11 - Satu Hal Mengkhawatirkan

Daejoon terduduk di belakang meja kayu sembari tidak melepaskan genggaman dari gelas kertas. Sorot matanya kosong, sudah hampir enam jam membungkam mulut dan memilih untuk tetap tinggal di rumah duka.

"Kita masuk, ya?"

Suara yang tidak terdengar asing membuat Daejoon menoleh ke arah pintu masuk. Perempuan yang bersamanya di rumah sakit tujuh jam lalu tiba juga. Daejoon pikir Nayoung tidak akan datang karena lebih baik menghindari kepedihan daripada menghadapinya.

Eunhee meraih pundak Nayoung usai perempuan itu menanggapi pertanyaannya dengan anggukan, berusaha menuntun jalan sahabatnya. Daejoon memperhatikan bagaimana raut Nayoung terlihat sendu, pun bulir air mata yang mengalir membasahi pipinya memperjelas perasaan perempuan itu.

Sempat bergeming selama beberapa detik, akhirnya objek penglihatan Daejoon melangkah maju. Nayoung mendekat dengan altar, meraih satu tangkai krisan putih dan meletakkannya tepat di depan potret Jihyun. Cukup lama bertahan di posisinya, Nayoung pun bergerak mundur dan membungkuk.

Nayoung dan Eunhee keluar dari ruangan, tapi tidak menyadari keberadaan Daejoon. Netra Nayoung justru terfokus pada arah pintu masuk hingga Daejoon kontan mengikuti ke mana penglihatan perempuan itu tertuju. Rumah duka tengah dipenuhi oleh banyak orang yang mencintai Jihyun—Manajer Han, para aktor, dan staf drama—sekumpulan reporter yang berlomba-lomba mengumpulkan informasi atau bahkan melakukan siaran langsung.

"Pihak kepolisian telah menyatakan bahwa penyebab kecelakaan aktor Seo Jihyun adalah seseorang yang mengendarai kendaraannya dalam kondisi mabuk. Sampai saat ini, pelaku telah diamankan."

Setelahnya, Nayoung dan Eunhee beralih guna menikmati hidangan yang telah disediakan. Daejoon masih memperhatikan dari jauh hingga beberapa menit kemudian Eunhee tiba-tiba beranjak dan meninggalkan sahabatnya seorang diri.

Jam terus bergerak, hampir tengah malam. Sorot lampu di beberapa ruangan gedung telah menggelap. Tidak ada lagi orang yang datang guna menghadiri pemakaman Jihyun, hanya tersisa wanita berhanbok hitam dan pria berjas yang sejak tadi terpaku di dekat altar sang anak juga beberapa sanak saudara yang memilih untuk bermalam.

Seorang perempuan dengan gaun hitam yang masih ada di rumah duka memilih untuk berteman dengan sepi seorang diri di ruangan berbeda, tidak lagi menampakkan diri di hadapan keluarga Jihyun. Dengan tubuh diselimuti mantel berwarna senada, Nayoung memeluk tungkainya rapat. Mata memerah serta wajah lesu sengaja ditundukkan, tidak ingin satu orang pun tahu tentang kondisinya saat itu.

"Karenaku ... karenaku ...."

Kata yang sama terdengar berulang kali, menggema bersama dengan tangis yang belum juga mereda. Perempuan itu sesekali memukul dadanya pelan kala sesak tiba-tiba menghampiri, pun meraih satu botol obat dari saku supaya mampu menenangkan. Namun, belum sempat mengambil butiran tersebut, seseorang lebih dulu tiba di hadapan dan kontan membuat Nayoung cepat menyembunyikan benda yang ada di genggaman.

"Kau ... di sini?" tanya perempuan itu lirih ketika mengetahui bahwa seseorang yang datang adalah Daejoon.

