03 - Tersadar Bukanlah Hal Buruk

Sama seperti apa yang telah disampaikan melalui sambungan telepon, seluruh kru telah menghentikan aktivitasnya walau masih ada lima jam tersisa dari waktu yang sudah diperkirakan. Datang dengan gerakan kaki terburu-buru, Nayoung lekas menghampiri sang sutradara.

"Sutradara Park?" sapa perempuan itu yang ditanggapi dengan perasaan lega.

Pria berusia sepuluh tahun lebih tua darinya segera melepas penyuara jemala yang masih melingkar di leher dan melemparnya secara kasar. Ia sudah ingin berbicara, tapi rasa jengkel kembali memenuhi hati sehingga perkataan yang hendaknya tersampaikan justru terbendung. Pria itu meremas helaian rambutnya kencang kemudian mendecak.

Nayoung memperhatikan sekitar, di antara mereka tidak ada yang menanggapi Sutradara Park dan fokus pada kegiatan masing-masingㅡmembaca lembaran kertas yang ada di tangan, berbicara satu sama lain dan memastikan set syuting.

"Ketika seseorang sudah semakin dikenal, seharusnya ia menjadi lebih profesional, bukan?" tanya Sutradara Park tiba-tiba tanpa menoleh.

"Tentu saja, membangun profesionalitas itu penting," tanggap Nayoung seraya mengangguk penuh antusias.

Sutradara Park memijat dahi sembari mengembuskan napasnya berat kemudian beranjak dan membalikkan tubuh supaya menghadap Nayoung. "Ada orang yang mengatakan bahwa masalah justru akan muncul ketika kita sudah hampir mencapai puncak. Mengapa anak itu semakin membuatku pusing?"

Nayoung tersenyum getir. Ia dapat melihat amarah yang terpancar dari sorot mata sang lawan bicara. Perempuan itu sengaja mendekatkan tubuh dan menanggapinya pelan. "Apa kau sudah membicarakan dengan manajer, CEO agensinya, atau mungkin Penulis Yoo? Maksudku, mereka lebih layak untuk kau ajak diskusi ... apa keberadaanku di sini bisa mengubahnya?"

"Kau pikir mengapa aku sampai harus memintamu datang ke sini? Seo Jihyun bersikeras ingin bertemu denganmu," jawab Sutradara Park yang kini berkacak pinggang. "Kau tahu sifatnya, 'kan? Ah, sudahlah. Kita istirahat dulu dua puluh menit!"

Beralih dari Nayoung, Sutradara Park berteriak pada seluruh kru yang masih menetap di sana kemudian segera menjauh. Sementara itu, Nayoung terus merutuk dalam hati dan mendesis kesal. Netra hitamnya menjelajah kemudian fokus diarahkan tepat pada sebuah kursi panjang di sisi hamparan. Tanpa berpikir panjang, perempuan itu mencengkeram tali tasnya kemudian melangkah cepat.

Begitu sampai di dekat lokasi tersebut, Nayoung yang sudah memastikan targetnya dengan memperhatikan postur tubuh dari belakang langsung berteriak, "Ya! Seo Jihyun!"

Lelaki berbalut jaket tebal berwarna hitam lantas menoleh ke belakang kala suara yang begitu dikenalnya menyapa rungu. Rautnya terlihat bahagia, berbanding terbalik dengan Nayoung yang sudah siap menyalurkan kemurkaan Sutradara Park yang tertahan. Namun, belum sampai Nayoung mengutarakan maksudnya, ia lebih dulu dikejutkan dengan keberadaan Manajer Han yang tidak disadari sebelumnya.

"Oh!" Perempuan itu merekahkan senyum kemudian membungkuk. "Maafkan aku, Manajer Han, tapi apa aku bisa bicara berdua saja dengan Jihyun?"

