05 - Kata Bisa Lebih Berbahaya

Musim panas, sekarang.

"Buku milik Jung Haemin akan rilis sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati sebelumnya, yaitu dua minggu lagi. Aku sudah memastikan dengan tim percetakan dan prosesnya sudah mencapai 90 persen," jelas Daejoon seraya membalik lembaran kertas yang ada di atas meja, sesekali melihat ke arah sang direktur. "Untuk bulan depan juga sudah ada rencana beberapa buku yang akan terbit."

Lelaki yang duduk di bagian ujung tersebut segera memberikan dokumen terkait jadwal penerbitan yang telah direncanakan oleh tim redaksi pada Direktur Nam. Dilihatnya lelaki berumur enam tahun lebih tua darinya itu mengangguk setuju atas rencana yang disusun.

"Oke. Untuk promosi secara daring, bagaimana?" tanya lelaki berkacamata tersebut.

"Sampai saat ini, kita mendapatkan respons yang baik. Ide yang diberikan oleh Namjoo berjalan lancar," tanggap Hyejin, ketua tim pemasaran Chaegoo.

"Kalau begitu, tetap pertahankan," puji Direktur Nam kemudian membenahi beberapa dokumen dan beranjak. Pena yang masih ada di genggamannya sengaja ia gerak-gerakkan.

"Bagaimana dengan Go Nayoung? Harusnya ia sudah mulai aktif lagi, bukan? Masa kontraknya sudah hampir habis, sementara buku yang kita janjikan terbit satu setengah tahun lalu terpaksa diundur karena belum menerima bagian akhir yang telah disunting. Siapa yang bersedia menjawab?"

Mata Direktur Nam jelas mengarah bergantian antara Daejoon dan Hyejin lantaran mereka yang bertanggung jawab atas Nayoung, khususnya Daejoon.

Terdiam sejenak guna mencari jawaban tepat untuk sang atasan, Daejoon akhirnya membuka suara kembali. "Aku akan memastikannya. Nayoung akan kembali dan perilisan yang tertunda akan berlangsung."

Direktur Nam lekas mengangguk kemudian memperhatikan kalendar yang tergeletak di atas meja. "Karena bulan ini segera berakhir, pastikan kau mendapat kemajuan bulan depan."

Peringatan tersebut sekaligus menutup pertemuan mereka di siang hari. Pegawai yang memenuhi ruangan berdinding kaca tersebut segera meninggalkan area dan kembali ke tempat masing-masing. Daejoon dan Hyejin sengaja berjalan beriringan. Perempuan yang terpaut usia satu tahun di atas Daejoon itu memelankan langkah kaki.

Seraya memperhatikan jarum jam yang terus bergerak di pergelangan tangan, Hyejin berucap, "Sudah jam makan siang. Bagaimana kalau kita makan bersama?"

Daejoon menggeleng tanpa menengok lebih dulu ke perempuan yang ada di sebelahnya. "Hari ini aku punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."

Sesungguhnya Hyejin sudah bisa menebak jawaban yang diberikan oleh lelaki itu lantaran alasannya selalu sama setiap hari. Namun, ia juga tidak ingin diam begitu saja dan tidak memanfaatkan kesempatan yang ada. Hyejin selalu ingin membangun hubungan baik dengan Daejoon.

"Saat kuajak makan kemarin juga kau menggunakan alasan yang sama. Aku tidak akan mencuri waktu-waktu berhargamu, tidak sampai berjam-jam," tampik Hyejin sambil menyilangkan tangan. Perempuan berambut cokelat tua itu mendekat kemudian menatap wajah Daejoon dengan alis terangkat.

Laki-laki yang diajak bicara itu terus memfokuskan tatapan pada ponsel meski sempat mengerling pada Hyejin sekilas. Masih tetap mempertahankan posisi, Hyejin juga tidak melepaskan pandangan dari paras Daejoon. Garis mengembang di bibirnya masih perempuan itu jaga. Namun, beberapa detik kemudian desisan yang lolos dari mulut Daejoon membuat Hyejin terperanjat. Gerakan kaki Hyejin refleks terhenti ketika lengan lelaki yang sejak tadi ada di sisinya tiba-tiba menghalang tubuh perempuan itu.

