10 - Semua Tentang Kau Menyakitkan
Ost. for this chapter:
Ben - Love Me Once Again
✨
Keadaan di luar apartemen begitu gaduh lantaran hujan deras tengah mengguyur kota Seoul. Nayoung sudah ditinggalkan sendiri kembali usai Hyesoo mendatangi kediamannya. Terakhir kali ia bertemu dengan ibunya Jihyun ketika di pemakaman, setelah itu mereka putus kontak. Kemunculannya kembali sempat membuat tanda tanya bagi Nayoung. Wanita itu sempat bersyukur lantaran Nayoung tidak mengubah alamat tinggalnya.
Waktu bertemunya dengan Hyesoo usai sekian lama sekaligus menjadi pertemuan terakhir. Ia sengaja datang untuk berpamitan sebab hendak kembali ke Ansan—kampung halamannya—dan memberikan kotak milik Jihyun. Hyesoo mengaku bila Jihyun selalu tersenyum ketika membuka atau menutup benda tersebut. Ketika ditanya, Jihyun hanya akan membalas kalau isi kotak tersebut rahasia dan akan ia berikan pada Nayoung langsung jika sudah terisi penuh.
"Bibi baru menemukannya saat membereskan barang. Jihyun pasti ingin sekali memberikan ini padamu. Jadi, Bibi yang mengantarkannya."
Itu kalimat penutup percakapan mereka yang membuat Nayoung berdiri di depan pintu kamarnya seperti sekarang. Dipenuhi rasa ingin tahu, dihantui kegelisahan yang muncul karena apa yang ingin dilakukannya sama saja seperti membuka luka yang masih perih.
Terakhir.
Nayoung memperingati dirinya sendiri bahwa ini adalah yang terakhir kali. Apa yang telah dipersiapkan sangat spesial oleh sang kekasih, Nayoung juga menyimpan penasaran. Siapa tahu ia menemukan arti yang selama ini belum ditemukan dan mampu merelakan Jihyun setelahnya. Lantas, ia meraih kotak yang tergeletak di atas nakas kemudian membawanya ke ruang tengah. Perempuan itu duduk bersila di belakang meja. Satu helaan napas Nayoung buang sebelum membuka kotak rahasia milik Jihyun.
Netra Nayoung dihadapkan pada beberapa benda berbeda ketika penutup terbuka. Isinya tidak terlalu banyak—tidak seperti dugaan Nayoung—hanya saja Jihyun memilih ukuran kotak yang cukup besar. Apa mungkin sebenarnya masih banyak yang ingin lelaki itu persiapkan di dalam benda ini?
Tangan perempuan itu meraih beberapa lembar kertas dengan isi serupa. Bagian tengahnya tertulis "Kartu Permintaan Nayoung" dengan hiasan di sekeliling yang merupakan hasil gambar Jihyun. Salah satu sudut bibir Nayoung terangkat kala teringat bagaimana asal-usul benda tersebut hingga akhirnya menjadi kenangan yang tidak pernah diketahui siapa pun selain mereka.
Bermula dari rasa bersalah Jihyun yang seringkali membatalkan janji temu dengan Nayoung akibat jadwal mendadak yang mengacau, Jihyun berinisiatif untuk mewujudkan setiap keinginan kekasihnya sebagai balasan. Ajaibnya, tiap kali diberikan akses tersebut, rasa kesal atau marah Nayoung seketika mereda, digantikan dengan senyum dan tawa yang menghiasi wajah sebab melihat perilaku Jihyun.
Jihyun mempersiapkannya teramat banyak, bahkan Nayoung tidak tahu kapan lelaki itu memiliki waktu luang untuk menghias kertas-kertas tersebut dengan gambar berbeda. Jemarinya sampai pada lembar terakhir, menyentuh satu lembaran—berukuran lebih kecil—kemudian Nayoung membaca tulisan yang digoreskan di sana.
"Aku sengaja membuatnya lebih banyak. Kuberi tahu kau lebih dulu. Proyek dramaku selanjutnya akan berlangsung di Jeju dan aku tahu kita jadi tidak bisa sering bertemu. Gunakan kartu ini untuk ...," senyum yang sempat Nayoung ukir pudar, matanya mulai berkaca-kaca ketika sampai di kalimat terakhir, "menebus waktu yang kau lewati sendiri tanpaku."
"Menebus waktu bagaimana?" Tanpa sadar, Nayoung berucap dengan nada kesal bercampur nestapa.