Tidak lekas menjawab, lelaki setinggi 185 cm itu meraih tangan Nayoung kemudian meletakkan saputangan di atas telapak tangan perempuan itu. Daejoon juga melepaskan jas hitam yang ia kenakan guna menutupi kaki Nayoung, sekadar membuatnya hangat sebab malam sudah terlalu dingin. Setelah itu, barulah ia duduk di samping Nayoung.

Daejoon sengaja meluruskan salah satu tungkai, sedang satunya ia lipat ke atas sebagai tumpuan lengan. Ia lebih dulu menghadap langit-langit ruangan. "Sebelumnya aku sudah ingin pulang, tapi ada suara aneh di tengah keheningan. Aku jadi merinding sendiri."

Lelaki itu hanya berusaha membuat suasana di antara keduanya tidak diselimuti ketegangan, tapi tidak berhasil.

"Ini terjadi karenaku, bukan? Kalau aku tidak mengajaknya pergi ke Myeongdong, tidak akan ada yang tahu tentang hubungan kami, tidak akan ada berita yang menyebar sampai membuat dirinya celaka. Ini juga karenaku karena terus mempertahankan hubungan dengan Jihyun, 'kan?"

Serangkaian pertanyaan tersebut membuat Daejoon menolehkan pandang ke lawan bicara. Lelaki itu sempat melihat sudut bibir Nayoung terangkat sebelum akhirnya disembunyikan ke arah berlawanan.

Melepas ingatan bertahun-tahun lalu sebagai buah dari asumsi atas perilaku Nayoung sekarang, Daejoon memusatkan pandangannya pada perempuan yang masih terpejam di atas ranjang.

Kau seperti ini lagi. Apa rasa bersalahmu tiba-tiba menghantui sampai bersikap seperti ini? Lelaki itu terus bertanya dalam hati.

"Kondisi Nayoung tidak perlu dikhawatirkan lagi karena saya sudah memberikan obat penawar. Biarkan dia beristirahat dulu."

Suara berat dari seorang pria dengan snelli berwarna putih itu terdengar tenang. Berkat kalimat yang baru saja diutarakannya, perasaan Daejoon dan Eunhee—yang mengantar Nayoung—menjadi sedikit lebih lega. Keduanya tengah berdiri berseberangan di sisi kanan dan kiri ranjang tempat Nayoung berbaring.

Daejoon melirik ke arah Nayoung yang masih mengejam dengan penuh rasa bersalah. Jika hal buruk terjadi pada Nayoung, lelaki itu jelas tidak akan memaafkan dirinya sendiri karena sudah bersikap bodoh sebab tidak cekatan menyelamatkan.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Dokter?" tanya Eunhee, serta-merta membuat atensi Daejoon ikut teralih.

"Kemungkinan adalah dampak dari pengonsumsian obat penenang di luar dosis yang dianjurkan. Seseorang yang sudah ketergantungan pada jenis obat ini cenderung meningkatkan dosis supaya bisa merasakan efek serupa. Jika pasien baru mengonsumsi obat setelah tidak melakukannya dalam jangka waktu lama juga bisa memicu kondisi ini. Beruntung pasien sempat memuntahkan isi perutnya."

Eunhee mendecak tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan oleh sahabatnya, sementara Daejoon menanggapi dengan mengembuskan napas dalam-dalam. Mendapati tidak ada hal yang ingin dan perlu dibahas, sang petugas medis pun undur diri guna memberi ruang bagi pasiennya beristirahat.

"Aku harus keluar sebentar, kau temani Nayoung di sini saja, ya," ujar Eunhee seraya mengangkat kedua alis kemudian beralih pergi usai mendapat persetujuan dari Daejoon.

Lelaki yang tengah ditinggalkan berdua bersama Nayoung itu menarik salah satu kursi dan mendekatkannya pada ranjang. Selama beberapa detik, Daejoon hanya memanfaatkan waktu yang dimilikinya sekarang untuk memandangi tiap lekuk dari wajah Nayoung.

"Sampai kapan kau harus membuatku khawatir? Kalau begini, aku tidak bisa membiarkanmu terus mengingat Jihyun."

