04 - Berlari Jauh, Tetap Kembali

Ost. for this chapter:
Kwon Minje - When U Blow

Dua kaleng soda diletakkan di atas meja granit. Sang pemilik rumah masih berdiri sembari meletakkan kedua tangannya di atas meja, memperhatikan seseorang yang kelihatan lelah terduduk di seberang. Daejoon melirik jam yang terpasang di dinding ruang tengah kemudian mengembalikan pandangannya ke semula.

"Sudah jam sebelas malam. Kenapa kau justru datang ke sini?"

Begitu Daejoon bersuara, Jihyun segera membuka pejaman mata dan mendekat ke meja. Tangannya meraih kaleng soda yang masih dingin kemudian meneguknya.

"Benar-benar menyegarkan," ujar Jihyun seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. "Kau punya ramyun tidak? Aku susah payah menahan diri tidak memakannya sejak beberapa hari lalu."

"Jujur padaku, kau kabur dari apartemenmu karena apa lagi hari ini?" tanya Daejoon dengan tangan memangku wajah. Kedua alisnya ia naik turunkan.

"Apa katamu?" Jihyun menanggapi dengan raut wajah tidak senang. "Hari ini aku mendapat izin dari Manajer Han karena besok tidak ada jadwal pagi."

Mendapat penolakan tegas dari Jihyun, Daejoon mengangguk. Lelaki itu berbalik untuk membuka salah satu lemari. "Lalu ada apa malam-malam begini? Kau bisa menghubungiku saja atau datang besok."

"Karena ada yang mengganggu pikiranku sampai tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya dan merasa hanya kau yang bisa membantuku."

Jihyun semakin mendekatkan tubuh dengan meja kala sahabatnya mulai menyalakan kompor, memperhatikan gerakan tangan Daejoon tanpa ingin ada yang tertinggal sebab rasa inginnya sudah terlalu besar.

"Jangan lupa tambahkan telur untukku," pinta lelaki yang masih terduduk manis seraya tersenyum lebar. "Ah, kau jangan sampai mengatakan apa pun tentang ramyun ini pada Manajer Han, ya."

Sejak tadi Jihyun tidak bisa berhenti bicara dan hal itu sedikit menggelitik Daejoon. Lelaki itu terlalu banyak khawatir. Lantas, sembari menunggu makanan mereka matang, Daejoon berbalik. Ada banyak yang ingin ia dengarkan dari Jihyun, termasuk tujuannya datang.

"Aku sudah siap mendengarkan," ujar Daejoon memberi aba-aba supaya lawan bicaranya dapat bercerita lebih banyak.

Sebelum menyampaikan maksud kedatangannya, Jihyun lebih dulu merekahkan senyum hingga sang sahabat tanpa sadar juga melakukan hal sama. "Aku ingin kencan dengan Nayoung besok malam. Bisa beri tahu tempat mana yang romantis menurutmu?"

Kedua ujung bibir Daejoon perlahan menurun, terdiam dalam beberapa detik. Matanya mengarah ke bawah, menjauh dari wajah Jihyun. Bahkan kalimat-kalimat yang dilontarkan Jihyun setelahnya hanya masuk dan keluar tanpa sempat ia cerna.

"Aku hanya ingin melewati malam indah bersama Nayoung karena selama ini terlalu sibuk masing-masing. Bagaimana?"

"Kalau begitu," Daejoon lekas menoleh usai terjebak dalam keheningannya, "kau hanya perlu mengajaknya ke tempat yang ia sukai, pasti lebih menyenangkan dan berkesan."

Menelaah kalimat yang baru disampaikan oleh sang sahabat, Jihyun mengusap dagu seraya menatap langit-langit. Lelaki itu sedang berusaha menemukan jawaban tepat untuk pertanyaannya melalui berbagai percakapan singkat antara dirinya dan Nayoung yang terabadikan dalam benak.

"Tapi apa kau yakin Nayoung akan menyetujui ajakanmu?" tanya Daejoon tiba-tiba mengusik fokus Jihyun. "Dia jelas-jelas tidak suka menjadi pusat perhatian. Menyembunyikan hubungan kalian masih menjadi pilihan terbaik sekarang, kau tahu alasannya."

Yang diajak bicara menghela napas kemudian menjatuhkan bahunya lemas. "Aku sudah menghabiskan empat tahun dalam persembunyian. Kau tahu bagaimana rasanya?"

