VII. Edelweiss

It was words that I fell for. In the end, it was words that broke my heart.

***

"Maaf.."

"Kau tidak perlu mengatakannya." Bukan itu yang ingin Amelie dengarkan dari bibir Nathan. Perkataan maaf hanya berarti kalau pria itu menyesali apa yang telah dia lakukan. Menyesal karena membiarkan Amelie menciumnya tanpa membalasnya. Menyesal karena tidak bisa mengingat apapun tentang mereka. Penyesalan tidak akan membawa mereka ke arah mana pun. Itu salah satu hal yang Amelie ketahui. "Ayo kembali ke dalam. Keluargamu menunggumu." ucap Amelie getir. Ia memegang sweater yang ia kenakan erat-erat takut kembali jatuh seperti dulu lagi.

"Ada apa?" Savannah menatap keduanya khawatir. "Apa kepalamu sakit, Nathan? Pusing? Kau sudah meminum obatnya bukan?" Savannah mencecar adiknya dengan berbagai pertanyaan sementara Amelie masuk ke dalam kamar dengan cepat, berusaha menyembunyikan air mata yang setiap saat bisa turun. Namun, seberapa cepatnya wanita itu berusaha lari, Savannah dapat melihatnya. Dia bisa melihat raut wajah kecewa juga sedih yang begitu kental di wajah Amelie. "Apa yang terjadi?"

"Anna..." Nathan mengusap wajahnya lelah. Ia duduk di atas sofa dan menangkupkan wajahnya di telapak tangannya. Kepalanya berdenyut menyakitkan tetapi bukan hanya itu saja, hatinya.. Perasaannya saat ini terasa seperti diremas-remas. Dia tidak merasa lebih baik datang ke tempat ini.

"Nat.." Madeline, gadis kecil itu, keponakannya, kini sedang berdiri di hadapannya. Matanya yang berwarna coklat terang seperti Savannah menatapnya penasaran. Nathan menatap Maddie dan mengusap kepala gadis kecil itu penuh rasa sayang.

"Hey, princess." Semuanya terasa begitu natural saat Nathan mengatakannya. Seolah-olah ia sering melakukan hal yang sama seperti ini dulu. Dia sudah menikah selama tiga tahun dengan Amelie, apakah mereka pernah dikaruniai seorang anak? Membayangkan mereka punya anak dan ia melupakannya terasa sangat menyakitkan. Tapi mereka tidak terlihat seperti pasangan yang punya anak sebelumnya atau bahkan pernah sangat dekat. Kenapa mereka menikah kalau begitu? Pertanyaan-pertanyaan terkumpul di benaknya, dan mungkin hanya ada satu orang yang bisa menjawabnya saat ini. "Anna,"

"Hm?" Savannah yang sedari tadi diam memperhatikan interaksi Madeline dan Nathan kini memperhatikan Nathan. Melihat adiknya itu menatapnya penasaran.

"Apakah aku punya anak bersama Amelie?"

Savannah mengerutkan keningnya kemudian tersenyum getir. "Tidak. Hubungan kalian tidak sejauh itu."

"Lalu kenapa aku menikah dengannya kalau begitu?"

Ini adalah pertanyaan yang menjebak. Seandainya pernikahan Amelie dan Nathan termasuk ke dalam golongan mudah dan biasa saja, Savannah akan dapat dengan mudah menjawabnya. Tapi pernikahan keduanya tidak semudah itu, Nathaniel menikahi Amelie karena dialah penyebab Amelie menjadi seorang anak yatim piatu. Secara tidak langsung Nathan lah yang membunuh kedua orang tua Amelie. "Kenapa kau tidak menanyakan itu kepada dirimu sendiri Nathan?" Mungkin Nathan melupakan Amelie, tapi tidak mungkin pria itu juga melupakan perasaannya kepada wanita itu bukan?

"Aku mencintai Cassidy." Nathan menjawab pelan dan ragu. Apakah dia masih mencintai wanita itu? Lalu kenapa dia menikah dengan Amelie?

"Tinggalkan Amelie kalau begitu. Dia sudah cukup menderita tanpa perlu mendengar perkataanmu tadi." Savannah menarik nafas panjang dan mengucapkannya dengan nada getir. Tidak. Dia tidak berpihak kepada siapapun, baik kepada adiknya sendiri maupun Amelie. Ini hubungan mereka berdua, mereka sudah cukup dewasa untuk menentukan manakah yang baik untuk mereka jalani.

