12 - Apa yang Terlihat dan Tidak
"Terima kasih sudah mengantarku." Nayoung memegang bagian lengan mantel yang dibiarkan menggantung karena hanya disampirkan. Ia sedikit merendahkan tubuh supaya bicaranya dengan sang pengendara lebih leluasa. "Aku akan mengembalikan mantelmu besok."
Lelaki yang masih ada di belakang kemudi itu mengangguk dan menyuguhkan senyum. "Aku pamit sekarang."
"Eung."
Kedua tangan Nayoung bersilangan di depan dada, mencengkeram lengannya erat guna menghalau angin malam. Ia masih berdiri di depan apartemen dan hendak berbalik kala Daejoon sudah melajukan mobilnya. Namun, tidak sampai terlaksana, kendaraan dengan nomor polisi sama kembali berhenti di depannya.
Sang pemilik mobil segera menurunkan jendela, pun Nayoung berjalan mendekat.
"Kenapa?" tanya perempuan itu begitu Daejoon telah melihat ke arahnya.
Laki-laki yang ditanya lebih dulu diam sebelum menanggapi, "Tunggu di sini."
Tanpa perlu menjelaskan, Daejoon kembali membawa mobilnya pergi dari hadapan Nayoung. Kening Nayoung bekernyit, apa yang ingin lelaki itu lakukan sama sekali tidak bisa Nayoung perkirakan. Kaki perempuan bermantel abu-abu itu melangkah mundur, lebih mendekatkan tubuh dengan pintu masuk.
"Ayo."
Lelaki yang membuat Nayoung menunggu sejak tadi mendadak sampai di sisinya. Begitu mendengar suara Daejoon, ia lekas menoleh. "Ke mana?"
"Kondisimu belum benar-benar pulih, Eunhee harus bertemu teman kerjanya malam ini. Aku akan menemanimu. Setidaknya itu yang membuatku benar-benar tenang."
Daejoon meraih lengan perempuan yang ada bersamanya, tapi gerakan itu sengaja ditahan oleh Nayoung. "Aku sudah baik-baik saja."
"Aku tidak baik-baik saja," tanggap Daejoon seraya menggeleng. "Atau sebaiknya aku beri tahu Bibi? Ah, tadi Bibi menghubungiku dan menanyakanmu. Aku lupa mengabari, Bibi pasti sedang menunggu."
Meraih ponsel dari saku celana, lelaki itu segera mencari kontak Heekyo dari daftar sambungan terakhir.
"Jangan!" Tangan Nayoung segera diletakkan di atas layar ponsel, menutupi seluruh area benda tipis tersebut. "Hanya akan membuat Ibu khawatir dan sedih melihatku. Aku tidak mau. Kau bilang saja pada Ibu bahwa tidak ada yang terjadi padaku."
"Baiklah."
Usai mendapat jawaban singkat dari Daejoon, Nayoung mengalihkan pandang ke arah berlawanan. Ia membawa jemarinya mendekat ke bibir—mengambil waktu untuk berpikir—sesekali juga melihat ke arah Daejoon.
"Aku tidak akan memintamu pergi. Kau boleh di sini."
***
Perempuan yang baru tiba di rumahnya segera menekan saklar. Bangunan itu gelap seperti biasa, selalu sunyi layaknya tidak ada penghuni. Begitu ia melangkahkan kaki, derapnya serta-merta mengusik perhatian seorang wanita paruh baya yang keluar dari kamar. Hyejin terpaksa berhenti kala Misun—ibunya—kembali sibuk memperhatikan ke arah pintu.
"Kau tidak datang bersama ayahmu? Ini sudah malam." Raut wajah Misun berubah menjadi kecewa.
Hyejin menghela napas kemudian beralih ke belakang Misun dan mendaratkan tangan pada kedua bahu ibunya. Perempuan itu lekas menuntun Misun masuk ke dalam ruang tidur lagi tanpa lebih dulu menjawab.
"Ibu tidur saja dulu. Aku akan memberi tahu kalau Ayah sudah pulang."
Hanya itu kalimat yang disampaikan oleh Hyejin sebelum menutup pintu dan membiarkan Misun terlelap. Senyum di wajah sang ibu mengembang sempurna, menghangatkan hati Hyejin sekaligus menyayat.
"Selamat tidur, Bu," ujarnya sekali lagi menjadi penutup.
Beralih menuju ruangan tepat di sebelah milik sang ibu, Hyejin melepaskan tali tas yang menyilang di dadanya dan melemparkan benda itu secara asal ke atas ranjang. Ia menarik kursi tanpa sandaran dan memperhatikan cerminan wajahnya di depan cermin.
