjoon memperhatikan Daejoon dan Yoonbyul secara bergantian. Dilihatnya perempuan yang menjadi kliennya sedikit mengerucutkan bibir dan menatap Daejoon penuh tidak percaya. "Aku ikut. Kau tidak perlu bertanya."
Berusaha mengalihkan kecewa Yoonbyul, Shinjoon sengaja menanggapi ajakan perempuan itu dengan semangat. Namun, Yoonbyul tetap menunjukkan ketidaksukaannya. "Apa itu? Kalau ada penghargaan untuk orang yang sangat konsisten, aku yakin dia bisa dengan mudah mendapatkannya. Dia selalu bersikap dingin seperti itu padaku sejak awal atau memang pada semua orang?"
Tuturan Yoonbyul pelan, tapi Daejoon masih mampu mendengar. Memilih untuk tidak acuh, laki-laki itu segera menaik kenop pintu kaca dan meninggalkan mereka di belakang.
Usai pertemuan terakhirnya dengan Nayoung—tepat satu hari ketika ia menyampaikan keinginan—lelaki itu memilih untuk tidak menemui dan menghubungi Nayoung. Bukan pertama kali Daejoon mendapat sebuah penolakan, melainkan sudah berulang kali. Apa yang dilakukannya juga tetap sama, selalu mengambil jarak sejenak kemudian berharap semua kembali semula berkat bantuan waktu. Tidak ada yang benar-benar ingin dilakukan untuk meluruskan kesalahan, seperti seorang pecundang yang takut langkahnya akan memperparah keadaan.
Daejoon melangkah menuju pantry yang berada di ujung lorong. Ia meletakkan berkasnya di atas meja sebelum sibuk menyiapkan pelepas dahaga untuk diri sendiri. Sorot mata lelaki itu lurus ke depan, memandang dunia luar melalui jendela yang sedikit terbuka. Terkadang seseorang juga butuh waktu menyendiri, merenung tanpa banyak terbebani pikiran.
"Oh? Kau di sini juga?" Seseorang yang baru tiba di ruangan tersebut tidak menduga akan bertemu Daejoon. Tidak ada tanggapan, pun lelaki yang ditemuinya tidak terusik sama sekali. "Dia tidak mendengarku?"
Hyejin melangkah maju guna menghampiri koleganya sekaligus membuat kopi. "Daejoon, kau—"
Perempuan berambut sebahu yang sudah selangkah lebih dekat segera membelalakan mata dan memukul bahu Daejoon, serta-merta menyadarkan lelaki itu dari lamunan. "Kenapa kau menambahkan banyak gula ke dalam kopimu?"
"Aku?" Daejoon menoleh ke arah Hyejin kemudian memperhatikan satu sendok penuh gula yang ada di dekat gelasnya. Dengan segera, ia mengembalikan butiran-butiran putih tersebut ke tempatnya.
Secangkir kopi yang semula ada di dekat Daejoon segera Hyejin ambil alih. Perempuan itu mendecak kemudian mengambil cangkir lain. "Ini untukku saja, kau tidak mungkin meminumnya. Aku akan buatkan lagi untukmu."
Hyejin maju selangkah, pun menggeser tubuh Daejoon dengan tangannya. Mau tidak mau, Daejoon akhirnya beralih mundur. Ditemani dengan bunyi sendok yang beradu dengan gelas—sedikit nyaring—Hyejin mulai angkat suara.
"Kau kenapa? Aku tahu kau tidak baik-baik saja kalau sudah bersikap ceroboh."
Perempuan berpakaian rajut itu sedikit menjeling, sekadar memastikan raut wajah Daejoon. Sementara itu, Daejoon hanya membalas dengan gelengan. Sudah Hyejin duga, lelaki yang sudah dikenalnya sembilan tahun tidak akan banyak berubah. Ia terus menjadi seorang yang menyimpan masalah seorang diri sampai merasa benar-benar sulit.
"Kau tidak pandai berbohong." Hyejin kembali menaruh atensi pada benda yang berada di tangan. "Sekarang apa lagi? Haeun menyusahkanmu karena terlalu keras kepala? Biarkan saja dia menjalani masa remaja seperti apa yang diinginkan. Atau Yoonbyul banyak menuntut saat kalian rapat tadi? Aku tahu sifatnya memang seperti itu, tapi kau harus tegas padanya. Katakan apa yang menurutmu baik dan harus dilakukan, jangan hanya menerima keadaan supaya tidak ada masalah ke depannya. Kalau terus dihantui rasa takut dan khawatir, selamanya kau akan diam karena merasa itu yang paling aman. Ya ... sebenarnya aku juga ragu kalau kau tidak tegas padanya."
Begitu selesai mendengar tuturan panjang dari Hyejin, Daejoon lekas mendekat. "Kau bilang apa tadi?"
"Kau harus tegas pada Yoonbyul."
"Bukan. Jangan hanya menerima keadaan ...."
Secangkir kopi panas sudah selesai Hyejin buat. Lantas, ia menyodorkan cangkir itu pada Daejoon. "Jangan mau hanya menerima keadaan hanya karena rasa takut, kau juga harus bertindak."