"Kau selalu seperti ini," keluh Daejoon seraya menoleh.

Hyejin hanya menggerakkan mata ke arah kirinya, memperhatikan seseorang yang baru saja melintas dengan membawa satu kardus berukuran besar.

"Perhatikan dulu jalanmu."

Suara Daejoon yang melewati rungunya lagi membuat Hyejin kembali fokus pada laki-laki yang sedang bersamanya. Perempuan itu semakin melebarkan senyum. "Ada kau. Sekarang bagaimana? Kau ikut makan siang denganku tidak?"

Sembilan tahun berlalu sejak pertemuan pertama mereka ternyata tidak membawa begitu banyak perubahan pada sifat Hyejin. Tidak ada cara untuk menolak ajakan perempuan itu-karena Hyejin tetap akan berusaha meski sudah mendengar alasan apa pun-dan akhirnya Daejoon mengalah. Hanya dengan satu anggukan kepala Daejoon, Hyejin lekas merangkul bahu lelaki itu dan membawanya ke luar ruangan.

***

Sepiring kue beras pedas dengan lumuran keju sudah tersaji di atas meja bersama dengan ramyun yang selalu berhasil meningkatkan selera makan. Daejoon dan Hyejin tengah duduk berhadapan seraya menikmati segelas bir. Lokasi yang mereka pilih tidak berjarak jauh dari kantor sehingga beberapa pegawai lain juga ikut singgah di sana.

"Aku tidak percaya sampai harus memohon padamu untuk makan siang bersama saja," cibir Hyejin seraya mengambil satu potong kue beras, "padahal dulu kau yang terus merengek dan menempel padaku ke mana pun."

"Keadaan terus berubah, Kak," tanggap Daejoon kemudian tersenyum tipis di sela makannya.

Ucapan Daejoon mengundang tawa. "Bicaramu benar-benar ... oh?"

Bibi pemilik kedai datang menghampiri meja mereka dan meletakkan sepiring gimbap.

"Aku tidak memesannya," tampik Hyejin seraya menoleh ke arah Daejoon dengan penuh kebingungan.

"Aku yang memesannya. Kau bilang ini adalah menu wajib, tapi melewatkannya begitu saja."

Kalimat yang disampaikan Daejoon kontan membuat bahagia merona di wajah Hyejin. Ia tidak percaya bahwa lelaki itu masih mengingat kebiasaannya sejak sembilan tahun lalu. "Apa ini? Kau sengaja merayuku supaya tidak marah padamu lagi? Memang kau tahu cara paling ampuh, mana mungkin aku menolak gimbap."

Hyejin mengambil satu potong gimbap kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Bahu perempuan itu bergoyang kecil, terlihat begitu menikmati. "Aku jadi ingat Bonghyun. Kita sering makan ini bersamanya juga. Ah, akan menyenangkan kalau kita berkumpul lagi di akhir pekan."

"Aku akan menanyakan jadwalnya. Kau tahu dia sangat sibuk karena praktik sendiri. Begitu ada waktu kosong, kita pergi bersama-sama."

"Setuju!" tanggap Hyejin cepat kemudian menjentikkan jari.

Mereka kembali melanjutkan kegiatan makannya, tapi ada bisikan yang Daejoon tangkap di sela hening.

"Go Nayoung. Begitu namanya disebut, tiba-tiba suasana jadi berubah. Kau merasakannya juga tidak? Kau tahu tentang dia?"

Mendengar nama seseorang yang begitu ia kenal, laki-laki berkemeja merah gelap itu memelankan gerakan tangan. Dahinya mengerut, disertai dengan mata yang menyipit. Ia memberikan seluruh perhatiannya guna mendengar pembicaraan yang tengah berlangsung.

"Oh, benar, kau masih baru bergabung di sini," koreksi salah seorang lelaki. "Selama satu setengah tahun, Nayoung menghilang tanpa kabar dan mengabaikan proyek yang masih berlangsung dengan Penerbit Chaegoo."

