V. Jasmine
"Right now I'm having amnesia and déjà vu at the same time. I think I've forgotten this before."
- Steven Wright
***
Amelie menyesap tehnya perlahan, melihat matahari yang perlahan tenggelam menyisakan semburat oranye dan merah muda di langit yang tadinya berwarna kebiruan. Teh beraroma melati itu memberikan sedikit efek tenang kepada dirinya.
Mungkin sekarang Nathan tengah bersama Cassidy, menjalin kasih yang sempat tertunda. Pria itu mencintai Cassidy. Amelie tidak sanggup membayangkannya, terlalu perih. Dia tidak sanggup berkata-kata lagi di hadapan wanita itu. Mungkin sudah saatnya ia belajar benar-benar melepaskan pria itu.
"Amelie." Amelie mendongakkan kepalanya lalu melihat Wyatt yang mendekat kepadanya. Rambut pria itu berantakan, pakaian yang ia kenakan sedikit kotor terkena bubuk putih yang Amelie bisa duga sebagai tepung.
"Hey, you look terrible." Amelie tertawa kecil. Meletakkan cangkir tehnya di meja kecil yang berada di dekatnya lalu menepuk-nepuk kemeja Wyatt yang kotor. Pria itu tersenyum sumringah melihat perhatian yang Amelie berikan kepadanya. "Maaf aku mengganggumu."
Pada saat menjelang malam seperti ini biasanya Wyatt akan sibuk mempersiapkan bahan untuk makan malam di Blanca, tetapi kini ia lebih memilih berada di hadapan Amelie. "Tidak masalah. Lagipula ada sous chef yang bisa menggantikanku." Wyatt menatap wanita itu cukup lama lalu teringat lagi dengan mobil Amelie yang ia bawa kemari tadi. "Kau ... Tidak bersama Nathaniel?"
"Tidak." Amelie menggelengkan kepalanya dan menjawab singkat. Bibirnya menipis, kedua matanya menatap lurus ke rumah sakit yang berada di seberang tempatnya berada sekarang. Ia lalu memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam.
"Kau mencintainya." Itu merupakan sebuah pernyataan bukan pertanyaan. Wyatt berusaha menahan mati-matian dirinya sendiri.
"I am." Amelie menggangguk pelan, ragu dengan perasaannya kini. Apakah dia masih mencintai pria itu? Bahkan setelah apa yang dia lakukan?
"Dia tidak lagi mencintaimu."
"Aku tahu." Amelie kembali menyesap tehnya. Pembicaraan tentang Nathan tidak pernah menjadi topik favoritnya.
"Aku mendengarnya. Aku mendengar apa yang dia katakan di rekaman itu, Amy. Kau harus ingat kalau dia bukan lagi Nathan yang kau kenal dulu." Wyatt tidak sengaja mendengarkan semua lagu di rekaman itu dari awal hingga akhir. Bahkan hingga bagian Nathan berbicara di rekaman itu. Kini ia mengerti kenapa Amelie terlihat begitu hancur malam itu. Dia mengerti kenapa Amelie tidak sanggup menyetir mobilnya sendiri kembali ke apartemen pria itu.
"Aku tahu." ucap Amelie datar. "Karena itu aku memutuskan untuk tetap bercerai darinya."
"Kenapa kau memutuskan untuk menceraikannya pertama kali? Ini bukan tentang Pop atau kedua orang tua mu bukan?"
"Itu karena Nathan yang menyodorkan surat cerai itu kepadaku pertama kali! Dia bersikap seolah-olah akulah yang menginginkannya, Wyatt! Dia tidak pernah bertanya kepadaku apa yang aku inginkan." Napas Amelie memburu, dia terdiam sejenak berusaha menenangkan kembali dirinya dengan menyesap teh melatinya. Kali ini rasa pekat teh bercampur aroma melatinya tidak lagi terasa begitu menenangkan. Amelie merasa sesak. Sesak dengan semua yang orang-orang inginkan darinya.
"Aku mengerti." Wyatt mengucapkannya pelan. "Aku akan mengantarmu kembali ke apartemennya." Wyatt menarik tangan Amelie, memaksa wanita itu berdiri dan menatapnya. "Aku berjanji tidak akan membicarakan pria itu lagi di depanmu." Wyatt tersenyum getir kepada Amelie membuat Amelie diam-diam bersyukur karena Wyatt memutuskan untuk tidak membicarakan pria itu.