Dengan mata masih berkaca-kaca, siap menumpahkan tangis kapan pun ia mau, Nayoung beralih dari kertas tersebut dan mengambil sebuah kotak biru tua yang sengaja Jihyun letakkan di atas gaun berwarna putih. Walau ada keraguan di dalam hati, tapi Nayoung ingin menumpahkan segalanya saat itu juga untuk bisa melupa secepatnya.
Kotak biru tua tersebut membuka, menunjukkan kilauan dari sebuah bandul berlian yang mempercantik kalung berwarna emas. Nayoung lekas meraih bandulnya kemudian membiarkan benda itu tergeletak di telapak tangan. Jemarinya yang lain mengusap perlahan.
Iris hitam perempuan itu tidak hanya terfokus pada benda yang ada di tangan, tetapi juga pada sebuah kertas yang ternyata Jihyun selipkan di bagian tepi busa berwarna putih. Lipatannya teramat kecil seolah tidak ingin satu orang pun menemukan catatan tersebut.
Untuk menyempurnakan kisah cinta kita.
Satu kalimat singkat yang sukses membuat irisan kecil pada hati Nayoung. Belum sempat membuka seluruh lipatan, air mata perempuan yang tidak sanggup berkata-kata itu jatuh dan menciptakan sebuah jejak atas dukanya. Ia kontan menutup mulut dengan salah satu tangan seraya mencari tahu apa lagi yang Jihyun sampaikan.
Terlalu memalukan untuk kuakui, kuharap kau tidak menemukan catatan kecilku ini.
Alih-alih menyampaikan tujuan secara jelas, aku justru membahas seberapa lama kita menjalin kasih. Kau ingat waktu itu, tidak? Benar. Ketika kau memberikan sebuah gelang yang kuartikan sebagai petunjuk baik untuk hubungan kita, rasa bahagiaku memuncak dan niatku untuk mengatakan ini sudah bulat kalau saja kita tidak menjadi incaran para remaja. Ah, memang dasarnya aku hanya pintar berakting karena telah membaca dan menghafal skrip, tapi sangat payah jika berucap spontan. Jika bisa, aku ingin menghapus ingatanmu tentang hari itu karena terlalu malu.
Hari itu juga, aku ingin melamarmu. Seharusnya aku bisa memanfaatkan waktu bersama yang jarang bisa terlaksana. Maaf.
Ruangan itu masih diselimuti oleh hening. Perlahan bulir bening dari pelupuk mulai mengalir kembali membasahi pipi dan jemari yang masih Nayoung gunakan untuk membungkam mulut. Mengapa Jihyun harus mengucap maaf atas kesalahan yang tidak lelaki itu lakukan?
Nayoung terlalu larut dalam kenangannya bersama Jihyun sampai ponsel yang berdering keras mengisi keheningan pun tidak bisa mengusik fokusnya. Mata Nayoung masih terus bergerak, menuntaskan apa yang sudah telanjur dibaca.
Tapi kali ini, aku tidak ingin gagal lagi. Aku ingin hidup bersamamu lebih lama, selama yang kubisa. Tidak boleh ada yang mengusik, hanya kita. Aku bersikap egois kali ini, ya?
Begitu netra Nayoung telah sampai di kalimat akhir, isaknya semakin menjadi. Sama seperti perempuan lain yang telah membina hubungan bertahun-tahun, Nayoung juga ingin mengakhiri kisah cintanya pada sebuah ikatan pernikahan dengan Jihyun. Detik ini, Nayoung berharap ia bisa lebih egois dari Jihyun dengan meminta waktu berputar kembali.
Seluruh benda yang ada di genggaman tangan perempuan itu serta-merta terlepas—tidak ada lagi kekuatan yang dimiliki untuk mengetahui hal lebih tentang apa yang tidak ia ketahui dari Jihyun—beriringan dengan suara tangis kencang yang menggema di dalam ruangan.
Nayoung menyandarkan tubuh pada bagian kaki sofa, menghempaskannya keras. Kedua matanya semakin terpejam, pun memperjelas air mata yang sejak tadi belum juga selesai ditumpahkan. Bahunya bergerak naik turun, seirama dengan sedan yang terdengar setelah ia melepas satu teriakan.
Beribu kata penuh andai berputar di dalam kepala Nayoung. Satu per satu justru kian bertambah menyesakkan lantaran ia tidak bisa memperbaiki waktu yang telah berlalu. Nayoung merasa semesta terlalu kejam dengan memisahkan mereka. Menghilangkan cinta dari salah satunya kemudian membawa raga itu jauh, tidak peduli bila seseorang yang lain masih menyimpan rasa teramat besar hingga yang ia rasakan kini hanya sakit.
