01 - Menghilanglah
"Jangan pergi! Jangan!"
Teriakan Nayoung menggema ke seluruh ruangan, serta-merta membuat kedua orang tuanya dan Daejoon lekas beranjak dan menuju kamar perempuan itu. Kondisi ruangan berdinding abu-abu muda tersebut sudah tidak karuan dengan barang-barang berserakan di lantai, sementara seseorang yang membuat gaduh tengah berdiri di dekat ranjang seraya memegangi kepala. Cengkeraman jemari di antara helaian rambut perempuan itu teramat kencang.
Byungjin—ayah Nayoung—yang sempat tercengang masih bergeming di dekat pintu dengan tangan memegangi dada, pun Heekyo—ibu Nayoung—berdiri tepat di belakang suaminya. Mereka hanya memperhatikan tanpa berniat untuk melangkah. Byungjin menoleh sekilas kemudian membawa tubuh Heekyo mendekat dalam rangkulannya begitu melihat sorot mata sang istri yang dipenuhi kekhawatiran.
Alih-alih mengabaikan tingkah Nayoung, Daejoon mengambil langkah mantap—tidak terburu-buru dan cenderung berhati-hati—dan melewati kedua orang tua perempuan itu usai melemparkan senyum tipis.
Dilihatnya perempuan dengan rambut panjang yang sudah sedikit berantakan itu tengah terduduk di lantai seraya memeluk salah satu kaki. Kepala Nayoung juga masih diarahkan ke bawah diikuti racauan pelan yang tidak dapat Daejoon dengar jelas. Tepat ketika ia sudah tiba di sisi perempuan itu, Daejoon memajukan tubuh dan mendekat ke arah jendela yang terbuka. Suasana di luar sedang kacau dengan sebuah mobil terhenti di depan apartemen Nayoung beserta dua orang yang sedang beradu argumen. Daejoon menarik napas dalam sebelum merendahkan tubuh.
Lelaki itu mendaratkan tangan pada bahu Nayoung seraya menyamakan posisi dengan sang perempuan. Nayoung refleks menoleh dengan mata yang masih berair. Kedua alisnya turun, pun sorot mata perempuan itu berubah menjadi lebih tenang walau napasnya masih memburu—Daejoon dapat merasakannya.
Seraya tidak melepaskan pandangan dari laki-laki di hadapan, Nayoung meraih tangan Daejoon dari bahunya kemudian menggenggam telapak itu erat.
"Aku tidak ingin sendiri," lirih Nayoung sembari terus menggeleng.
Sang lawan bicara menanggapi dengan anggukan kemudian mendekap Nayoung guna memberi sedikit ketenangan. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku di sini."
***
Cahaya dari lampu tidur di atas nakas menerangi sebagian area di dalam ruangan. Lelaki berpakaian lengan panjang yang sudah menghabiskan sorenya di sana segera berjalan kembali, merapikan letak selimut supaya lebih memberi kehangatan pada seseorang yang baru terlelap.
Usai pintu ditutup, Daejoon menghampiri sepasang suami istri yang masih menetap di ruang tengah. Salah satu di antaranya beranjak begitu menyadari kehadiran Daejoon seraya berucap, "Kau belum makan sejak tadi, biar bibi siapkan untuk kita. Makanlah dulu sebelum pulang, ya."
"Ah ... iya," tanggap Daejoon sambil sedikit mengangguk.
Byungjin yang ikut berdiri begitu Heekyo berjalan ke arah dapur segera mendekat ke arah Daejoon dan menepuk bahu lelaki itu pelan. Melalui gerakan mata Byungjin, Daejoon serta-merta mengikuti ke mana kakinya melangkah hingga keduanya sampai di sebuah meja persegi panjang.
Lima menit sejak acara makan mereka dimulai telah berlalu dengan senyap yang menyelimuti, hanya ada denting jarum jam dan alat makan yang saling beradu. Daejoon meraih gelas berisi air mineral di sebelah mangkuk kemudian meneguknya dengan salah satu tangan menutupi wajah.