Nathan melihat keduanya. Dia melihat cara Amelie berbicara dengan pria itu. Cara wanita yang seharusnya merupakan istrinya itu tertawa, tersenyum, mengerutkan keningnya, kesal, juga berbagai ekspresi lain yang tidak pernah Amelie perlihatkan di hadapannya. Tidak hanya Amelie, Nathan juga memperhatikan pria itu menatap Amelie, dia jelas menyukai Amelie. Bahkan ketika Nathan berada diantara mereka, pria itu tidak segan menunjukkannya.
"Nathan?" Nathan melihat Cassie yang mendorong kursi rodanya menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
"Aku merasa tidak enak badan, Cassie."
"Kau ingin kembali ke rumah sakit?" Cassie bertanya dengan nada suara sarat kekhawatiran.
"Ya." Nathan mengangguk. Perasaan lega menyelimuti hatinya begitu mereka berbalik dan meninggalkan kafe kecil itu.
"Aku akan menunggumu ..."
"Jangan." ucap Nathan cepat. "Aku akan meminta Savannah mengantarku pulang." Nathan tersenyum kepada Cassidy.
"Baiklah." Cassidy mendorong kursi roda Nathan kembali ke rumah sakit.
***
Amelie mengerutkan keningnya bingung. Ia melepas sepatu hak tingginya dan berjalan perlahan menuju ke ruang tengah. Apartemen yang ia tinggali bersama Nathan ini terlihat berbeda dari saat ia meninggalkannya tadi pagi.
"Kau darimana?" Amelie berjengit kaget melihat Nathan yang duduk di depan kaca, wajahnya tertekuk kesal. "Kau harusnya tahu bukan kalau kau tidak boleh meninggalkan tanggung jawabmu?"
Amelie menarik napas panjang lalu menaruh tasnya di sofa. "Bukannya kau bersama Cassie?"
"Ya. Tapi bukan berarti kau bisa meninggalkanku begitu saja."
"Kau bersama Cassie." Amelie mengulangi perkataannya. Kali ini dengan nada sedikit kesal. Ia lalu melangkah menuju dapur sementara Nathan mengikutinya.
"Benar. Seharusnya dialah yang menjadi istriku." Amelie berusaha menahan rasa perih yang tiba-tiba menjalar di dadanya mendengar perkataan Nathan. Nathan melihat punggung Amelie yang menegang dan seketika merasa menyesal karena sudah mengatakannya.
"Aku akan mengantarmu kembali ke kamar. Ini sudah malam." Amelie mendorong kursi roda Nathan kembali ke dalam kamar lalu meninggalkannya secepat mungkin. Dia tidak sanggup berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Apalagi mengetahui kalau hati dan pikiran pria itu tidak lagi mengingatnya.
Malam itu Nathan menatap kosong langit-langit kamarnya, dia benci perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya. Juga bingung dengan perasaannya dengan wanita asing yang kini berada di rumahnya bersamanya.
***
Sudah seminggu berlalu sejak malam itu. Amelie dan Nathan nyaris tidak lagi berbicara, Amelie hanya menunggu pria itu di rumah sakit saat terapi, menemaninya saat di rumah, membantunya saat ia membutuhkan bantuan. Kehidupan keduanya nyaris seperti robot, konstan dan sama. Kecuali kehadiran Cassie yang terus menerus datang menghampiri Nathan tentu saja. Wanita itu benar-benar berusaha mengembalikan dirinya ke dalam kehidupan Nathan serta menghapus kehadiran Amelie.
Lagi-lagi saat Nathan terbangun ia sudah mencium aroma masakan dan kopi dari dapurnya. Ia memperhatikan kasurnya dan menyadari kalau kasurnya ini selalu rapi, seperti wanita itu tidak pernah masuk ke dalam kamarnya setelah dia tidur. Mungkin dia kembali kerumahnya dan tidur di sana. Nathaniel mengerutkan keningnya tidak mengerti dan memutuskan untuk mengabaikannya. Nathan berusaha menggerakkan kakinya menuju dapur. Dia benci kursi roda, benda itu selalu membuatnya merasa rapuh dan tidak berdaya. Sekarang, meski masih berjalan terpincang-pincang serta setengah menyeret kakinya menuju dapur, setidaknya ia tidak membutuhkan kursi roda itu lagi.