Telinga Daejoon menangkap ada kejanggalan dari penjelasan singkat yang disampaikan. Lelaki itu kontan menoleh ke belakang dan memperhatikan siapa yang sedang berbicara. Ia mengenal baik orang yang juga tergabung dalam timnya. Memilih untuk diam, Daejoon ingin mendengar lebih jauh apa yang akan mereka bahas.

"Aku akui dia adalah salah satu penulis berbakat yang Chaegoo miliki, tapi sejak kekasihnya meninggal ... semua berbeda. Dari banyak yang kudengar, mentalnya sedikit terganggu."

Kening Daejoon semakin bekernyit. Lelaki yang sudah berhenti menyantap makanan sejak mendengar pembicaraan Nayoung lebih lanjut itu mengepalkan salah satu tangan di bawah meja. Bagaimana bisa seseorang yang tidak begitu mengenal Nayoung tiba-tiba membahas kehidupan pribadi perempuan itu dengan kedok sebuah perhatian?

"Dampak yang dirasakan oleh Nayoung bisa sangat mengerikan," lanjut lelaki itu kemudian menjadi hening karena lawan bicaranya tidak banyak menanggapi.

Bunyi denting alat makan yang beradu dengan meja sempat mengusik atensi Daejoon. Rupanya Hyejin sudah selesai lebih dulu. Perempuan itu meraih segelas bir dan meneguknya sebelum berbisik, "Jujur saja, sejak pertama mengetahui berita tentang hubungan Nayoung dan Jihyun, aku sudah khawatir akan seperti ini."

Ternyata bukan hanya Daejoon yang memasang telinga, Hyejin juga tidak ingin tertinggal. Daejoon tidak memasang ekspresi apa pun meski api di dalam hatinya sudah membara kala mendengar dua orang yang dekat dengannya dibicarakan dengan tidak benar. Lelaki itu justru menghabiskan makanan yang tersisa dan bersikap tidak acuh atas kalimat yang baru Hyejin lontarkan.

"Aku tidak berpikir seperti itu," komentar Daejoon singkat.

Sedikit mendecak, Hyejin menanggapi, "Pikiranmu memang tidak pernah sejalan denganku, ya, kecuali tentang pekerjaan. Bagaimana bisa aku berteman denganmu yang seperti ini sampai sembilan tahun lamanya?"

Daejoon sengaja memperhatikan ekspresi Hyejin walau masih tertunduk. Netranya mendapati perempuan berpakaian panjang dengan aksen garis itu tengah menghempaskan tubuh, bersandar pada kursi kayu.

"Jam istirahat segera berakhir lima menit lagi," timpal Daejoon. "Aku ingin kembali, kau ikut bersamaku atau tidak?"

***

Harum telur menguar ke seluruh sudut ruangan. Seseorang yang sudah berada di dapur membuat kegaduhan dengan beberapa alat masak yang saling berdenting. Meletakkan scrambled egg terakhir di atas meja, perempuan itu tersenyum puas.

"Akhir-akhir ini kau sering datang."

Sang pemilik apartemen yang baru keluar dari kamar tidur segera melangkah menuju dapur. Nayoung mengikat seluruh helaian rambut kemudian berhenti tepat di seberang Eunhee-hanya dihalangi oleh meja panjang.

Perempuan yang ditanyanya itu mengangguk. "Sudah kukatakan. Aku tidak senang tinggal di sana karena lingkungannya sangat sepi. Karena itu, biarkan aku tinggal berdua denganmu saja, ya?"

Eunhee menatap dengan sorot penuh harap seraya menyodorkan sepiring makanan yang telah selesai dimasak.

Netra Nayoung memperhatikan piring putih tersebut dan sahabatnya bergantian. Ia meraih benda tersebut dan bertanya, "Kau tidak membuat ini untuk menyuapku, 'kan?"

Pertanyaan yang tidak pernah Eunhee duga akhirnya terdengar. Pemilik rambut panjang bergelombang itu segera menolak dan tersenyum begitu melihat sudut bibir lawan bicaranya juga mengembang. Mereka sudah duduk berhadapan dan menikmati hidangan sederhana yang disiapkan Eunhee.

