III. Sunflower

"The sunflower is mine, in a way."

― Vincent van Gogh

***

Amelie melihat tangan Nathan yang menahan lengannya, tidak ada satu pun kata yang terucap di bibirnya. Amelie tersenyum melihatnya, sebuah senyuman tipis yang bahkan tidak sampai ke matanya, sekedar senyuman untuk menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan melihat pria itu.

"Mereka bilang kau istriku."

"Ya." Jawab Amelie singkat melihat Nathan yang terlihat bingung dan tidak mengerti. Bagaimana mungkin semua memori indah juga sedih yang mereka lalui bersama hilang begitu saja?

"Berapa lama kita menikah?"

"Tiga tahun."

"Kenapa aku tidak pernah mengingatmu?" Sebuah kerutan di wajah Nathan terbentuk ketika melihat Amelie. Benturan di kepalanya menghapus semua memori tentang mereka, kecelakaan mobil itu kembali merubah hubungan mereka.

"Karena itu tidak penting lagi, Nathan." Amelie menelan ludahnya susah payah, berusaha menahan tangisnya yang siap jatuh.

"Kenapa tidak penting lagi?" Nathan mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan sikap wanita yang berada di hadapannya ini. Siapapun pasti akan berusaha sekuat tenaga agar bisa kembali diingat, tetapi wanita yang berada di hadapannya ini melakukan kebalikannya.

"Karena sebentar lagi kita akan berpisah." Amelie melepaskan tangan Nathan yang menahan lengannya dengan lembut lalu berbalik meninggalkan pria itu sendirian di dalam kamar yang gelap. Masih berusaha memasangkan puzzle yang berada di hadapannya. Apa maksudnya tidak penting lagi? Apa yang sebenarnya wanita itu inginkan? Nathan tidak tahu. Dia bahkan tidak mengenal wanita itu. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia menyadari kalau dia benci ketika wanita itu mengucapkan kalau mereka sebentar lagi mereka akan berpisah. Nathan menghela napas keras lalu menyandarkan badannya ke atas kasur yang keras.

Savannah masuk ke dalam kamar Nathan dan menyalakan lampu kamar adiknya. "Aku melihat Amelie di luar." ucap Anna begitu ia berada di tepi kasur Nathan. "Apa yang kalian bicarakan?"

"Aku hanya bertanya kepadanya, Anna."

"Dia istrimu."

"Aku tidak mengingatnya." Gumam Nathan bersikeras. "Kalau dia begitu penting di hidupku seharusnya aku bisa mengingatnya bukan?"

"Kau yang memilih untuk melupakannya."

"Kenapa menurutmu akulah yang memilih untuk melupakannya?" Nathan memalingkan wajahnya ke jendela dan melihat deretan lampu-lampu kecil yang meghiasi pinggir jendelanya. Siapa yang memasangnya di sana? Nathan lalu melihat sebuah post-it yang tertempel di pot bunga forget-me-not di nakas sebelah kasurnya. Sebuah sketsa bunga, apa wanita itu yang menempelnya di sana?

"Karena kalian hanya akan saling menyakiti bila terus bersama." Anna mengikuti arah pandang mata Nathan dan melihat post-it itu. Setelah sebulan Amelie berada di sisi Nathan, inilah yang ia dapatkan. Nathan melupakannya.

***

Amelie menghela napas panjang, menunggu gilirannya. Perusahaan asuransi mobil Nathan menghubunginya tadi pagi dan memintanya untuk mengambil beberapa barang yang masih bisa diselamatkan dari mobil Nathan. Mobil Nathan memang hancur dan setidaknya masih ada bagian yang bisa diambil dari mobil itu. Amelie mungkin nanti akan menghubungi Savannah dan meminta wanita itu untuk mengembalikan barang-barang Nathan yang berada di tangannya.

"202?" Suara seorang wanita menyadarkannya dari lamunannya. Amelie segera menghampiri wanita itu lalu menyerahkan karcis nomor urutnya. "Mrs. Wright?"

Amelie berjengit pelan ketika mendengar nama itu. Sudah lama ia tidak mendengar seseorang memanggilnya dengan nama keluarga Nathan. "Ya." ucap Amelie gugup.