***
"Daejoon, kau sedang bersama Nayoung, tidak? Sejak tadi bibi menghubunginya, tapi tidak ditanggapi. Bibi khawatir."
Karena telepon dari Heekyo, Daejoon melajukan mobil silver-nya cepat menuju apartemen milik Nayoung sepulang kerja. Untuk menghilangkan rasa cemas seorang ibu pada anaknya—juga bertanggung jawab karena Daejoon yang meyakinkan Heekyo untuk menjaga Nayoung—lelaki itu harus mencari jawaban sendiri. Bukan hanya untuk Heekyo, tapi juga untuknya yang mendadak ikut was-was karena sambungan ke nomor ponsel Nayoung yang sejak tadi ia lakukan selalu gagal.
Mobilnya ia parkirkan secara paralel begitu sampai di depan apartemen. Menekan tombol kunci seraya bergegas lari ke dalam, Daejoon menaiki tangga menuju lantai dua sampai akhirnya tiba di unit nomor 209. Lelaki itu menekan tombol berulang kali, tapi tidak mendapat jawaban. Ia mencoba menghubungi Nayoung sekali lagi, hasilnya pun tetap sama.
Tangan Daejoon lekas mengangkat penutup digital lock yang kontan menampilkan sederetan angka menyala. Sempat terdiam, Daejoon sesungguhnya ragu karena ia bisa mengganggu privasi Nayoung jika masuk tanpa izin. Namun, keadaan sekarang berbeda. Tidak memusingkan risiko yang akan didapatkannya kelak, Daejoon memasukkan kata sandi yang tidak Nayoung ubah sejak dulu.
Pintu terbuka begitu kata sandi berhasil dimasukkan. Daejoon segera melepas alas kaki dan menekan saklar begitu menemukan ruangan tersebut gelap. Ketika netranya memandang ruang tengah—karena tepat berada di depan pintu utama—ia refleks menghentikan langkah. Seseorang yang sedari tadi dicarinya ada di sana. Nayoung tidak pergi ke mana-mana, perempuan itu memang ada di apartemennya.
Melihat sosok Nayoung, lelaki itu tidak lekas menghampiri. Ponsel yang ada di genggaman justru terjatuh di luar kesadaran Daejoon, menciptakan bunyi benturan yang menggantikan kesenyapan. Seluruh anggota tubuh Daejoon terasa sulit digerakkan, sesuatu telah menahan dirinya kala melihat Nayoung tergeletak tidak berdaya di lantai bersama dengan beberapa butir obat yang jatuh berserakan bersamanya.
Napas Daejoon memburu seiring dengan jantung yang berdegup sangat cepat. Semua ujung jemarinya bergetar, pun peluhnya membasahi kening. Kepala laki-laki itu samar menggeleng, diikuti dengan tangan yang kontan menyentuh dinding guna menahan tubuh yang mulai terasa berat.
"Astaga! Nayoung!" pekik seseorang yang baru tiba di belakang Daejoon.
Bahkan ketika suara teriakan itu cukup keras memasuki indra pendengaran Daejoon, lelaki itu tidak memberi respons apa pun selain semakin mendekat pada dinding.
Eunhee segera berlari masuk, tidak peduli ketika ia menabrak tubuh Daejoon yang terus berdiri di depan pintu dan menghalangi. Perempuan itu segera meletakkan tasnya di sisi, meraih tubuh Nayoung yang terkulai lemas, dan menyandarkan Nayoung pada lengannya.
"Nayoung, bangun!" teriak Eunhee seraya memukul pipi sahabatnya itu perlahan dan berulang kali. Menggoyang-goyangkan tubuh perempuan itu pun tidak ada gunanya, perasaan Eunhee semakin tidak karuan.
"Ya! Daejoon! Apa yang kau lakukan di sana?" Eunhee menyempatkan diri untuk menoleh ke arah laki-laki itu. Sedikit pun, Daejoon tidak juga berpindah dari posisinya dan membuat Eunhee geram. "Cepat telepon ambulans! Astaga, apa kau tidak bisa melakukan itu juga?"
Seluruh kalimat yang keluar dari mulut Eunhee tidak ada yang benar-benar disadari oleh Daejoon. Pikiran lelaki itu kosong, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bukan pekikan Eunhee, justru teriakan lain mengisi kekosongan benak Daejoon, satu per satu saling bersahutan.
"Jangan mendekat!"
"Hentikan perbuatanmu sekarang! Jung Taera!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top