***

"Kau yang seenaknya membatalkan jadwal, sekarang memintaku untuk datang dan membahas wawancara ini denganmu?" tanya Eunhee seraya masih menggenggam ponsel.

Perempuan itu berkacak pinggang dengan salah satu tangan. Beberapa kali decakan pun lolos dari mulutnya dalam jangka waktu dekat, menandakan bahwa seseorang di ujung sambungan itu berhasil membuatnya sedikit geram.

"Sudahlah, aku mengerti. Kita bertemu di tempat biasa."

Usai mengakhiri panggilan sepihak, Eunhee mengecek jam yang tertera pada layar. Sudah lima menit setelah dirinya meninggalkan Nayoung, Eunhee menggeser notifikasi ponsel sekali lagi, tidak ada pesan masuk maupun telepon.

Alih-alih mencari jawaban atas rasa penasaran, Eunhee justru bersandar pada dinding dan mengambil waktu lebih lama untuk menetap di lobi. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, bersama dengan ponsel yang masih ada di genggaman.

"Tapi ... ada apa dengan Daejoon, ya?"

Pertanyaan itu masih memenuhi pikiran Eunhee sejak pertama tiba di kediaman Nayoung. Ia bisa memaklumi jika Daejoon amat terkejut kala melihat perempuan itu tak berdaya, mungkin juga sempat terbesit rasa takut dalam diri lelaki itu. Namun, tetap saja asumsi yang diciptakan Eunhee semakin membuat keingintahuannya bertambah.

Eunhee bukan seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan Daejoon. Waktu bertemunya dengan lelaki itu pun dapat dihitung dengan jari, hanya ketika Nayoung kebetulan sedang bersamanya atau ia mendapat tugas bersama Jaehyuk—teman satu pekerjaan—untuk meliput kegiatan penerbitan. Hanya dengan sekali mengamati, Nayoung terlihat bebas mengekspresikan perasaan kala bersama dengan Daejoon, pun lawan bicaranya juga menanggapi dengan baik. Hingga akhirnya Eunhee diam-diam berharap bahwa Nayoung bisa bahagia bersama lelaki itu, terlepas dari apa yang dirasakan sekarang.

"Ah, kenapa aku harus penasaran dengan semua ini?"

Perempuan berjaket cokelat muda itu menggelengkan kepala berulang kali. Merasa terbebani dengan apa yang ia pikirkan seorang diri, Eunhee pun beranjak. Tepat ketika langkah pertama hendak Eunhee ambil, ponselnya bergetar dan menampilkan notifikasi dari Daejoon.

"Nayoung sudah bangun dan mencariku?" tanyanya dengan suara sedikit lebih kencang. Raut wajahnya berubah seketika, kedua mata berbinar, serta senyum mengembang.

Eunhee segera mempercepat langkah kaki, tapi seseorang tiba-tiba keluar dari salah satu kamar—yang ia lewati—dan membuatnya refleks berhenti. Baik Eunhee maupun perempuan berambut sebahu yang mengenakan blus putih itu terperanjat.

"Maaf karena aku terlalu terburu-buru," ujar Eunhee sembari membungkuk berulang kali.

"Reporter Baek?"

Begitu seseorang di hadapan memanggil namanya, Eunhee mendongak perlahan. Ia mengerjapkan mata untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah. Menanggapi senyum yang terulas dari sang lawan bicara, pemilik nama depan Baek itu membalas.

"Ketua Kim Hyejin?" Kedua netra Eunhee membulat meski setelahnya ia tersadar dan menoleh ke arah kiri guna melihat sebuah ruangan yang baru dikunjungi oleh seseorang yang tidak sengaja ditemui.

"Bibiku sedang dirawat di sini," ucap Hyejin seolah mengetahui tanda tanya dalam kepala Eunhee kemudian bersedekap. "Bagaimana kabarmu? Rasanya sudah lama."