"Kau tidak lupa untuk bertemu Kak Yunhwan besok, bukan? Telingaku sudah bosan mendengar rengekannya yang ingin dipertemukan denganmu. Padahal aku sudah menolak karena mengerti seperti apa sifat Kak Yunhwan dan tidak ingin kalian dekat."

"Mau bagaimana? Kau yang lebih dulu mencetuskan kencan buta pada seluruh rekan kerjamu." Nayoung berbicara tanpa melihat wajah Eunhee, tetap fokus pada makanannya. "Aku tetap harus melakukannya."

Namun, suara notifikasi yang masuk membuat keduanya menoleh ke arah ponsel yang sengaja diletakkan di atas meja.

"Katanya kau sudah menghapus media sosialmu."

"Itu ...."

Bicara Nayoung terjeda bersama dengan gumaman yang terdengar setelahnya. Ponsel itu hampir ada di genggaman Nayoung jikalau Eunhee tidak menghalangi gerakannya. Tangan Eunhee sudah berada di atas layar, menjaga benda tersebut supaya tidak dapat Nayoung gapai. Ada amarah yang tersalurkan melalui sorot mata Eunhee.

"Jangan pernah membacanya. Sudah cukup bagimu tersiksa seperti sekarang. Apa kau tidak mengerti juga kenapa aku meminta kau menghapusnya saja?" Kalimat yang baru dilontarkan Eunhee terdengar seperti penegasan.

Setelah satu helaan napas Nayoung embuskan, ia menatap sahabatnya kembali. "Nanti. Pasti."

Mendengar ucapan tersebut, Eunhee membawa telapak tangannya ke depan, membuka ke arah Nayoung. Ia tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut jika Nayoung tidak mau melakukan apa yang dikatakan. Ia kembali fokus pada makanannya dan tidak banyak menanggapi.

"Kenapa kau tidak seperti mereka?" Pertanyaan Nayoung sedikit mengusik Eunhee. "Membicarakan hal buruk padaku, menyalahkan dan memakiku. Kau juga punya rasa sayang yang sama pada Jihyun, seperti mereka.

Mata cokelat milik Eunhee membelalak. Perempuan itu mendesis dengan alis yang saling bertaut. Kedua tangannya ia lipat di atas meja sebelum memberi perhatian penuh pada Nayoung.

"Karena kau sahabatku. Seorang sahabat harus mendukung dan bukan menjatuhkan."

"Jadi, kalau aku bukan sahabatmu, kau akan melakukannya?"

Dugaan Nayoung sedikit menusuk, tapi cukup menggelitik Eunhee. Ia menggeleng. "Tidak. Jihyun berhak menentukan pilihan atas kehidupannya sendiri. Untuk apa aku membatasi? Memangnya aku ini siapa? Kalau kau berkencan dengan Jihyun, apa masalahnya?"

Eunhee dan seluruh ucapannya selalu berhasil membuat Nayoung lebih tenang. Namun, meski perasaan lega sempat singgah, sejatinya Nayoung masih tetap gelisah. Jemarinya bergerak asal di atas meja. "Tidak apa-apa. Aku menyadari kesalahan yang kulakukan. Seharusnya berhenti ketika masih bisa. Mau bagaimana pun, aku pantas menerima perlakuan seperti sekarang."

"Kalimat itu lagi," ujar Eunhee pelan. Perempuan itu mendecak tidak senang kemudian menunjuk makanan yang belum tersentuh sejak tadi. "Lupakan itu dan makanlah sebelum dingin."

Gimbap: Makanan Korea yang terbuat dari nasi putih digulung dengan rumput laut, dapat berisi sayuran (wortel, mentimun, bayam, atau acar lobak) dan sumber protein (fish cake, daging kepiting, telur, atau daging sapi).

✨✨

Ceritaku ini pace-nya sedikit lambat lagi, ya. Entah kenapa kok sukanya bikin begini. 😂 Masih banyak hal menarik yang mereka bahas dan singgung, jadi tungguin terus, ya! 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top