Nathan terpaku melihat satu set sarapan di atas meja makan, tetapi tidak menemukan Amelie yang biasanya berada di sana, setengah melamun menatap kosong ke luar sembari meminum kopinya. Nathan menarik nafas panjang kemudian berbalik, dia kehilangan nafsu makannya seketika.
Nathan hendak berjalan kembali ke kamar ketika mencium aroma samar teh melati juga cat. Dia masuk ke dalam sebuah ruangan di apartemennya, ruang putih yang nyaris kosong berisi kanvas-kanvas kosong juga perabotan kayu seperti kursi dan penyangga lukisan. Dia melihat Amelie di sana, terlihat terlalu sibuk dengan sesuatu di tangannya untuk menyadari kalau Nathan berdiri di kusen pintu memperhatikannya.
"Apa yang kau lakukan?" Perkataan Nathan membuat Amelie kaget. Wanita itu mendonggakkan kepalanya menatap Nathan, matanya melebar bingung kemudian ekspresinya kembali seperti biasanya. Datar dan dingin, ekspresi yang biasanya wanita itu tampilkan di hadapan Nathan.
"Kau sudah sarapan?" Amelie bertanya balik. Menaruh buku sketsanya di atas meja kemudian menarik napas panjang. "Kau tidak suka sarapannya?"
"Aku bertanya kepadamu lebih dulu." Nathan mengerutkan keningnya. "Ruangan apa ini?"
"Ruang lukis." ucap Amelie singkat. Dia mengambil sebuah kanvas kosong dan menaruhnya di atas pajangan lukisan.
"Aku ... tidak tahu kau bisa melukis." Nathan masuk ke dalam ruangan, melihat kanvas-kanvas kosong yang berjejer rapi juga buku sketsa Amelie. Wanita itu baru saja menyelesaikan satu buah gambar bunga melati menggunakan cat air. Dia melihat tanda tangan Amelie di sudut kiri lukisan itu dan menyadari kalau semua lukisan yang berada di rumahnya adalah hasil tangan wanita itu.
"Aku pernah bekerja di galeri." Amelie merapikan rambutnya yang berantakan juga cat-cat yang tersebar di atas meja.
"Lalu?"
"Aku berhenti." Amelie duduk di atas kursi kayu. Menatap Nathan yang masih memperhatikan gambar-gambar yang berada di dalam buku sketsanya.
"Kenapa berhenti?"
Amelie tidak langsung menjawab. Dia terdiam beberapa saat, mengumpulkan alasan yang kiranya masuk akal. Dia berhenti karena Nathan jatuh koma saat itu dan Amelie ingin selalu berada di sisinya. Namun, ia tidak mungkin mengatakannya. "Karena beberapa hal." Akhirnya Amelie memutuskan mengatakan hal yang paling umum yang bisa ia berikan.
Nathan terdiam ketika melihat sebuah gambar di buku sketsa Amelie. "Cape Cod."
Amelie tidak bisa menyembunyikan kekagetannya mendengar perkataan Nathan. "Kau mengingatnya?"
Nathan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Keluargaku punya kabin di sana."
Amelie mengambil sebuah album berisi kenangan mereka selama di Cape Cod dan memperlihatkannya kepada Nathan. "Lihatlah."
Nathan membuka lembar demi lembar album foto itu dan melihat isinya. Dia melihat dirinya sendiri berada di samping Amelie, wanita itu memperlihatkan ekspresi kesal, senang juga bahagia di sisinya. Ekspresi yang kini tidak pernah ia lihat lagi. Nathan berusaha mencari memorinya di balik tumpukan foto itu, tapi hasilnya nihil. Nathan masih melupakan wanita itu, memori tentang Amelie masih kosong seperti kanvas yang belum dilukis. "Maaf. Aku tidak bisa mengingatnya." Nathan bisa melihat sekelebat raut wajah kecewa Amelie yang segera ditutupi dengan baik oleh wanita itu.
"Tidak masalah. Dr. Howard bilang ingatanmu mungkin akan pulih seutuhnya nanti." Amelie lagi-lagi harus menelan rasa kecewanya bulat-bulat. Dr. Howard juga mengatakan kemungkinan memori Nathan kembali hanya lima puluh persen. Pria itu mungkin akan melupakannya selamanya. "Setidaknya kau tidak memerlukan kursi roda lagi." Amelie berusaha mencairkan suasana yang dengan sebuah candaan yang terdengar kaku dan canggung.
