07 - Manusia dan Segala Perbedaannya

"Selamat datang!" pekik Nayoung seraya merapikan salah satu meja milik pelanggan.

Perempuan yang baru saja mengencangkan kucir rambut itu segera menghampiri dua remaja yang mengisi meja kosong. Ia meraih sebuah buku catatan kecil di kantung apron pinggangnya kemudian menuliskan pesanan. Nayoung segera berjalan menuju celah yang menjadi batas antara ruang dapur dan ruang makan.

"Dua suyuk dan soju!" teriaknya.

Masih berdiri di tempat yang sama, Nayoung kembali mengecek catatan kecil di tangan. Matanya memeriksa kembali satu per satu tulisan yang memenuhi lembaran kertas. Sebagian pesanan telah selesai, sementara sisanya sedang dalam proses pembuatan. Perempuan kucir satu yang berkacak pinggang itu akhirnya bisa mengambil jeda untuk istirahat sejenak.

"Itu benar-benar dia."

Nayoung tidak sengaja mendengar perbincangan seseorang yang duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri, hal biasa. Ia berusaha tidak mengindahkan karena tidak baik bila memasang telinga terhadap pembicaraan orang lain. Namun, semakin diabaikan, Nayoung semakin merasa jika ada dua pasang mata yang mengawasi. Perasaannya terbukti kala salah seorang di antara mereka mengungkit sesuatu yang Nayoung yakini hanya ia yang mengalami hal tersebut.

"Dulunya dia adalah penulis terkenal, siapa sangka jika sekarang hanya seorang pelayan restoran. Memang tidak ada yang bisa menebak takdir hidup seseorang."

Bunyi ketukan di meja pesanan membuat perhatian Nayoung teralih. Suara tersebut dihasilkan dari Yoomin—bibi sekaligus pemilik Gukbap Jib—yang telah menyajikan dua piring suyuk dengan asap masih berkepul.

Sedikit melongok, wanita setengah baya itu memperhatikan raut keponakannya yang terlihat begitu serius sejak tadi. "Nayoung?"

"Iya, Bibi?" tanggap perempuan itu ketika fokusnya sudah kembali sepenuhnya. "Oh, pesanannya sudah siap, ya?"

Nayoung meraih sebuah nampan cokelat di sebelahnya, meletakkan satu per satu sajian di atas benda tersebut. Selang beberapa detik kemudian, ia mengulum senyum. Gerakan kepala dan matanya mengarah ke pemilik pesanan, menyiratkan bahwa Nayoung harus segera mengantar makanan selagi masih hangat. Kakinya bergerak perlahan menuju dua manusia yang masih sibuk berbagi cerita satu sama lain.

"Tapi dengan kemunculannya seperti sekarang, bukankah akan mengejutkan dunia hiburan? Mantan kekasih Seo Jihyun menampakkan diri kembali setelah meredam duka."

"Siapa yang mau membuat berita seperti itu? Orang-orang mungkin juga sudah melupakannya," balas seseorang di antara mereka.

Telinga Nayoung sudah mulai gatal mendengar satu per satu kalimat yang terlontar. Mengapa semua orang di dunia ini sibuk membicarakan kehidupan orang lain? Mereka hanya perlu fokus pada diri sendiri tanpa mengusik lainnya. Itu saja dan semua akan merasa tenang.

Tepat berakhirnya percakapan mereka, terdengar bunyi adu antara nampan dengan meja. Nayoung sudah tiba di meja nomor sebelas, menghampiri sang pembicara yang kedengarannya sudah banyak beromong kosong.

Dua remaja yang terduduk di sana kontan menengok kaget. Namun, matanya semakin membulat kala melihat siapa yang kini ada di antara mereka. Hanya memperhatikan sekilas, lantas akhirnya memilih untuk menunduk. Meski sudah merunduk pun, mereka masih berbicara tanpa suara, hanya melalui bibir yang terus mengucap dan sorot mata.

Nayoung tidak perlu melihat satu per satu wajah mereka. Seraya memindahkan benda dari atas nampan, perempuan itu berucap, "Pesanannya. Selamat menikmati."

Begitu kalimat tersebut terucap, perempuan dengan nampan yang sudah diletakkan di depan dada itu mundur perlahan kemudian membalikkan tubuh. Untuk mengatasi orang-orang asal bicara seperti itu ternyata Nayoung hanya perlu menggertak.

Seiring langkah kakinya menjauh, seseorang yang duduk di meja ketiga dari tempat terakhir Nayoung berdiri itu menaikkan salah satu alis. Apa yang baru saja diperbuat Nayoung cukup membuatnya terperangah. Mulut yang masih membuka lebar perlahan mengatup, digantikan dengan seringai. Ia beralih menopang dagu dengan salah satu tangan seraya masih memusatkan pandangan pada perempuan yang sibuk ke sana-kemari menerima pesanan.

