02 - Sisi Baik

Musim dingin, satu setengah tahun lalu.

Seseorang yang bersembunyi di balik layar laptop terus mengetukkan jemari di atas meja, menciptakan suara sendiri guna meruntuhkan satu per satu kebimbangan yang ada di dalam hati. Perempuan itu mendesis seraya memiringkan kepala sebelum akhirnya kembali menyentuh beberapa tombol berwarna hitam dengan huruf di atasnya.

"Walau terasa menyesakkan, waktu pun tetap enggan mengubah keadaan dan memilih untuk diam."

Tangannya bergerak selaras dengan tuturan yang ia sampaikan. Netranya membaca satu per satu kata yang telah disusun.

"Atau aku yang seharusnya mampu ...."

Nayoung sedikit bergumam, alisnya bertaut disertai gelengan kecil. Jarinya menekan tombol di sebelah kanan atas, menghapus serentetan kata yang dirasa kurang tepat.

"Sekarang hanya aku yang harus memilih, terus mengikuti apa yang tertulis atau menciptakan perubahan."

Perempuan dengan jaket wol berwarna merah muda itu menjentikkan jari. "Benar, begini saja."

"Sudah sepuluh menit sejak aku datang ditambah kau ada di sini sekitar satu jam lalu. Ah, aku benar-benar tidak bisa menduga bagaimana otakmu sekarang karena dipaksa bekerja terlalu keras," ujar Eunhee—sahabat Nayoung—yang telah kembali dengan sebuah nampan berisi beberapa pesanan. Ia mengangkat gelas berisi ice chocolate latte kemudian menempelkannya pada pipi Nayoung dengan sengaja.

Fokus perempuan yang sedang diajak bicara langsung teralih begitu merasakan dingin merambat di kulitnya. Dalam beberapa detik saja, gelas tersebut sudah berpindah tangan dengan senyum yang saling dilemparkan keduanya.

Memperhatikan sahabat di hadapannya yang sibuk mencari ponsel, Nayoung mengesampingkan benda persegi panjang yang sejak tadi menemani kesendiriannya. Ia melipat salah satu tangan kemudian memangku dagu.

"Kau terlihat sangat bahagia," puji Nayoung sesaat kemudian membelalak. "Tunggu, kenapa kau memesan bingsu dengan krim, saus dan bubuk cokelat yang begitu banyak?"

"Karena," Eunhee menunjukkan layar ponselnya pada sang sahabat, "Seo Jihyun pernah memakannya di sini."

Mulut Nayoung kontan menganga kemudian ia mengangguk seraya terkekeh. "Pantas. Seharusnya aku tahu sejak awal alasanmu mengajakku jauh-jauh datang ke tempat ini."

Eunhee tidak lagi menghiraukan kalimat Nayoung dan justru asyik bergaya di depan kamera bersama satu mangkuk bingsu, tidak lupa membentuk hati dengan jemarinya yang lain. Terhitung lebih dari satu potret yang ia abadikan.

"Aku akan mengunggahnya dulu," ujar Eunhee sembari bergoyang kecil.

"Menyenangkan melihat seorang penggemar sangat menyayangi idolanya sampai hal sekecil ini." Nayoung beralih menopang wajah dengan kedua tangannya yang dibalas dengan kerucut di bibir Eunhee.

"Ah, karena sekarang kita di sini, haruskah aku mengambil gambar denganmu juga dan menunjukkan betapa aku menyayangimu sama seperti pada Jihyun?" goda Eunhee dengan senyum melebar, tapi Nayoung jelas-jelas menolak. "Aku hampir lupa, ada berita bagus untukmu."

Perempuan itu terlihat lebih fokus menggulir layar ponsel sembari mengambil suapan pertama bingsu-nya. Namun, tidak sampai suapan berikutnya, Eunhee sudah menggeser makanan tersebut ke arah Nayoung. "Ya ampun, bagaimana Jihyun bisa menyukai makanan yang sangat manis seperti ini? Untukmu saja."

Diam-diam terkekeh, Nayoung sebenarnya juga menanti respons perempuan yang sedang tergila-gila dengan idolanya itu. Ia berbicara pelan, "Benar, seleramu tidak mungkin bisa berubah secepat itu hanya karena Jihyun."

"Nah, ini dia." Eunhee membuka sebuah obrolan dalam salah satu grup penggemar yang diikutinya. "Drama Jihyun yang diadaptasi dari novelmu meraih rating tertinggi minggu ini, enam belas persen."

"Enam belas persen?!" Kedua mata Nayoung membulat. "Yang benar? Ini sangat melebihi ekspektasiku. Sudah kuduga, Penulis Yoo memang merancang naskahnya semenarik itu, nama Jihyun juga tidak perlu diragukan lagi dampaknya. Ini juga berkatmu, Jihyun-ie."