Menoleh ke arah Jihyun usai mendengar permintaan Nayoung, lelaki berkacamata itu meminta persetujuan dan langsung ditanggapi dengan anggukan. Sesudah memastikan sang manajer benar-benar menjauh, barulah Nayoung melangkah maju, beralih duduk di sisi Jihyun.

"Katakan apa yang kau mau," perintah perempuan itu tanpa ada basa-basi. "Apa kau harus melakukan ini juga padaku? Rumor tentang kau yang banyak menuntut dalam pekerjaan memang sudah tersebar dan sebelumnya aku tidak percaya sampai membuktikannya sendiri sekarang."

Jihyun justru menyilangkan kaki, meletakkan salah satu lengan di atasnya kemudian memangku dagu. Kepalanya sengaja ia miringkan seraya menampilkan senyum sebelum menimpali. Seluruh pandangan Jihyun hanya ia pusatkan pada perempuan yang tengah menatapnya.

"Lucunya."

"Apa?" Kening Nayoung semakin mengerut disertai sarat kebingungan.

Laki-laki yang sedang berbicara padanya semakin mengembangkan bibir dan tidak berniat mengubah posisi. "Aku harus mengisi semangatku di hari terakhir yang melelahkan ini. Kau tidak perlu melakukan apa pun, cukup seperti ini saja."

"Kau ...." Nayoung menghela napas sesaat kemudian memejamkan mata. Perempuan itu membalas senyuman Jihyun dan begitu keadaan sekitar cukup aman—tidak ada orang yang melihat ke arah mereka—ia memukul lengan lelaki itu. "Ini lelucon bagimu, ya?"

"K-kenapa?" Lelaki berambut hitam itu kembali menegakkan tubuh. "Kau sudah membuat persetujuan denganku, 'kan? Aku boleh memanggilmu kapan saja ketika butuh penjelasan tentang cerita yang kau buat."

"Oh? Benar, tapi seharusnya kau bisa mengatakannya baik-baik saja dan tidak membuat keadaan heboh seperti ini." Nayoung sudah lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Ia memindahkan posisi tas ke atas paha, pun tangannya diletakkan di atasnya. "Jadi, apa yang mau kau tanyakan?"

Meraih benda dari sisi kanannya, salah satu tangan Jihyun membawa lembaran putih itu ke hadapan Nayoung. "Kenapa Heejun harus berpisah dengan Yoori meski tahu mereka saling mencintai?"

"Apa?" tanggap Nayoung singkat kemudian mengikuti arah jari Jihyun menunjuk.

"Kenapa juga Heejun justru meninggalkan sebuah bunga sebagai petunjuk alih-alih mengatakannya langsung? Kau membuatnya sangat menyedihkan."

Jihyun melirik sekilas kemudian memandang jauh ke depan seraya merengut.

"Karena memang itu poin utamanya," jawab Nayoung cepat. Perempuan itu mengikuti Jihyun yang tengah menikmati pemandangan di hadapan, kedua kakinya ia goyangkan perlahan. "Ketika kita dihadapkan dengan sebuah perpisahan yang tidak diinginkan, bagaimana caranya supaya kepedihan tidak terasa semakin nyata menjadi hal penting dan itulah yang dilakukan oleh Heejun."

Lelaki itu mendesis setelah mendengar penjelasan singkat dari sang perempuan. Ia menggaruk pelipisnya. "Itu dia. Kalau tidak ingin, seharusnya dia tidak perlu melakukannya."

"Semua pasti bahagia dengan kebersamaan, tapi tidak satu pun dari mereka sadar bahwa pertemuan selalu menjadi langkah awal bertemu perpisahan selanjutnya. Kodratnya memang seperti itu, 'kan?"

"Tidak. Aku akan berusaha bagaimana pun caranya karena tidak bisa hanya berserah pada keadaan," tanggap Jihyun yang kini menatap Nayoung dengan penuh penolakan. "Apa kau tidak pernah berpikir bagaimana perasaan Yoori? Tidak bisa mengucapkan selamat tinggal bahkan untuk pertama dan terakhir kalinya."