***

"Kau terlihat lelah." Wyatt mengangsurkan segelas kopi ke hadapan Amelie. Wanita itu menerimanya dengan senang hati, menyesap kopinya pelan dan mengangguk lelah.

"Aku menyetir selama lima jam." Perjalanan dari Cape Cod menuju New York lagi-lagi harus ia lalui. Dia benci menyetir. Lebih benci lagi bersama Nathan yang tidak mengingatnya. Pria itu lagi-lagi berusaha meminta maaf kepadanya, tapi maaf tidak berarti apapun tanpa ketulusan yang berguna dan meski untuk kesekian kalinya Amelie memaafkan Nathan, dia masih tidak bisa menghapus segala kenangan yang telah mereka lalui. Dia bukan seperti Nathan, dia tidak bisa melupakan semua masalah, pertengkaran, serta perceraian mereka yang berada di ujung jalan begitu saja.

"Kau butuh tidur." Wyatt bergumam pelan. Dia sudah berjanji tidak akan bertanya tentang Nathan lagi kepada wanita yang berada di hadapannya ini.

"Aku butuh tidur." Amelie mengangguk lelah dan menempelkan kepalanya di meja konter Blanca yang dingin. Di sore hari seperti ini biasanya Blanca lebih sepi dari biasanya.

"Kau mau Oglio Olio?"

"Tentu saja mau!" Amelie tersenyum girang, Wyatt membalas senyumannya dengan perasaan lega. Setidaknya dia bisa mencerahkan hati Amelie meski hanya sedikit.

"Aku akan meminta sous chef memasakkannya untukmu." Wyatt meneriakkan beberapa kalimat kepada sekumpulan koki yang bekerja di dapurnya lalu kembali ke hadapan Amelie. "Bagaimana harimu?"

"Melelahkan. Tidak perlu kau tanya lagi."

Wyatt tersenyum maklum. Dari awal dia sudah tahu kalau Amelie kelelahan dan membutuhkan banyak istirahat. "Kita bisa ke apartemenmu, kau bisa beristirahat. Aku bisa memasakkanmu makan malam."

"Ide yang bagus." Amelie merindukan kasurnya di apartemennya yang kecil. Dia merindukan tidur di kasur yang sesungguhnya, bukan sofa panjang di rumah Nathan. Dia bisa mengambil sebagian pakaiannya lagi yang berada di apartemennya lalu kembali ke apartemen Nathan. Pria itu tidak membutuhkannya saat ini, ada Savannah juga Isabella yang siap menolongnya. "Bagaimana dengan Oglio Olio mu?"

"Abaikan saja. Mereka bisa memakannya." Wyatt membantu Amelie turun dari atas barstool lalu melepaskan celemek yang sedari tadi ia kenakan. "Ayo kita pergi."

***

Amelie langsung jatuh tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Dia terlihat lelah dan Wyatt tidak ingin membangunkannya hanya untuk mengumumkan makanannya telah siap. Oglio Olio yang berada di atas meja makan bisa dipanaskan lagi nanti.

Apartemen Amelie tergolong kecil dan sederhana. Sebuah sofa putih menghadap televisi dekat dengan jendela, ruang makan dan dapur digabung menjadi satu. Ada dua kamar di rumah Amelie, tapi hanya satu yang wanita itu gunakan sementara yang satunya berakhir menjadi ruang lukis. Sejak Nathan sakit wanita itu jarang melukis, dia lebih sering menghabiskan waktunya menggambar sketsa dengan pensil atau pulpen.

Wyatt mendekati salah satu sketsa bunga Edelweiss yang pernah Amelie gambar. Edelweiss hanya tumbuh di tebing tertinggi Gunung Alpen. Seorang pria yang sangat mencintai seorang wanita pernah memanjat tebing itu hanya untuk mencari bunga Edelweiss, meski pria itu berakhir mengenaskan. Dia terjatuh saat memanjat tebing dan wanita yang ia cintai menikahi orang lain. Wyatt menatap bunga itu miris. Dia mencintai Amelie, namun wanita itu mencintai orang lain.