Entah seberapa jauh kebohongan yang dikatakan akan bertahan, mengobati perasaan sesaat di samping terus menimbun luka. Hyejin juga terpaksa berbual pada Misun, seperti yang selalu bibinya lakukan, setidaknya itu mampu membuat perasaan Misun lebih baik.
Setelah sebelas tahun lalu ditinggalkan oleh sang ayah, hari-hari Hyejin dan ibunya tidak berjalan semestinya. Gunjoo—ayah Hyejin—berselingkuh ketika Misun sedang menjalani perawatan akibat penyakit yang diderita. Kala itu Hyejin sudah cukup dewasa untuk mengerti seberapa buruk perbuatan ayahnya. Berdalih lelah mengurus Misun yang tidak kunjung sembuh, pria itu pergi meski Hyejin susah payah menahan.
"Hidupku penuh kepura-puraan, setidaknya itu mampu buatku bertahan."
Sebuah pigura yang terpajang di sebelah cermin mencuri perhatian Hyejin. Benda yang menampilkan tiga sosok bahagia segera diraihnya. Kedua sudut bibir perempuan itu mengembang.
"Kalian juga ... membuatku tidak merasa sendiri," ujarnya begitu melihat dua laki-laki yang dikenalnya sejak kuliah, Daejoon dan Bonghyun. Pandangannya cukup lama terhenti pada wajah Daejoon. "Terutama kau."
Sekilas Hyejin teringat awal mula kedekatannya bersama Daejoon dan Bonghyun. Mereka tidak hanya sering bertemu karena mengikuti klub jurnalis, Hyejin pertama kali merasa keberadaannya dihargai kala Daejoon membelanya di depan seluruh anggota klub. Menghilangkan bahan artikel yang susah payah dikumpulkan memang fatal, Hyejin merasa dipermalukan. Namun, Daejoon dengan berani bersuara guna menyudahi perdebatan. Sejak saat itu, hubungan Hyejin dan Daejoon berlangsung baik hingga Bonghyun—yang diam-diam kagum akan perilaku Daejoon—kut mendekatkan diri.
"Mari tidur saja, Hyejin." Bicaranya pada diri sendiri seraya meletakkan kembali pigura ke tempat semula. Ia berjalan menuju ranjang dan mengempaskan tubuhnya, meluruskan kedua lengan ke samping dan memenuhi tempat tidur. "Hari esok masih ada."
***
Nayoung memiringkan tubuh ke arah berlawanan dengan pintu. Matanya terpejam, pun selimut yang membalut tubuh semakin ditarik ke atas hingga menutup wajah. Namun, perempuan itu tidak benar-benar tidur dengan tenang. Beberapa detik kemudian, ia membawa tubuhnya terlentang dan membuka selimut hingga kedua lengan menjadi penjaga di atas kain bermotif bunga tersebut. Nayoung kembali terjaga setelah mencoba tidur tidak lebih dari setengah jam.
"Pintu kamarku tertutup, tapi kenapa aku merasa seperti diawasi?" tanya perempuan itu kemudian terbangun dari ranjang.
Kaki Nayoung melangkah pelan supaya tidak menimbulkan suara sedikit pun. Ia membuka pintu sedikit kemudian menempelkan kepala pada benda tersebut dan melongok. Tidak ada bayangan orang berjalan, tidak ada pula suara gaduh. Nayoung akhirnya memutuskan untuk mengecek keberadaan Daejoon.
"Dia tidur lebih cepat daripada yang kubayangkan," ujar Nayoung begitu menemukan sosok yang dicari telah terlelap di atas sofa ruang tengah.
Merasa dirinya kesulitan tidur, Nayoung pikir akan bagus jika mencari udara segar di luar. Lantas, perempuan yang masih mengenakan setelan tidur itu segera meraih jaket yang tergantung dan berjalan jinjit melewati Daejoon.
Tepat ketika pintu membuka, lelaki yang masih ada di sofa menghentikan gerakan tangan Nayoung. "Kau mau ke mana?"
Kedua alis Nayoung terangkat, pun langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia tersenyum canggung. "Kau mudah terusik, ya?"
Daejoon tidak menanggapi, tapi gerakannya jelas atas rasa ingin tahu. Lelaki itu beralih dari sofa dan menuju tempat Nayoung berdiri sekarang. Sesaat saja, lelaki bertubuh tinggi sudah berada tepat di belakang Nayoung.
"Aku memang belum tidur."
Jawaban yang terlontar dari mulut Daejoon serta-merta membuat Nayoung mengangguk. "Begitukah?"
Netra Daejoon memperhatikan penampilan perempuan di hadapan dari atas hingga bawah. Setelahnya, ia mengalihkan tatapan pada jam dinding. "Kau mau ke luar?"
"Aku sulit tidur. Berjalan-jalan sebentar saja mungkin akan buatku mengantuk."
"Boleh aku ikut?"
