CHAPTER VIII
Mimik wajahnya berubah cemberut. Dia terduduk dengan kesalnya. Aku yang masih merasa ini mimpi hanya terpaku duduk di atas ranjang.
"Apa di kepalamu hanya ada nama itu?"
Apa maksudnya?
Sebentar.
Demang mengatakan jika Singka yang menemuiku. Tetapi, dihadapanku kini adalah sosok yang sama seperti Wisha di duniaku, jadi tak salah dong aku menyebut namanya.
Apa jangan-jangan ....
"Si-Singka?"
"Apa?!?" sahutnya ketus.
Dia Singka, bukan Wisha. Tapi, wajahnya, postur tubuhnya, dan cemberutnya semua plek ketiplek seperti Wisha di duniaku. Lalu, siapa Wisha yang menjadi ratu Si Langki?
"Apa kamu marah?" Aku merasa bersalah karena salah menyebut nama.
Tiba-tiba dia menangis dan memelukku. Aku tak percaya sosok yang begitu mirip dengan Wisha-ku memelukku sambil menangis. Apa ada yang menyakitinya?
"Kau bodoh!" ucapnya merajuk.
Apa maksudnya?
Wisha ... ah tidak, maksudku Singka, pun melepas pelukannya. Wajah cemberut dan linangan air matanya menunjukan kemarahan dan kecemasan di saat bersamaan. Apa aku telah melakukan sesuatu yang membuatnya begini?
"Kau satu-satunya kerabatku, mengapa kau memilih ingin mengakhiri hidup hanya karena ratu sialan itu memintamu? Apa kau begitu mengharapkannya?"
Si Langki mau bunuh diri? Wah!
Aku pikir si Langki cuma gemar bunuh orang, tapi dia juga punya cita-cita membunuh dirinya sendiri. Tapi Singka mengatakan jika Langki mau bunuh diri karena ratunya. Apa maksudnya?
"Jangan lakukan itu lagi. Apa kau mengerti?" pintanya mendelik meskipun matanya merah karena menangis.
Dia jelas bukan Wisha-ku, meskipun paras mereka tak ada bedanya. Dia adalah Singka, adik tiriku sekaligus selirku saat ini. Bagaimanapun, kini aku adalah Langki dan tidak bisa menyembunyikan kenyataan dari arus kekerabatan itu.
Saat sedih, marah, maupun kecewa Wisha tak akan seekspresif yang ditunjukan oleh Singka. Wisha akan berpura-pura seolah ia selalu baik-baik saja, menganggap semua biasa saja. Penampakan sosok Wisha di sini dengan nama Singka seakan menunjukan perhatiannya padaku. Perhatian yang aku harapkan dari Wisha di duniaku.
Tapi ... kenapa Singka bicara seolah ia tak ada takutnya dengan Langki? Biasa saja gitu, tak ada takutnya seperti penghuni puri lainnya. Bahkan Singka seperti mengomel karena cemas. Apa mereka sedekat itu? Apa karena ia kini selir Si Langki?
Entahlah ... aku pusing.
"Kau tau ... secara tak langsung kita bersaudara, dan kini aku adalah selirmu. Tapi kita selamanya menjadi teman, kau yang melindungiku dan aku yang akan selalu mendukungmu. Aku tak bisa membayangkan jika kau tak ada," ucap Singka.
Selamanya menjadi teman.
Kalimat itu sungguh familiar. Kalimat yang sangat sering ditegaskan oleh Wisha-ku. Bahkan di dunia antah berantah ini, wujudnya pun mengatakan hal yang sama. Apa ini pertanda jika memang Wisha di duniaku tak pernah menganggapku lebih dari teman?
"Ulu ... apa kau mendengarku?"
"Ah?" Aku terkesiap. "Apa kau memanggilku?" tanyaku.
"Kau benar-benar sedang sakit, Ulu Langki. Bagaimana ini?" Sangki tampak semakin cemas.
Ulu Langki? Singka tidak menyebutku Panduka seperti yang lainnya. Apa itu panggilan dari selir kepada rajanya, atau apa?
"Aku akan meminta Demang memanggilan konah," ucapnya dan hendak beranjak, namun aku menahannya.
"Tidak! Jangan ... aku ... aku hanya pusing. Aku tidak apa-apa," jelasku berusaha baik-baik saja.
"Sungguh?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
Singka kembali duduk di sampingku, dan ia terus menggenggam tanganku. Bahaya! Wujudnya begitu sama seperti wanita pujaanku, dan sikapnya yang perhatian seperti ini apa bisa menahan hasratku?