Daejoon menarik kursi kemudian mengistirahatkan kaki yang mulai lelah lantaran terus berdiri. "Tidak pernah ada orang yang suka bersembunyi, terus menutupi perasaan dengan rasa khawatir. Kalau bukan untukmu, setidaknya kau berpikir untuk Nayoung. Bertahanlah sebentar lagi. Kau sering mengatakannya padaku, ada apa denganmu hari ini?"

Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, Jihyun segera meraih benda dari dalam saku celananya. Sebuah kotak berwarna biru tua segera ia geser di atas meja, serta-merta membuat Daejoon yang dipenuhi rasa penasaran membawa benda itu dalam genggaman.

Netra laki-laki itu membulat kala melihat apa yang tersimpan di dalamnya. "Apa kau ...."

"Benar. Aku tidak tahu apa yang sedang ada di pikiranku sampai akhirnya memutuskan ini," balas Jihyun segera kemudian memusatkan sorot matanya pada lawan bicara. Sekilas Daejoon dapat merasakan ketulusan yang mendalam dari rangkaian kata yang hendak terlontar. "Perasaanku sudah yakin berlabuh padanya. Aku berniat untuk memastikannya lebih dulu bila keyakinanku bukan hanya sepihak, tapi aku tidak ingin menundanya lagi."

"Lalu berita tentangmu akan heboh di mana-mana, memberi tekanan baru lagi untuk Nayoung. Dampak untukmu mungkin tidak seberapa, tapi untuknya?"

Jihyun meraih benda miliknya kembali. "Aku tahu kau sangat peduli dengan kami, tapi bisakah kau mendukungku sekali ini saja?"

Wadah yang mulai bergelegak di belakang mencuri perhatian Daejoon sejenak. Meninggalkan Jihyun yang mengamati dengan raut penuh harap, ia segera beranjak dan mengurus masakannya. Keadaan beralih menjadi hening dengan Daejoon yang fokus dengan kegiatannya.

"Kak Jihyun?" Seorang perempuan dengan pakaian tidur melangkah pelan dengan mata setengah menyipit.

Mendengar namanya dipanggil, lelaki itu berbalik dan tersenyum lebar begitu melihat seseorang yang lebih muda sepuluh tahun darinya. "Kang Haeun? Astaga, sudah lama tidak bertemu."

Tanpa menghiraukan sang kakak, Haeun mengambil posisi di dekat Jihyun sebab ingin menyapa lebih jauh. "Kak Jihyun yang sudah jarang datang ke sini."

Berpaling sekilas, Daejoon segera menyelesaikan ramyun buatannya. Tangannya bergerak sigap, pun jantungnya berdetak tidak kalah cepat. Pikirannya sedang tidak bisa berpikir jernih usai mendengar kejutan yang tidak pernah sekali pun ia bayangkan akan keluar dari bibir Jihyun.

"Kau temani Jihyun sebentar saja, aku harus ke toilet."

Daejoon melangkah cepat, segera meninggalkan sahabatnya yang tidak terlihat curiga tentang apa pun. Ia lekas menyalakan keran air di wastafel, membiarkannya mengalir cukup lama sehingga suaranya terdengar memenuhi ruangan. Sementara itu, lelaki bernetra hitam termenung memandangi refleksi dirinya di cermin.

Usai mengembuskan satu helaan napas, Daejoon membasuh wajah berulang kali sampai merasa lebih baik. "Tidak. Sadarlah, Daejoon. Kau tidak boleh mempertahankannya lagi. Sudah cukup, kau tidak boleh melangkah lebih jauh."

***

"Ketua Kang, tim percetakan baru saja menghubungiku. Ada kendala yang terjadi, sepertinya buku ini tidak bisa selesai sesuai perkiraan kita."

Tungkai yang Daejoon gerakkan perlahan akhirnya berhenti. Ia memperhatikan langit yang belum sepenuhnya biru lantaran lelaki itu sengaja menghabiskan pagi—yang belum tentu ia dapatkan setiap hari—dengan berlari di dekat kawasan rumah. Kedua alisnya seketika menaut ketika ia beralih ke tepi.

"Kenapa ini bisa terjadi tiba-tiba dengan pemberitahuan yang mendesak? Lalu kau sudah melihat secara langsung?" Raut lelaki itu fokus, mengesampingkan rutinitas pagi untuk memikirkan permasalahan yang terlalu dini.