"Kau kelihatan lebih baik dari yang kubayangkan. Setelah kepergiannya, kau kelihatan baik-baik saja."

Apron hitam yang melingkar di pinggang segera Nayoung lepas ikatannya. Ia meletakkan kain tersebut di dalam laci dekat meja kasir. Memperhatikan jam dinding yang sudah mendekati waktu janji temu, Nayoung pun menghampiri sang bibi ke ruang masak. Kepalanya melongok dari balik daun pintu.

"Bibi, aku pamit sekarang."

Mengalihkan pandangan dari wajah, Yoomin menoleh ke sumber suara. "Oh? Kau benar-benar melakukan kencan buta itu lagi. Apa sudah waktunya? Bibi terlalu sibuk sampai tidak sadar. Pamanmu masih dalam perjalanan, bisakah kau mengantar pesanan ini dulu? Setelah itu, kau boleh pergi."

"Satu porsi ini saja? Tentu, Bibi!" Tidak menanggapi pertanyaan lain, Nayoung segera meraih mangkuk tersebut kemudian beralih dari sana. Ia melangkah menuju meja yang ditunjuk oleh Yoomin sebelumnya.

Begitu pesanan tiba, perempuan yang Nayoung taksir usianya menginjak 20-an tidak mengalihkan penglihatan sedikit pun dari buku tebal yang terbuka di atas meja. Lantas, Nayoung berinisiatif untuk mengetuk meja pelan dan mempertemukan mata mereka.

"Astaga!" pekik perempuan yang kini refleks menutup mulutnya. "Penulis Go? Ini kau, benar? Sepertinya ini hari keberuntunganku."

Responsnya untuk perilaku singkat Nayoung. Dilihatnya salah satu pengunjung itu sibuk mencari kertas kosong dari buku catatan yang dimiliki. Begitu benda yang dicarinya telah ditemukan, ia menyodorkan lembaran kertas putih dan pulpen.

"Aku penikmat tulisanmu. Boleh aku minta tanda tangan? Sebentar lagi masa ujianku datang, aku akan terus semangat dengan mengingat hari ini," pinta perempuan berkucir tengah tersebut.

Sudut bibir Nayoung mengembang. Setelah insiden yang terjadi bertahun lalu, baru sekarang ia menemukan seseorang yang masih mendukung dan bukannya menjatuhkan. Memperhatikan sosok yang masih menatap ke arahnya, ia segera mengambil kertas dan menggoreskan tinta pada lembar tersebut.

"Aku tidak pernah menduga sebelumnya kalau sekarang bisa melakukan ini lagi. Namamu?"

Perempuan itu masih terus memperhatikan gerakan tangan Nayoung dan mempertahankan gurat bahagia. "Minyoung. Shin Minyoung."

Begitu goresan terakhir selesai, Nayoung mengembalikan kertas tersebut dan disambut dengan sangat baik oleh Minyoung. "Kenapa kau tidak bisa melakukan ini lagi? Aku percaya kau akan kembali suatu saat. Buku-bukumu sangat kunantikan."

Mendengar ucapan yang sangat meyakinkan, Nayoung tertawa. "Perkataan seseorang justru bisa menenangkan."

Minyoung sudah mendekatkan tubuh dengan meja, meletakkan lengan di atas benda tersebut, dan mengepalkan tangan. "Semangat, Penulis Go. Aku janji akan giat belajar supaya bisa menjadi orang sukses sepertimu. Sebagai gantinya, kau juga harus bangkit."

Memperhatikan Minyoung yang terus bersemangat, Nayoung teringat akan dirinya di masa lalu. Tanpa sadar, ia ikut merekahkan senyum lebih lebar.

***

Dua jam yang telah berlalu terasa begitu cepat. Pembicaraan Daejoon dengan salah satu penulis yang akan menerbitkan buku kedua di Penerbit Chaegoo berakhir kala mencapai titik temu.

"Kita bisa bertemu lagi untuk membahas selanjutnya atau melalui teks. Aku akan menghubungimu lagi," ujar Daejoon seraya menjabat tangan dengan perempuan tersebut.

Setelah merasa cukup, sang perempuan pergi lebih dulu dan meninggalkan Daejoon yang kembali terduduk. Ia ingin mengistirahatkan diri sejenak sebelum kembali melakukan tugas. Jemarinya meraih gelas bening dengan minuman yang masih tersisa setengahnya. Lelaki itu menyandarkan tubuh, tapi seseorang yang tidak asing berhasil di tangkap oleh indra penglihatannya—duduk bersama laki-laki yang belum pernah dilihat.