Demang mengatakan jika Langki tak akan melakukan hal senonoh kepada para selirnya, tapi ini adalah aku yang sedang berhadapan dengan wujud wanita yang aku harapkan selama ini. Apa aku harus bersikap seperti Langki dan menganggapnya Singka, atau menjadi diri sendiri yang berpikir ia adalah Wisha?
Kepalaku mau pecah, cenut-cenut kebingungan dan tak bisa bohong jika ada sedikit hasrat ingin memeluk Singka sepuasnya. Aku harus bagaimana sekarang?
"Ulu Langki ... aku ingin mengatakan sesuatu," ucap Singka.
"Apa?" Entah mengapa aku merasa harus waspada akan ucapannya.
Apa dia hamil? Tidak! Demang mengatakan jika Langki tak pernah menyentuh Singka. Atau jangan-jangan ia akan menyatakan perasaannya? Tidak! barusan ia menegaskan jika akan menjadi teman selamanya bagi Langki.
Lalu apa? Kenapa aku sepenasaran ini?
"Apa yang ingin kamu katakan?" tanyaku.
"Em ... jika ... jika aku meminta itu sekali lagi, apa kamu mau mewujudkannya kali ini?"
Apa yang ia minta? Berhubungan badan? Apa Langki pernah menolaknya? Tentu saja. Singka tak pernah disentuh oleh Langki.
Entah Si Langki pria normal atau tidak, bagaimana ia bisa menolak selirnya sendiri untuk melakukan itu? Tapi agak salah memang karena sebelumnya Singka adalah adiknya walaupun tak ada darah yang sama dalam tubuh mereka.
Di duniaku, Wisha yang selalu menolakku walau bukan untuk hal senonoh, tapi di sini Si Langki menolak Singka. Lalu sekarang Singka meminta padaku yang ia sangka Si Langki.
Tuh kan ... pikiranku ruwet sendiri memikirkannya.
Bagaimana ini?
"Ulu Langki, kau bisa melindungiku meskipun aku bukan lagi selirmu. Apa kau tidak bisa melepaskan status selir ini?"
"Ah?"
Sebentar ... Singka bukan meminta jatah, tapi memintaku untuk melepas status selirnya. Artinya, selama ini ia pernah meminta pada Langki, tapi Si Langki tidak mau melepasnya karena ingin melindunginya.
Sekarang aku bukanlah Langki, apa aku harus mengabulkan permintaannya? Bagaimana jika nanti Singka mengalami sesuatu dan saat Langki yang asli telah kembali pada kodratnya lalu tahu jika Singka tak ada lagi di sekitarnya, aku bisa disalahkan.
Tapi bagaimana caranya? Langki dan aku tak akan pernah bertemu. Bodohnya aku!
Tetap saja, aku tak boleh mencampuri apa yang sudah ditetapkan dari awal oleh Si Langki. Di sini aku hanya tersesat, dan tak ingin melakukan pertentangan apapun. Cukup bertahan dan berpura-pura hingga waktuku harus kembali.
"Singka, kamu tau jika hanya di sini aku bisa melindungimu. Aku akan memberimu apapun, tapi tidak hal itu."
Apakah ucapanku akan sama seperti yang akan diucapkan oleh Langki? Semoga saja.
Aku ingin bertanya alasannya, tapi aku tak tahu apakah dulu Singka sudah pernah mengatakannya pada Langki atau belum. Lebih baik nanti aku bertanya pada Demang karena hanya dia yang tahu jika aku bukanlah Langki yang asli.
"Kalau begitu ... gulingkan Wisha sebagai ratu. Aku akan menggantikannya," pinta Singka.
Aku semakin bingung. Katanya, Ratu Wisha dendam padaku, tapi sepertinya Singka juga punya dendam pada Wisha. Apa ia dendam pada ratu hanya karena Langki?
"Kamu ingin menjadi ratu?" tanyaku hati-hati.
"Tidak," jawabnya. "Lalu?"
Singka tak menjawab, justru matanya kembali berkaca-kaca. Apa aku salah bertanya? Apa kini ia tahu identitasku?
Aku bukan cenayang yang bisa menebak ekspresi dan diamnya wanita. Jujur saja, kini aku merasa takut untuk bertindak dan berucap. Salah-salah bisa pindah dunia lagi. Mending jika kembali ke duniaku, tapi kalau ke dunia roh alias mati, bagaimana?
Sial!
Kenapa bulan emas munculnya seribu hari lagi? Bisa gila sungguhan aku di sini. Apa lebih baik bersandiwara jadi raja gila saja?
Argh! Pusing.
~o0o~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top