Mendengar tuturan Jihyun, perempuan yang masih setia duduk di sebelahnya itu mengedip berulang kali. Salah satu alisnya naik, pun ia sedang menduga ke mana arah pembicaraan Jihyun sebenarnya.

"Mari kita pikirkan lebih sederhana. Ini adalah jalan yang dipilih Heejun dan bisa saja berbeda denganmu. Kau harus bisa menghargai keputusannya, 'kan?"

Pernyataan Nayoung diakhiri dengan senyuman kemudian ia beranjak. Tangan Jihyun yang masih menggenggam naskah diraihnya supaya lelaki itu ikut berdiri dengannya.

"Sudah terlalu banyak waktu terbuang, kau harus segera kembali," lanjut Nayoung seraya memperhatikan set syuting dan mendesis. "Akan semakin dingin kalau kau hanya berdiam diri."

Pemilik nama depan Go itu lekas menarik tangan sang aktor. Namun, sebelum benar-benar melangkah, Jihyun sudah melepaskan genggaman itu dan memicu atensi dari Nayoung. Apa Jihyun ingin menolak pemikirannya lagi? Setidaknya pertanyaan itu yang sempat melintas dalam benak Nayoung, tapi apa yang terjadi sungguh berbanding terbalik. Laki-laki itu tidak banyak berbicara dan selang beberapa detik saja jaket tebal berwarna hitam sudah membalut tubuh Nayoung.

"Baju ini sudah cukup tebal untukku," jelas Jihyun sembari mengangkat bahu dan kedua alisnya.

***

"Kau tahu kalau Jihyun sangat sensitif dengan perpisahan, bukan?"

Nayoung tengah berbincang di telepon dengan seseorang yang juga mengenal lelaki itu. Setelah ia berbicara dengan Jihyun beberapa waktu lalu, akhirnya syuting dapat dilanjutkan kembali. Kini perempuan yang berdiri tidak jauh dari set sibuk membagi fokus untuk memperhatikan bagaimana Jihyun beradu peran walau masih tahap latihan.

"Benar. Kadang aku berpikir kalau citra Jihyun di media dengan aslinya jauh berbeda," tanggap Daejoon dengan kekehan yang membuat Nayoung ikut tergelak. "Lalu bagaimana akhirnya?"

"Sudah teratasi dengan baik. Bagaimana kau bisa bertahan dengan sahabat seperti dia?" Nayoung mencairkan suasana dengan ledekan sederhananya, tapi respons Daejoon justru makin menyebalkan.

"Lalu kau ... bagaimana bisa masih menjadi kekasihnya sampai sekarang? Kalau kau menyampaikan alasanmu, mungkin aku akan menemukan jawabannya juga."

Perempuan itu tidak sanggup menahan tawanya kemudian melipat salah satu tangan di depan dada. "Ah, iya. Maaf, aku repot sampai tidak menanggapi pesanmu. Secepatnya, kupastikan bab terakhir selesai."

Lelaki di ujung sambungan mendeham. "Aku hanya mengirimkan pesan itu sebagai pengingat. Novelmu akan terbit tiga bulan lagi. Kita masih punya waktu, tapi jangan dimanfaatkan untuk bersantai, ya."

"Tentu saja." Nayoung menjeda pembicaraan sejemang. Ia menjauhkan ponsel dari telinga hanya untuk melihat jam yang tertera. "Kurasa kondisi di sini sudah membaik. Sudah semakin sore, aku harus pulang dulu."

"Kalau begitu, hati-hati, ya. Terima kasih sudah memberi kabar padaku."

Ketika obrolan singkat itu berakhir, Nayoung ingin menyimpan benda tipis miliknya ke dalam tas. Namun, keberadaan seseorang yang menyapanya lebih dulu mengusik.