"Kau juga berpikir seperti itu?" tanya Daejoon begitu antusias, terlihat dari sorot mata yang terpancar. Rasa percaya dirinya bertambah ketika Hyejin mengangguk. Tampak tergesa-gesa, Daejoon segera membawa dokumennya dan pergi dari pantry.
"Kau—"
Salah satu tangan Hyejin terulur, tapi tidak sanggup menghentikan langkah Daejoon yang semakin menjauh. Perempuan itu memperhatikan dua cangkir kopi—yang ada di genggaman dan di atas meja—secara bergantian.
"Setidaknya ia harus minum kopi ini dulu sebelum pergi atau ucapkan terima kasih atas nasihat yang kuberikan."
***
Ada cukup banyak meja kosong di Gukbap Jib siang itu. Nayoung sibuk membersihkan salah satu meja yang baru ditinggalkan pengunjung. Gerakan tangannya memelan begitu dihampiri pikiran mengganggu. Ia meletakkan pembersih dan segera menarik kursi, mendudukinya dengan lengan pada sandaran.
"Apa aku terlalu berlebihan menanggapinya?" Nayoung memangku wajah dengan tangan. "Tidak ada sikapku yang aneh padanya. Selama ini hubunganku dengannya juga baik-baik saja. Ini bukan pertama kali. Untuk apa aku gelisah sekarang hanya karena belum bertemu dengannya lagi?"
Perempuan berambut cokelat itu kemudian beranjak, kembali fokus pada pekerjaan walau restoran belum cukup ramai. Pintu masuk berderit, seseorang menampakkan diri dari balik pintu kayu tersebut. Nayoung segera membalikkan tubuh dan mendapati lambaian tangan dari seseorang yang baru datang.
"Penulis Go!"
Begitu melihat wajah yang tidak asing, Nayoung mengembangkan senyum. Perempuan itu menetap di tempatnya, sementara seseorang yang memanggil namanya segera menghampiri. Raut wajah Minyoung berbeda dari yang pertama kali Nayoung lihat kala bertemu.
"Aku sudah menyelesaikan ujianku dan berjalan sangat lancar. Sudah kubilang kalau waktu itu adalah hari keberuntunganku karena bisa bertemu denganmu," ujar Minyoung begitu sudah sampai di hadapan Nayoung.
"Benarkah? Aku ikut senang mendengarnya." Tidak hanya membiarkan Minyoung datang dan berdiri saja, Nayoung mempersilakan perempuan itu duduk. "Tapi aku tidak nyaman kalau kau selalu memanggilku seperti itu. Bagaimana seseorang bisa menyebutku begitu ketika aku bahkan tidak menulis lagi?"
Kening Minyoung mengernyit, pun bibirnya mengerucut. Ia mendesis kemudian menanggapi, "Bukan tidak, hanya belum. Kalau begitu, aku harus memanggilmu apa? Kakak saja?"
Nayoung mengangguk. "Itu lebih baik."
"Kak Nayoung. Aku menyukainya." Senyum terlukis di wajah Minyoung, kedua bahunya ikut terangkat lantaran merasa senang. Ia tiba-tiba ingat dengan benda yang ada di genggaman kemudian membawanya ke atas meja. "Oh, iya. Sebelum aku masuk, ada pengantar yang menitipkan ini untukmu. Siapa orang aneh yang mengirimkan makanan ke restoran makanan?"
Tangan Nayoung terulur untuk meraih kantung berukuran kecil. Satu kotak makarun berwarna merah muda segera ditangkap indra penglihatnya. Tidak ada nama pengirim, hanya sebuah kertas kecil yang terletak di atas kotak tersebut. Nayoung mengalihkan pandang ke arah luar jendela, tapi pengantar yang disebutkan oleh Minyoung sudah tidak ada di sana.
"Kak, sebenarnya aku sudah lama ingin tahu sejak beritamu dengan aktor itu tersebar. Kau berpacaran dengannya sejak kalian bekerja sama?" tanya Minyoung serta-merta mengusik Nayoung.
"Apa? Maksudmu Jihyun?" Setelah Minyoung mengangguk, Nayoung terlihat sedikit berpikir.
"Aku hanya penasaran karena sebelumnya kupikir hubungan aktor dan penulis di dunia ini tidak akan pernah terjadi. Apa dia juga orang baik seperti citra yang selalu ditunjukkannya?"
"Bagaimana aku mengatakannya, ya?"
Minyoung masih memusatkan tatapan pada wajah Nayoung, sementara perempuan yang diberi pertanyaan itu terlihat gusar. Pertemuannya dengan Minyoung belum terlampau lama, tapi perempuan itu sudah ingin mengusik kehidupan pribadi Nayoung. Jika dikatakan tidak nyaman, perasaan itu jelas langsung terbesit.
"Oh, maaf, Kak. Rasa ingin tahuku pasti membuatmu tidak nyaman, ya? Benar. Seharusnya aku tidak perlu mengungkit masa lalu." Perempuan itu mengerjap kemudian memundurkan tubuh seraya menutup mulut.
"Tidak apa-apa," balas Nayoung sembari beranjak. "Kau sudah datang ke sini, mau pesan apa?"