"Jihyun-ie?" Pertanyaan singkat yang dilontarkan Eunhee refleks membuat Nayoung juga menoleh kaget. Wajah perempuan itu seketika memerah, ia juga mengerjap dan diam adalah cara paling baik untuk menanggapi kesalahan yang diciptakannya sendiri.

Namun, melepas ketakutan yang mendadak menghampiri Nayoung, Eunhee mengangguk paham dan mengambil kesimpulan sendiri. "Ah, antara penulis asli dan aktornya memang harus membangun hubungan dekat, benar? Aku mengerti. Sebagai penggemarnya, aku juga sering memanggilnya seperti itu."

"Be-benar. Kau tahu."

"Bagaimana pun juga, kau sudah membuat cerita yang luar biasa sehingga dapat menarik perhatian orang banyak," tambah Eunhee kemudian membawa ponselnya kembali. "Wah, komentarnya dipenuhi pujian. 'Aku sudah membaca novelnya, keduanya benar-benar keren.' 'Penulis Go, mulai saat ini aku akan menantikan ceritamu yang lain.' Dengan begini, kerja kerasmu terbayar."

Senyum merekah lebih lebar di wajah Nayoung. Perempuan itu berdiri dan menghampiri kursi Eunhee yang ada di hadapannya. Ia merendahkan tubuh kemudian menggeser sahabatnya dengan lengan. "Biar aku melihatnya juga."

Keduanya asyik membaca satu per satu kalimat yang tertulis di bawah artikel, tidak menghiraukan keadaan sekitar. Ini pertama kalinya Nayoung ingin tahu pendapat orang lain tentang dirinya, biasanya perempuan itu tidak pernah peduli—justru khawatir tentang ucapan yang bisa saja memperburuk perasaan. Namun, sekarang ia pun mengetahui mengapa mereka yang menjadi sorotan publik selalu memperhatikan komentar orang lain.

Terlalu terpaku dengan layar ponsel yang masih menunjukkan halaman peramban sama, Nayoung sampai tidak menyadari bahwa benda serupa berwarna rosegold bergetar di atas meja jikalau Eunhee tidak merasa terusik dan memberi tahunya.

Kang Daejoon:
Jangan lupa mengirimkan hasil revisi akhir bab terakhirmu. Batas waktu semakin dekat.

"Astaga!" pekik Nayoung seraya beranjak, mengejutkan Eunhee yang masih ada di sebelahnya. "Karenamu aku jadi tidak ingat janjiku dengan Daejoon. Aku benar-benar sedang diburu waktu, kurasa tidak baik jika terus ada di sini."

Mengawasi tangan Nayoung yang bergerak cepat dalam mengemasi barang-barangnya, Eunhee mengeluh, "Kenapa aku? Kau juga kelihatan baik-baik saja dan bersemangat saat mendengar beritaku—oh, ponselmu berbunyi lagi."

Sempat mendecak, perempuan itu membagi fokusnya. "Apa aku terlalu lama mengulur waktu sampai Daejoon terus mendesakku? Tidak biasanya ... Sutradara Park?"

Begitu netra hitamnya mendapati nama lain tertera di layar ponsel, Nayoung menghentikan kegiatannya dan menerima panggilan tersebut.

"Ada apa, Sutradara Park?" Kedua alis Nayoung menaut, pun menjeling ke arah Eunhee yang masih memperhatikan. "Bagaimana katamu? Seo Jihyun tidak mau melanjutkan syutingnya?"

***

Aroma buku-buku baru dan alunan musik mendayu menjadi perpaduan sempurna untuk menahan setiap orang yang datang. Begitu pula, sepasang insan yang belum ingin berpindah dari tempatnya berdiri sejak setengah jam lalu. Di hadapannya tersusun rapi beberapa buku dengan judul sama, When Flower Says. Para pramuniaga toko telah menyediakan satu meja khusus untuk novel yang sedang masuk dalam kategori best seller minggu ini dan hal itu membuat keberadaannya sangat disadari oleh pengunjung.

Perempuan dengan pakaian turtle neck dan mantel hijau tua meraih salah satu buku kemudian mulai membaca kalimat yang tertulis di bagian belakang. Ia menoleh pada seseorang yang datang bersamanya seraya tersenyum.

"Coba lihat, bukankah cerita ini menarik? Aku penasaran dengan isinya begitu sekilas membaca dan melihat tanda best seller yang terpasang. Komposisi warna di sampul bukunya juga benar-benar cantik. Rasanya aku mengerti kenapa buku ini sampai berhasil menarik hati seorang produser drama."

Lawan bicaranya tidak kunjung menanggapi. Lelaki itu justru menoleh ke arah kanan dan kiri setelah menyadari beberapa pasang mata tengah memperhatikan mereka. Daejoon merebut buku bersampul jingga itu kemudian mengembalikannya ke tempat semula.

"Sudah cukup. Kau mengawasi secara diam-diam, haruskah kau membuatnya terlihat jelas?"