"Tolong tanda tangani ini." Wanita itu menyerahkan selembar form berisi catatan asuransi mobil Nathan yang harus ditanda tangani lalu mengambil sebuah kotak berisi barang-barang Nathan.

"Apa ini?" Amelie menanda tangani formnya lalu mengambil kotak itu.

"Isi dashboard mobil dan beberapa barang yang tertinggal di dalam mobil saat petugas medis membawa suami anda." ucap wanita itu dengan nada datar. Lagi-lagi Amelie hanya bisa menghela napas panjang, mengambil kotak itu lalu berbalik keluar.

Amelie masuk ke dalam mobilnya dan terdiam sesaat. Ia lalu membuka kotak berisi barang-barang Nathan dan melihat beberapa barang yang ia kenali, seperti dompet dan ponsel Nathan, juga setumpuk CD yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Nathan rupanya lebih suka membuat sendiri playlist nya dibanding mendengarkan satu album dari penyanyi yang sama. Amelie memutuskan untuk mengambil satu CD secara acak lalu memasukkannya ke dalam player. Memutar salah satu CD yang sepertinya paling sering Nathan putar. Amelie mendengar lagi Yellow dari Coldplay lalu kemudian lagu Falling in Love at A Coffeshop dari London Pigg, lagu yang pernah diputar pada hari pernikahan mereka. Saat lagu ketiga berputar, Amelie menyadari kalau kaset ini berisi tentang mereka. Amelie kemudian menyalakan mobilnya lalu menuju ke rumah sakit, diiringi lagu Fire Meet Gasoline dari Sia.

***

"Hey, Anna." Amelie melangkahkan kakinya cepat di lorong rumah sakit, bahunya menjepit ponselnya ke telinga sementara kedua tangannya memegang kotak itu erat bersama sebuket bunga matahari. Dia berencana akan meminta Savannah mengganti bunga forget-me-not yang mungkin sudah mulai layu di kamar Nathan. "Bisa aku bertemu denganmu? ... Di depan kamar Nathan, oke." Amelie lalu segera menuju ke ruangan yang ia selalu ia kunjungi bila berada di rumah sakit ini sebelum Nathan bangun.

Langkahnya yang cepat tiba-tiba terhenti di depan pintu kamar ketika ia mendengar dua pasang suara tawa, Amelie jelas mengenal suara tawa yang laki-laki, itu suara Nathan tapi ia tidak kenal suara tawa yang wanita. Itu bukan suara Savannah atau Isabella. Amelie mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar Nathan, ia memilih untuk menunggu di bangku yang berada di lorong depan kamar Nathan. Detik demi detik berlalu, Amelie melirik jam di ponselnya dan berharap Savannah cepat datang agar ia bisa segera pergi dari tempat ini.

"Amelie?" Doa Amelie segera terwujud ketika ia melihat Savannah yang mengenakan jas dokternya tersenyum kepadanya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau tidak masuk ke dalam kamar Nathan?"

"Aku menunggumu." Amelie berusaha menyusun alasan yang tepat, tetapi saat ia melihat kerutan di dahi Savannah, ia memutuskan untuk tidak mengatakannya. "Aku hanya ingin mengembalikan ini." Amelie menunjuk ke arah kotak dan buket bunga matahari yang berada di sebelahnya.

Tepat pada saat Amelie selesai mengucapkan itu, Nathan keluar dari dalam kamar bersama seorang wanita. Dia terlihat cantik dan anggun, mendorong kursi roda Nathan keluar dari dalam kamar. Amelie terdiam melihat tatapan mata Nathan kepada wanita itu, Nathan seperti melihat mataharinya. Tatapan mata yang tidak asing lagi bagi Amelie dulu, tetapi kini melihat tatapan mata itu kepada orang lain membuat hati Amelie terasa seperti diremas-remas. "Cassie. Apa yang kau lakukan di sini?" Savannah mengenali wanita itu. Amelie menggigit bibirnya gelisah. Seharusnya dia tidak berada di sini.

"Anna." Wanita itu, Cassie, tersenyum tipis kepada Savannah. Menyadari tatapan permusuhan yang Savannah berikan kepadanya. "Aku akan mengantar Nathan ke ruang terapi."