"Hanya akan sia-sia kalau kau datang ke sini tanpa melakukan apa pun. Ayo, ikut aku ke sana. Kita lihat mereka lebih dekat," ajak seorang perempuan dengan kartu identitas yang melingkar di leher. Dari benda yang dikenakannya, Nayoung tahu jika yang berbicara dengannya sekarang adalah Choi Sohyun, sang asisten sutradara.

Menanggapi ajakan Sohyun, Nayoung segera mengangguk. Perempuan yang mengajaknya bicara sudah lebih dulu pergi untuk melanjutkan pekerjaan, sementara Nayoung mengangkat ponselnya kembali. Menyadari momen Jihyun yang sangat langka untuk diabadikan, tiba-tiba ia teringat akan Eunhee. Pasti sahabatnya akan merasa gembira bila mendapatkan foto eksklusif sang idola.

Baru ingin mengarahkan kamera ponsel ke arah Jihyun, gerakan tangannya tertahan. Ponsel yang ada di genggaman kontan terjatuh bersamaan dengan tubuh Nayoung yang ikut merendah. Tanpa lebih dulu memperhatikan sosok yang baru saja menyenggol, atensi Nayoung justru tertuju pada sebuah kamera dan buku kecil yang mendarat di hamparan.

"Maaf, aku tidak sengaja." Suara seseorang di hadapan mengusik fokus Nayoung.

"Aku tidak apa-apa, tapi kameramu ...."

Merasa tidak nyaman karena tanpa sengaja merugikan orang lain akibat perilakunya, Nayoung segera mengulurkan tangan untuk meraih benda milik lawan bicara. Namun, niat Nayoung tidak sampai terlaksana lantaran sang pemilik langsung merampas kamera dan buku tersebut. Gerakan tangannya tergesa-gesa, pun ketika perempuan itu beralih pergi.

Iris hitam Nayoung sibuk mengamati punggung perempuan yang kian menjauh bergantian dengan sebuah pohon yang berdiri kokoh di dekatnya. "Apa seorang reporter biasa datang ke lokasi seperti ini juga? Tadi itu dia sedang bersembunyi?"

Kedua tangan Nayoung sibuk menepuk-nepuk bagian bawah pakaiannya sebab terlihat sedikit kotor. Setelah perempuan yang bersamanya tadi benar-benar pergi dari lokasi, Nayoung mengabaikan rasa penasaran yang ia timbulkan sendiri. Cepat-cepat Nayoung mengangkat kepala guna melihat ke arah Jihyun berada, terlebih ia juga harus segera sampai di set syuting karena Sohyun mungkin akan mencari keberadaannya. Namun, apa yang ingin diamati perempuan rambut hitam itu tidak lagi seperti sebelumnya. Hanya ada beberapa kru tanpa pemain di sana.

"Kau tidak apa-apa?"

Nayoung tersentak kemudian memutar tubuh, mengikuti arah sumber suara. Dilihatnya lelaki yang ada di hadapan segera mencengkeram bahu Nayoung, sorot matanya lekas menyelisik setiap sisi tubuh perempuan itu.

Tidak menanggapi apa pun dan justru memperhatikan wajah laki-lakinya, netra Nayoung dengan Jihyun akhirnya bertemu. Melupakan sejenak pendapat orang lain tentang apa yang Jihyun lakukan padanya, perempuan berjaket hitam itu sengaja memusatkan tatapan—mengamati bola mata indah Jihyun serta kekhawatiran yang tersirat. Hingga selang beberapa detik kemudian, Nayoung tersadar.

"Aku tidak apa-apa," tanggap Nayoung seraya menurunkan kedua tangan Jihyun. "Bagaimana kau bisa ada di sini? Jelas-jelas tadi kau ada di sana."

Bibir Jihyun serta-merta mengerucut begitu mendengar jawaban dari sang lawan bicara. Sudut matanya menurun disertai decakan yang terdengar sangat pelan, tapi masih bisa Nayoung dengar. Tatapan Jihyun tidak lagi diarahkan ke wajah Nayoung, lelaki itu justru sibuk meraih kedua telapak tangan perempuan bernama depan Go.