Nayoung menanggapi baik pertanyaan Daejoon. Bibir tipisnya memulas senyum kemudian mengangguk.
Keduanya berjalan beriringan. Nayoung menggoyang-goyangkan lengan seraya melangkah, sementara Daejoon melipat tangan di depan dada. Raut perempuan itu kelihatan menikmati jalan malamnya sebab terus mempertahankan senyum, diselingin dengan menarik napas panjang—menikmati udara.
"Sudah lama aku tidak keluar seperti ini," ucap Nayoung memulai perbincangan di antara mereka.
Terlihat begitu antusias, kaki perempuan berjaket putih itu bergerak cepat. Daejoon yang masih tertinggal di belakang masih mempertahankan kecepatan melangkahnya. Dilihatnya Nayoung berhenti tepat di depan sebuah truk makanan. Perempuan itu sibuk meraba beberapa kantung yang terdapat di jaket dan celananya, tapi benda yang dicari tidak kunjung ditemukan. Lantas, Nayoung hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri.
"Kau mau itu?" Suara Daejoon yang telah tiba di dekatnya mengalihkan perhatian Nayoung. "Berjalan dari tadi, aku jadi lapar. Bagaimana kalau kita mampir ke sana? Aku traktir."
"Benar?" Mimik wajah Nayoung seketika berubah, menampilkan binar dari sorot matanya. Ia pun mengikuti Daejoon yang sudah lebih dulu pergi.
Asap mengepul dari wadah yang menyediakan berbagai jenis makanan. Sang penjual menyapa sekilas kemudian kembali sibuk memasak. Nayoung mengambil satu tusuk kue ikan dan melahapnya, sedang Daejoon beralih pada sosis berlumur bumbu pedas. Keduanya menikmati makanan lain tanpa banyak berbicara.
Sepuluh menit kemudian Nayoung dan Daejoon selesai mengisi penuh perut mereka. Keduanya memutuskan untuk duduk di kursi panjang tepi jalan. Nayoung menyandarkan tubuh sehingga kini wajahnya bertemu sang angkasa, memperhatikan gelap yang tidak banyak ditemani kerlip bintang.
"Makanan memang yang terbaik menemani jalan malam," ujar Nayoung puas seraya mengusap perut yang terasa kenyang. "Aku akan tidur nyenyak."
"Kau benar." Mengikuti gerakan Nayoung, Daejoon melipat kedua lengan di belakang kepala kemudian menengadah. "Aku boleh bertanya satu hal padamu? Karena kelihatannya kau sudah lebih baik sekarang."
Perempuan yang ditanya itu mengangguk dan mendeham, mempersilakan Daejoon bicara lebih banyak.
"Kenapa kau melakukannya? Apa rasanya terlalu berat untuk dihadapi sendiri sampai kau mengonsumsi obat-obat itu lagi? Seperti saat di upacara pemakaman Jihyun?"
Usai menyampaikan pertanyaan tersebut, tatapan Daejoon beralih ke arah sebelahnya. Tubuhnya tidak lagi bersandar, lebih fokus pada perempuan yang bersamanya ketimbang langit malam.
"Obat?" Dahi Nayoung berkerut kemudian matanya membulat ketika tahu apa yang sedang dimaksud oleh lawan bicara. "Kau tahu?"
Hanya dengan anggukan kepala Daejoon, Nayoung membuka suara lagi. "Benar. Rasanya berat. Terus teringat walau aku susah payah melupakan, saling terkait satu sama lain meski aku juga menghindar. Katanya dengan menyibukkan diri, orang bisa mudah lupa. Itu sebabnya aku selalu mencari kegiatan. Bahkan cara bodoh sekalipun dengan mengikuti kencan buta karena berharap perasaanku bisa mudah beralih. Memalukan membicarakannya denganmu."
Ada tawa di akhir kalimat yang diiringi getir. Telah meluapkan perasaan melalui penjelasan panjang, Nayoung tidak ingin lagi melihat wajah Daejoon.
"Pasti sulit kalau melakukannya sendiri." Lelaki bernama depan Kang itu mengambil kesimpulan singkat. "Bagaimana kalau kau melakukannya denganku saja?"
"Apa?" Secepat tuturan Daejoon masuk ke rungunya, secepat itu pula Nayoung menoleh kembali.
"Alih-alih mengalihkan perasaanmu dengan orang lain, lakukanlah denganku. Kalau kau mau menyibukkan diri, usik saja waktuku."
Netra Nayoung mengerjap berulang kali sampai akhirnya terfokus pada dua iris hitam yang masih mengunci atensi ke arahnya.
✨
Maju terus pantang mundur, ya, Daejoon ini. Ada lampu hijau dikit, langsung cari kesempatan. 😂
Hai, masih setia ikutin kisah mereka, 'kan? ><
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top