Tanpa menunggu lama, Daejoon segera melangkah seraya menutupi wajah dengan buku menu. Ia menempati meja yang lebih dekat, membelakangi mereka yang sedang ia awasi. Sejauh pendengaran Daejoon, sosok laki-laki lebih banyak berbicara.

"Apa yang Nayoung lakukan di sini? Sekarang juga belum jam pulang kerjanya." Daejoon hanya bertanya untuk menimbulkan asumsi sendiri.

Detik kemudian, suara laki-laki yang bersama dengan Nayoung terdengar lagi. Namun, kali ini disusul dengan tawa khas dari Nayoung. Daejoon kontan menoleh, memperhatikan bagaimana perempuan itu menyembunyikan gelak di balik tangan yang menutupi. Rasa penasaran lelaki itu seketika meningkat. Sayang, tidak bisa mengawasi sampai akhir sebab Nayoung terusik begitu melihat wajah Daejoon. Tidak ingin memperpanjang dengan membiarkan dirinya dipergoki oleh Nayoung, Daejoon bergegas keluar dari kafe tanpa mengucap salam pertemuan atau perpisahan.

Sepanjang perjalanan, Daejoon terus mengetukkan jemari pada kemudi. Pikirannya kembali pada kejadian di kafe, bertanya-tanya tentang siapa sosok lelaki asing yang menghabiskan sore bersama Nayoung. Gelisah berkecamuk di hatinya. Semakin dibiarkan, semakin membuatnya ingin bertanya pada sang pemilik jawaban. Namun, niat itu diurungkan lantaran bisa membuat canggung di antara mereka.

Pedal gas lekas Daejoon injak, membawa kendaraannya melaju cepat membelah jalanan Seoul hingga tiba di bangunan tingkat berwarna cokelat tua. Ia mematikan mesin usai memarkirkan mobil silver-nya di dalam garasi. Mengambil tas tenteng dari kursi belakang penumpang, lelaki itu lekas keluar dan membuka pintu rumah.

Satu yang langsung Daejoon temukan adalah Sora—ibunya—sedang bersantai di atas sofa sembari memanjakan kuku-kuku tangannya. Baru Daejoon ingin menuju kamar tidur, wanita yang tidak melepaskan pandangan dari sederetan warna merah di ujung jemari berucap, "Kau masih bertemu perempuan itu lagi?"

Daejoon masih mengarahkan tatapan ke depan, tidak berniat untuk menoleh ke arah sang ibu. "Kalau aku masih melakukannya?"

Botol pewarna kuku yang diletakkan di atas meja kaca membuat bunyi nyaring terdengar memenuhi ruangan. Sora menggerakkan jemari yang dibawanya ke depan wajah, sedikit tersenyum sebelum mengalihkan perhatian kepada anaknya.

"Ibu sudah bilang padamu. Jangan mau jadi orang bodoh dua kali. Pertama dengan Taera dan sekarang dengan Nayoung. Ibu memang mendidikmu dengan sangat baik, tapi kebaikanmu bisa saja dimanfaatkan. Berhentilah sebelum terluka. Kau pernah mencintai orang sangat dalam sampai merasa bersalah, jangan mau mengulangnya lagi."

Begitu Sora membawa nama Taera kembali, Daejoon kontan menoleh. "Ibu ... jangan pernah asal bicara tentang Taera. Mereka bukan orang yang sama, kenapa Ibu menyamaratakan semuanya?"

Senyum di wajah Sora merekah. "Benar. Kau memang belum melupakan Taera. Selama belum melihat kau bahagia dengan pilihanmu, ibu akan menganggapnya begitu."

Lelaki yang semakin mengeratkan genggaman pada tasnya pun menghela napas. Tungkainya mulai bergerak kembali, hendak meninggalkan Sora tanpa membahas lebih panjang percakapan mereka.

"Bagaimana kalau kau dan ibu mengambil jalan tengah?"

Obrolan yang belum ingin Sora akhiri membawa Daejoon kembali fokus memandang ibunya.

"Ibu akan mendukung kalau kau bisa membuktikan bila hubunganmu dengan Nayoung berjalan lancar. Satu bulan saja, tunjukkan pada ibu karena ibu sudah tidak tahan melihatmu terus tersiksa karena perasaan sendiri."

Tawaran yang secara sepihak disampaikan itu membuat tubuh Daejoon berbalik sepenuhnya. Ia masih memadangi Sora yang tengah menanti jawaban.

"Itu akan menguntungkanku lalu apa yang akan menguntungkan Ibu kalau aku tidak bisa membuktikannya?"

Suyuk: Makanan Korea, biasanya terbuat dari daging babi yang direbus dan tidak dibumbui, disajikan dengan saus celup seperti ssamjang (saus pedas) atau saeujeot (dibuat dari udang kecil berkulit tipis yang diberi garam dan difermentasi).

Soju: Minuman beralkohol khas Korea Selatan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top