"Kau mau apa? Bagaimana jika ada yang melihatmu—ah, mereka jelas sudah melihatmu. Dengan kau tiba-tiba menghampiriku saja sudah mencuri perhatian semua orang. Aku harus membuat alasan seperti apa jika ada yang bertanya? Oh! Bahkan tadi aku tidak sengaja bertemu dengan seorang reporter. Bukannya yang kau lakukan sekarang bisa menimbulkan rumor yang tidak-tidak? Kau tidak boleh melakukan ini."

Tidak ada habisnya pertanyaan yang dilontarkan oleh Nayoung, tapi Jihyun tidak mengindahkan. Meski Nayoung memanggil namanya berulang kali, berusaha menenangkan diri dari kepanikan, Jihyun tidak sedikit pun terusik. Alih-alih menjawab, lelaki berambut hitam itu justru mengatakan hal lain.

"Kau terlalu banyak mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi sampai tidak memperhatikan kondisimu sendiri." Seraya masih menggenggam tangan Nayoung, Jihyun merogoh benda di dalam saku celananya.

Terdiam, netra Nayoung ikut sibuk mengikuti arah gerakan tangan kekasihnya. Dari sekeliling, Nayoung mendengar namanya dan Jihyun disebut dalam sebuah bisikan. Bukan sekali-dua kali, hampir setiap perempuan yang melintas tidak melewati momen langka Seo Jihyun begitu saja—seakan dunia selalu ingin tahu urusan pribadi milik setiap insan.

"Selesai." Jihyun menarik kedua sudut bibir ke atas setelah merekatkan plester luka pada telapak tangan kiri Nayoung.

Sedetik pun Nayoung tidak mengalihkan pandangannya, bahkan angin yang berembus dan menggerakkan helaian rambut seseorang di hadapan mampu membuat hatinya lebih sejuk. Perilaku sederhana yang kerap dilakukan oleh Jihyun perlahan membuat perempuan itu tersadar. Jika selamanya ia hidup dalam kekhawatiran, apa waktu akan membiarkan dirinya merasa bahagia—hanya dengan menjadi diri sendiri—tanpa perlu takut akan pandangan orang lain? Nayoung sedang berusaha memikirkan jawabannya.

"Bagaimana semua kru di sini bisa diam saja ketika melihat ada seseorang yang terluka?" Lelaki itu tiba-tiba bertanya dengan nada tinggi sehingga siapa pun yang berada di sana segera mengalihkan wajah ke arahnya.

Sudah cukup dirinya menjadi pusat perhatian akibat perbuatan Jihyun, Nayoung menarik tangannya dari genggaman lelaki itu. "Ini bukan masalah besar, aku juga tidak terluka."

Kembali memusatkan atensi pada perempuannya, Jihyun sengaja maju beberapa langkah hingga berada tepat di sebelah Nayoung. Tatapannya tetap lurus ke depan, hanya wajah yang sedikit ia condongkan ke dekat telinga Nayoung.

Jihyun berbisik sebelum benar-benar meninggalkan perempuan itu, "Aku melakukannya dengan baik, 'kan? Lihat, aku tetap bisa memperhatikanmu tanpa membuat orang curiga. Kau bisa membalasku dengan menyisihkan waktu besok malam."

Menanggapi keputusan sepihak yang disampaikan Jihyun, Nayoung segera menoleh. Namun, lelaki yang membuatnya bertanya-tanya sudah berjalan kembali tanpa perlu mendengar balasan.

"Tapi kenapa aku merasa pernah melihat perempuan tadi sebelumnya?" tanya Jihyun diselimuti ragu seraya meninggalkan Nayoung.

Adakah yang setuju dengan ucapan Nayoung di sini?

Pertemuan itu cuma langkah awal untuk perpisahan selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top