"Aku hanya ingin bertemu denganmu selagi belum ada jadwal kelas, tapi aku tidak akan membatasimu supaya terus di sini menemaniku. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu, Kak."
"Kalau begitu, aku akan mengecek pesanan dulu." Nayoung meraih kantung miliknya. "Terima kasih kau sudah menerima ini."
Dengan senyum yang tergambar di wajah Minyoung, Nayoung lekas pamit dari hadapan perempuan itu. Gerakan kaki Nayoung cepat hingga sampai di depan meja pesanan. Ia melihat sang bibi dan paman yang tengah mempersiapkan makanan melalui celah kecil. Tersadar dengan benda yang belum sempat benar-benar diamati, Nayoung membuka kantung cokelat dan mengambil kertas catatan yang tertempel di atas kotak. Matanya kontan membelalak. Hanya dengan membaca, ia sudah mengetahui jelas siapa pengirimnya.
Sebelumnya kau hanya tidak tahu, bukan berarti benar-benar tidak bisa. Nikmati kuenya, ya.
***
Beberapa plastik telah tersusun rapi di atas meja dapur. Begitu namanya dipanggil, Nayoung segera menuju ke tempat bibi dan pamannya berada. Hari ini mereka sedang dibanjiri pesanan, termasuk pesan antar dalam jumlah lebih dari biasanya.
"Sebelas ... dua belas. Totalnya ada dua belas, ya, Bibi. Aku harus mengantarnya ke mana?"
"Kompleks Dangju. Bibi sudah menuliskannya di sana."
Nayoung segera mengenakan jaket yang tersimpan di lemari barang. Yoomin menghentikan kegiatannya sejenak kemudian mendekat. "Kau yakin bisa melakukannya?"
Salah satu alis Nayoung mengangkat, tapi perempuan itu lekas tersenyum setelahnya. "Kenapa tidak bisa? Aku sudah biasa melakukan ini, Bibi tidak perlu khawatir lagi."
"Segera hubungi bibi kalau kau merasa kesulitan," tegas Yoomin seraya menunjukkan raut wajah cemas.
Meraih pesanan, Nayoung memperhatikan Yoomin seraya merekahkan senyum lebar. "Aku baik-baik saja, Bibi."
Usai meyakinkan Yoomin, Nayoung segera menuju lokasi antar yang sudah dituliskan. Motornya melaju cepat sebab tidak ingin dirinya terlambat sedikit pun. Ia juga harus menjaga citra restoran yang telah bibinya bangun. Lingkungan tempatnya berada tidak terlihat asing, juga ketika kendaraan roda duanya terhenti. Netra Nayoung memperhatikan gedung dari lantai teratas hingga terbawah, ia mematung.
"Bagaimana aku bisa tidak sadar kalau alamat ini mengarah ke Chaegoo?" Satu helaan napas Nayoung embuskan berat. Ia segera mengenakan penutup kepala jaket setelah melirik ke sekeliling dan tidak ada orang berlalu-lalang.
"Sekarang bagaimana? Aku datang bukan untuk kembali, hanya sebatas mengantar makanan. Tidak mungkin bertemu dengan mereka." Perempuan itu memaksa otaknya bekerja cepat dalam mencari solusi di situasi genting. Nayoung bergegas meraih ponsel dari dalam saku jaket kemudian mencari kontak seseorang. "Daejoon. Aku minta tolong padanya saja."
Nama dan nomor Daejoon sudah tertera di layar, tapi jemari Nayoung terhenti kala sedikit lagi menyentuh tombol hijau. "Apa yang kulakukan? Menghubunginya untuk pertama kali setelah hari itu dan langsung meminta bantuan. Tidak, tidak. Aku tidak bisa melakukannya. Kak Hyejin? Benar, aku bisa menghubunginya."
Layar ponsel berubah begitu nomor Hyejin ditekan. Sampai nada tunggu kelima, sambungan yang Nayoung buat tidak juga diangkat oleh pemilik kontak. Perempuan itu pasti sedang sibuk, tidak bisa diganggu. Nayoung melihat gedung bertingkat di hadapannya sekali lagi. Jemarinya diketukkan di atas layar ponsel, sedang keningnya mengerut. Menarik napas dalam-dalam, ia segera meyakinkan diri dan melangkah. Namun, belum sampai berjalan jauh, sebuah tangan mencengkeram lengannya kuat.
"Kau sudah datang?"
Suara Daejoon jelas melewati rungu Nayoung, seketika membuat perasaan perempuan itu tenang. "Bagaimana kau tahu aku ada di sini?"
Lelaki yang ditanya Nayoung segera mengambil alih beberapa pesanan setelah menyerahkan uang. Ia sedikit menoleh ke arah pintu masuk. "Sebentar lagi jam istirahat, semakin banyak orang yang akan keluar. Kau sebaiknya segera kembali sebelum ada yang melihatmu."
"Oh?" Nayoung menjauhkan tatapan dari lelaki itu.
"Pergilah saja. Tidak apa-apa, aku akan mengurusnya. Sudah kubilang kau boleh mengusikku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top