Hyejin menekuk wajahnya, mengubah ekspresi secara drastis. "Memang begini caraku. Seharusnya kau membantuku karena sudah ada di sini, kenapa hanya berdiri saja?"

"Kau terus mengatakan hal sama setiap ada orang yang mendekat. Sudah kubilang kalau aku hanya ingin tahu bagaimana respons mereka pada buku yang kutangani."

"Lalu bagaimana jawaban dari rasa penasaranmu?" pancing Hyejin sembari mencondongkan tubuh ke samping.

Yang diajaknya bicara pun mengangguk pelan. "Sukses."

"Itu dia!" sorak perempuan berambut cokelat itu kemudian menjentikkan jari dan menunjuk diri sendiri. "Semuanya berkat timku. Ah, aku bahkan sudah meminta pemilik toko buku ini untuk memasang banner drama yang mengusung ide novel ini untuk mempermudah mereka yang mencari. Bagaimana?"

Melihat semangat yang terpancar dari sorot mata Hyejin, Daejoon mengacungkan dua ibu jarinya. "Aku mengakui kemampuanmu, Kak."

Usai puas mendengar pengakuan tersebut, Hyejin mengalihkan pandangannya pada langit-langit sambil bersedekap. Satu helaan napas ia embuskan kemudian diakhiri dengan goresan bahagia pada wajah.

"Tidak terasa kita sudah bekerja sama dengan Nayoung selama tiga tahun, ya? Kau yang pertama kali membawa dan memperkenalkan seorang penulis berbakat pada kita. Jika dipikir kembali, aku jadi sangat mensyukuri waktu itu."

Benar apa yang dikatakan oleh Hyejin. Siapa yang bisa menduga bila Go Nayoung yang datang dengan penuh keraguan akhirnya bisa mencapai puncak kejayaannya sekarang? Daejoon kembali teringat akan pertemuan pertamanya secara resmi dengan perempuan itu di kantor penerbit.

Kala itu ia dan Direktur Nam—pemilik Penerbit Chaegoo—yang tengah menunggu di ruang rapat dikejutkan oleh kehadiran perempuan bermantel cokelat susu yang membawa beberapa gelas minuman dari kafe terdekat.

"Selamat pagi, apa aku terlambat hari ini? Antrean di kafe ini ternyata cukup panjang, tapi seharusnya aku masih punya waktu tersisa lima menit lagi, 'kan? Oh, aku membawa ini untuk kalian. Kupikir akan ada banyak orang yang menghadiri rapat ini, ternyata dugaanku keliru ... ya?" Nada akhir bicaranya memelan, diselimuti kegelisahan.

Baik Daejoon maupun Direktur Nam masih diam dalam pandangan yang saling bertanya satu sama lain sampai salah satu dari mereka akhirnya angkat suara.

"Kau benar-benar orang yang penuh persiapan," puji Direktur Nam sembari bertepuk tangan kecil. "Aku menyukainya. Aku sudah bisa merasakan aura penuh semangat sebelum kita mulai."

"Aku hanya ingin menciptakan kesan baik di awal pertemuan," tanggap Nayoung dengan suara yang amat pelan kemudian melirik ke arah Daejoon yang ada di ujung meja. Ia menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. "Maafkan aku."

Sebelum menanggapi, Daejoon tertawa pelan. "Tidak masalah."

Sampai sekarang pun kejadian itu masih menyisakan senyum untuk Daejoon setiap ia mengingatnya. Nayoung terlalu menarik dengan tingkah yang mengejutkan.

"Karena aku sudah melakukannya dengan baik, kau harus membelikanku makanan yang enak siang ini," putus Hyejin sepihak dan kakinya mulai melangkah menuju pintu keluar. "Setuju? Setuju."

"Eoh? Aku belum menjawab."

Perempuan yang sudah berjalan lebih jauh itu mengangkat telapak tangan ke udara. Tanpa menoleh, ia berkata, "Aku sudah lapar."

"Kau sudah menagihku untuk membayar makanan, sekarang kau juga meninggalkanku. Kak Hyejin, bukannya itu berlebihan?" protes Daejoon yang menggeleng seraya terkekeh dan mengikuti ke mana arah tujuan seniornya.

Bingsu: Dessert khas Korea yang dibuat dari es serut dengan berbagai topping.

-ie: (Korea) Akhiran yang melekat pada akhir nama seseorang sebagai tanda kedekatan dan kasih sayang.

✨✨

Lihat Eunhee bucin banget sama idolanya, ya. Kalian ada nggak yang sama kayak Eunhee? Demi samaan kayak idola, rela beli makanan yang pernah dia makan atau mungkin milih kembaran baju yang pernah dia pakai juga?
Ya, itu salah satu cara sederhana untuk membahagiakan diri juga. 😂

Nayoung sampai berhasil jadi penulis best seller setelah bertahun-tahun. Bahagia ya pasti? Yuk, semuanya—termasuk aku—terus semangat supaya bisa ikutin jejaknya Nayoung. ✊🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top