"Benar juga," tanggap Eunhee seraya mengusap tengkuk. "Aku sudah menanti kerja sama dengan Ketua Kim lagi. Jaehyuk dan aku sering ditugaskan terpisah. Jadi, tidak sempat berkunjung ke kantormu."

Perempuan yang dipanggil ketua itu tertawa kecil. Ia membawa helaian rambut yang sedikit menutupi wajah ke belakang telinga. Sembari mempertahankan posisi tangan, Hyejin memajukan tubuh supaya lebih dekat dengan lawan bicaranya.

"Bulan depan Chaegoo akan mengeluarkan buku terbitan baru. Bagaimana kalau kau yang mengambil alih wawancaranya?"

Setelah menyampaikan kalimat tersebut, Hyejin kembali menegakkan tubuh dan mengulum senyum. Salah satu alis ia angkat sembari menanti jawaban dari Eunhee. "Aku memintanya secara pribadi."

Mendengar tuturan terakhir yang memperjelas permintaan Hyejin sebelumnya, Eunhee ikut tergelak. Kepala perempuan itu mengangguk mengerti. "Bagaimana aku bisa menolak jika kau mengatakannya langsung kepadaku? Aku akan bicarakan dengan Ketua Choi."

Masih tersenyum, Hyejin bertanya, "Kau sakit?"

"Temanku. Oh, pasti kau mengenalnya juga karena ia pernah bekerja sama dengan Chaegoo." Eunhee menjentikkan jari sebelum lanjut berbicara. "Nayoung."

Mimik wajah Hyejin berubah, kedua alisnya saling menaut. "Nay—Go Nayoung? Apa yang terjadi?"

"Baek Eunhee!"

Pekikan keras dari arah dalam membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Lelaki setinggi 185 cm dengan mantel abu-abu sudah berdiri di dekat meja administrasi. Kedua netranya sedikit terbelalak begitu manik cokelat Hyejin tepat mengarah padanya. Namun, walau sempat terkejut, laki-laki itu tetap melangkahkan kaki guna menghampiri mereka yang sedang berbagi cerita satu sama lain sebab baru sempat bertemu.

"Daejoon? Kenapa kau di sini dan bukannya menjaga—"

"Kapan kau tiba, Kak Hyejin?" sergah Daejoon, serta-merta membuat bahu Eunhee naik serta tubuhnya memundur. Ia segera menoleh ke arah Hyejin. "Benar. Kau bilang besok bibimu akan operasi, 'kan? Tidak kusangka kita bertemu di sini."

Lelaki satu-satunya di antara mereka itu tertawa hambar. Daejoon mengarahkan tatapan pada kedua perempuan yang sedang berdiri di hadapan kemudian menyudahi tawanya begitu tersadar keduanya justru melayangkan pandang penuh heran.

"Kenapa kau tidak segera datang ketika aku mengirimkanmu pesan?" tanya Daejoon, tapi tidak bersuara jelas. Mulutnya sengaja mengatup dan ia hanya berbicara pelan seraya mendekatkan kepala pada telinga Eunhee.

"Aku memang sedang dalam perjalanan ke sana." Eunhee menyangkal dugaan Daejoon terhadap dirinya.

Cepat-cepat meraih salah satu lengan Eunhee, lelaki berambut cokelat itu segera berpamitan pada Hyejin. "Semoga operasinya berjalan lancar. Sampaikan salamku padanya, ya. Kami pergi dulu."

"Tapi aku belum—"

Belum selesai Hyejin berbicara, mereka sudah menjauh lebih dulu. Kening perempuan itu semakin mengernyit melihat gerak-gerik aneh yang ditunjukkan oleh Daejoon. Keberadaan Daejoon di rumah sakit saja sudah menimbulkan tanda tanya, ditambah lagi dengan hubungannya bersama Eunhee yang tidak pernah Hyejin ketahui sebelumnya.

"Sejak kapan Daejoon dan Reporter Baek menjadi sangat dekat?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top