"Savannah, berhentilah bersikap seperti itu kepada Cassie." Nathan menegur suara keras Savannah atau sikap tidak suka yang terang-terangan diperlihatkan wanita itu kepada Cassie.

"Kau yang harusnya berhenti bersikap seperti itu di depan istrimu." Tegur Savannah. Amelie terdiam melihat situasi tidak mengenakkan yang melibatkannya.

"Istrimu?" Cassie mengucapkannya dengan raut wajah tak terbaca. Wanita itu lalu menatap Amelie dengan tatapan menilai.

Seperti baru menyadari kehadiran Amelie, Nathan berbalik dan melihat Amelie. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Nathan!" Savannah berdecak kesal.

"Aku hanya mengembalikan barangmu." ucap Amelie tenang. Ia lalu mengambil kotak dan sebuket bunga matahari yang diletakkan di atas bangku lalu menyerahkannya ke Savannah. "Terima kasih, Anna."

"Tunggu. Amelie." Savannah menatap kesal ke arah Nathan yang sama sekali tidak berusaha menahan kepergian Amelie.

"Aku harus kembali. Aku ada janji malam ini."

***

Amelie sudah berada di parkiran Blanca, restoran yang dimiliki Wyatt, ketika menyadari kalau ada satu barang Nathan yang tertinggal di dalam mobilnya. Kaset berisi lagu-lagu itu nyaris terputar habis, Amelie hendak mengeluarkan kaset itu dari playernya, tetapi tangannya berhenti bergerak saat ia mendengar suara Nathan. Suara Nathan yang pria itu rekam terputar dari kaset yang berada di playernya.

"Hey." suara Nathan terdengar bergumam dan gugup saat mengucapkannya. "Mungkin kau tidak akan mendengarkan ini. Ini hanya akan berakhir seperti hadiah-hadiahku yang lain, yang mungkin sekarang sedang teronggok di sudut ruanganmu." Nathan tertawa gugup. Amelie berusaha menenangkan detak jantungnya. Ini hanya rekaman, ini hanya kaset. Nathaniel bahkan tidak mengingat satu pun bagian dari dirinya sekarang. Amelie sekarang hanyalah bagian dari kepingan asing yang tidak terjamah di ingatan Nathan, dia nyaris bukan siapa-siapa pria itu. "Aku minta maaf, Amelie. Maaf karena mengecewakanmu." Suara Nathan menarik napas panjang. "Selamat ulang tahun istriku. Aku mencintaimu." Lalu rekamannya berhenti. Amelie menunggu cukup lama, mengira akan ada lanjutan dari rekaman itu, tangannya gemetar di atas pangkuannya. Namun, setelah cukup lama, kasetnya berputar kembali ke lagu paling pertama. Yellow. Seperti warna bunga matahari yang Amelie berikan kepada pria itu. Bunga matahari, bunga yang selalu mencari mataharinya di mana pun ia berada. Namun, kini Amelie bukan lagi mataharinya.

"Amelie." Wyatt mengetuk kaca jendela mobil Amelie lalu tersenyum kepada wanita itu. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya.." Amelie berusaha menenangkan dirinya, tetapi Wyatt telah melihat air mata yang turun membasahi pipinya juga tangannya yang gemetaran tidak terkendali.

"Aku akan mengantarmu pulang." Wyatt menarik napas dalam-dalam lalu membantu Amelie keluar dari bangku pengemudi dan menggantikannya duduk di sana. "Aku sudah bilang kalau ini hanya akan menyakitkanmu bukan?" Wyatt menatapnya lama.

"Dia melupakanku."

"Dia melupakanmu. Aku tahu." Wyatt tersenyum miris kepada Amelie. "Kenapa kau tidak berusaha membuatnya mengingatmu kembali, Amy?"

"Karena itu tidak penting lagi."

"Kalau itu tidak penting lagi seharusnya kau tidak seperti ini Amelie." Wyatt mengusap rambutnya gelisah lalu menatap Amelie gusar. "Dia membuatmu mengingat kembali semua kecelakaan itu. Orang tuamu lalu kakekmu. Aku tidak yakin kau bisa menyetir tanpa merasa trauma."