"Sebelumnya aku sudah memastikan dan tidak ada masalah. Sepertinya ada kesalahan dalam mencetak pesanan sebelumnya sehingga jadwal yang lain ikut berpengaruh. Apa yang bisa kita lakukan?"

"Coba diskusi dan pastikan kembali dengan mereka. Jika keadaannya terlalu sulit untuk dipaksakan, ambil jalan tengah dengan mencetak beberapa eksemplar lainnya di tempat lain. Mereka pasti punya beberapa pilihan, 'kan? Dengan mengurangi jumlah cetak, seharusnya kita bisa mengimbangi jadwal yang ada."

Daejoon menyugar rambut yang terasa mengganggu area pandangnya kemudian berkacak pinggang. "Kau bisa mengaturnya, 'kan? Selanjutnya kita bahas lagi begitu kau mendapat kabar dari tim percetakan."

"Baiklah, aku akan mengusahakannya. Maaf sudah mengganggumu pagi-pagi begini, Ketua Kang."

Sambungan terputus usai Daejoon menyudahinya. Ia kembali melangkah pelan walau tahu dinginnya angin semakin menusuk. Lelaki itu menegakkan kerah jaket kemudian mempercepat gerakan kakinya.

Beragam pertanyaan dan kebimbangan terus berputar di dalam kepala Daejoon kala mengingat lagi perihal niat Jihyun yang ingin dilaksanakan hari ini. Apa yang sebenarnya dikhawatirkan oleh Daejoon? Perasaan milik siapa yang layaknya ia pertanyakan? Jihyun, Nayoung, atau mungkin dirinya? Memikirkan itu kontan membuat Daejoon frustrasi.

Lelaki itu berlari lebih cepat, berusaha meninggalkan setiap perdebatan dengan hatinya yang belum tentu dapat diselesaikan. Daejoon pikir ia hanya perlu fokus pada apa yang sedang dilakukannya, dengan begitu hal lain akan mudah dilupakan. Namun, cuplikan kejadian lalu justru berulang dan membuatnya ingat kembali. Dari sekian banyak peristiwa yang telah terlewati, satu kejadian yang sangat ia hindari dan menyisakan bekas teramat dalam justru semakin mengganggu pikirannya.

"Kau adalah sahabat Jihyun, kau juga orang yang berjasa dalam pekerjaanku. Apa yang terjadi antara aku dan kau seharusnya hanya sebatas itu saja."

Beberapa barang yang berserakan di atas meja segera Nayoung kemasi. Jadwal pertemuannya dengan pihak penerbit sudah berakhir lima menit lalu. Namun, Daejoon menahan niatnya untuk pergi sebab ada hal penting yang ingin disampaikannya.

"Aku tidak menduga ini sebelumnya. Kurasa aku sudah jatuh cinta padamu."

Nada bicara Daejoon teramat pelan, tapi cukup mengejutkan Nayoung yang beranjak dengan cepat hingga menimbulkan gaduh. Tatapan mata perempuan itu tajam seiring dengan mulut yang menganga.

"Sadarlah kepada siapa kau bicara sekarang. Aku memang selalu bersikap baik padamu, tapi jangan salah paham," balas Nayoung, segera mengalihkan muka. "Jangan membuat keadaan menjadi canggung hanya karena kebodohanmu."

Kesalahan terbesar Daejoon adalah telah menjatuhkan hati pada orang yang salah.

Lelaki itu menyudahi gerakan kakinya, mengatur napas yang tidak beraturan sebab jarak yang begitu jauh membuatnya lelah. Ia meletakkan kedua tangan di atas lutut sebagai penopang tubuh. Sejenak menyembunyikan wajah dari cuaca dingin dengan menunduk, Daejoon pun kembali mendongak. Jauh dari rencananya, ia memperhatikan daerah sekeliling. Yang ia lakukan hanya berlari sejauh mungkin sampai pikirannya merasa tenang, tapi lokasi akhir lelaki itu tidak terlihat asing. Sebuah apartemen lantai tujuh terbangun kokoh di hadapannya. Sebagian lampu ruangan menyala, sebagiannya lagi meredup.

"Kenapa aku justru datang ke sini?"

Hai! Sekarang aku udah bikin playlist buat nemenin kalian baca Eternally You nih di Spotify. Nggak cuma untuk baca aja, yang mau denger lagu-lagu nenangin juga bisa meluncur dan putar setiap hari kok! ><

Boleh dicari aja: Eternally You, playlist by Vania Andona 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top