"Ugh, kau tidak tahu bagaimana rasanya aku merasa terpenjara dengan kursi roda sialan itu." Nathan mengeluarkan sebuah senyum kecil, untuk sesaat Amelie mengira pria itu kembali seperti Nathannya dulu. "Bila gips ditanganku di lepas, aku bisa bebas seperti dulu."
Amelie melihat gips Nathan yang berwarna putih polos, sebuah ide terlintas di benaknya. "Kau mau aku melukisnya?"
"Melukis apa?"
"Gipsmu." Amelie menunjuk ke arah gips Nathan.
Nathan terdiam sesaat, biasanya hanya anak-anak saja yang memiliki gips beraneka warna dan dicoret-coret. Tetapi melihat raut wajah antusias Amelie, pria itu kembali memikirkannya, tidak ingin melihat wajah kecewa wanita itu lagi. "Baiklah." Nathan maju mendekati Amelie lalu duduk di hadapan wanita itu sementara Amelie mulai mengecat gipsnya. "Aku minta maaf."
"Untuk apa?" Amelie menggambar sketsa pemandangan langit di Cape Cod, berharap pria itu tidak akan keberatan dengan hasilnya nanti.
"Untuk Cassie." Amelie diam terpaku mendengar perkataan Nathan. "Aku tahu kalau aku benar-benar tidak peka soal itu. Maksudku, aku terbangun dan tiba-tiba menikah dengan wanita asing yang tidak ku kenal sama sekali. Sementara seharusnya ..."
"Tidak masalah. Aku mengerti." Amelie memotong perkataan Nathan. Tidak ingin mendengar kalau seharusnya Cassie lah yang berada di sisi Nathan saat ini. Bukan dirinya. "Isabella menghubungiku tadi pagi. Dia mengajak kita makan siang di Le Bernadin."
***
Isabella terlihat anggun seperti biasa. Wanita itu merapikan roknya yang sebenarnya tidak kusut sama sekali lalu menyapa keduanya, mengecup kedua pipi Nathan dan Amelie bergantian. "Apa kabarmu? Aku senang terapinya sukses." Mata Isabella berkilat senang melihat Nathan yang tidak lagi membutuhkan kursi roda.
"Tinggal tanganku." Nathan menggerakkan tangan kirinya yang masih di balut gips, sling nya menggantungkan tangan Nathan di lehernya.
"Hanya beberapa minggu lagi." Isabella tersenyum senang. Dia tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya melihat lukisan di gips yang membalut tangan Nathaniel. "Kau membiarkan Amelie melukis gipsmu?"
"Dia ingin melakukannya." Nathan mengangkat kedua bahunya ringan seolah-olah Amelie melukis gipsnya adalah hal yang paling normal yang wanita itu bisa lakukan.
"Kau sudah mengingatnya?" Isabella bertanya kepada keduanya. Melihat Amelie yang hanya menunduk dan menatap lurus ke tepi meja.
"Tidak." Nathan melihat ibunya, wanita itu terdiam dan terlihat sulit berkata-kata.
"Oh." Isabella tidak tahu hendak mengatakan apa lagi melihat anaknya yang sama sekali tidak peka. Untung saja seorang pramusaji datang mengantarkan makanan mereka, menyelamatkan mereka dari rasa canggung. "Kuharap kalian tidak keberatan aku memesankan makanan untuk kalian."
Dua piring steak disajikan di hadapan Amelie dan Nathan. Amelie memotong steaknya hingga menjadi bagian-bagian kecil lalu menukarnya dengan piring Nathan agar pria itu lebih mudah memakannya dan tidak perlu kesulitan memotongnya. "Terima kasih." ucap Nathan ringan lalu menusuk steaknya, mencelupkannya ke dalam saus dan menyantapnya.
Isabella memperhatikan keduanya. Mungkin benar kata Savannah, mereka mungkin bisa kembali bersama lagi seperti dulu.
*****
"All I Ask" - Adele (Cover by John Saga)
I will leave my heart at the door
I won't say a word
They've all been said before, you know
So why don't we just play pretend
Like we're not scared of what is coming next
Or scared of having nothing left
Look, don't get me wrong
I know there is no tomorrow
All I ask is
If this is my last night with you
Hold me like I'm more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how this ends
Cause what if I never love again?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top