"Kau tidak perlu khawatir kepadaku." Amelie memalingkan wajahnya ke jendela kaca yang menampilkan kota New York di malam hari.

"Aku peduli padamu."

"Wyatt." ucap Amelie dengan nada memperingatkan. Dia selalu berusaha mengganti topik ini setiap kali menemui Wyatt.

"Aku tahu. Kau ingin kita berteman, aku mengerti. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku harus menunggumu?"

***

Amelie bergelung di dalam selimutnya. Entah jam berapa ia akhirnya berhasil tidur tadi malam. Pertemuannya dengan Cassie dan Nathan di rumah sakit juga pembicaraannya dengan Wyatt membuatnya sulit tertidur. Ia terus menerus memikirkan setiap detik yang ia lalu kemarin. Namun, ketika ia berhasil tertidur, lagi-lagi ia dibangunkan dengan suara ponselnya yang berdering nyaring di sebelah nakas.

"Halo?"

"Amelie." Savannah menyapanya riang dari telfonnya. Amelie menggerutu pelan di dalam hati. Savannah merupakan satu di antara sekian orang yang masih berharap ia dapat kembali bersama Nathan.

"Kenapa, Anna?"

"Aku hanya ingin memberitahumu kalau aku masih membutuhkan persetujuanmu." ucap Savannah lagi.

"Lagi?" Amelie mengerang pelan. Sampai kapan ia harus bertanggung jawab untuk setiap langkah pria itu? Dia seperti tidak diberi kesempatan untuk menghindar dari Nathan dan pergi sejauh mungkin.

"Mom dan Dad memutuskan untuk memulangkan Nathan."

"Memulangkannya?" Mata Amelie yang tadinya masih terkatup rapat kini terbuka lebar. "Dia bahkan belum sembuh sepenuhnya?!"

"Aku kira memang lebih baik Nathan dirawat di rumah. Dr. Howard sudah melakukan pengecekan menyeluruh kepadanya, kondisinya sangat baik. Dia hanya perlu datang ke terapi dan melakukan pengecekan rutin." Savannah menjelaskan panjang lebar, Amelie hanya mendengarkan setengahnya.

"Apa maksudmu dirawat di rumah?"

"Dia akan lebih terjaga, Amy. Sejak dia bangun kau tidak lagi berada di sisinya, jadi ku pikir.."

"Apa ini hanya usahamu untuk menyatukan kami kembali, Anna?"

"Well. Sudah sebulan lebih ia berada di rumah sakit. Ini saat yang tepat agar dia kembali."

"Anna,"

"Aku menunggumu di rumah sakit." Savannah menutup ponselnya cepat. Membuat Amelie tidak sempat memprotes wanita itu lebih lanjut.

Lagi-lagi ponsel Amelie bergetar nyaring. "Savannah, kau tidak boleh mematikan telfonnya begitu saja!"

"Savannah?" Amelie mengerutkan keningnya bingung lalu menatap caller ID.

"Wyatt. Maafkan aku. Tadi kakak Nathaniel menghubungiku."

"Savannah menghubungimu?"

"Ya. Aku harus menanda tangani surat keluar Nathan dari rumah sakit, jadi aku harus kembali kesana siang nanti."

"Apakah kau mau aku mengantarmu?"

Amelie terdiam sejenak mendengar penawaran Wyatt. "Baiklah." sahut Amelie kemudian.

***

Nathan menatap wanita itu, Amelie, yang sedang menandatangani berkas-berkas rumah sakitnya. Seorang pria berada di sisinya, sesekali berbicara dengan wanita itu. Amelie hanya mengangguk dan menggelengkan kepalanya lalu berbicara dengan Anna. Nathan tidak tahu kenapa konsen medisnya masih harus diurus oleh wanita itu bila mereka sebentar lagi berpisah.

"Di mana Isabella dan Gordon?" Wanita itu, Amelie, bertanya kepada Savannah.

"Mereka sibuk. Aku meminta tolong kepadamu untuk mengantar Nathan kembali ke rumahnya."

"Kukira dia butuh penjagaan lebih?" Nathan tidak tahu kenapa wanita itu ingin cepat-cepat menjauh darinya. Dalam hati Nathan mengakui kalau sikapnya tempo hari memang sedikit kasar dengan wanita itu.