"Makanlah yang banyak, bibi juga sudah menganggapmu sebagai anak sendiri," ujar Heekyo seraya meletakkan beberapa iris daging di atas nasi milik Daejoon, membuat lelaki itu mengangguk sopan.
Byungjin yang telah menghabiskan makanan terlebih dulu lantas melipat tangan di atas meja dan mengerling ke arah istrinya. Kedua alis pria itu terangkat, tapi justru ditanggapi dengan gelengan kepala dan kerutan di dahi Heekyo. Mereka terus berbicara di balik gerak-gerik yang mengundang tanya bagi Daejoon, terlebih kala gerakan tangan Heekyo mendadak terhenti.
"Apa ada sesuatu, Paman? Bibi?"
Arah tatapan Heekyo teralih pada Daejoon kemudian lengkungan tipis di bibirnya seketika terulas. "Bukan apa-apa ... astaga, kau harus segera menghabiskan makananmu sebelum dingin—"
"Sebenarnya," suara dari sebelah kiri Daejoon membuat lelaki itu mengalihkan pandangan dari Heekyo, "kami harus kembali ke Changwon lusa. Masa cuti paman sudah hampir habis."
Begitu Byungjin selesai mengutarakan kalimat yang sejak tadi tertahan, Heekyo memegangi pelipisnya sembari menunduk.
"Benarkah? Kalau begitu, sebaiknya Paman segera bersiap. Tiket—oh, apa kalian sudah membeli tiketnya?" Dari nada bicara dan sorot mata Daejoon, lelaki itu terlihat semangat menanggapi kemudian setelahnya ia menyandarkan tubuh pada kursi makan. "Paman dan Bibi tidak perlu khawatir, aku akan sering datang ke sini."
"Lihat?" Byungjin refleks tertawa sambil menunjuk Daejoon ketika berbicara pada istrinya. "Ini yang membuat paman menyukaimu. Kau cepat mengerti maksudnya tanpa perlu paman bicarakan lebih banyak. Nayoung memang beruntung memiliki seseorang seperti Daejoon, bukan?"
Mata Daejoon menyipit ketika tawanya ikut memenuhi ruangan tersebut. "Tentu saja."
Mengiringi keduanya yang sedang asyik berbicara, Heekyo mengembuskan napas berat. Ada rasa yang mengganjal di dalam hatinya, terus membuatnya ragu kala ingin memutuskan satu hal.
"Bahkan sebelumnya ia tidak menyukai keberadaan Daejoon. Jadi, ia termakan ucapannya sendiri?" Heekyo berbicara pelan pada dirinya sendiri.
"Bibi juga," tambah Daejoon begitu menyudahi tawanya, "harus punya waktu untuk melakukan apa yang ingin Bibi lakukan. Bukan, aku bukan mencegah Bibi untuk terus mendampingi Nayoung, tapi satu setengah tahun ini ... terasa berat, benar?"
Heekyo tidak mampu mengungkap satu patah kata pun demi menanggapi pertanyaan Daejoon. Wanita itu mengerjap, jemarinya—yang ada di atas meja—meremas satu sama lain.
"Benar, Sayang. Jujur saja, sebenarnya kau juga sempat kesulitan sejak memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanmu, 'kan? Aku tahu jika kau peduli dan khawatir dengan Nayoung, aku pun seperti itu, tapi sesekali juga harus melihat dirimu sendiri. Lagi pula, apa kau tidak ingat dengan apa yang Nayoung katakan kemarin?"
"Aku bisa menjaga diriku, aku tidak mau membebani siapa pun, Ayah dan Ibu tidak bisa terus berada di sini dan melihatku dengan tatapan sedih. Aku tidak menyukainya," tanggap Heekyo, mengulang kembali perkataan sang anak yang telah masuk ke rungunya satu hari lalu.
Kembali Daejoon meyakinkan wanita yang ada bersamanya. Kali ini, lelaki itu memasang wajah lebih serius. "Percayakan padaku."
Suasana sepenuhnya telah hening. Sempat terdiam beberapa saat dengan tatapan yang tidak kunjung dialihkan dari Daejoon, Heekyo akhirnya beranjak. Tangannya dengan cepat meraih dua buah kotak makan berisikan lauk yang sebelumnya sudah ia siapkan kemudian menyodorkan benda itu pada Daejoon.