Seandainya ia berada di posisi Nathan sekarang mungkin dia akan melakukan berbagai hal untuk membuat wanita itu bahagia dan tidak akan pernah melupakannya. Wyatt berjalan menuju ke kamar Amelie dan melihat wanita itu jatuh terlelap dalam tidurnya dari balik pintu yang terbuka sedikit.

"Aku mencintaimu." ucap Wyatt lirih. Wanita itu tidak mendengarnya, dia tidak perlu mendengarnya. Wyatt tidak ingin menambah beban yang sudah ada di benak Amelie saat ini.

***

"Aku tahu apa sedang kau berusaha lakukan." Amelie mendongakkan kepalanya dan melihat Cassidy yang menatapnya marah.

Amelie menarik nafas dalam-dalam lalu menatap ke sepanjang lorong rumah sakit. Dia baru saja mengantarkan Nathaniel ke dalam ruang terapi dan sementara menunggu pria itu di luar ruangan. "Apa maksudmu?" Amelie bergumam pelan, enggan memancing perhatian orang-orang.

Cassidy menyentak tangan Amelie dan memaksa wanita itu berdiri. "Kau berusaha membuat Nathan mengingatmu kembali."

Amelie memiringkan kepalanya dan menatap Cassidy tidak mengerti. "Apa salahnya aku membuat Nathan mengingat istrinya sendiri?"

"Kau bukan lagi istrinya! Demi Tuhan! Perceraian kalian di depan mata. Sejak awal Nathan adalah milikku, lalu kau datang dan merampasnya!"

"Kau bersikap kekanakan." Sejujurnya Amelie sudah muak bertemu dengan Cassie, wanita itu bersikap seolah-olah Amelie adalah semua sumber masalahnya tanpa pernah menyadari siapa yang salah sebenarnya.

"Kau tidak akan berhasil membuatnya mengingatmu." Karakter anggun dan mandiri yang biasanya nampak di dalam diri Cassidy kini hilang. Sosok asli wanita itu terlihat begitu jelas, membuat Amelie bingung dengan sikap yang pernah wanita itu tunjukkan di hadapan Nathan dan Savannah. Cassidy adalah wanita yang naif dan licik. "Karena semua memorinya terisi tentangku."

"Kau seharusnya tidak setakut ini kalau memang semua memorinya terisi tentangmu."

"Takut?!"

"Kau tidak akan datang kemari, menghampiriku dan menyuruhku menjauhi Nathan kalau kau tidak takut, Cassie."

"Sialan kau." tangan Cassidy baru saja hendak menampar Amelie ketika Amelie bergerak lebih cepat dan menahan tangan wanita itu. Suara gema tamparan terdengar memekakkan telinga ketika Amelie berhasil membalas tamparan wanita itu. "Apa yang kau lakukan?" Wanita itu memegang pipinya yang memerah dan menatap Amelie marah.

"Kau yang melakukannya lebih dulu."

Tepat saat itu Nathan keluar dari dalam ruang terapinya dan menatap keduanya bergantian. Tatapannya terhenti lebih lama ketika melihat Cassidy yang memegangi pipinya yang memerah. "Cassie."

"Dia melakukan ini kepadaku, Nathan. Wanita ini melakukannya!" Amelie mengerutkan keningnya melihat cara nekat dan putus asa wanita itu menuduhnya.

"Aku akan berbicara denganmu." Nathan menyentuh siku Cassidy dan membawanya ke ruangan lain. "Tunggu aku, oke?" Nathan melihat Amelie sekilas, melihat wanita itu yang balas menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca.

Entah berapa lama Amelie harus menunggu lagi. Menunggu Nathan dan Cassidy menyelesaikan pembicaraan mereka atau mendiskusikan kenangan masa lalu mereka, pikir Amelie getir. Wanita itu bergerak mendekati Nathan dan Cassidy yang masih berbicara, keduanya tidak berdiri terlalu dekat namun cukup dekat di mata Amelie.

Sayup-sayup Amelie bisa mendengar suara Nathan dan Cassie yang masih terus berbicara. "Kau tahu aku mencintaimu," Amelie mendengar suara Cassidy berbicara. Nada anggun dan tertata wanita itu kembali.

"Aku juga mencintaimu, Cassie. Tapi kau tahu semuanya berbeda sekarang.." Cinta. Aku juga mencintaimu. Bukan itu yang Amelie ingin dengar dari bibir suaminya, bukan itu yang Amelie ingin dengar ketika Nathaniel berbicara dengan mantan kekasihnya.