"Kalau kau tidak mau mengantarku pulang, aku bisa meminta Cassie.." ucap Nathan kesal mendengar penolakan Amelie. Pria yang berada di sisinya menatap Nathan dengan tatapan yang sulit ia jelaskan. Seperti menilai apakah Nathan benar-benar kehilangan ingatannya atau hanya sedang bercanda.

"Tidak." Savannah memotong ucapannya cepat. "Amelie akan mengantarmu. Ya kan Amelie?"

"Amelie." Pria yang berada di sebelahnya menahan lengan Amelie. Nathan mengerutkan keningnya, bingung dengan perasaan kesal yang tiba-tiba melandanya.

"Aku akan mengantar Nathan, bagaimana pun dia tanggung jawabku, Wyatt." Amelie mengangguk kepada pria itu, Wyatt, berusaha meyakinkannya.

"Baiklah." Savannah menggosok tangannya puas. "Kau bisa antar Nathan ke Tribeca bukan? Apartemen yang pernah kalian tempati dulu?"

***

Nathan menyadari kalau setiap langkah yang mereka lalui menuju apartemennya di Tribeca, Amelie semakin gelisah. Wyatt mengeluarkan kursi rodanya dari bagasi lalu membukanya dan membantu Nathan turun dari atas mobil. Meski kurang suka diperlakukan seperti anak-anak, Nathan tetap berusaha bersikap tenang.

"Amelie?"

"Ya?" Nathan benci cara pria itu menatap Amelie atau cara Wyatt dengan sengaja menyentuh wanita itu setiap kali mereka melangkah.

"Bisa kau dorong kursi rodaku?" Nathan memecahkan konsentrasi keduanya. Entah apa yang Amelie berusaha katakan kepada Wyatt sebelumnya, wanita itu mengalihkan perhatiannya ke Nathan dan segera meraih gagang kursi rodanya dan mendorongnya. "Dimana apartemen kita?"

"Di bagian penthouse." Gumam Amelie. Wyatt berjalan di sebelah keduanya, terlihat sama terganggunya dengan Nathaniel.

"Apakah kau akan ikut sama ke apartemen kami?" Nathan bertanya kepada Wyatt. Sebuah senyuman kemenangan terbentuk di wajahnya ketika melihat raut wajah kesal Wyatt.

"Aku akan ikut. Siapa tahu kau membutuhkan bantuanku."

"Seperti apa misalnya?" Nathan mengernyitkan keningnya tidak suka. Dia tidak suka dengan ide menerima bantuan dari orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya.

"Mungkin kau ingin ke toilet atau kamar mandi ..."

"Amelie bisa membantuku. Dia kan istriku." ucap Nathan memotong perkataan Wyatt. Sama sekali tidak menyadari kalau kedua orang yang berada di sisinya terpaku mendengar ucapannya.

*****

Yellow - Coldplay

Look at the stars,

Look how they shine for you,

And everything you do,

Yeah, they were all yellow.

I came along,

I wrote a song for you,

And all the things you do,

And it was called "Yellow".

So then I took my turn,

Oh what a thing to have done,

And it was all yellow.


I dunno why I wrote this in here instead of in Papercut or somewhere else.

Cerita yang kaset berisi playlist lagu itu terinspirasi dari kisah saya sendiri. Saya termasuk tipe orang konvensional yang lebih suka bikin playlist di laptop yang nanti bakal di bakar di CD ketimbang memakai aux yang disambungkan langsung ke handphone. Selain untuk menghemat baterai handphone juga untuk menjaga keawetan mobil. (Entah hubungannya di bagian mana).

So once upon a time. Saya memutuskan untuk membuat sebuah playlist berisi lagu-lagu kesukaan saya dan juga orang yang saya sukai pada saat itu. Ceritanya ingin menyatakan perasaan saya lewat kaset itu. Tapi karena berbagai alasan, jarak, waktu dan sebagainya. Kaset itu masih berada di tangan saya hingga detik ini dan tidak pernah tersampaikan. Hingga saya menerima kabar terbaru kalau dia sudah bersama orang lain sekarang.

Mungkin lain kali. Lain kali saya akan membuat playlist lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top