"Sudah malam, kau juga perlu istirahat. Sebaiknya kau pulang dan bawalah ini, bibi akan mengantarmu ke depan."
***
Mobil silver semakin melintas cepat ketika kondisi jalan di kawasan Jung lenggang. Seseorang di balik kemudi terlihat gelisah dengan jemari yang terus mengusap dagu. Apa yang didengar dan disaksikannya hari ini sekilas membuat Daejoon ingin menyalahkan waktu yang telah berlalu. Ia mencengkeram setir kemudian menginjak pedal rem secara mendadak begitu lampu lalu lintas menampilkan warna merah.
Perasaannya sedang tidak baik sekarang, begitu juga dengan pikirannya yang melayang pada beberapa waktu lalu. Kejadian di mana setiap hari masih dipenuhi dengan tawa bahagia dan bersama seolah tidak ingin berpisah sedetik pun.
Tawa mengiringi setiap gerakan kaki seseorang yang terus melangkah mundur kala air pantai mulai menghampirinya ke tepi. Perempuan yang tengah mengangkat rok sedikit lebih tinggi—supaya tidak terkena basah—itu tampak begitu menikmati waktu liburan yang terhitung jarang dilakukan. Hening, hanya ada suara ombak dan kicauan burung yang susul-menyusul. Benar-benar seperti apa yang Nayoung inginkan.
Tidak jauh dari tempat Nayoung berada, dua lelaki telah memusatkan pandangan mereka pada sang perempuan. Seraya bersedekap, Daejoon berujar, "Lokasi yang kupilih memang terbaik, 'kan?"
Samar-samar, Jihyun mengangguk setuju tanpa mengalihkan fokus sedikit pun. Laki-laki berjaket jin itu masih membidikkan kamera ke arah Nayoung, sesekali jemarinya bergerak di atas tombol guna memperbesar hasil rekaman. Ia ingin menyimpan setiap momen bahagia yang dilewati walau singkat.
"Berkat kau, hari ini aku dan Nayoung bisa bebas melakukan apa pun tanpa takut media akan meliput." Jihyun mengulum senyum kemudian menoleh ke arah sahabatnya sekilas begitu kamera sudah diturunkan. "Nayoung juga kelihatannya sangat senang bisa melupakan pekerjaannya sejenak. Apa kau membuatnya bekerja terlalu keras sampai tidak bisa istirahat?"
Mendapat tuduhan dari Jihyun kontan membuat mata Daejoon membelalak tidak percaya. "Kau tahu jika Nayoung itu selalu berambisi dalam mencapai sesuatu. Sebagai seseorang yang bekerja sama dengannya, tentu aku sangat diuntungkan, tapi bukan aku yang memaksanya bekerja seperti itu."
Sang pemberi pertanyaan pun tergelak. "Aku hanya bercanda, mengapa kau menganggapnya begitu serius? Tapi ...."
Jihyun sengaja mengambil jeda untuk mengamati kembali paras cantik yang tengah tersenyum di ujung sana. "Kehadiran Nayoung itu benar-benar menyenangkan. Selama mengenal Nayoung, rasanya aku sudah lupa kapan terakhir kali bersedih. Kau bisa merasakannya juga tidak?"
Ikut berpikir demi menanggapi pertanyaan Jihyun yang teramat tiba-tiba, Daejoon akhirnya mengangguk pelan. Intensitas bertemunya dengan Nayoung memang tidak sesering Jihyun, tapi lelaki itu bisa mengerti dari bagaimana cara Nayoung mampu mendekatkan diri dengannya.
"Kau benar."
Lelaki yang memberi pertanyaan itu tersenyum lebar kemudian menunjuk Daejoon. "Ada kau, ada Nayoung. Sepertinya aku sudah tidak perlu apa pun lagi selama memiliki kalian."
Bunyi klakson berulang terdengar sangat kencang, mengembalikan pikiran Daejoon dari masa lampau. Ia segera membawa mobilnya melaju kembali, berusaha menjauhkan setiap kenangan baik yang justru berubah semakin buruk baginya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top