Amelie memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi. Wanita itu bergegas, mengambil tasnya juga kunci mobilnya. Demi apapun, Nathaniel tidak membutuhkannya lagi. Ada Cassidy yang bisa menjaganya sekarang, juga Savannah atau keluarganya yang lain. Dia tidak ingin luka di hatinya yang besar menganga juga bernanah-nanah ditambah dengan luka lain yang baru. Bahkan luka lamanya belum sembuh ketika pria itu kembali membuat luka baru untuknya.

Dia akan pergi bila memang itu yang Nathan inginkan atau dia butuhkan. Amelie akan mengambil semua barang pemberian Nathan kepadanya dan mengembalikannya. Dia tidak pernah membutuhkannya dan tidak akan membutuhkannya. Semua gerakan impulsifnya berhenti sesaat ketika Amelie berada di atas mobil dan menyalakan mobilnya. Selama ini ia jarang menyalakan CD playernya karena Nathan suka menyetir dalam keheningan, dia nyaris lupa kaset itu masih berada di dalam CD playernya. Satu-satunya hadiah Nathan yang baru tersampaikan kepadanya sekarang, setelah semua yang telah mereka lewati dan mereka lalui. Satu-satunya hadiah yang ia dengarkan. Berbeda dengan tumpukan hadiah-hadiah Nathan lainnya yang masih tersimpan rapi di sudut lemarinya.

"Aku mencintaimu." Amelie menarik nafas dalam-dalam. Aku mencintaimu. Sebuah kalimat singkat yang membuatnya jatuh kepada pria itu berulang kali. Kalimat sama yang juga menghancurkan hatinya berulang kali.

***

"Savannah," Amelie membawa sebuah kotak berisi hadiah-hadiah yang pernah Nathan berikan kepadanya. Masih terbungkus rapi kecuali satu buah kaset yang berada di tumpukan paling atas, terlihat tua karena terlalu sering diputar.

"Ada apa Amelie?" Savannah menerima kotak itu dengan bingung. Dia tahu dari kemarin Amelie belum kembali sejak mengantar Nathan ke rumah sakit, karena itulah sebabnya Nathaniel berada bersamanya sekarang di rumah keluarganya.

"Aku harus pergi."

"Kau harus pergi?" Kerutan di dahi Savannah semakin bertambah ketika mendengar perkataan Amelie. "Apa yang terjadi, Amy? Kukira kalian baik-baik saja?"

"Aku tidak bisa terus menerus berada bersamanya. Perceraian kami terus berjalan, aku tidak pernah menangguhkannya."

"Apa yang kau bicarakan?"

"Amelie?" Amelie membalik badannya dan melihat Nathan yang berjalan mendekatinya. Wajah pria itu juga terlihat sama bingungnya ketika melihat kota berisi barang-barang yang berada di tangan Savannah. "Kau pergi."

"Aku pergi." Amelie mengangguk kaku. Tidak menyangka akan bertemu Nathan seperti ini. Dia hanya berharap semuanya akan berlangsung lebih cepat dan dia bisa pergi sebelum bertemu Nathan namun sepertinya yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya.

"Aku memintamu menungguku."

"Sampai kapan aku harus menunggumu, Nathan?" Sampai kapan aku harus menunggumu mengingatku?

Ada banyak pilihan yang telah ia lewati. Setiap rintangan dan pilihan yang ia lalui tentu saja akan membawanya kepada pilihan yang lain. Pergi atau bertahan adalah pilihan yang paling sulit ia tentukan. Kedua-duanya sama sakitnya Tidak ada yang jelas di masa depannya terutama bila hal itu berhubungan dengan Nathaniel. Jadi ia memutuskan hal yang setidaknya tidak akan terlalu menyakitinya. Dia memutuskan untuk pergi.

***

Ost. Arrival of The Bird - Cinematic Orchestra

I have said from the very beginning. This will end sooner than my other story.

Jadi sebelum epilognya. Saya akan memberikan FAQ. juga list daftar lagu untuk cerita ini lebih dahulu. Berhubung fun facts sudah pernah dijabarkan di The Bizarre Wedding.

Adakah yang ingin kalian tanyakan? Tentang Nathan dan Amelie?

Saya akan menjawabnya di FAQ nanti. Terima kasih banyak untuk perjalanan panjangnya selama ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top